Ilustrasi murid sekolah. (Sumber gambar: Unsplash/Hobi Industri)

Hypereport: Ketika Pendidikan dan Keahlian Bukan Jaminan Bagi Generasi Muda Sukses di Dunia Kerja

02 May 2023   |   16:46 WIB
Image
Gita Carla Hypeabis.id

Like

Seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, persaingan di dunia pendidikan dan pekerjaan semakin ketat. Selain soal ijazah dan keahlian, ada banyak faktor yang membuat tantangan tersebut menjadi kompleks. Di sisi lain, memang terdapat juga peluang besar bagi mereka yang berani mengambil risiko dan berinovasi. 

Fakta yang perlu jadi perhatian adalah data yang diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah serius, terutama bagi generasi muda. Kelompok usia muda seperti 15-29 tahun menjadi kelompok yang paling terdampak oleh masalah pengangguran ini.

Tidak hanya itu, survei dari Randstad Workmonitor juga menunjukkan bahwa generasi muda lebih memilih pengangguran daripada tidak bahagia di tempat kerja. Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam hal budaya kerja dan lingkungan kerja yang perlu diperbaiki agar dapat memenuhi harapan dan kebutuhan generasi muda.

Baca juga: 15 Ucapan Hari Pendidikan Nasional 2023 untuk Insan Pengajar dan Pelajar Seluruh Indonesia

Di sisi lain, rendahnya minat orang Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi juga menjadi perhatian. Angka partisipasi kasar (APK) di perguruan tinggi masih berada pada angka 31,19 persen, yang artinya masih banyak generasi muda yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Minat generasi muda Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebenarnya terus mengalami peningkatan. Namun, ada gap yang terjadi antara institusi pendidikan dengan apa yang dimau oleh masyarakat. Beberapa di antaranya mengenai sarana dan prasarana yang disediakan institusi pendidikan hingga mahalnya biaya. Tak hanya itu, mindset mahasiswa saat kuliah adalah mendapatkan ijazah yang dapat digunakan untuk melamar kerja. Oleh karena itu, fokus mereka hanya mengejar hal tersebut, alih-alih fokus mencari ilmu.
 


Tapi ada juga yang berhasil mengatasi kendala-kendala tersebut dan meraih prestasi gemilang di bidang pendidikan. Mereka memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia, seperti program beasiswa dan bantuan dari pemerintah maupun lembaga swasta, serta memanfaatkan teknologi untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih luas.

Di dunia pekerjaan, persaingan yang semakin ketat juga menjadi tantangan besar bagi generasi muda Indonesia. Banyak perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki keterampilan dan kompetensi yang tinggi, sehingga banyak generasi muda yang harus berusaha keras untuk meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bersaing di pasar kerja.

Di sisi lain, generasi muda Indonesia juga memiliki peluang besar untuk mengembangkan karir di berbagai sektor yang sedang berkembang, seperti sektor teknologi dan kreatif. Mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usaha mereka sendiri, seperti bisnis online, sehingga bisa memperoleh penghasilan yang lebih tinggi.

Dalam laporan khusus kali ini, Hypeabis.id coba mengangkat cerita seputar pendidikan dan tren pekerjaan generasi muda Indonesia, bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional. Berikut ulasannya: (klik sub-judul untuk membaca tulisan lengkapnya).

Baca juga: Tren Pekerjaan 2023, Cek 5 Keterampilan Teknologi yang Dicari Perusahaan


1. Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda

Melanjutkan pendidikan tinggi menjadi impian semua orang. Namun, ada berbagai faktor yang menyebabkan mimpi tersebut tak bisa atau sengaja tidak digapai. Mulai dari kesibukan kerja, biaya yang tinggi, hingga pilihan untuk mencari ilmu di luar institusi pendidikan, alih-alih tetap melanjutkan kuliah di kampus.

Dari sederet faktor di atas, Nadia Nabillah (27) adalah salah satunya. Perempuan asal Jakarta Barat itu sebelumnya sempat kuliah di salah satu kampus swasta Jakarta. Namun, karena cepat bosan dengan aktivitas perkuliahan yang monoton dia pun akhirnya lebih memilih untuk mencari ilmu di organisasi luar kampus dan merasa justru berkembang di sana.

Nadia adalah salah satu gambaran mengenai minimnya minat anak muda melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pasalnya, partisipasi kasar (APK) di perguruan tinggi pada 2022 baru mencapai 39,37 persen, artinya masih jauh dari standar global yang menetapkan angka APK minimal 50 persen sebagai indikator kesuksesan sistem pendidikan tinggi di sebuah negara. 

Namun, berbeda dengan Nadia, Ade Aryuningsih (32) justru menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Juara cabang olahraga karate PON XIX Jawa Barat itu memilih untuk melanjutkan kuliah S2 demi mengejar impiannya menjadi dosen dengan melanjutkan kuliah online di Universitas Hasanuddin. 


2. Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan

Ada saja jalan menuju Roma. Bukannya menguatkan semangat edukasi, deretan permasalahan justru menambah duri hingga perkara dalam dunia pendidikan Indonesia. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa plagiarisme dan jasa pembuatan tugas akhir mengakar di berbagai tingkat institusi pendidikan.

Bukan hanya mahasiswa S1 yang sibuk berkejaran dengan gelar sarjana. Kalangan mahasiswa setingkat S2 atau S3 pun acap kali tergoda dengan jalan mudah yang ditawarkan. Maklum saja, dunia yang sudah serba instan ini ikut mendorong dampak lain. Tak dapat dipungkiri. Ibarat dua sisi mata pisau, banyaknya keuntungan dalam era serba mudah dan cepat ini juga melahirkan dampak negatif.

Belum lagi kemajuan teknologi yang sudah mulai segala kisi aktivitas manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Misalnya, tren penggunaan artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT yang bisa menghasilkan esai bahkan makalah dalam waktu singkat.

Teknologi diciptakan untuk mendorong kemajuan dunia pendidikan. Sayangnya, banyak yang mengambil cara cepat untuk menuntaskan pendidikan dengan cara memanfaatkan dengan cara yang salah. Inilah yang menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan saat ini.
 
Bukan mudah menjaga kualitas pendidikan di era serba instan seperti yang dihadapi generasi pendidikan tinggi dalam dua dekade terakhir. Belum lagi, generasi masa depan yang harus lebih siap lagi menyikapi cara-cara mudah dalam dunia pendidikan.
 
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Deni Noviana punya harapan besar tentang mahasiswa masa depan. Menurutnya, mahasiswa harus mampu melihat teknologi sebagai alat pendukung pembelajaran, bukan sebuah alat mencapai tujuan secara pintas.

“Dunia pendidikan harus sadar jika platform seperti ChatGPT ini akan terus digunakan, tidak bisa dihindari. Pemanfaatan AI ini justru akan menjadi semakin penting dalam berbagai disiplin ilmu,” ungkap Deni kepada Hypeabis.id.
 

3. Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional

Gambaran dunia kerja di kalangan anak muda telah mengalami perubahan. Pekerjaan yang santai tapi menghasilkan banyak cuan semakin menjadi idaman. Tak jarang mereka memutuskan hubungan ketika pekerjaan yang dilakukan tidak bisa diseimbangkan dengan gaya hidup yang diinginkan. 

Pola pikir tersebut sudah ada sejak generasi x, kelompok demografi sebelum milenial atau generasi y. Kelompok tersebut menggembar-gemborkan tentang work life balance karena pada generasi terdahulu atau baby boomer, mereka harus kerja luar biasa untuk bisa bertahan hidup di tengah situasi perang. Sebesar apa pun gajinya, mereka bersyukur dan yang penting bisa tetap bekerja. 

Bagi Farisah Nurul Fathya (25 tahun), misalnya, pekerjaan ideal adalah yang tidak ribet dan bersifat remote working alias bisa dikerjakan di mana saja. Menurutnya, pada zaman sekarang, terlebih pascapandemi Covid-19, tidak lagi relevan seorang pekerja wajib untuk datang ke kantor. “Dari jauh kan bisa mengerjakan pekerjaannya, jadi enggak usah ke kantor,” ujarnya kepada Hypeabis.id belum lama ini.

Alasan lainnya terkait waktu tempuh. Jam berangkat atau pulang kerja khususnya di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) mayoritas sama. Alhasil, jalanan penuh kendaraan dan macet terjadi di mana-mana. Begitu pula kendaraan umum yang juga padat penumpang. Alhasil, waktu tempuh ke lokasi kerja jadi sangat panjang. 

Bahkan, ada istilah populer untuk situasi yang demikian, 'tua di jalan'. Hal ini menimbulkan efek lanjutan mulai dari membuat para pekerja jadi kelelahan, hilang suasana hati, dan akhirnya menjadi tidak produktif. “Kalau di rumah, tinggal buka laptop kita bisa mengerjakan semaksimal mungkin tanpa harus ber macet-macetan. Kerja juga bisa dimana saja,” tuturnya. 

Farisah menyebut pekerjaan paling ideal saat ini yaitu yang dapat menyeimbangkan antara waktu bekerja dan kehidupan pekerja itu sendiri alias work life balance. Sementara upah yang diberikan untuk karyawan baru yang ideal, menurutnya, berkisar Rp5 juta- Rp10 juta. Menurutnya dunia kerja saat ini harus mengutamakan kesehatan mental karyawannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyediakan bimbingan konseling khusus dengan menghadirkan psikolog, sebagai upaya menangani pekerja yang burnout.

Di sisi lain, para pekerja tetap harus meng-upgrade kemampuan dan keahlian mereka agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Termasuk mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. 
 

4. Hypereport: Kala Pengangguran Muda Jadi Dilema Bonus Demografi

Di tengah euforia bonus demografi yang akan didapatkan oleh Indonesia, angka pengangguran pada usia muda di Tanah Air yang mencuat perlu menjadi perhatian. Bukan tanpa sebab, alih-alih memperoleh manfaat dari banyak generasi muda, angka itu berpotensi membuat negara terbebani.

Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan penggangguran adalah masalah utama ketenagakerjaan yang dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terjadi lantaran mutu dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri yang rendah. “Di samping minimnya ilmu, pengetahuan, dan teknologi,” katanya kepada Hypeabis.id.

Data Badan Pusat Statistik pada 2022 menyampaikan jumlah pengangguran terbuka mencapai 8 juta lebih. Kemudian, pengangguran usia muda (15-24 tahun ) terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bonus demografi. 

Setidaknya, terdapat 16 persen pengangguran dengan usia muda pada 2021 dalam data Organisasi Tenaga Kerja Internasional (International Labour Organization/ILO) dan mencapai 19,55 persen dalam  data Badan Pusat Statistik pada 2021.

Jumlah pengangguran pada usia muda tidak dapat dilepaskan dari peran kualitas pendidikan keluarga selain formal. Menurutnya, pendidikan individu di dalam sebuah keluarga sangat menentukan dalam memberikan bekal ilmu, pengetahuan, dan mental yang kuat dalam mempersiapkan masa depan untuk bekerja atau menjadi wirausaha.

Generasi muda pada saat ini, tidak bisa dipungkiri, sangat informatif dan cepat dalam mendapatkan angan-angan dan harapan. Namun, rapuh dan berlebihan dalam berpikir. Selain itu, tidak seimbangnya jumlah lulusan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan perguruan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja yang ada juga sangat menentukan pengangguran usia muda.

Pada akhirnya, yang perlu dipersiapkan adalah keahlian dan kompetensi tenaga kerja usia muda yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Kemudian, dunia industri yang juga siap menyerap tenaga kerja muda terlatih untuk bekerja.

Baca juga: Survei Jobstreet Ungkap Para Pencari Kerja di Indonesia Ingin Pekerjaan Stabil dan Work Life Balance


(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)


Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Aksi Nyentrik Jared Leto Cosplay jadi Kucing Raksasa di Met Gala 2023

BERIKUTNYA

4 Manfaat Menulis, Menjernihkan Pikiran sampai Memulihkan Kenangan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: