Sejarawan Hilmar Farid (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Eksklusif Hilmar Farid: Mengawal Konektivitas Sektor Hulu & Hilir Seni Budaya Indonesia

03 December 2024   |   18:15 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sosok Hilmar Farid sudah tidak asing lagi dalam lanskap kebudayaan Indonesia. Sejarawan, budayawan, pengajar sekaligus Direktur Jenderal Kebudayaan RI periode 2015—2024 ini banyak menorehkan ide, gagasan pemajuan seni budaya di Tanah Air.

Termasuk menggulirkan berbagai program kebudayaan. Beberapa program yang diinisiasinya berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai kekayaan aset seni dan budaya Negeri Zamrud Khatulistiwa mulai dari Pekan Kebudayaan Nasional (PKN), Jalur Rempah, hingga Indonesia Bertutur (Intur).

Baca juga: Punya Banyak Potensi, Ini Cara Memaksimalkan Ekraf Versi Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid

 
Hilmar Farid (Foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Tak hanya di dalam negeri, Hilmar pun dikenal sebagai figur yang aktif dalam forum kebudayaan global. Dia telah terlibat dalam organisasi seperti Asian Regional Exchange for New Alternatives dan Inter-Asia Cultural Studies Society, di mana dia turut berperan sebagai editor yang menghubungkan diskursus kebudayaan Asia.

Baru-baru ini, dalam diskusi dengan tim Hypeabis.id, Hilmar Farid menyampaikan pemikirannya tentang penguatan ekosistem kebudayaan Indonesia di tengah akselerasi arus globalisasi dan digitalisasi yang kian deras.
Berikut petikannya:

Melihat potensi kebudayaan Indonesia, mengapa kita masih kalah dibandingkan dengan negara seperti Korea atau Jepang? Apakah karena infrastruktur dan ekosistemnya belum memadai atau belum ada roadmap yang sangkil?
Menurut saya, ada beberapa alasan. Salah satunya adalah karena kita memiliki terlalu banyak warisan budaya, baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible). Akibatnya, kemampuan kita untuk mengelola, atau setidaknya melindungi, masih terbatas.

Pekerjaan mendokumentasikan dan melindungi kebudayaan ini telah berlangsung bertahun-tahun. Meski ada progres, pengetahuan kita mengenai kekayaan budaya masih sekitar 10–15 persen. 


Kadang-kadang, teman-teman di daerah, baik kepala daerah, kepala dinas, maupun pelaku budaya, terkejut dengan temuan baru yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Ini menunjukkan bahwa prosesnya masih berlangsung dan memerlukan waktu. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita perlu menyelesaikan semuanya terlebih dahulu sebelum bergerak, ataukah kita bisa mulai dari apa yang sudah ada? Menurut saya, kita sudah bisa bergerak sekarang untuk mengelola aset budaya yang luar biasa.

Permasalahan lain adalah perangkat dan sumber daya manusia yang bervariasi di berbagai daerah. Tidak jarang, saya bertemu dengan teman-teman di dinas yang meminta saran tentang apa yang harus mereka lakukan. Bahkan dalam penetapan warisan budaya takbenda setiap tahun, selalu ada perdebatan mengenai pilihan yang diambil.

Jika dibandingkan dengan Korea, misalnya, di sana budaya sudah menjadi industri. Orang yang bergerak di bidang budaya tidak selalu memiliki latar belakang sejarah atau arkeologi, dan itu tidak masalah karena tugas mereka adalah mengelola, bukan meneliti. Di Indonesia, tugas-tugas ini sering kali bercampur.

Strategi dan langkah apa yang perlu dilakukan?
Kita harus bersandar pada sistem. Problem terbesar kita ada pada sistem itu sendiri. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan bisa menjadi pijakan, dengan memperbanyak regulasi agar mekanismenya semakin efektif. Kesadaran mengenai pentingnya kebudayaan sebagai sektor potensial sudah mulai terlihat, tetapi manajemen sistem yang handal masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa mengorganisasi ratusan orang hingga ke daerah-daerah bukan hal mudah. Dibutuhkan kemampuan manajerial yang efektif. Namun, menunggu hingga semua staf memiliki pemahaman yang utuh mungkin tidak realistis. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan apa yang sudah ada sembari terus memperbaiki sistemnya.

