Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
01 May 2023 |
12:00 WIB
Gambaran dunia kerja di kalangan anak muda telah mengalami perubahan. Pekerjaan yang santai tapi menghasilkan banyak cuan semakin menjadi idaman. Tak jarang mereka memutuskan hubungan ketika pekerjaan yang dilakukan tidak bisa diseimbangkan dengan gaya hidup yang diinginkan.
Bagi Farisah Nurul Fathya (25 tahun), misalnya, pekerjaan ideal adalah yang tidak ribet dan bersifat remote working alias bisa dikerjakan di mana saja. Menurutnya, pada zaman sekarang, terlebih pascapandemi Covid-19, tidak lagi relevan seorang pekerja wajib untuk datang ke kantor. “Dari jauh kan bisa mengerjakan pekerjaannya, jadi enggak usah ke kantor,” ujarnya kepada Hypeabis.id belum lama ini.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
2. Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
Alasan lainnya terkait waktu tempuh. Jam berangkat atau pulang kerja khususnya di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) mayoritas sama. Alhasil, jalanan penuh kendaraan dan macet terjadi di mana-mana. Begitu pula kendaraan umum yang juga padat penumpang. Alhasil, waktu tempuh ke lokasi kerja jadi sangat panjang.
Bahkan, ada istilah populer untuk situasi yang demikian, 'tua di jalan'. Hal ini menimbulkan efek lanjutan mulai dari membuat para pekerja jadi kelelahan, hilang suasana hati, dan akhirnya menjadi tidak produktif. “Kalau di rumah, tinggal buka laptop kita bisa mengerjakan semaksimal mungkin tanpa harus ber macet-macetan. Kerja juga bisa dimana saja,” tuturnya.
Farisah menyebut pekerjaan paling ideal saat ini yaitu yang dapat menyeimbangkan antara waktu bekerja dan kehidupan pekerja itu sendiri alias work life balance. Sementara upah yang diberikan untuk karyawan baru yang ideal, menurutnya, berkisar Rp5 juta- Rp10 juta. “Pekerjaannya santai, gaji gede, bisa tetap healing, liburan kemana-mana tetapi bisa tetap kerja,” imbuh wanita yang saat ini bekerja di bidang farmasi itu.
Ya, menurutnya dunia kerja saat ini harus mengutamakan kesehatan mental karyawannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyediakan bimbingan konseling khusus dengan menghadirkan psikolog, sebagai upaya menangani pekerja yang burnout.
Di sisi lain, para pekerja tetap harus meng-upgrade kemampuan dan keahlian mereka agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Termasuk mencari pekerjaan yang lebih baik lagi.
Sementara itu, sebagai generasi z, Qisty Annisa Febryanti (22 tahun) lebih memilih menjadi pekerja lepas (freelance) agar lebih banyak waktu bersama keluarga, waktu untuk diri sendiri, dan mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Berkaca pada orang-orang terdekatnya, dia menilai dunia kerja saat ini penuh dengan tekanan, sementara upah yang didapat tidak maksimal.
Oleh karena itu, saat ini dia sedang menempuh pendidikan untuk menjadi arsitek di Universitas Lampung. Menurutnya, menjadi arsitek mendukung keinginannya mendapat pekerjaan yang lebih santai dan tidak melulu kerja di bawah tekanan, tapi tetap berpenghasilan besar. Waktu bersama keluarga dan orang tercinta pun lebih banyak, ketimbang mengikuti dunia kerja saat ini yang melelahkan karena harus pergi pagi dan pulang malam.
“Tahap awal, merintis mau kerja di proyek dulu, mau juga nyoba di studio arsitektur. Terus ke firma. Setelah itu freelance,” sebut wanita yang karib disapa Nurul ini.
Jikalau punya kesempatan, Nurul yang tengah duduk di semester akhir di Universitas Lampung ini ingin mencari pekerjaan ke Jerman. Dia menyebut negara di Eropa itu sedang kekurangan tenaga kerja. Selain itu, jam kerja di negara tujuan juga lebih pendek dengan upah besar dibandingkan di Indonesia, sesuai dengan keinginannya. Untuk mencapai keinginannya itu, Nurul terus mengembangkan keahliannya mulai dari bahasa hingga teknologi digital.
