Ary Juwono barangkali satu-satunya desainer interior yang tidak aktif di media sosial. Namun, jauh dari kebisingan dunia maya, justru membentuknya menjadi desainer yang setia menjaga orisinalitas karya. Kariernya selama hampir empat dekade di dunia kreatif terbentuk karena ketekunannya untuk terus belajar.
Meski tidak punya media sosial, karya-karya desain Ary dicari banyak orang, baik klien dari dalam maupun luar negeri. Tak hanya di dunia interior, pria berusia 59 tahun ini telah menorehkan karya desain di berbagai bidang kreatif sejak 1980-an, mulai dari fesyen, desain grafis, periklanan, film, hingga kini merancang furnitur.
Totalitasnya dalam mempelajari dan menekuni satu bidang serta konsistensinya untuk melahirkan karya terbaik, membukakan pintu-pintu lain yang membuat kariernya berkembang.
Pengalamannya yang panjang itulah yang akhirnya menjadi modal kepercayaan banyak orang untuk menggunakan karya-karyanya. Di tengah menjamurnya desainer di Indonesia, Ary telah memiliki posisi tersendiri sebagai salah satu desainer kreatif multitalenta dengan karya-karya eklektik yang menggugah.
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Ketertarikan Ary di dunia desain bermula dari kesukaannya membaca majalah sejak usia remaja. Dia adalah anak bungsu dari 10 bersaudara. Sang ayah meninggal saat dia masih berada di dalam kandungan. Kegigihan sang ibu membesarkan Ary dan kakak-kakaknya seorang diri, menginspirasinya untuk bekerja keras mencapai impiannya.
Ary akhirnya berkuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB). Berdasarkan penilaian dari para dosen, dia diarahkan untuk mengambil jurusan Desain Interior.
Namun, pada 1986, ketika masih menempuh kuliah, Ary justru menceburkan diri ke dunia fesyen. Kala itu, dia mencoba ikut Lomba Perancang Mode yang diadakan oleh Majalah Femina. Menurut Ary, kompetisi itu bisa menjadi gerbang pembuka untuk dirinya dikenal publik luas, hingga memudahkan jalannya dalam meraih impiannya.
Meski hanya sebagai finalis, ajang itu akhirnya membuka peluang bagi Ary. Dia mendapat tawaran bekerja sebagai desainer untuk sebuah pabrik rajut di Bandung. Untuk mempromosikan hasil karyanya, Ary pun rutin mengirimkan foto-foto busana rancangannya di beberapa majalah.
Inisiatifnya itu justru digunakan oleh brand tempatnya bekerja sebagai bagian dari branding, untuk dapat menjangkau pasar konsumen yang lebih luas. Kala itu, baju-baju rancangannya sudah dikenakan oleh sejumlah model kenamaan era 1990-an seperti Avi Basuki, Karenina Anderson dan Ayu Azhari, untuk cover beberapa edisi dari Majalah Femina.
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Setelah di fesyen, Ary menjajaki dunia desain grafis yang menjadi babak baru bagi kariernya. Dia dipercaya sebagai penata gaya sekaligus art director baik untuk katalog maupun acara TV yang disponsori oleh Metro Department Store.
Pengalaman di dunia televisi akhirnya membukakan jalannya sebagai art director untuk proyek iklan komersial. Hal ini membuat Ary akhirnya bekerja dengan banyak sutradara dari berbagai negara seperti Inggris, Australia, Eropa hingga Afrika untuk berbagai produk. Termasuk, menjadi pembelajaran penting baginya dalam menghadapi keinginan klien yang beragam.
Kiprahnya di dunia televisi membawanya kenal dengan sejumlah pegiat film Tanah Air. Dia akhirnya menapaki karier baru di bidang sinema sebagai production designer. Proyek film pertamanya yakni Arisan (2003) yang disutradarai Nia Dinata, disusul dengan Janji Joni (2005) karya Joko Anwar.
Sejak itu, Ary pun dipercaya untuk menata artistik sejumlah film layar lebar seperti Catatan (Harian) Si Boy (2011), Warkop DKI Reborn 3 (2019), Perfect Strangers (2022), dan yang terbaru A Business Proposal (2025). Tak hanya sebagai production designer dan art director, Ary juga dipercaya sebagai penata kostum untuk film Perfect Strangers (2022) dan Kambodja (2022).
