Alim Sudio saat ditemui Hypeabis.id di kawasan Tebet, Jakarta Selatan (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhany)

Eksklusif Alim Sudio: Proses Kreatif & Simpang Jalan Penulisan Skenario pada Era AI

13 January 2025   |   19:50 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Nama Alim Sudio dalam industri film Indonesia bukanlah kaleng-kaleng. Lelaki kelahiran 15 Juni 1973 itu telah menggeluti dunia penulisan naskah film sejak beberapa dekade terakhir yang sebagian besar meledak di pasaran dengan jutaan penonton.

Belum lama ini, film terbarunya 2nd Miracle in Cell No. 7 juga berhasil meraih 1 juta penonton setelah 9 hari tayang di bioskop. Film ini, tayang perdana pada 25 Desember 2024 atau mengambil momentum libur panjang akhir tahun, sehingga banyak diserbu penggemar.

Alim Sudio memasuki industri film lokal lewat skenario film Rahasia Bintang pada 2008. Sejak saat itu, namanya mulai dikenal sebagai salah satu penulis skenario produktif dengan berbagai genre mulai dari horor, drama, komedi, hingga thriller

Baca juga: Eksklusif Rachmat Fauzan: Mengupayakan Iklim Jasa Arsitektur & Interior yang Lebih Baik

Beberapa karyanya juga populer di kalangan sinefil, seperti 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 (2014), Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), Losmen Bu Broto (2021), Miracle in Cell No. 7 (2022), Sayap-Sayap Patah (2022), dan Gita Cinta dari SMA (2023).

Belum lama ini, Hypeabis.id berkesempatan mewawancari Penulis Skenario Terbaik di ajang Festival Film Wartawan 2021 itu terkait proses kreatifnya di ranah kepenulisan. Dia juga memberikan pandangannya terkait Artificial Intelligence (AI) dalam kerja kreatif. Berikut petikannya:

 
Alim Sudio saat ditemui Hypeabis.id di kawasan Tebet, Jakarta  Selatan (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhany)  

Sejak kapan Anda mulai menekuni dunia skenario film?
Pertama saya tuh dari kecil cinta banget sama film sih. Jadi memang saya seneng banget nonton film. Salah satu hal yang paling saya tunggu-tunggu waktu saya kecil di Tangerang adalah melihat poster film baru main di bioskop. Jadi kayak saya itu selalu menyiapkan diri,  sebab zaman dulu bioskop masih ada foto-foto stillnya yang dipajang.

Kecintaan terhadap film inilah yang membuat saya merasa dekat dengan dunia cerita. Tak hanya itu, saya juga jatuh cinta juga sama mesin tik. Jadi saya senang banget ngetik gitu. Akhirnya ya udah dari situ lahirlah cerpen-cerpen yang saya kirimkan ke majalah kemudian diterbitkan. 

Arkian saya kuliah ambil psikologi di Unpad Bandung. Belajar psikologi juga membuat saya mendalami
pemahaman terhadap manusia. Momen inilah yang membuat saya melihat hal-hal lain di luar dari apa yang tampak dalam diri mereka untuk dijadikan inspirasi.
 
Syahdan, ada tawaran workshop untuk penulisan skenario di British Council. Waktu itu penulisan skenario adaptasi, pengajarnya dari Inggris. Walaupun workshopnya cuma sehari, tapi dari situ saya ketemu sama temen-temen komunitas film dan kemudian sinetron.

Dari sinilah saya mulai nyoba nulis script untuk masuk ke sinetron. Jadi saya start dari sinetron belajar the hard way gitu kan. Nulis sinetron zaman itu masih kejar scripting. Dan sampai akhirnya dapat tawaran untuk menulis film layar lebar. Sejak itu enggak pernah berhenti menulis.

Cerpen dan script, apa yang menurut Anda berbeda dengan dua medium tersebut?
Yang membedakan pasti naratifnya. Maksudnya mungkin kalau menulis cerpen kekuatan kemampuan kita untuk bisa merangkai kalimat menjadi sesuatu yang dapat membangkitkan imajinasi orang lain, untuk membayangkan situasi dan segala macam. 

Sementara kalau script itu ya bagaimanapun dialog menjadi hal yang utama bagi komunikasi antar karakternya, walaupun itu dalam bentuk yang shuttle maupun yang bentuk bentuk direct conversation gitu. Menurut saya perbedaannya di situ.

Jadi kalau cerpen saya bisa bikin cerpen tanpa harus ada dialog enggak ada masalah. Namun kalau bikin script bagaimanapun harus ada dialog, walaupun itu dialog yang disampaikan dalam bentuk simbol, tapi orang harus bisa merasakan adanya dialog dari para karakter itu.