Kebijakan saya dulu adalah memulai dari Jalur Rempah sebagai aksi konkret. Kekayaan budaya mulai terdokumentasi dalam narasi yang baik, dan orang-orang mulai mengorganisasi diri untuk memastikan gerakan ini berjalan. Kegiatan-kegiatan seperti Jalur Rempah, Pekan Kebudayaan Nasional, dan Indonesia Bertutur merupakan inisiatif yang fokus pada hal-hal tertentu untuk memastikan pelaksanaannya efektif.

Apa yang bisa kita pelajari dari Korea? 
Dari segi film, misalnya, Korea berhasil karena hulu dan hilirnya terhubung dengan baik. Di Indonesia, koneksi antara hulu dan hilir masih lemah. Hilirnya, yang melibatkan pariwisata, sering kali terputus dari narasi besar kebudayaan. Padahal, jika kita hanya fokus mencatat masalah tanpa solusi konkret, upaya ini tidak akan menghasilkan apa-apa.

Ajakan saya dulu adalah menjadikan Jalur Rempah sebagai platform bersama, agar semua pihak bisa bergerak secara kolektif. Namun, pemahaman yang keliru sering kali terjadi, seperti menganggap tugas kita hanya mengemas tanpa terlebih dahulu memahami substansi yang ingin disampaikan. Hal ini menyebabkan inisiatif budaya sering kali bersifat seremonial tanpa dampak yang mendalam.

Pekan Kebudayaan Nasional, misalnya, mulai direncanakan sejak 2016 dan baru terlaksana pada 2019. Hal ini menunjukkan bahwa setiap fase, mulai dari penelitian hingga pelaksanaan, membutuhkan waktu dan konsolidasi pengetahuan. Dengan riset yang baik, kita bisa terus meningkatkan kualitas.

Baca juga: Hilmar Farid Soroti Daya Observasi Kuat Pidato Kebudayaan Garin Nugroho

Upaya seperti apa yang perlu dilakukan agar kebudayaan kita mendunia?
Konsolidasi seluruh upaya antar berbagai lini adalah hal yang penting, dengan fokus pada narasi yang ingin disampaikan ke dunia. Apa yang ingin kita ceritakan, dan apa yang kita harapkan dari respons dunia? Korea, misalnya, menetapkan target yang jelas, seperti membuat produk makeup mereka digunakan secara global, dan itu berhasil.

Pandemi memberi kita peluang untuk merefleksikan dan memperbaiki sistem kebudayaan kita. Dengan penunjukan orang-orang yang tepat di pemerintahan saat ini, tidak ada hambatan politik yang signifikan. Harapan saya adalah agar upaya konsolidasi ini dilakukan dengan benar, sehingga kebudayaan Indonesia bisa benar-benar mendunia.

Sedikit bergeser, kenapa terbersit untuk menggarap disertasi soal Pramoedya Ananta Toer?
Pram? Wah, itu cerita panjang. Sejak kuliah, saya sudah bertemu dengan Pak Pram. Orang ini bukan dari lingkungan akademik, jadi diskusi teori dengannya itu sulit. Tapi keasliannya dalam berpikir, berdasarkan realitas Indonesia, sangat menonjol.

Pram adalah sosok yang unik. Ketakjuban saya terhadap karya-karyanya sudah muncul sejak awal. Ketika memutuskan tema disertasi, saya berpikir tentang apa yang bisa saya kontribusikan dalam diskusi kebudayaan di Indonesia. Banyak kajian sastra sudah dilakukan, tapi saya punya pertanyaan mendasar: Mengapa kita, meski merdeka, masih sulit melepaskan diri dari warisan kolonial, termasuk dalam kebudayaan?

