Dalam dunia seni rupa, mungkin bisa dihitung dengan jari para perupa yang fokus mengurai kelindan sosial lewat karya-karyanya. Salah seorang dari mereka, tak lain dan bukan adalah Fransiskus Xaverius Harsono, atau akrab disapa F.X Harsono. Sepanjang kariernya selama 5 dekade di dunia seni rupa, F.X. Harsono, tak pernah henti bergulat dengan masalah sosial.
Salah satu pelopor seni kontemporer Indonesia itu terus melakukan kritik, bahkan hingga kini pada usianya yang kian gaek. Nama F.X. Harsono mulai mencuat setelah dia dan 13 kolega senimannya menandatangani manifesto yang dikenal sebagai 'Pernyataan Desember Hitam'. Ihwal protes tersebut muncul sebagai reaksi terhadap Pameran Besar Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1974.
Kala itu, para seniman muda menolak nilai-nilai estetika lama yang berfokus pada orisinalitas, kedalaman, dan keunikan individu seniman. Singkat kata, mereka menolak untuk tunduk pada kejumudan isme-isme, tapi alpa pada persoalan di masyarakat. Terlebih saat itu Orde Baru sedang berkuasa.
Momentum inilah yang melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada Agustus 1975. GSRB diprakarsai oleh 12 seniman muda, dari ITB dan ASRI, termasuk Harsono. Tujuan gerakan ini adalah mendobrak paradigma seni rupa yang terkungkung pada berbagai pakem, yang menghambat kreativitas seniman.
Belum lama ini, Hypeabis.id berkesempatan mewawancarainya terkait proses kreatif dan pandangannya terhadap elan seni rupa hari ini. Tak lupa, dia juga membeberkan beberapa project yang dikerjakan untuk pameran tunggalnya tahun ini. Berikut petikannya:
Seniman FX Harsono berpose di dekat karyanya berjudul The Light of Journey yang dipamerkan di Art Jakarta Gardens 2023. (sumber gambar: JIBI/Suselo Jati)Anda adalah salah satu eksponen Gerakan Seni Rupa Baru. Kini, setelah 74 tahun bagaimana Anda melihat situasi seni rupa Indonesia hari ini?
Kalau dari sisi seni rupa, penciptaan seniman itu memang terjadi perubahan yang besar sekali. Itu disebabkan oleh faktor dari luar. Pada masa itu, itu kan persoalannya kita itu hanya dihadapkan pada satu permasalahan yaitu kita berhadapan dengan seni rupa lampau.
Kala itu, para seniman menganggap bahwa penciptaan karya harus melalui tangan mereka sendiri. Lain dari itu, musuh kita hanya satu, Soeharto. Sedangkan, situasi yang lain di luar itu semua itu tidak terlalu kuat, tidak terlalu signifikan untuk dilawan.
Alhasil dari sini kita mencoba untuk melihat identitas seni rupa Indonesia. Seperti apa identitasnya, dari mana mau digali, dan yang lain. Sedangkan, situasi hari ini kan masalahnya beragam. Momen inilah yang membawa pengaruh baik pemikiran kebudayaan ke Indonesia.
Seni rupa kita hari ini terfragmentasi menjadi bermacam-macam kecenderungan. Mulai dari persoalan sosial, politik, gender, lingkungan hidup, sejarah. Macam-macam. Semua memberikan rangsangan pada seniman untuk melakukan pendekatan dengan cara masing-masing.
Anda banyak membuat karya berbasis sejarah, yang diejawantahkan dalam ragam material. Bagaimana Anda melihat potensi material untuk mendukung gagasan-gagasan tersebut?
Setiap gagasan, setiap penciptaan itu kan selalu berhubungan dengan apa yang direpresentasikan. Setiap material juga mempunyai karakter yang berbeda-beda. Misal, persoalan sejarah yang berhubungan dengan mitos. Seorang seniman bisa saja menghadirkannya lewat video.
Namun, pada tataran yang lain, jika bahannya arsi, maka bisa juga menghadirkannya dalam bentuk instalasi. Jadi setiap material mempunyai karakter, dan bagaimana seniman memiliki kepekaan dalam mengolah ide untuk kemudian diwujudkan dalam karya seni.
Jadi saya tidak pernah mematok bahwa saya hanya mau bekerja dengan satu material tertentu. Tetapi saya bekerja dengan apa saja yang bisa menampung ide-ide penciptaan dari satu permasalahan yang saya olah.
Apakah dalam hal ini Anda mencoba menghindari spesialisasi?
Sejak dulu saya menolak spesialisasi. Artinya sejak tahun 1975 saya sudah beranggapan bahwa satu penciptaan karya seni itu adalah multidisiplin, sehingga tidak bisa hanya didekati dengan satu persoalan dengan satu materi, dengan cara ekspresi tertentu, tidak bisa.