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Akhirnya pada 2004, Ary bersama rekannya mendirikan firma desain interior sendiri bernama A2J Interior Design Consultant, dan beroperasi hingga tahun 2016. Namun, kini, Ary lebih memilih untuk bekerja secara independen, tanpa terikat oleh satu perusahaan tertentu.
Pilihannya itu membuatnya bisa lebih bebas terus mengeksplorasi diri, berkarya di berbagai bidang yang ingin dia lakoni. Di sisi lain, dia juga jadi lebih bisa mengatur ritme kerjanya sendiri. Kapan harus totalitas untuk menghasilkan karya, kapan waktunya untuk berhenti mengambil jeda. Baginya, keseimbangan itu penting untuk tetap dijaga.
Di samping berkarya, Ary juga aktif bahkan dipercaya sebagai ketua ID12, kumpulan 12 desainer interior kenamaan Indonesia yang terbentuk sejak 2007. Mereka adalah Agam Riadi, Anita Boentarman, Ary Juwono, Eko Priharseno, Joke Roos, Prasetio Budhi, Reza Wahyudi, Roland Adam, Sammy Hendramianto, Shirley Gouw, Vivianne Faye, dan Yuni Jie.
Selain sebagai desainer interior, Ary juga kini merambah ke dunia furnitur. Dia menjadi desainer untuk produk-produk furnitur di dua merek retail furnitur yakni Blackwood dan Montclar. Di samping itu, dia juga kini tengah mengerjakan proyek desain artistik untuk proyek film terbaru garapan sutradara Rako Prijanto tentang pahlawan dari Sumatera Utara.
Dalam wawancara eksklusif dengan Hypeabis.id di showroom Blackwood di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (16/5/2025), Ary bercerita panjang soal perjalanan kariernya, serta nilai-nilai penting yang dipegangnya dalam berkarya. Termasuk, proses kreatifnya dalam menciptakan karya-karya yang eklektik dan tidak biasa.
Berikut petikan obrolan inspiratifnya bersama Hypeabis.id.
Di tengah masifnya media sosial, Mas Ary justru tidak menjadi bagian di dalamnya sebagai platform untuk branding atau mempromosikan karya. Kenapa demikian?
Jujur enggak punya media sosial aja, sementara ini dikejar-kejar kerjaan terus gitu ya. Buat aku positifnya atau enjoy-nya adalah aku bisa berpikir lebih bersih. Saya enggak melihat karya orang lain gitu ya walaupun kadang perlu. Tapi kan teknologi sekarang ada Google, ada Pinterest, itu kan mudah sekali untuk kalau kita mau cari ide gitu ya. Tapi justru karena saya enggak punya media sosial, jadi waktu saya juga lebih fokus untuk kerjaan atau menikmati liburan.
Memang mungkin wawasan saya dari sisi kompetitor tidak luas karena saya tidak bisa melihat karya orang lain kan. Tapi positifnya adalah memunculkan originalitas dari apa yang saya bikin. Kalau aku sih berpikirnya kesana. Jadi makanya saya tetap keep going with this flow.
Jadi aku pikir nantilah kalau udah mulai waktunya mulai senggang mungkin aku akan bikin lah media sosial pasti. Tapi nantimungkin lebih untuk legacy aja ya. Kan saya juga dari keluarga besar. Saya punya banyak keponakan. Jadi mungkin kalau mereka pengen lihat omnya atau kakeknya itu kegiatannya apa, mungkin bisa dari media sosial.
Lalu, dari mana Mas Ary mencari inspirasi atau referensi dalam berkarya?
Memang di era sekarang pure original itu susah, bahkan mungkin tidak ada karena semua sudah saling berpengaruh. Tapi porsi untuk memodifikasi dari produk yang sudah ada itu jauh lebih luas ketika kita tidak melihat banyak referensi gitu. Memodifikasinya seperti apa nih supaya jangan sampai memberi peluang orang yang melihat karya kita bahwa ini copy.