Di sisi lain, Afifah Salma (31 tahun) yang tergolong generasi milenial lebih memilih menekuni jalur wirausaha (entrepreneur) karena memiliki waktu yang lebih fleksibel dan menantang. Dia berencana membuka usaha kuliner di wilayah Malang, saat memutuskan kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun tinggal di Belanda.
“Kalau kantoran jenjang kariernya lama. Saya tipe orang yang bosan. Kalau usaha lebih menantang,” ujar ibu anak satu ini.
Baca juga: Survei Jobstreet Ungkap Para Pencari Kerja di Indonesia Ingin Pekerjaan Stabil dan Work Life Balance
CEO Personal Growth, Ratih Ibrahim, menerangkan pada prinsipnya semua orang mencari pekerjaan yang enak. “Kalau perlu tidak usah kerja, bisa gabut, tetapi gaji besar. Fasilitas lengkap, masih bisa sambil main, tidak usah mikir. Itu sifat yang alamiah pada setiap orang,” tuturnya.
Pola pikir tersebut sudah ada sejak generasi x, kelompok demografi sebelum milenial atau generasi y. Kelompok tersebut menggembar-gemborkan tentang work life balance karena pada generasi terdahulu atau baby boomer, mereka harus kerja luar biasa untuk bisa bertahan hidup di tengah situasi perang. Sebesar apa pun gajinya, mereka bersyukur dan yang penting bisa tetap bekerja.
Masuk pada generasi berikutnya, keadaan sudah lebih baik. Kehidupan menjadi lebih makmur karena perang sudah berakhir dan muncul berbagai macam inovasi untuk kemudahan, dibantu dengan teknologi. “Mulai ngocol. Maunya santai. Kamu tidak perlu khawatir, hidup tenang, beranak pinak banyak, dan makin lama makin males,” sebut Ratih.
Pola pikir itu akhirnya diturunkan kepada generasi z. Belum lagi mereka digempur dengan delusi dari ragam tayangan atau konten di media sosial hingga televisi. Tayangan yang menunjukkan kenikmatan hidup, keseimbangan hidup, gembira dengan kemudahan dan kemewahan.
Padahal menurut Ratih, untuk semua cita-cita ideal yang diinginkan selalu ada harga yang harus dibayar. Belum tentu pekerjaan yang diidamkan cocok dengan persyaratan dan kemampuan yang dimiliki.
Sekalipun menjadi konten kreator, tidak seindah yang ditunjukkan. Konten kreator yang sukses adalah orang yang cerdas, literasinya tinggi, terdidik, dan kerja keras sehingga menghasilkan konten menarik, serta terus menarik perhatian penontonnya. “Orang mikirnya gampang saja, dapat duitnya banyak, yang bagian berdarahnya tidak ditampilkan. Semua fatamorgana,” tegasnya.
Dia berpendapat banyak generasi muda saat enggan berusaha maksimal dalam setiap hal yang dilakukan, terlebih dalam pekerjaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih jadi pengangguran karena bermental pengemis. “Mau makan ya kerja karena kemungkinan dia pikir bisa ngemis. Mengemis makan, uang, belas kasihan, perhatian,” ucap Ratih.
Hal yang diucapkan Ratih tercermin salah satunya dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022. Data tersebut menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai angka 8,4 juta atau sekitar 5,86 persen dari total angkatan kerja nasional. Lebih rinci, pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia muda.
Sekitar 2,54 juta orang berusia 20-24 tahun masuk dalam kategori pengangguran, jumlah ini menyumbang sekitar 30,12 persen total pengangguran di Indonesia. Begitu juga dengan usia yang lebih muda yakni 15-19 tahun yang punya tingkat pengangguran sebesar 22,03 persen atau sekitar 1,86 juta orang, serta mereka yang berusia 25-29 tahun dengan sumbangan 13,84 persen atau sekitar 1,17 juta orang pengangguran.
Menariknya, sebuah survei dari Randstad Workmonitor menyatakan bahwa kebanyakan generasi z dan milenial lebih memilih pengangguran ketimbang tidak bahagia di tempat kerja.
Baca juga: Apa Motivasi Utama Seseorang Mencari Pekerjaan Baru? Yuk Simak Hasil Riset Ini
Oleh karena itu, kemalasan ini harus diberantas. Semua pihak harus turun tangan untuk memberikan literasi bahwa pekerjaan sangat penting untuk kehidupan mereka di masa mendatang, entah itu bekerja di kantor, pekerja lepas, atau menjadi wirausahawan. Dia meminta agar generasi muda tidak mudah diimingi konten yang menunjukkan kemewahan berbalut kemudahan.