Apakah dalam hal ini saya anti terhadap satu material tertentu, atau disiplin tertentu, tidak. Sebab, saya mempunyai pandangan bahwa persoalan penciptaan karya seni pada dasarnya adalah multidisiplin. Misal, kalau mau bicara tentang hutan, kita harus berbicara dengan orang yang ahli kehutanan.
Kalau kita ngomong mengenai pangan, kita harus bicara dengan orang yang mengerti tentang persoalan pangan dan itu bukan seni rupa. Maka dari itu kita harus melihat itu bekerja dengan orang-orang dari disiplin yang berbeda.
Nah dari situ sebetulnya karakter bahwa multidisiplin itu penting. Sebab, sekarang persoalannya begitu kompleks. Tugas seorang seniman untuk menciptakan karya memang diperlukan kesadaran untuk menggali persoalan yang diungkai dengan segala konteksnya secara mendalam.
Bagaimana Anda melihat seniman muda hari ini? Apakah banyak dari mereka sampai di tahap tersebut?
Banyak yang di tahap itu tapi banyak sekali yang tidak di tahap itu. Nah persoalannya kenapa kok bisa kayak begitu? Lembaga pendidikan. Pendidikan formal kita ini ini tidak fleksibel, tidak bisa melihat persoalan yang riil dalam masyarakat, sehingga kurikulum itu sulit sekali untuk diubah.
Pengajarnya, dosen-dosennya banyak sekali yang bukan praktisi. Alhasil mereka tidak mengerti seni rupa itu apa dan harus didekati dengan cara bagaimana. Ini menyedihkan. Orang masuk jurusan seni murni itu seperti dikasih kacamata kuda.
Hari ini, para seniman ngetop itu bukan dari seni murni. Contohnya, Natasha Gabriella Tontey dari Decafe. Timoteus Anggawan Kusno, dari Komunikasi UGM. Jompet Kuswidananto dari Komunikasi UGM. Yang dari seni murni tidak ada. Karena mereka ke mana-mana pakai kacamata kuda.
Seniman di luar seni murni itu ngetop karena mereka pada awalnya mereka merasa tidak belajar seni rupa, jadi harus belajar. Kata belajar ini adalah kunci bahwa seniman harus membuka diri dan menerima apa saja, yang kemudian mereka tahu horizonnya akan terbuka.
Seniman F.X Harsono saat ditemui Hypeabis.id di kawasan Jakarta Barat. (sumber gambar:JIBI/Bisnis/Nadhif Alwan Kamil)
Seperti apa Anda melihat seni rupa hari ini? baik dari segi pasar dan wacana?
Kalau bicara hal itu, ini tidak bisa diambil dari segi seniman atau karyanya. Persoalannya ini kompleks. Saya kasih contoh: Pada 1993, pada waktu Asia Pasifik Trienal pertama di Brisbane itu Indonesia ikut, dan seniman-seniman Indonesia dianggap sebagai seniman-seniman yang bagus sekali.
Pada waktu itu Indonesia ini sangat dihargai sekali karya-karyanya. Sekarang Indonesia kalah dengan Singapura, Malaysia, dan Philipina dan yang lain. Sebab, di sini tidak ada infrastruktur untuk pengembangan seni rupa yang berjalan dengan baik.
Coba lihat Galeri Nasional coba lihat Taman Ismail Marzuki. Itu kan lembaga resmi pemerintah yang seharusnya mensupport seniman. Apakah Galeri Nasional sejak berdiri sampai sekarang pernah membuat suatu event besar? Enggak!
Pameran Raden Saleh siapa yang buat? Goethe. Pameran koleksi istana siapa yang membuat? Istana Sekretariat Negara, meskipun diselenggarakan Galnas. Jadi dia hanya tempat yang menerima. Dia tidak membuat program, dia tidak membuat apapun. Dia tidak membuat arsip.
Di luar lembaga pemerintah, saat ini ada banyak ruang alternatif, apakah peran mereka bisa menggantikan peran tersebut?
Untuk forum yang sedemikian besar dan melihat Indonesia yang begitu luas, kurang. Jakarta itu cuman ada Museum MACAN. Sementara yang lainnya galeri komersial. Nah galeri komersial ini apakah bagus? Yang bagus menurut saya saat sekarang ini cuma ada tiga galeri.
Pertama, ROH Project, Baik Art, Dan Rubannah Underground. Apakah itu cukup? Namun di Jogja ada sesuatu yang menarik. sebab, di sana ada banyak kolektif seni. Kolektif-kolektif inilah sebetulnya yang menyelamatkan kita sehingga tak tenggelam sampai ke dasar.
Kolektif di Jogja ini menarik, karena mereka terbuka untuk bekerja sama dengan kolektif lain. Mereka bekerja sama bikin sesuatu, saling support membuat pendidikan non formal, karena mereka tahu pendidikan formal ini sudah tidak bisa diharapkan.
Di Jakarta juga ada kolektif, tapi mereka eksklusif. Ruangrupa hanya akan bekerja dengan ruang rupa, dengan kelompok-kelompok mereka yang ada di deket-deket mereka, karena apa? Karena persoalan faktor Jakarta sedemikian luasnya, sehingga mereka tidak mudah untuk bekerja sama dengan kelompok lain.
Seniman FX Harsono berpose di dekat karyanya berjudul The Light of Journey yang dipamerkan di Art Jakarta Gardens 2023. (sumber gambar: JIBI/Suselo Jati)
Bagaimana Anda melihat pasar seni rupa hari ini? Dengan adanya ArtJog, Art Jakarta, dan Art Subs?
Kalau kita ngomong pertumbuhan besar sebetulnya juga enggak. Karena begini, Art Jakarta, dan Art Subs itu orientasinya pasar. Tetapi Artjog tidak terlalu pasar. Mereka dikurasi dengan baik. Alhasil Art Jog menjadi jauh lebih baik daripada Jakarta, Artsubs bahkan dengan Jakarta biennale, ataupun Jogja biennale.
Berarti memang ukuran kita sekarang baru sampai di tataran Artjog?
Mau tidak mau begitu. Padahal saya ingin sekali melihat perkembangan-perkembangan seni rupa yang sama sekali tidak pasar. Yang alternatif yang luar biasa. Yang lain. Yang tidak bisa. Ya udah sampai di situ aja.
Orientasinya semua masih berujung ke nilai ekonomi ?
Enggak juga sih sebetulnya. Pasar berusaha untuk mengambil nilai itu sebagai acuan penilaian, tetapi seharusnya tidak. Namun, di sisi lain terjadi perkembangan yang menarik. Sebab, pasar yang dulu dikuasai oleh kolektor-kolektor yang hanya sekadar membeli karya untuk investasi, tapi sekarang tidak.
Kiwari, kolektor-kolektor muda itu mulai berbeda sekali dari senior-senior. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai investasi. Lebih dari itu, mereka mencari tahu? Ini apa konsepnya? Kalau saya mau mengoleksi ini apa yang bisa saya dapatkan? Kebahagiaan dan sebagainya.
Dari situlah mereka belajar, dan mempelajari latar belakang senimannya. Karena kolektor-kolektor muda ini kan sebetulnya orang-orang yang rata-rata lulusan-lulusan akademi perguruan tinggi dari luar negeri. Mereka suka membaca, mereka bisa mencari referensi.
Dulu pada waktu seni rupa yang dikuasai oleh kolektor-kolektor tua itu, mereka tidak mau beli karya kertas. Mereka tidak mau beli karya video atau performance. Sekarang, mereka mau mengoleksi foto mau mengoleksi video. Dan itu yang menarik yang merubah, itu akan mengubah.
Nah sekarang tinggal seniman ini bisa tidak mengantisipasi momen tersebut. Kuncinya apa? Karena kolektor itu membaca maka seniman harus menulis. Nah itu yang selalu saya bilang, saya informasikan kepada seniman-seniman muda. Seniman harus menulis! Karena orang ingin tahu siapa kamu.
Siapa kamu ini bukan dari industri media bukan dari media sosial, tapi dari tulisan sendiri. Dalam hal ini bisa dari landasan pemikiran yang mendasari penciptaan tersebut. Misal, kenapa saya tertarik dengan metode atau medium ini, kenapa? Dan yang kedua, itu kan bentuk pertanggungjawaban mereka.
Berencana untuk berpameran tunggal dalam waktu dekat?
Tahun ini memang saya akan berpameran tunggal, di Baik Art. Kemudian ada satu lagi permintaan dari Cemeti, dan juga Art Jog.
Sudah ada bentuk persiapan akan seperti apa?
Untuk Baik dan Cemeti saya akan melakukan riset. Sedangkan untuk Artjog Hendro Wiyanto sebagai kurator meminta karya saya yang lama berupa video. Tadinya video itu cuma satu, tapi ada 3 tokoh yang berbicara di sana, dan dia minta masing-masing ini menjadi video sendiri-sendiri.
Ada pesan yang ingin Anda sampaikan pada seniman muda?
Yang paling mendasar adalah belajar. Jangan pernah berhenti belajar, termasuk membaca dan sebagainya. Kedua adalah riset, kemudian sikap kritis. Jadi melihat semuanya secara kritis. Melihat karya yang sudah dibuat secara kritis.
Ini bener enggak ya? Ini kekurangannya di mana? Ini mesti diapain? Kalau ini diubah gimana? Kalau dia hanya berhenti pada pembuatan karya pameran dan selesai, maka akan selesai!
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.