Hypereport: Kala Pengangguran Muda Jadi Dilema Bonus Demografi
02 May 2023 |
16:25 WIB
Di tengah euforia bonus demografi yang digadang-gadang bakal menjadi kekuatan Indonesia, angka pengangguran pada usia muda di Tanah Air justru mencuat jadi perhatian. Bukan tanpa sebab, alih-alih memperoleh manfaat dari populasi besar generasi muda, keadaan tersebut berisiko menjadi dilema bagi negeri ini.
Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Agustus 2022 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka mencapai 5,86 persen, dengan pengangguran usia muda (15-24 tahun ) yang memang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bonus demografi.
Setidaknya, terdapat 16 persen pengangguran dengan usia muda pada 2021 dalam data Organisasi Tenaga Kerja Internasional (International Labour Organization/ILO), dan mencapai 19,55 persen dalam data Badan Pusat Statistik pada 2021.
Baca juga:
> Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
> Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
> Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan penggangguran adalah masalah utama ketenagakerjaan yang dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terjadi lantaran mutu dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri yang rendah. "Di samping minimnya ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya kepada Hypeabis.id.
Jumlah pengangguran pada usia muda tidak dapat dilepaskan dari peran kualitas pendidikan keluarga, selain pendidikan formal di sekolah. Menurutnya, pendidikan individu di dalam sebuah keluarga sangat menentukan dalam memberikan bekal ilmu, pengetahuan, dan mental yang kuat dalam mempersiapkan masa depan untuk bekerja atau menjadi wirausaha.
Generasi muda pada saat ini, tidak bisa dipungkiri, sangat informatif dan cepat dalam mendapatkan angan-angan dan harapan. Namun, rapuh dan berlebihan dalam berpikir. “Ini rata-rata yang dihadapinya, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan proses lapangan yang terjadi. Begitu berhadapan dengan dunia nyata dalam hal bekerja, tidak siap dan cenderung menyerah,” katanya.
Selain itu, tidak seimbangnya jumlah lulusan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan perguruan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja yang ada juga sangat menentukan pengangguran usia muda.
Pada akhirnya, yang perlu dipersiapkan adalah keahlian dan kompetensi tenaga kerja usia muda yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Kemudian, dunia industri yang juga siap menyerap tenaga kerja muda terlatih untuk bekerja.
“Kadin Indonesia sangat menyambut baik dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja muda terampil yang sesuai dengan keahliannya,” katanya.
Menurutnya, perlu ada inklusivitas dan kolaboratif untuk bersama-sama mempersiapkan tenaga muda kerja terdidik yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.
Butuh Modal Keahlian
Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia, Ratna Indrayanti menambahkan data Sakernas Agustus 2022 menunjukkan lebih dari separuh atau 4,4 juta pengangguran adalah usia muda. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia muda sebesar 20,6 persen dan TPT yang baru lulus mencapai 42,8 persen.
Sementara itu, 8 dari 10 angkatan kerja usia muda dan fresh graduate tidak memiliki pengalaman kerja sebelum lulus. “Sehingga salah satu penyebab mengapa tingkat pengangguran usia muda tinggi adalah mereka tidak memiliki bekal pengalaman kerja,” katanya.
Selama ini, ada stigma negatif bagi pencari kerja yang tidak memiliki pengalaman kerja. Sementara pemberi kerja lebih mudah untuk merekrut lulusan yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya, dibandingkan dengan mereka yang tidak. Pengalaman sebagai bentuk akumulasi skill atau keterampilan yang membentuk endowment seorang individu, dan tidak ada jalan pintasnya.
Data Sakernas juga menunjukan Tingkat Pengangguran Terbuka Usia (TPT) usia Muda yang mengikuti lebih dari satu pelatihan dalam setahun terakhir jauh lebih rendah. Dalam menghadapi kondisi pasar kerja yang dinamis, ada tuntutan bagi angkatan kerja untuk memiliki keahlian yang multidisiplin.
Lebih lanjut, TPT usia muda tertinggi adalah lulusan SMK. Menurut Ratna, terdapat berbagi isu yang di dalamnya terkait kualitas sumber daya manusia, yakni guru SMK yang tidak memiliki latar belakang SMK dan status tidak tetap; kurikulum yang belum sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan usaha.