“No pain no gain. Kalau ga kerja, ga dapat penghasilan. Enggak usah dengan kebaikan hati, kita kasihani, jangan diladeni,” tegasnya.
Orang tua wajib juga untuk menyuruh anaknya yang sudah dewasa untuk hidup mandiri dengan bekerja. Jangan sampai mereka jadi benalu yang terus disuapi hingga jadi beban bagi orang tua itu sendiri.
Selain itu, Ratih menyebut ada beberapa cara untuk menghentikan laju generasi yang tidak produktif ini. Pertama, dia meminta agar wanita atau pria tidak menikah pada usia muda bahkan dini, karena mereka belum siap menjadi orang tua.
Mereka yang menikah di usia dini, terutama karena kenakalan remaja, cenderung menelantarkan anak. Alhasil, buah hati menjadi anak yang tidak sehat baik dari segi fisik, emosional, hingga kemampuan otaknya. “Kawin di usia yang dewasa dan siap lahir batin, mental, spiritual, sosial, dan finansial,” ujarnya.
Kedua, para orang tua tidak memiliki banyak anak. Hal ini perlu dilakukan agar pengasuhan anak bisa berjalan maksimal. Ketiga, jangan kawin cerai. Ratih menilai mereka yang memutuskan kawin-cerai, menunjukkan ketidaksiapan untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri, anak, dan keluarga.
Keempat, disiplin. Dia mengatakan mendidik anak sama seperti mendidik diri kita sendiri. Orang tua harus disiplin agar menjadi teladan yang baik. Kelima, jangan malas. Ratih mengatakan anak sekarang malas karena memang dibiasakan dan dibiarkan oleh orang tua. Mereka kerap tidak dilibatkan ikut bertanggung jawab atas rumah tangga.
“Anak perempuan pintar tidak, cakep tidak, mengurus rumah tangga diri sendiri enggak bisa. Anak laki-laki yang sok jagoan. Belajar tidak, mau jadi apa?” sebut Ratih.
Ketika semua tidak berjalan sesuai keinginan, anak tersebut akan mulai menyalahkan orang tua. Hal tersebut bisa melebar ke aksi kriminal jika orang tuanya tidak memenuhi keinginan mereka. Oleh karena itu, dia meminta para orang tua memberi contoh untuk tidak malas dan libatkan anak-anak ikut bekerja.
Baca juga: Tren Pekerjaan 2023, Cek 5 Keterampilan Teknologi yang Dicari Perusahaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Bagi Farisah Nurul Fathya (25 tahun), misalnya, pekerjaan ideal adalah yang tidak ribet dan bersifat remote working alias bisa dikerjakan di mana saja. Menurutnya, pada zaman sekarang, terlebih pascapandemi Covid-19, tidak lagi relevan seorang pekerja wajib untuk datang ke kantor. “Dari jauh kan bisa mengerjakan pekerjaannya, jadi enggak usah ke kantor,” ujarnya kepada Hypeabis.id belum lama ini.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
2. Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
Alasan lainnya terkait waktu tempuh. Jam berangkat atau pulang kerja khususnya di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) mayoritas sama. Alhasil, jalanan penuh kendaraan dan macet terjadi di mana-mana. Begitu pula kendaraan umum yang juga padat penumpang. Alhasil, waktu tempuh ke lokasi kerja jadi sangat panjang.
Bahkan, ada istilah populer untuk situasi yang demikian, 'tua di jalan'. Hal ini menimbulkan efek lanjutan mulai dari membuat para pekerja jadi kelelahan, hilang suasana hati, dan akhirnya menjadi tidak produktif. “Kalau di rumah, tinggal buka laptop kita bisa mengerjakan semaksimal mungkin tanpa harus ber macet-macetan. Kerja juga bisa dimana saja,” tuturnya.
Farisah menyebut pekerjaan paling ideal saat ini yaitu yang dapat menyeimbangkan antara waktu bekerja dan kehidupan pekerja itu sendiri alias work life balance. Sementara upah yang diberikan untuk karyawan baru yang ideal, menurutnya, berkisar Rp5 juta- Rp10 juta. “Pekerjaannya santai, gaji gede, bisa tetap healing, liburan kemana-mana tetapi bisa tetap kerja,” imbuh wanita yang saat ini bekerja di bidang farmasi itu.
Ya, menurutnya dunia kerja saat ini harus mengutamakan kesehatan mental karyawannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyediakan bimbingan konseling khusus dengan menghadirkan psikolog, sebagai upaya menangani pekerja yang burnout.
Di sisi lain, para pekerja tetap harus meng-upgrade kemampuan dan keahlian mereka agar bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Termasuk mencari pekerjaan yang lebih baik lagi.
(Sumber foto: Unsplash/Amelia Bartlett)
Oleh karena itu, saat ini dia sedang menempuh pendidikan untuk menjadi arsitek di Universitas Lampung. Menurutnya, menjadi arsitek mendukung keinginannya mendapat pekerjaan yang lebih santai dan tidak melulu kerja di bawah tekanan, tapi tetap berpenghasilan besar. Waktu bersama keluarga dan orang tercinta pun lebih banyak, ketimbang mengikuti dunia kerja saat ini yang melelahkan karena harus pergi pagi dan pulang malam.
“Tahap awal, merintis mau kerja di proyek dulu, mau juga nyoba di studio arsitektur. Terus ke firma. Setelah itu freelance,” sebut wanita yang karib disapa Nurul ini.
Jikalau punya kesempatan, Nurul yang tengah duduk di semester akhir di Universitas Lampung ini ingin mencari pekerjaan ke Jerman. Dia menyebut negara di Eropa itu sedang kekurangan tenaga kerja. Selain itu, jam kerja di negara tujuan juga lebih pendek dengan upah besar dibandingkan di Indonesia, sesuai dengan keinginannya. Untuk mencapai keinginannya itu, Nurul terus mengembangkan keahliannya mulai dari bahasa hingga teknologi digital.
Di sisi lain, Afifah Salma (31 tahun) yang tergolong generasi milenial lebih memilih menekuni jalur wirausaha (entrepreneur) karena memiliki waktu yang lebih fleksibel dan menantang. Dia berencana membuka usaha kuliner di wilayah Malang, saat memutuskan kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun tinggal di Belanda.
“Kalau kantoran jenjang kariernya lama. Saya tipe orang yang bosan. Kalau usaha lebih menantang,” ujar ibu anak satu ini.
Baca juga: Survei Jobstreet Ungkap Para Pencari Kerja di Indonesia Ingin Pekerjaan Stabil dan Work Life Balance
Semua Ingin yang Mudah
(Sumber foto: Unsplash/Sigmund)
Pola pikir tersebut sudah ada sejak generasi x, kelompok demografi sebelum milenial atau generasi y. Kelompok tersebut menggembar-gemborkan tentang work life balance karena pada generasi terdahulu atau baby boomer, mereka harus kerja luar biasa untuk bisa bertahan hidup di tengah situasi perang. Sebesar apa pun gajinya, mereka bersyukur dan yang penting bisa tetap bekerja.
Masuk pada generasi berikutnya, keadaan sudah lebih baik. Kehidupan menjadi lebih makmur karena perang sudah berakhir dan muncul berbagai macam inovasi untuk kemudahan, dibantu dengan teknologi. “Mulai ngocol. Maunya santai. Kamu tidak perlu khawatir, hidup tenang, beranak pinak banyak, dan makin lama makin males,” sebut Ratih.
Pola pikir itu akhirnya diturunkan kepada generasi z. Belum lagi mereka digempur dengan delusi dari ragam tayangan atau konten di media sosial hingga televisi. Tayangan yang menunjukkan kenikmatan hidup, keseimbangan hidup, gembira dengan kemudahan dan kemewahan.
Padahal menurut Ratih, untuk semua cita-cita ideal yang diinginkan selalu ada harga yang harus dibayar. Belum tentu pekerjaan yang diidamkan cocok dengan persyaratan dan kemampuan yang dimiliki.
Sekalipun menjadi konten kreator, tidak seindah yang ditunjukkan. Konten kreator yang sukses adalah orang yang cerdas, literasinya tinggi, terdidik, dan kerja keras sehingga menghasilkan konten menarik, serta terus menarik perhatian penontonnya. “Orang mikirnya gampang saja, dapat duitnya banyak, yang bagian berdarahnya tidak ditampilkan. Semua fatamorgana,” tegasnya.