Dulu sebelum ada internet aku sering sekali lihat buku dan majalah. I love magazine sampai hari ini. Saya mengeluarkan dana cukup banyak untuk majalah. Kenapa? Karena buat saya majalah yang baik, proporsional dan memang bisa dipertanggungjawabkan adalah majalah yang selalu menuliskan hal-hal dan sesuatu yang baru. Mengabarkan berita dan tren produk terbaru. Nah makanya itu yang menjadi alasan saya suka sekali baca majalah.
Dari satu pintu terbuka pintu-pintu di bidang yang lain, sepertinya Mas Ary sosok yang pandai belajar dan terlatih melihat peluang?
Betul. Mungkin di era dulu enggak seperti sekarang yang semua kayaknya di-count gitu. Kita ngerjain ini kita dapet berapa kan gitu. Nah mungkin aku dulu menjalankan prinsip aku coba dulu deh. Kalau cocok baru tau deh harganya berapa gitu. Jadi dari situ kayaknya justru peluangnya jadi banyak. Intinya kalau menurut saya kita tuh akan bisa menentukan harga kita kalau kita sudah menunjukkan gitu. Apalagi untuk sesuatu yang baru ya, untuk bidang baru gitu.
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Kalau memang bisa diterima oleh masyarakat ya berarti kita bisa harusnya dan Tuhan kasih kita jalan. Misalnya ketika aku desain furnitur, kalau end user yang pake karyaku buat aku enggak ada kepuasan.
Tapi ketika interior designer yang melihat dan pengen pake produknya buat klien-klien mereka itu baru kepuasan buat saya. Karena berarti kan karyaku diakui oleh desainer nih. Orang yang harusnya paham terhadap estetika dan fungsi si benda yang saya desain gitu. Nah makanya untungnya sudah banyak sekali interior designer yang pake karyaku, untuk desain-desain mereka termasuk ada beberapa dari Singapura.
Mas Ary sudah berkarya selama 40 tahun, nilai-nilai apa saja yang dipegang selama berkarier?
Satu ya, semua ini based on relationship yang bagus. Terus harus jujur aja gitu. Kalau memang kamu tidak mampu ya kamu harus bilang tidak mampu. Tapi beda dengan orang yang bilang enggak mampu terus ditinggalin aja gitu. Tapi ada orang yang bilang tidak mampu tapi pengen belajar. Karena semua kalau desain itu kan bener-bener based on taste, dan taste itu based on experience hidup yang enggak bisa dipelajarin karena jam terbang. Tapi, kalau teknis itu bisa dipelajarin. Jadi itu yang saya jaga sampe hari ini.
Kuncinya juga kita jangan pernah menghakimi desain atau karya orang lain. Karena kita harus tau bahwa karya itu individual banget di bidang seni dan desain ya. Jadi jelek atau enggaknya itu tergantung selera. Itu mungkin yang membuat sampai hari ini aku masih ada di industri ini juga. Belum tentu yang kita bilang jelek itu enggak sukses, dan bisa jadi itu laku. Jadi itu yang membuat saya punya prinsip bahwa semua itu ada nasibnya gitu. Cukup lakukan yang terbaik yang kita bisa aja.
Kalau melihat karya-karya desain Mas Ary itu identik dengan gaya yang eklektik, mencampurkan berbagai macam style. Apakah memang itu sengaja menjadi DNA atau ciri khas karya?
Enggak sih. Itu mungkin tanpa disengaja mungkin juga based on perjalanan hidupku. Perjalanan traveling saya itu yang membuat jadi seperti itu. Kan ada orang yang misalnya garis desainnya modern klasik misalnya, jadi ketika keluar negeri gitu yaudah yang dia lihat modern klasik dan sebagainya.
Nah aku tuh orangnya kan explorer jadi cenderung lihat banyak hal yang menarik dan sesuatu yang baru gitu. Mungkin itu yang mempengaruhi kenapa desainku orang bisa bilang eklektik gitu.
Selain itu, mungkin karena selera juga ya. Misalnya, orang Italia tuh desainnya modern, advanced atau futuristic. Padahal bangunan-bangunan di Italia kan kuno semua karena mereka memang ada preservasi yang enggak boleh merubah. Nah mereka berani kan mendesain atau menampilkan sesuatu yang modern di bangunan yang super klasik gitu dan oke-oke aja. Itu sih yang membuat aku punya pola pikir kesana.