Kemudian, prasarana yang belum sesuai dengan kemajuan teknologi, rendahnya soft skill, hard skill lulusan dan passion akan minat jurusan yang diambil; dan belum sesuainya potensi permintaan dan ketersediaan lulusan.
Dengan begitu, perlu upaya individu, pemerintah, dunia usaha dan pendidikan untuk menyelaraskannya. Dari sisi individu, para generasi muda perlu membekali pengalaman kerja sebelum lulus dan keahlian.
Mereka dapat mengikuti berbagai pelatihan yang relevan dengan keahlian dan bidang pekerjaan yang akan dituju. “Kesesuaian bidang keahlian dan bidang pelatihan yang diikuti dapat memperpendek lama mencari kerja,” katanya.
Sementara itu, pemerintah perlu menyediakan pelatihan yang responsif dan adaptif yang disesuaikan dengan permintaan pasar termasuk di dalamnya adalah potensi wilayah yang akan dikembangkan, tidak hanya untuk lulusan namun juga tenaga pendidikan atau guru.
Masih minimnya individu yang mengikuti pelatihan menunjukkan bahwa sistem pelatihan yang dikembangkan belum dapat menarik minat individu, termasuk program pra kerja. Beberapa pelatihan keterampilan di negara lain yang dapat diadopsi: keterampilan berhitung, teknologi digital, bahasa, atau bahkan menulis surat lamaran dan persiapan melakukan wawancara kerja.
Selain itu, dalam rangka mengatasi informasi pasar kerja yang asimetris, pemerintah perlu memberikan panduan karir melalui website pasar kerja yang efisien dan interaktif. “Dalam hal ini pencari kerja dapat secara langsung melakukan konsultasi dengan tenaga konselor, seperti di Singapore yang memiliki TPT relatif rendah,” ujarnya.
Adapun, dunia industri dan usaha perlu membuka kesempatan inklusif bagi pencari kerja baik yang memiliki pengalaman kerja maupun belum memiliki pengalaman kerja.
Menurutnya, dunia industri dan usaha perlu memberikan pelatihan dalam bentuk reskilling dan upskilling, terutama bagi pekerja yang akan diberhentikan karena habisnya masa kontrak kerja sehingga mempermudah mereka mendapatkan pekerjaan kembali.
Sektor pendidikan juga memiliki peran dengan melakukan tracer study secara berkala dan memperbaiki data base lulusan. Kemudian, perlu ada validasi kurikulum yang update secara berkala dengan bekerja sama dengan industri dan dunia usaha. Selain itu, perlu ada juga ruang konseling dalam pengambilan jurusan sehingga bidang keahlian sesuai dengan passion yang dimiliki.
Masalah Lapangan Kerja
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi mengatakan pengangguran usia muda yang terdapat di dalam negeri dapat terjadi lantaran dalam beberapa dekade pendidikan di dalam negeri menghasilkan banyak lulusan usia muda.
“Tapi lapangan kerja tidak tersedia. Oleh karena itu, pengangguran tertinggi adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan,” katanya. Menurutnya, lulusan SMK tidak bisa diserap oleh lapangan kerja karena mereka memiliki kemampuan khusus. Namun, lapangan pekerjaannya sangat terbatas.
Angka tingkat pengangguran usia muda yang ada pada saat ini bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya lantara seperti puncak gunung es. “Kadang-kadang angka pengangguran itu baik untuk indikasi, tapi kadang belum sesuai realitas sosial,” katanya.
Angka pengangguran adalah indikator bahwa banyak pemuda di dalam negeri menganggur. Namun, belum tentu sesuai dengan realitas di lapangan lantaran kondisi itu dipotret sesaat. Meskipun begitu, tetap harus menjadi perhatian karena sebagai indikator.
Dalam kaitannya dengan bonus demografi, Tadjuddin mengatakan individu dengan usia muda akan menjadi beban dan malapetaka buat negara jika tidak diciptakan peluang kerja untuk mereka.
Sementara itu, mereka bisa membawa Indonesia melompat jauh meninggalkan beberapa negara tetangga jika bisa dimanfaatkan dengan baik. Dia menilai, peluang kerja tidak bisa diciptakan tanpa investasi baik dari dalam maupun luar negeri. “Tanpa investasi, tidak ada peluang kerja,” katanya.
Selama ini, investasi yang masuk baik dari dalam maupun luar negeri sulit lantaran aturan yang ada kerap tumpang-tindih. Tidak jarang pengurusan surat izin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak hanya itu, para pemilik modal juga kerap dihadapkan dengan berbagai macam aturan. “Jadi, investor kadang-kadang tidak mau,” ujarnya.
Dia mencontohkan pada 2019 silam sejumlah perusahaan dari China hendak melakukan relokasi ke sejumlah negara di Asia. Perusahaan-perusahaan itu masuk ke Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Namun, tidak ada yang ke Indonesia.
Alasan mereka enggan masuk ke Tanah Air adalah izin yang sulit, kondisi politik yang kerap tidak stabil, dan tenaga kerja yang tidak kompeten atau memiliki kualitas rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Guna mengatasi kondisi tersebut, Undang-undang Ciptakerja dibuat oleh pemerintah. Segala macam aturan yang selama ini sangat ketat dan sulit ditembus oleh investor pun disederhanakan dengan metode omnibus law. “Harapannya ekosistem investasi di Indonesia akan mendorong orang lebih mudah dalam berinvestasi,” katanya.
Tidak hanya itu, beleid ini juga dapat membuat sistem tenaga kerja yang lebih fleksibel mengingat saat ini masih kaku. Dia menuturkan, kondisi ini diperlukan lantaran pasar kerja setelah globalisasi bersifat fleksibel.
Banyak orang tidak lagi tergantung kepada perusahaan. Mereka bisa berusaha sendiri, seperti menjadi mitra perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi, Youtuber, startup, dan sebagainya. “Itu sudah berkembang luar biasa dan tidak hanya di Indonesia,” paparnya.
Sistem tenaga kerja yang masih kaku membuat mereka sulit berkembang jika tidak dibantu oleh pemerintah. Orang muda dapat lebih mudah mengembangkan perusahaan atau usahanya dengan pengurusan izin yang lebih efisien.
Baca juga: Hypereport: Menilik Sejarah Mudik hingga Cerita Kerinduan Para Perantau
Pada saat ini, pekerja mandiri dengan menjadi mitra seperti perusahaan aplikasi, youtuber, sineas di industri perfilman, dan sebagainya sudah berkembang pesat. Namun, sayangnya, pemerintah tidak melindungi mereka karena dianggap bukan pekerja formal.
Sebagai contoh saat pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu belakangan. Pada saat itu menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan pertolongan dan memiliki tunjangan perlindungan sosial.
Editor: Fajar Sidik
Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Agustus 2022 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka mencapai 5,86 persen, dengan pengangguran usia muda (15-24 tahun ) yang memang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bonus demografi.
Setidaknya, terdapat 16 persen pengangguran dengan usia muda pada 2021 dalam data Organisasi Tenaga Kerja Internasional (International Labour Organization/ILO), dan mencapai 19,55 persen dalam data Badan Pusat Statistik pada 2021.
Baca juga:
> Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
> Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
> Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan penggangguran adalah masalah utama ketenagakerjaan yang dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terjadi lantaran mutu dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri yang rendah. "Di samping minimnya ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya kepada Hypeabis.id.
Jumlah pengangguran pada usia muda tidak dapat dilepaskan dari peran kualitas pendidikan keluarga, selain pendidikan formal di sekolah. Menurutnya, pendidikan individu di dalam sebuah keluarga sangat menentukan dalam memberikan bekal ilmu, pengetahuan, dan mental yang kuat dalam mempersiapkan masa depan untuk bekerja atau menjadi wirausaha.
Generasi muda pada saat ini, tidak bisa dipungkiri, sangat informatif dan cepat dalam mendapatkan angan-angan dan harapan. Namun, rapuh dan berlebihan dalam berpikir. “Ini rata-rata yang dihadapinya, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan proses lapangan yang terjadi. Begitu berhadapan dengan dunia nyata dalam hal bekerja, tidak siap dan cenderung menyerah,” katanya.
Selain itu, tidak seimbangnya jumlah lulusan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan perguruan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja yang ada juga sangat menentukan pengangguran usia muda.
Pada akhirnya, yang perlu dipersiapkan adalah keahlian dan kompetensi tenaga kerja usia muda yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Kemudian, dunia industri yang juga siap menyerap tenaga kerja muda terlatih untuk bekerja.
“Kadin Indonesia sangat menyambut baik dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja muda terampil yang sesuai dengan keahliannya,” katanya.
Menurutnya, perlu ada inklusivitas dan kolaboratif untuk bersama-sama mempersiapkan tenaga muda kerja terdidik yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri.
Butuh Modal Keahlian
Peneliti Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia, Ratna Indrayanti menambahkan data Sakernas Agustus 2022 menunjukkan lebih dari separuh atau 4,4 juta pengangguran adalah usia muda. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia muda sebesar 20,6 persen dan TPT yang baru lulus mencapai 42,8 persen.
Sementara itu, 8 dari 10 angkatan kerja usia muda dan fresh graduate tidak memiliki pengalaman kerja sebelum lulus. “Sehingga salah satu penyebab mengapa tingkat pengangguran usia muda tinggi adalah mereka tidak memiliki bekal pengalaman kerja,” katanya.
Selama ini, ada stigma negatif bagi pencari kerja yang tidak memiliki pengalaman kerja. Sementara pemberi kerja lebih mudah untuk merekrut lulusan yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya, dibandingkan dengan mereka yang tidak. Pengalaman sebagai bentuk akumulasi skill atau keterampilan yang membentuk endowment seorang individu, dan tidak ada jalan pintasnya.
Data Sakernas juga menunjukan Tingkat Pengangguran Terbuka Usia (TPT) usia Muda yang mengikuti lebih dari satu pelatihan dalam setahun terakhir jauh lebih rendah. Dalam menghadapi kondisi pasar kerja yang dinamis, ada tuntutan bagi angkatan kerja untuk memiliki keahlian yang multidisiplin.
Lebih lanjut, TPT usia muda tertinggi adalah lulusan SMK. Menurut Ratna, terdapat berbagi isu yang di dalamnya terkait kualitas sumber daya manusia, yakni guru SMK yang tidak memiliki latar belakang SMK dan status tidak tetap; kurikulum yang belum sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan usaha.
Kemudian, prasarana yang belum sesuai dengan kemajuan teknologi, rendahnya soft skill, hard skill lulusan dan passion akan minat jurusan yang diambil; dan belum sesuainya potensi permintaan dan ketersediaan lulusan.
Dengan begitu, perlu upaya individu, pemerintah, dunia usaha dan pendidikan untuk menyelaraskannya. Dari sisi individu, para generasi muda perlu membekali pengalaman kerja sebelum lulus dan keahlian.
Mereka dapat mengikuti berbagai pelatihan yang relevan dengan keahlian dan bidang pekerjaan yang akan dituju. “Kesesuaian bidang keahlian dan bidang pelatihan yang diikuti dapat memperpendek lama mencari kerja,” katanya.
Sementara itu, pemerintah perlu menyediakan pelatihan yang responsif dan adaptif yang disesuaikan dengan permintaan pasar termasuk di dalamnya adalah potensi wilayah yang akan dikembangkan, tidak hanya untuk lulusan namun juga tenaga pendidikan atau guru.
Masih minimnya individu yang mengikuti pelatihan menunjukkan bahwa sistem pelatihan yang dikembangkan belum dapat menarik minat individu, termasuk program pra kerja. Beberapa pelatihan keterampilan di negara lain yang dapat diadopsi: keterampilan berhitung, teknologi digital, bahasa, atau bahkan menulis surat lamaran dan persiapan melakukan wawancara kerja.
Selain itu, dalam rangka mengatasi informasi pasar kerja yang asimetris, pemerintah perlu memberikan panduan karir melalui website pasar kerja yang efisien dan interaktif. “Dalam hal ini pencari kerja dapat secara langsung melakukan konsultasi dengan tenaga konselor, seperti di Singapore yang memiliki TPT relatif rendah,” ujarnya.
Adapun, dunia industri dan usaha perlu membuka kesempatan inklusif bagi pencari kerja baik yang memiliki pengalaman kerja maupun belum memiliki pengalaman kerja.
Menurutnya, dunia industri dan usaha perlu memberikan pelatihan dalam bentuk reskilling dan upskilling, terutama bagi pekerja yang akan diberhentikan karena habisnya masa kontrak kerja sehingga mempermudah mereka mendapatkan pekerjaan kembali.
Sektor pendidikan juga memiliki peran dengan melakukan tracer study secara berkala dan memperbaiki data base lulusan. Kemudian, perlu ada validasi kurikulum yang update secara berkala dengan bekerja sama dengan industri dan dunia usaha. Selain itu, perlu ada juga ruang konseling dalam pengambilan jurusan sehingga bidang keahlian sesuai dengan passion yang dimiliki.
Masalah Lapangan Kerja
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi mengatakan pengangguran usia muda yang terdapat di dalam negeri dapat terjadi lantaran dalam beberapa dekade pendidikan di dalam negeri menghasilkan banyak lulusan usia muda.
“Tapi lapangan kerja tidak tersedia. Oleh karena itu, pengangguran tertinggi adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan,” katanya. Menurutnya, lulusan SMK tidak bisa diserap oleh lapangan kerja karena mereka memiliki kemampuan khusus. Namun, lapangan pekerjaannya sangat terbatas.
Angka tingkat pengangguran usia muda yang ada pada saat ini bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya lantara seperti puncak gunung es. “Kadang-kadang angka pengangguran itu baik untuk indikasi, tapi kadang belum sesuai realitas sosial,” katanya.
Angka pengangguran adalah indikator bahwa banyak pemuda di dalam negeri menganggur. Namun, belum tentu sesuai dengan realitas di lapangan lantaran kondisi itu dipotret sesaat. Meskipun begitu, tetap harus menjadi perhatian karena sebagai indikator.
Dalam kaitannya dengan bonus demografi, Tadjuddin mengatakan individu dengan usia muda akan menjadi beban dan malapetaka buat negara jika tidak diciptakan peluang kerja untuk mereka.
Sementara itu, mereka bisa membawa Indonesia melompat jauh meninggalkan beberapa negara tetangga jika bisa dimanfaatkan dengan baik. Dia menilai, peluang kerja tidak bisa diciptakan tanpa investasi baik dari dalam maupun luar negeri. “Tanpa investasi, tidak ada peluang kerja,” katanya.
Selama ini, investasi yang masuk baik dari dalam maupun luar negeri sulit lantaran aturan yang ada kerap tumpang-tindih. Tidak jarang pengurusan surat izin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak hanya itu, para pemilik modal juga kerap dihadapkan dengan berbagai macam aturan. “Jadi, investor kadang-kadang tidak mau,” ujarnya.
Dia mencontohkan pada 2019 silam sejumlah perusahaan dari China hendak melakukan relokasi ke sejumlah negara di Asia. Perusahaan-perusahaan itu masuk ke Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Namun, tidak ada yang ke Indonesia.
Alasan mereka enggan masuk ke Tanah Air adalah izin yang sulit, kondisi politik yang kerap tidak stabil, dan tenaga kerja yang tidak kompeten atau memiliki kualitas rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Guna mengatasi kondisi tersebut, Undang-undang Ciptakerja dibuat oleh pemerintah. Segala macam aturan yang selama ini sangat ketat dan sulit ditembus oleh investor pun disederhanakan dengan metode omnibus law. “Harapannya ekosistem investasi di Indonesia akan mendorong orang lebih mudah dalam berinvestasi,” katanya.
Tidak hanya itu, beleid ini juga dapat membuat sistem tenaga kerja yang lebih fleksibel mengingat saat ini masih kaku. Dia menuturkan, kondisi ini diperlukan lantaran pasar kerja setelah globalisasi bersifat fleksibel.
Banyak orang tidak lagi tergantung kepada perusahaan. Mereka bisa berusaha sendiri, seperti menjadi mitra perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi, Youtuber, startup, dan sebagainya. “Itu sudah berkembang luar biasa dan tidak hanya di Indonesia,” paparnya.
Sistem tenaga kerja yang masih kaku membuat mereka sulit berkembang jika tidak dibantu oleh pemerintah. Orang muda dapat lebih mudah mengembangkan perusahaan atau usahanya dengan pengurusan izin yang lebih efisien.
Baca juga: Hypereport: Menilik Sejarah Mudik hingga Cerita Kerinduan Para Perantau
Pada saat ini, pekerja mandiri dengan menjadi mitra seperti perusahaan aplikasi, youtuber, sineas di industri perfilman, dan sebagainya sudah berkembang pesat. Namun, sayangnya, pemerintah tidak melindungi mereka karena dianggap bukan pekerja formal.
Sebagai contoh saat pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu belakangan. Pada saat itu menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan pertolongan dan memiliki tunjangan perlindungan sosial.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.