Dia berpendapat banyak generasi muda saat enggan berusaha maksimal dalam setiap hal yang dilakukan, terlebih dalam pekerjaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memilih jadi pengangguran karena bermental pengemis. “Mau makan ya kerja karena kemungkinan dia pikir bisa ngemis. Mengemis makan, uang, belas kasihan, perhatian,” ucap Ratih.
(Sumber: Badan Pusat Statistik)
Sekitar 2,54 juta orang berusia 20-24 tahun masuk dalam kategori pengangguran, jumlah ini menyumbang sekitar 30,12 persen total pengangguran di Indonesia. Begitu juga dengan usia yang lebih muda yakni 15-19 tahun yang punya tingkat pengangguran sebesar 22,03 persen atau sekitar 1,86 juta orang, serta mereka yang berusia 25-29 tahun dengan sumbangan 13,84 persen atau sekitar 1,17 juta orang pengangguran.
Menariknya, sebuah survei dari Randstad Workmonitor menyatakan bahwa kebanyakan generasi z dan milenial lebih memilih pengangguran ketimbang tidak bahagia di tempat kerja.
Baca juga: Apa Motivasi Utama Seseorang Mencari Pekerjaan Baru? Yuk Simak Hasil Riset Ini
Berantas Kutukan Demografi
Ratih berpendapat generasi yang malas bekerja ini bisa menjadi kutukan demografi. Usia mereka produktif, tetapi tidak berpendidikan, tidak pintar, malas, dan delusional. “Itu jadi beban kita yang kerja dan bayar pajak. Apalagi suruh negara yang nanggung. Enggak adil buat yang lain,” singgungnya.Oleh karena itu, kemalasan ini harus diberantas. Semua pihak harus turun tangan untuk memberikan literasi bahwa pekerjaan sangat penting untuk kehidupan mereka di masa mendatang, entah itu bekerja di kantor, pekerja lepas, atau menjadi wirausahawan. Dia meminta agar generasi muda tidak mudah diimingi konten yang menunjukkan kemewahan berbalut kemudahan.
“No pain no gain. Kalau ga kerja, ga dapat penghasilan. Enggak usah dengan kebaikan hati, kita kasihani, jangan diladeni,” tegasnya.
Orang tua wajib juga untuk menyuruh anaknya yang sudah dewasa untuk hidup mandiri dengan bekerja. Jangan sampai mereka jadi benalu yang terus disuapi hingga jadi beban bagi orang tua itu sendiri.
Selain itu, Ratih menyebut ada beberapa cara untuk menghentikan laju generasi yang tidak produktif ini. Pertama, dia meminta agar wanita atau pria tidak menikah pada usia muda bahkan dini, karena mereka belum siap menjadi orang tua.
Mereka yang menikah di usia dini, terutama karena kenakalan remaja, cenderung menelantarkan anak. Alhasil, buah hati menjadi anak yang tidak sehat baik dari segi fisik, emosional, hingga kemampuan otaknya. “Kawin di usia yang dewasa dan siap lahir batin, mental, spiritual, sosial, dan finansial,” ujarnya.
Kedua, para orang tua tidak memiliki banyak anak. Hal ini perlu dilakukan agar pengasuhan anak bisa berjalan maksimal. Ketiga, jangan kawin cerai. Ratih menilai mereka yang memutuskan kawin-cerai, menunjukkan ketidaksiapan untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri, anak, dan keluarga.
Keempat, disiplin. Dia mengatakan mendidik anak sama seperti mendidik diri kita sendiri. Orang tua harus disiplin agar menjadi teladan yang baik. Kelima, jangan malas. Ratih mengatakan anak sekarang malas karena memang dibiasakan dan dibiarkan oleh orang tua. Mereka kerap tidak dilibatkan ikut bertanggung jawab atas rumah tangga.
“Anak perempuan pintar tidak, cakep tidak, mengurus rumah tangga diri sendiri enggak bisa. Anak laki-laki yang sok jagoan. Belajar tidak, mau jadi apa?” sebut Ratih.
Ketika semua tidak berjalan sesuai keinginan, anak tersebut akan mulai menyalahkan orang tua. Hal tersebut bisa melebar ke aksi kriminal jika orang tuanya tidak memenuhi keinginan mereka. Oleh karena itu, dia meminta para orang tua memberi contoh untuk tidak malas dan libatkan anak-anak ikut bekerja.
Baca juga: Tren Pekerjaan 2023, Cek 5 Keterampilan Teknologi yang Dicari Perusahaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.