Lain dari itu, cerpen pasti adalah end result, sedangkan skenario itu baru bagian kecil dari film. Sebab film adalah kerja kolektif bersama. Artinya naskah yang saya tulis dan di-approval itu baru 20 persen dari bagian film. Jadi apa yang disajikan di bioskop adalah karya sutradara.

Baca juga: Eksklusif Hilmar Farid: Mengawal Konektivitas Sektor Hulu & Hilir Seni Budaya Indonesia

Anda kerap mengadaptasi novel menjadi skenario, bisa dijelaskan seperti apa polanya?
Pada dasarnya menulis skenario dari sebuah novel adalah kebebasan imajinasi untuk mengarahkan cerita di novel untuk menjadi seperti apa visualnya. Atau sebagai sebuah offering dari saya yang nanti akan diterjemahkan lagi visual oleh sutradara. 

Namun, saya punya kebebasan untuk menentukan. Jadi kebebasan itu yang seringkali mungkin tidak selalu sama dengan pembaca lainnya. Sebab, dari 5 orang yang baca novel misalnya, maka akan ada 5 orang yang punya bayangan berbeda terhadap novel itu.

Oleh karena itu, saya perlu paham benar apakah persepsi saya secara visual terhadap novel ini sama dengan persepsi para pembaca-pembaca lain. Jadi saya perlu riset, lihat respons mereka, bayangan mereka, termasuk membayangkan pemainnya seperti siapa. Hal-hal itu yang menjadi dasar saya ketika menulis sebuah adaptasi dari sebuah novel.

Bagaimana Anda melihat regenerasi penulis skenario di Indonesia?
Kalau saya merasa dari generasi pasti akan berjalan secara alami. Maksudnya saya pun tidak pernah membayangkan saya lahir sebagai generasi penulis berikutnya setelah zamannya, mungkin Asrul Sani, atau Arswendo Atmowiloto, dan yang lain. 

Jadi saya percaya bahwa secara natural akan selalu ada penulis-penulis muda yang baru dan bagus, serta berbakat. Lain dari itu, mereka pasti juga punya pendekatan baru, punya cara pandang yang baru, cara bertutur yang baru dari penulis sebelumnya.

Bagaimana Anda melihat fenomena AI dalam kerja kreatif?
Saya senang banget ada AI, ada Chat GPT. Karena menurut saya itu adalah kemajuan teknologi yang harus dirayakan. Karena bagaimanapun teknologi adalah untuk membantu manusia. Jadi bagaimana sebenarnya penyikapan kita untuk mau bersahabat dengan teknologi akan membuat kita menjadi lebih terbantukan.

Karena, bagaimanapun teknologi itu ada karena manusia. Bagaimanapun posisi kita dan teknologi itu, kita ada di atasnya. Maksudnya kita bisa mematikan sosmed kok, kita bisa menghentikan sosmed kok, kalau kita mau. Ini kan sama dengan AI yang menurut saya pada akhirnya amat sangat membantu kita.

Jadi semua tergantung kita mengarahkan AI pada akhirnya. Ya kalau seandainya ada orang yang lebih canggih mengendalikan teknologi mungkin dia lebih rutin, mungkin dia lebih rajin, mungkin dia lebih intens ngulik-nguliknya sehingga dia paham terhadap AI.

Menurut saya bagaimanapun hubungan manusia itu tidak bisa digantikan dengan mesin. AI hanya bisa membaca algoritma, tapi tidak perilaku manusia. Oleh karena itu, ilmu psikologi itu tidak akan bisa mati sampai kapanpun. Dia akan terus berkembang karena manusia semakin menarik untuk dipelajari.

Mungkin suatu saat kita perlu mempelajari manusia yang ahli mengendalikan robot. Sebab  mau sejago apapun manusia mengendalikan teknologi, dia tetap bakal punya persoalan rumah tangga, atau persoalan anak gitu. Jadi enggak ada sesuatu yang kemudian menjadi ancaman, yang jadi ancaman adalah kalau kita malas sih.
 

qhahah

Alim Sudio saat ditemui Hypeabis.id di kawasan Tebet, Jakarta  Selatan (sumber gambar: JIBI/Fanny Kusumawardhany)  

Dengan melihat situasi sekarang apakah AI akan menggantikan manusia?
Mungkin ada kekhawatiran akan tergantikan. Maksudnya saya ingat dulu ayah saya bekerja sebagai buruh di pabrik pun tergantikan ada teknologi mesin yang lebih canggih. Namun, kalau buat saya, kok enggak semuanya dapat tergantikan, ketika seseorang bisa beradaptasi dan mengembangkan diri.