Pram sangat peduli pada isu ini, seperti bahasa dan sastra, serta mencoba menggali kembali akar kebudayaan. Dia bahkan seperti memiliki mimpi untuk merumuskan teori politik Indonesia. Dalam novel-novelnya, dia mengulas sejarah dari Majapahit, Mataram, hingga era kolonial. Saya mencoba memahami rumusan pikirannya: apa masalah kultural yang membuat kita sulit keluar dari bayang-bayang kolonialisme?

Menurut Pram, salah satu hambatan utama adalah kombinasi antara kolonialisme dan feodalisme. Feodalisme sering diabaikan, padahal ia ada dalam diri kita sendiri. Mengikis itu adalah pekerjaan besar. Misalnya, dalam novelnya (Tetralogi Pulau Buru) , Nyai Ontosoroh dan Minke menunjukkan bahwa sejarah nasionalisme tidak dimulai di STOVIA, tetapi di rumah Nyai Ontosoroh.

Pram selalu berusaha memotret manusia apa adanya, tanpa embel-embel status atau gelar. Menurutnya, potensi seseorang baru akan muncul jika dia bisa melihat dirinya sendiri tanpa atribut tersebut.

 

tes

(Foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

 

TES

(Foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Apakah disertasi itu akan dibukukan?
Ada rencana, apalagi tahun depan adalah 100 tahun kelahiran Pram. Tapi saya ini sering kali terlalu lama mengedit dan mengganti-ganti, jadi belum pasti kapan selesai.

Baca juga: Hilmar Farid Terbitkan Buku Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan, Hasil Skripsi 30 Tahun Silam

Ada proyek buku lain yang sedang digarap?
Ada tiga. Pertama, buku tentang pengalaman saya selama menjabat, disampaikan dengan gaya jenaka, bukan analisis berat. Kedua, disertasi tentang Pram yang ingin saya bukukan. Ketiga, buku pengantar Cultural Studies berdasarkan catatan kuliah saya, disesuaikan dengan konteks yang lebih kekinian. Selain itu, ada ide untuk buku tentang 80 tahun Konferensi Asia Afrika, tapi itu masih disimpan dulu.

Indonesia memiliki sejarah bernama Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) yang dicetuskan tiga serangkai, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Apa yang bisa kita petik dari manifesto tersebut di masa sekarang?
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan luar biasa dari generasi muda Indonesia pasca-kemerdekaan yang mengeklaim posisi mereka di tatanan global. Isinya, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.”

Pesannya relevan hari ini, ketika kita cenderung melihat ke luar—ke Korea, Jepang—untuk mencari referensi. Padahal, jika kita menggali ke dalam, ada potensi budaya yang luar biasa besar. Kemajuan Indonesia tidak akan datang dari meniru luar, melainkan dari kemampuan kita mengolah kekayaan budaya sendiri.

Misalnya, budaya Korea itu homogen, sementara Indonesia sangat beragam. Kemampuan kita untuk mengelola keberagaman itulah yang menentukan masa depan.

Visi kebudayaan Indonesia harus melampaui persoalan material dan ekonomi. Kita perlu membayangkan manusia Indonesia pada 2045: Apakah mereka sehat, panjang umur, dekat dengan alam, atau memiliki kemampuan multibahasa? Imajinasi semacam ini biasanya muncul dari budaya, baik melalui sastra, film, atau seni lainnya.

(Pewawancara: Diena Lestari, Prasetyo Agung Ginanjar, & Chelsea Venda)

Baca juga: Eksklusif Menteri Kebudayaan Fadli Zon: Misi Menjadikan Indonesia Sebagai Ibu Kota Budaya Dunia
 

SEBELUMNYA

Kenali 7 Kerutan & Garis Halus pada Wajah Plus Cara Mengatasinya

BERIKUTNYA

Daftar Drama Hit yang Dibintangi Park Min Jae, Aktor Korea yang Meninggal Karena Jantung

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: