Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
29 April 2023 |
17:40 WIB
1
Like
Like
Like
Melanjutkan pendidikan tinggi menjadi impian semua orang. Namun, ada berbagai faktor yang menyebabkan mimpi tersebut tak bisa atau sengaja tidak digapai. Mulai dari kesibukan kerja, biaya yang tinggi, hingga pilihan untuk mencari ilmu di luar institusi pendidikan, alih-alih tetap melanjutkan kuliah di kampus.
Dari sederet faktor di atas, Nadia Nabillah (27) adalah salah satunya. Perempuan asal Jakarta Barat itu sebelumnya sempat kuliah di salah satu kampus swasta Jakarta. Namun, karena cepat bosan dengan aktivitas perkuliahan yang monoton dia pun akhirnya lebih memilih untuk mencari ilmu di organisasi luar kampus dan merasa justru berkembang di sana.
Baca juga: Kembangkan Potensimu, Simak 3 Soft Skills yang Wajib dimiliki
Mengambil jurusan ilmu politik, tak pelak memang membuat Nadia akhirnya bersosialisasi dengan banyak orang. Dari sinilah dia lalu belajar berbagai hal terutama masalah organisasi. Karena keasyikan dan merasa lebih berkembang, dia pun memutuskan berhenti kuliah meski tinggal beberapa semester lagi untuk melanjutkan bimbingan skripsi.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
2. Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
"Pada dasarnya saya memang suka bosenan saat berlama-lama di dalam kelas dan mendengarkan teori mata kuliah. Selain itu saya justru mendapat banyak ilmu di luar kampus terutama public speaking dari organisasi yang diikuti," papar Nadia saat dihubungi Hypeabis.id, Jumat (28/4/23).
Nadia adalah salah satu gambaran mengenai minimnya minat anak muda melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pasalnya, partisipasi kasar (APK) di perguruan tinggi pada 2022 baru mencapai 39,37 persen, artinya masih jauh dari standar global yang menetapkan angka APK minimal 50 persen sebagai indikator kesuksesan sistem pendidikan tinggi di sebuah negara.
Namun, berbeda dengan Nadia, Ade Aryuningsih (32) justru menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Juara cabang olahraga karate PON XIX Jawa Barat itu memilih untuk melanjutkan kuliah S2 demi mengejar impiannya menjadi dosen dengan melanjutkan kuliah online di Universitas Hasanuddin.
Saat mengenyam pendidikan sebagai Mahasiswa, Ade memang sempat menjadi asisten dosen. Namun, setelah lulus dia bekerja sebagai salah satu staf di KBRI Thailand, tapi Ade merasa bahwa passion-nya sebenarnya adalah mengajar. "Makanya kalau gua balik ke Indonesia, gua harus ngajar [jadi dosen] lagi," kata Ade saat dihubungi Hypeabis.id.
Beberapa di antaranya mengenai sarana dan prasarana yang disediakan institusi pendidikan hingga mahalnya biaya. Tak hanya itu, mindset mahasiswa saat kuliah adalah mendapatkan ijazah yang dapat digunakan untuk melamar kerja. Oleh karena itu, fokus mereka hanya mengejar hal tersebut, alih-alih fokus mencari ilmu.
"Saat melanjutkan pendidikan, anak-anak ini punya keinginan apa, tapi di sekolah menunya apa. Jadi enggak ketemu antara institusi pendidikan dan masyarakat" kata Ubaid saat dihubungi Hypeabis.id, Kamis (27/4/23).
Menurut Ubaid, berbagai program terkait masalah pendidikan sebenarnya sudah dicarikan solusi oleh kementrian terkait. Namun, program tersebut hanya di setting oleh segelintir elit di pusat tanpa berbasis data konkrit di lapangan yang memiliki kultur pendidikan dan ekosistem yang beragam.
Saat dipresentasikan di level global, program itu memang akan terlihat unggul dan mendapat apresiasi yang luar biasa. Namun saat diimplementasikan di lapangan justru tidak dapat mengatasi berbagai masalah karena memang hanya dijalankan oleh segelintir elit tanpa melihat pokok permasalahan yang ada.
"Sehingga apa yang dirasakan peserta didik, orang tua dan juga guru dengan kurikulum dan program yang berubah-ubah dari pemerintah pusat itu tidak berdampak secara signifikan di level peserta didik," imbuh Ubaid.
Permasalahan itu pun akan berlarut-larut jika tidak segera ditangani dengan tepat. Pasalnya hal ini akan terus diwariskan oleh pemerintah di periode selanjutnya karena problem utamanya tidak dijadikan sebagai program prioritas untuk mengentaskan masalah pendidikan.
Misalnya, ujian nasional (UN) yang saat ini telah dihapus dan diganti dengan asesmen nasional. Dari hasil asesmen tersebut sudah jelas bahwa tingkat literasi dan numerasi masyarakat masih rendah. Namun, pemerintah malah membuat program Merdeka Belajar yang awalnya justru merupakan program milik sekolah-sekolah elit swasta di Jakarta.
"Dan program ini diterapkan di sekolah-sekolah di daerah yang dari segi kualitas, infrastruktur itu jauh dari apa yang ada di Jakarta, sehingga gurunya enggak mendukung, sarana dan ekosistemnya pun juga enggak mendukung," papar Ubaid.
Selain itu, mengenai program tersebut yang dilihat harusnya juga bukan hanya dari output apa saja yang telah dilakukan pemerintah. Melainkan, perhatikan juga dampaknya terhadap para peserta didik, termasuk bagaimana cara membangun sikap dan wacana kritis mengenai pelajaran yang didapat.
Bukan itu saja, sambungnya, dia pun mengimbau para pendidik untuk tidak hanya sekedar ikut-ikutan mengupload materi pembelajaran di medsos. Pasalnya, jika sebatas hal tersebut maka hanya akan menggugurkan kewajiban mereka, serta seolah program tersebut hanya menjadi beban berat dari pusat ke daerah.
Sejauh ini pemerintah menurut Ubaid memang berhasil membangun infrastruktur secara fisik, tapi terkait moral dan karakter sumber daya manusianya gagal. Karena permasalahan tersebut justru bersumber di institusi pendidikannya sendiri."Dari refleksi JPPI tahun 2022 itu banyak hal buruk justru terjadi di institusi ini," papar Ubaid.
Beberapa di antaranya termasuk tren korupsi, hingga kekerasan di sekolah yang justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, mayoritas pelakunya justru tenaga pendidik yang didominasi dengan kasus kekerasan seksual terhadap peserta didik.
Hal ini pun sesuai dengan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di mana permohonan perlindungan kasus kekerasan terus meningkat sebesar 25,82 persen pada 2022. Yaitu 426 kasus pada 2021 meningkat jadi 536 kasus pada 2022, dengan kasus kekerasan seksual mayoritas terjadi pada jenjang perguruan tinggi.
"Jadi, ini harus terus dimonitoring dan dievaluasi, karena banyak institusi pendidikan yang tumbuh tapi tidak dikoreksi dengan tajam, terutama mengenai amanat UU 45 yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya," tandas Ubaid.
Baca juga: Biaya Sekolah Makin Mahal, Begini Kiat Menyusun Dana Pendidikan Anak
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Dari sederet faktor di atas, Nadia Nabillah (27) adalah salah satunya. Perempuan asal Jakarta Barat itu sebelumnya sempat kuliah di salah satu kampus swasta Jakarta. Namun, karena cepat bosan dengan aktivitas perkuliahan yang monoton dia pun akhirnya lebih memilih untuk mencari ilmu di organisasi luar kampus dan merasa justru berkembang di sana.
Baca juga: Kembangkan Potensimu, Simak 3 Soft Skills yang Wajib dimiliki
Mengambil jurusan ilmu politik, tak pelak memang membuat Nadia akhirnya bersosialisasi dengan banyak orang. Dari sinilah dia lalu belajar berbagai hal terutama masalah organisasi. Karena keasyikan dan merasa lebih berkembang, dia pun memutuskan berhenti kuliah meski tinggal beberapa semester lagi untuk melanjutkan bimbingan skripsi.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
2. Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
"Pada dasarnya saya memang suka bosenan saat berlama-lama di dalam kelas dan mendengarkan teori mata kuliah. Selain itu saya justru mendapat banyak ilmu di luar kampus terutama public speaking dari organisasi yang diikuti," papar Nadia saat dihubungi Hypeabis.id, Jumat (28/4/23).
Nadia adalah salah satu gambaran mengenai minimnya minat anak muda melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pasalnya, partisipasi kasar (APK) di perguruan tinggi pada 2022 baru mencapai 39,37 persen, artinya masih jauh dari standar global yang menetapkan angka APK minimal 50 persen sebagai indikator kesuksesan sistem pendidikan tinggi di sebuah negara.
Namun, berbeda dengan Nadia, Ade Aryuningsih (32) justru menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Juara cabang olahraga karate PON XIX Jawa Barat itu memilih untuk melanjutkan kuliah S2 demi mengejar impiannya menjadi dosen dengan melanjutkan kuliah online di Universitas Hasanuddin.
Saat mengenyam pendidikan sebagai Mahasiswa, Ade memang sempat menjadi asisten dosen. Namun, setelah lulus dia bekerja sebagai salah satu staf di KBRI Thailand, tapi Ade merasa bahwa passion-nya sebenarnya adalah mengajar. "Makanya kalau gua balik ke Indonesia, gua harus ngajar [jadi dosen] lagi," kata Ade saat dihubungi Hypeabis.id.
Potret Pendidikan di Indonesia
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, minat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebenarnya terus mengalami peningkatan. Namun, ada gap yang terjadi antara institusi pendidikan dengan apa yang dimau oleh masyarakat.Beberapa di antaranya mengenai sarana dan prasarana yang disediakan institusi pendidikan hingga mahalnya biaya. Tak hanya itu, mindset mahasiswa saat kuliah adalah mendapatkan ijazah yang dapat digunakan untuk melamar kerja. Oleh karena itu, fokus mereka hanya mengejar hal tersebut, alih-alih fokus mencari ilmu.
"Saat melanjutkan pendidikan, anak-anak ini punya keinginan apa, tapi di sekolah menunya apa. Jadi enggak ketemu antara institusi pendidikan dan masyarakat" kata Ubaid saat dihubungi Hypeabis.id, Kamis (27/4/23).
Menurut Ubaid, berbagai program terkait masalah pendidikan sebenarnya sudah dicarikan solusi oleh kementrian terkait. Namun, program tersebut hanya di setting oleh segelintir elit di pusat tanpa berbasis data konkrit di lapangan yang memiliki kultur pendidikan dan ekosistem yang beragam.
Saat dipresentasikan di level global, program itu memang akan terlihat unggul dan mendapat apresiasi yang luar biasa. Namun saat diimplementasikan di lapangan justru tidak dapat mengatasi berbagai masalah karena memang hanya dijalankan oleh segelintir elit tanpa melihat pokok permasalahan yang ada.
"Sehingga apa yang dirasakan peserta didik, orang tua dan juga guru dengan kurikulum dan program yang berubah-ubah dari pemerintah pusat itu tidak berdampak secara signifikan di level peserta didik," imbuh Ubaid.
Permasalahan itu pun akan berlarut-larut jika tidak segera ditangani dengan tepat. Pasalnya hal ini akan terus diwariskan oleh pemerintah di periode selanjutnya karena problem utamanya tidak dijadikan sebagai program prioritas untuk mengentaskan masalah pendidikan.
Misalnya, ujian nasional (UN) yang saat ini telah dihapus dan diganti dengan asesmen nasional. Dari hasil asesmen tersebut sudah jelas bahwa tingkat literasi dan numerasi masyarakat masih rendah. Namun, pemerintah malah membuat program Merdeka Belajar yang awalnya justru merupakan program milik sekolah-sekolah elit swasta di Jakarta.
"Dan program ini diterapkan di sekolah-sekolah di daerah yang dari segi kualitas, infrastruktur itu jauh dari apa yang ada di Jakarta, sehingga gurunya enggak mendukung, sarana dan ekosistemnya pun juga enggak mendukung," papar Ubaid.
Selain itu, mengenai program tersebut yang dilihat harusnya juga bukan hanya dari output apa saja yang telah dilakukan pemerintah. Melainkan, perhatikan juga dampaknya terhadap para peserta didik, termasuk bagaimana cara membangun sikap dan wacana kritis mengenai pelajaran yang didapat.
Bukan itu saja, sambungnya, dia pun mengimbau para pendidik untuk tidak hanya sekedar ikut-ikutan mengupload materi pembelajaran di medsos. Pasalnya, jika sebatas hal tersebut maka hanya akan menggugurkan kewajiban mereka, serta seolah program tersebut hanya menjadi beban berat dari pusat ke daerah.
Sejauh ini pemerintah menurut Ubaid memang berhasil membangun infrastruktur secara fisik, tapi terkait moral dan karakter sumber daya manusianya gagal. Karena permasalahan tersebut justru bersumber di institusi pendidikannya sendiri."Dari refleksi JPPI tahun 2022 itu banyak hal buruk justru terjadi di institusi ini," papar Ubaid.
Beberapa di antaranya termasuk tren korupsi, hingga kekerasan di sekolah yang justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, mayoritas pelakunya justru tenaga pendidik yang didominasi dengan kasus kekerasan seksual terhadap peserta didik.
Hal ini pun sesuai dengan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di mana permohonan perlindungan kasus kekerasan terus meningkat sebesar 25,82 persen pada 2022. Yaitu 426 kasus pada 2021 meningkat jadi 536 kasus pada 2022, dengan kasus kekerasan seksual mayoritas terjadi pada jenjang perguruan tinggi.
"Jadi, ini harus terus dimonitoring dan dievaluasi, karena banyak institusi pendidikan yang tumbuh tapi tidak dikoreksi dengan tajam, terutama mengenai amanat UU 45 yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya," tandas Ubaid.
Baca juga: Biaya Sekolah Makin Mahal, Begini Kiat Menyusun Dana Pendidikan Anak
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.