Sofa hasil desain Ary Juwono di showroom Blackwood. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C)
Indonesia punya budaya yang kaya, seperti motif dan material yang beragam. Sejauh mana itu menginspirasi karya-karya Mas Ary?
Kalau untuk produk itu mungkin agak sulit karena kita mendesain produk tuh ada batasannya. Misalnya produk kita harganya segini, masyarakat yang mampu beli produk harga segini tuh gaya hidupnya seperti apa sih? Gitu. Nah kebetulan karena produkku di pasar Indonesia ini nilainya premium, dan aku lihat masyarakat yang sudah ada disana itu seleranya enggak ke lokal gitu. Sehingga aku jarang menggunakan unsur lokal di karya aku.
Tapi kalo secara desain, untuk desain ruangan gitu misalnya karena saya interior designer, baru aku bisa aplikasikan. Cuma kan di bidang desain kita kan harus terus berpikir ke depannya gitu. Jadi misalnya kita sebagai desainer bikin produk yang menggunakan material atau unsur lokal, bagaimana caranya bisa membuat karya ini diterima oleh masyarakat internasional. Terus bagaimana caranya membuat karya ini tidak mudah ditiru.
Sebagai desainer interior, bagaimana proses pendekatan Mas Ary untuk merealisasikan desain sesuai kebutuhan klien?
Kan aku bukan berkecimpung di pure art ya. Kalau seni murni itu kan, polanya ada di senimannya. Mereka mau bikin apa aja, cocok enggak cocok, kita yang menyesuaikan. Nah, kalau aku kan desainer. Jadi, harusnya prinsipnya adalah ya kita tau dulu kebutuhan mereka apa. Jadi ada kebutuhan, nanti ending-nya ada bujet, gitu kan. Kita mendesain udah ke ujung dunia, tiba-tiba bujetnya enggak ada kan. Nah, harus diantisipasinya seperti apa.
Sepanjang berkarier, karya desain interior apa yang paling monumental buat Mas Ary?
Kalau untuk interior design, yang paling berkesan buat aku sebenernya proyek restoran di Pacific Place, Jakarta, Thai Alley. Konsepnya lebih kaya street food-nya Thailand. Kenapa buat aku itu challenging, karena harus membawa unsur street food di tempat yang high end. Jadi bagaimana membawa unsur rustic atau unsur raw-nya di tempat mewah.
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Pun di film juga saya pernah mengerjakan kayak film Janji Joni itu bujetnya sangat-sangat dan gimana membuat bujet ini bisa mengakomodir secara visual sesuai dengan cerita yang sutradara mau. Sementara kalau di film Arisan, saya harus mengeksplor gaya hidup kalangan atas yang orang awam tidak tahu.
Berkarya selama 40 tahun dan jauh dari ingar bingar media sosial, bagaimana Mas Ary bisa tetap relevan dengan perkembangan zaman dalam berkarya?
Untungnya saya diberi lingkungan dengan orang-orang yang mengikuti perkembangan zaman. Jadi saya berada di lingkungan orang yang jauh lebih muda gitu ya, dan itu yang membuat kayanya aku bertahan sampai sekarang. Kenapa aku bisa tetap mendesain dan bikin sesuatu yang relevan, kadang nih aku minta orang-orang terdekat seperti asisten rumah tangga di rumah untuk lihat berita di Instagram atau TikTok.
Sama kita harus percaya ketika kita bekerja dengan orang lain. Kuncinya adalah kita harus jujur, tapi kita juga harus percaya orang lain. Menurut aku, pekerjaan desain itu enggak ada yang individual, pasti semua tim, jadi banyak saling bergantung dari berbagai disiplin ilmu. Makanya mungkin di era sekarang dan ke depan kerjasama itu jauh lebih mudah, sukses dibanding yang single.
Sebagai desainer kreatif selama empat dekade, ada kesulitan tertentu tidak khususnya dengan iklim industri di Indonesia?
Sebagai pekerja seni atau desain, aku merasa tidak ada kesulitan ya. Kalau kita menganggap masalah itu berat ya akan berat. Makanya aku selalu basic-nya adalah ketika ada problem, ini sebabnya apa ya sehingga kita bisa jauh lebih gampang menerima.
Misalnya ketika pandemi, produk furnitur luar yang high end kan susah masuk, nah Blackwood nih mengajak saya untuk bikin retail di kelas yang menuju premium. Akhirnya kita jadi alternatif buat orang-orang yang cari produk luar yang susah itu, jadi kaya timing-nya kok pas ya, malah jadi booming.
Begitupun ketika aku di era paling sulit dan banyak challenge di iklan tv komersial, tapi sekali lagi ada berkahnya juga karena aku jadi banyak belajar selera. Makanya sekarang kalau ada orang mau desain apapun, aku udah gampang gitu karena based on pengalaman itu.
Sejauh mana teman-teman desainer di ID12 memberi pengaruh pada perjalanan karier Mas Ary?
Saya hanya bisa bersyukur aja. Bahwa aku yang saat itu sebagai desainer interior juga baru dibanding Agam Riyadi, Roland Adam maupun Mas Sammy, bergaul dengan mereka gitu, ya tentunya berpengaruh banyak. Dari sisi saya jadi tau gaya hidup mereka, gaya hidup klien-klien mereka, kan kita jadi sering ngobrol dan sebagainya.
Terus apalagi ketika era media sosial, yang muda-muda kan jauh lebih jago tuh, Yuni Jie, Sherly Gouw, nah itu buat aku juga untung. Jadi saya bisa lihat, oh ternyata harus begini. Aku orang yang gak suka begitu kan, tapi kalau mau mencapai goal kesana berarti caranya salah satunya harus begini nih. Itu melihat kesuksesan teman-teman yang jauh lebih muda.
Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio C.
Saya blessing dan merasa beruntung berada di lingkungan mereka. At least saya jadi tau standar kerja dan selera desainer tuh kayak apa karena masing-masing beda-beda. Terus pendekatan mereka ke klien seperti apa. Kan aku jadi bisa pelajarin. Walaupun kadang-kadang tidak relevan ke aku, tidak ada hubungannya, tapi buat saya ya itu sebuah ilmu.
Hebatnya ID12 tuh mereka punya networking bagus sekali dengan para vendor. Itu yang tidak dimiliki banyak orang. Dan 12 orang desainer ini juga kliennya memang klien-klien high end kebanyakan kan, sehingga mereka menjadi langganan si vendor juga. Itu yang membuat kita kalau mau minta support apa jauh lebih gampang.
Menurut Mas Ary, bagaimana perkembangan dunia desain interior di Indonesia saat ini?
Menurut aku bagus banget. Indikasinya adalah sekarang gini deh yang paling gampang ya bahwa industri ini berjalan dengan baik. Ketika kalian masuk ke restoran, cuma bayar nasi goreng itu 20 ribu 25 ribu, tapi suasana restorannya udah bagus banget karena didesain. Nah itu menurut saya sebenarnya udah indikasi yang bagus terhadap perkembangan interior design. Suasananya dipikirin bener misalnya batik jadi dekor. Walaupun secara selera kan beda-beda, tapi at least dia udah mikirin desainnya.
Ke depan, apa lagi mimpi atau target yang ingin dicapai oleh Mas Ary?
Satu, aku bener-bener pengen mewujudkan personal book dan sedang mencari formula untuk bahwa kontennya tuh bukan biografi. Kenapa? Karena buat saya desain kan terus berkembang. Jadi buat aku sebenarnya konsepnya pengen cerita aja bahwa desain tuh ada macem-macem yang bisa dikerjakan. Itu aja sih.
Mimpi selanjutnya sih pengen memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin dalam artian saya pengen slow living. Tinggal di gunung tapi tetep berkarya untuk hal-hal yang memang populer atau memang hot di industri ini. Cuma kan di Indonesia desainer atau art director gitu, mereka masih butuh kitanya datang.
Tapi saya sedang membangun sistem kaya punya teamwork yang memang bisa diandalkan. Sayanya sih pengen santai-santai, nanam cabe dan slow living. Arahnya ke hidup lebih sehat. Mungkin enggak banyak yang dipikirin akan lebih awet muda mungkin. Tapi kan kita enggak tau ya. Kita rencana apa, Tuhan kasihnya apa.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.