Mungkin akan ada beberapa kesempatan yang tergantikan ya, misalnya mungkin perusahaan bergantung dengan AI, tapi akan ada masanya juga nanti akan ada orang butuh sentuhan 'karya' yang lebih manusiawi, lebih personal. Sebab saat kita berbicara teknologi kan yang terjadi adalah generalisir atau penyamarataan selera dan artistik.

Berdasarkan pengalaman Anda, apakah juga sempat mengulik AI untuk mencari inspirasi?
Ya, saya kadang menggunakan AI kalau saya lagi butuh teman diskusi karena saya butuh pancingan-pancingan juga. Namun saya menggunakan AI adalah untuk menangkap seperti apa sih pandangan secara general kalau untuk ide seperti ini? 

Jadi kemudian saya bisa melihat oh oke oke. Lalu saya merasakan fungsi saya adalah mencoba mencari keunikan dari ide yang umum. Misalnya saya suruh dia bikin dialog pun, tapi saya tidak akan pakai dialognya karena saya percaya dialog itu mungkin juga ditanyakan oleh liyan.

Dengan menyatukan kerja AI dan manusia, seperti apa Anda melihat hasilnya, apakah lebih baik, atau lebih buruk? 
Tanpa atau dengan AI dua kemungkinan tadi ada. Tidak tergantung juga, ada juga ada yang lebih baik, ada juga yang lebih buruk. Karena menurut saya itu tergantung bagaimana penulis yang terus mengembangkan diri. 

Sebagai contoh, kalau saya bikin remake film gitu ya kan sudah ada dialognya. Sebenarnya kita tinggal pakai mesin translator saja gitu, sudah dapet dialognya. Namun, orang yang nonton enggak akan merasa itu hidup gitu. Orang akan merasa itu aneh kalimatnya. 

Orang akan merasa itu kayak berjarak ya sama gue. Jadi menurut saya, itu saja mesin translator yang paling sederhana tidak akan membuat menjadi memudahkan, yang mungkin akan memudahkan kita untuk memahami script-nya untuk memahami dialog yang diucapkan, tapi tidak membuat kita pembuat script itu menjadi lebih bagus.

Baca juga: Eksklusif Menteri Kebudayaan Fadli Zon: Misi Menjadikan Indonesia Sebagai Ibu Kota Budaya Dunia

Bagaimana Anda melihat penulisan skenario yang didasarkan dari utas?
Bagus itu jadi kayak ada sinergi yang makin luas untuk orang yang berkarya. Ada yang bisa berkarya di utas utas itu ya dia jadi punya job, punya peluang untuk memasarkan karyanya. Yang menarik, ini kan juga dampak dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. 

Ketika ada yang memanfaatkan itu dan kemudian meng-embrace itu tiba-tiba ya dia punya market sendiri. Jadi menurut saya itu sebuah hal yang baik juga ya. Jadi kaya ada perkembangan sinergi kerja sama yang makin luas. Medium yang berbeda yang kemudian kita terjemahkan gitu.

Kalau menurut saya sih itu sah-sah saja, cuma kalau di Indonesia kadang sering kali jadi cenderung rame-rame menjenuhkan. Jadi kayak satu sukses, yang lain ngikut akhirnya membuat jenuh sehingga marketnya hilang. 

Jadi sebenarnya bagaimana kita bisa membaca peluang-peluang yang kemudian mencari jalan yang berbeda, sehingga tidak harus bergerak pada satu titik yang sama. Dari sinilah kemudian saya tetap menekuri penulisan naskah remake film. 

Orang bilang ya itu karena lebih gampang, tapi buat saya tidak gampang juga karena tanggung jawabnya besar. Sebab, tantangannya adalah bagaimana membuat ini orang jadi ngerasain bahwa ini film Indonesia itu adalah PR.

Namun, saya senang karena ya, at least saya bisa menghadirkan tema yang berbeda loh di film Indonesia. Misalnya kalau saya kasih ide dalam bahasa Indonesia, mungkin enggak akan diterima, tapi kalau diremake dengan tema yang berbeda, kita bisa punya peluang film Indonesia yang beragam.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Daftar Pejabat Tinggi yang Dilantik Menkomdigi untuk Percepat Transformasi Digital

BERIKUTNYA

Syarat Klaim Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Wajib Unduh Aplikasi SATUSEHAT Mobile

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: