Hypereport: Tantangan Menjaga Kualitas Pendidikan di Era Serba Instan
29 April 2023 |
21:26 WIB
Ada saja jalan menuju Roma. Bukannya menguatkan semangat edukasi, deretan permasalahan justru menambah duri hingga perkara dalam dunia pendidikan Indonesia. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa plagiarisme dan jasa pembuatan tugas akhir mengakar di berbagai tingkat institusi pendidikan.
Bukan hanya mahasiswa S1 yang sibuk berkejaran dengan gelar sarjana. Kalangan mahasiswa setingkat S2 atau S3 pun acap kali tergoda dengan jalan mudah yang ditawarkan.
Maklum saja, dunia yang sudah serba instan ini ikut mendorong dampak lain. Tak dapat dipungkiri. Ibarat dua sisi mata pisau, banyaknya keuntungan dalam era serba mudah dan cepat ini juga melahirkan dampak negatif.
Belum lagi kemajuan teknologi yang sudah mulai segala kisi aktivitas manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Misalnya, tren penggunaan artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT yang bisa menghasilkan esai bahkan makalah dalam waktu singkat.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
2. Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
Teknologi diciptakan untuk mendorong kemajuan dunia pendidika. Sayangnya, banyak yang mengambil cara cepat untuk menuntaskan pendidikan dengan cara memanfaatkan dengan cara yang salah. Inilah yang menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan saat ini.
Generasi muda dipaksa untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan pemanfaatannya. Namun, aplikasinya belum berimbang dengan konsep belajar di kalangan masyarakat kita.
Bukan mudah menjaga kualitas pendidikan di era serba instan seperti yang dihadapi generasi pendidikan tinggi dalam dua dekade terakhir. Belum lagi, generasi masa depan yang harus lebih siap lagi menyikapi cara-cara mudah dalam dunia pendidikan.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Deni Noviana punya harapan besar tentang mahasiswa masa depan. Menurutnya, mahasiswa harus mampu melihat teknologi sebagai alat pendukung pembelajaran, bukan sebuah alat mencapai tujuan secara pintas.
“Dunia pendidikan harus sadar jika platform seperti ChatGPT ini akan terus digunakan, tidak bisa dihindari. Pemanfaatan AI ini justru akan menjadi semakin penting dalam berbagai disiplin ilmu,” ungkap Deni kepada Hypeabis.id.
Justru, menurut Deni, institusi pendidikan wajib memberikan pedoman yang lentur dan luas yang mengatur pengimbangan teknologi AI dalam dunia pendidikan. Dalam pandangannya, perguruan tinggi harus berada di garis depan untuk melihat perubahan dan berorientasi pada kebaruan, termasuk menerima teknologi secara adaptif dan memanfaatkannya dengan positif.
Penggunaan teknologi seharusnya memberikan manfaat yang baik dalam dunia pendidikan tinggi. Namun dengan kecepatan teknologi yang tak bisa diredam, Deni menyarankan untuk membuat aturan khusus seperti pedoman pemanfaatan teknologi AI dalam dunia pendidikan, termasuk juga dalam kepentingan penelitian.
“Pedoman ini harus jelas mengatur bagaimana fungsi teknologi dalam bidang disiplin pendidikan,” tukas Deni.
Jasa penyedia skripsi atau joki skripsi sudah lama mengakar di negeri ini. Demi mempercepat proses atau sekadar lulus dengan gelar sarjana, banyak mahasiswa yang rela membayar jutaan hingga puluhan juta rupiah agar tugas akhir mereka segera rampung tanpa perlu repot.
Amelia, seorang mahasiswa jurusan ilmu politik di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Selatan merupakan salah satu contoh pengguna jasa joki skripsi. Dia sudah berlangganan dengan penjoki skripsi, Putri (bukan nama asli) yang juga tengah menempuh pendidikan di kampus yang sama dengannya.
Amelia mengaku, kesibukannya kuliah dan bekerja menjadi salah satu alasannya rela membayar Rp500.000 untuk satu bab saja. Amelia mengaku sudah menggunakan jasa dari Putri sejak penyusunan bab awal.
“Aku cuma kasih kerangkanya saja, jadi dari bab awal semua pakai jasa joki,” jelas Amelia kepada Hypeabis.id. Seluruh rangkaian skripsi Amelia berisi enam bab, tetapi bab terakhir hanya berisi kesimpulan yang dibuatnya sendiri. Dia pun hanya perlu mengeluarkan dana Rp2,5 juta, belum termasuk ongkos cetak dan kebutuhan lainnya.
Amelia hanya satu di antara pelanggan jasa skripsi yang dibantu Putri. Pengguna jasa joki tugas kebanyakan adalah mahasiswa yang kesehariannya begitu padat dan mereka kesulitan membagi waktu dengan baik untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan skripsi. Sebagian lainnya tak mau ambil pusing dengan urusan akademis dan memilih jalan pintas.
Akan tetapi, Putri tak sembarang menyanggupi keinginan kliennya. Dia hanya mengambil skripsi untuk bidang ilmu ilmu sosial dan politik saja, sesuai dengan bidang keilmuannya semasa kuliah. “Saya juga enggak berani ambil banyak klien. Paling dalam satu waktu saya berani ambil dua orang saja. Apalagi kalau langganan lanjut ke bab berikutnya, perlu perencanaan waktu dan pendalaman materi juga,” katanya.
Pundi uang yang bisa dihasilkan Putri terbilang lumayan. Biaya itu cukup menambah dana kebutuhan sehari-harinya. “Satu bulan ada aja masuk Rp1-2 juta. Tapi kalo yang minta langsung full skripsi bisa langsung bayar penuh mungkin saya dapat kisaran Rp3-5juta,” ujarnya.
Asep Iwan Iriawan, Pakar Hukum Pidana mengatakan, jasa joki skripsi sudah seperti profesi umum yang disembunyi-sembunyikan. Bak bergerilya di bawah tanah, penjoki berusaha mencari pelanggan dari mulut ke mulut.
Bukan hanya skripsi, bahkan oknum dosen yang berburu waktu untuk menyelesaikan karya makalah pun menggunakan jasa ini. Dari sisi akademisi, aksi ini dianggap sebagai perbuatan tercela yang bisa dihukum secara pidana. Pihak yang terlibat dalam jasa penyedia skripsi ini bisa terjerat KUHP, tergantung pada penggunaannya.
“Kalau dia menggunakannya demi mendapat gelar sama saja menipu, bisa dikenakan pasal memberi keterangan palsu. Kalau dari delik aduan soal plagiarisme bisa kena pasal terkait Hak Kekayaan Intelektual,” ujar Asep.
Diperlukan proses panjang untuk memutus belenggu intelegensi pendidikan ini. Deni selaku pemangku jajaran rektor di dunia pendidikan tinggi mentakaan, setidaknya ada beberapa langkah kecil yang dimulai untuk menyudahi soal jasa joki.
“Pertama, perguruan tinggi harus memperhatikan betul bagaimana tugas-tugas akhir mahasiswa diselesaikan. Ajak mahasiswa presentasi dan memaparkan karya tulisannya, tidak hanya pas sidang saja,” ujar Deni.
Langkah yang tak kalah penting lainnya menurutnya adalah mengembalikan semangat kejujuran di institusi pendidikan. “Bahwa mahasiswa berasas pada integritas, maka kejujuran sebagai fondasi harus benar-benar dibangun. Jangan sampai melanggar integritas karena yang kita nilai kan prosesnya,” kata Deni.
Terlepas dari ujian pendidikan di dunia serba instan, pendidik di Indonesia masih optimis untuk membangun jejak positif untuk generasi masa kini dan masa mendatang. Apalagi, Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan pemerataan pendidikan yang masih menjadi PR, termasuk bidang pendidikan tinggi.
Deni menyampaikan, angka partisipasi kasar mahasiswa di Indonesia masih berkisar 38-39 persen. Artinya, hanya 39 persen dari seluruh penduduk Indonesia berusia 18-24 tahun yang terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Angka ini masih jauh dari standar global yang menetapkan minimal 50 persen angka partisipasi kasar sebagai indikator kesuksesan sistem pendidikan tinggi di suatu negara.
Fakta-fakta ini tentunya membuka mata kita bahwa dunia pendidikan Indonesia masih harus terus berjuang untuk menciptakan pendidikan berkualitas tinggi yang dijalankan dengan integritas penuh guna melahirkan generasi baru yang kompeten.
Baca juga: Cek Biaya, Keunggulan & Fasilitas 5 Kampus Termahal di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Bukan hanya mahasiswa S1 yang sibuk berkejaran dengan gelar sarjana. Kalangan mahasiswa setingkat S2 atau S3 pun acap kali tergoda dengan jalan mudah yang ditawarkan.
Maklum saja, dunia yang sudah serba instan ini ikut mendorong dampak lain. Tak dapat dipungkiri. Ibarat dua sisi mata pisau, banyaknya keuntungan dalam era serba mudah dan cepat ini juga melahirkan dampak negatif.
Belum lagi kemajuan teknologi yang sudah mulai segala kisi aktivitas manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Misalnya, tren penggunaan artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT yang bisa menghasilkan esai bahkan makalah dalam waktu singkat.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Melanjutkan Pendidikan Tinggi Anak Muda
2. Hypereport: Dunia Kerja Generasi Muda, Antara Kemudahan, Kesenangan & Delusional
Teknologi diciptakan untuk mendorong kemajuan dunia pendidika. Sayangnya, banyak yang mengambil cara cepat untuk menuntaskan pendidikan dengan cara memanfaatkan dengan cara yang salah. Inilah yang menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan saat ini.
Generasi muda dipaksa untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan pemanfaatannya. Namun, aplikasinya belum berimbang dengan konsep belajar di kalangan masyarakat kita.
Bukan mudah menjaga kualitas pendidikan di era serba instan seperti yang dihadapi generasi pendidikan tinggi dalam dua dekade terakhir. Belum lagi, generasi masa depan yang harus lebih siap lagi menyikapi cara-cara mudah dalam dunia pendidikan.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Deni Noviana punya harapan besar tentang mahasiswa masa depan. Menurutnya, mahasiswa harus mampu melihat teknologi sebagai alat pendukung pembelajaran, bukan sebuah alat mencapai tujuan secara pintas.
“Dunia pendidikan harus sadar jika platform seperti ChatGPT ini akan terus digunakan, tidak bisa dihindari. Pemanfaatan AI ini justru akan menjadi semakin penting dalam berbagai disiplin ilmu,” ungkap Deni kepada Hypeabis.id.
Justru, menurut Deni, institusi pendidikan wajib memberikan pedoman yang lentur dan luas yang mengatur pengimbangan teknologi AI dalam dunia pendidikan. Dalam pandangannya, perguruan tinggi harus berada di garis depan untuk melihat perubahan dan berorientasi pada kebaruan, termasuk menerima teknologi secara adaptif dan memanfaatkannya dengan positif.
Penggunaan teknologi seharusnya memberikan manfaat yang baik dalam dunia pendidikan tinggi. Namun dengan kecepatan teknologi yang tak bisa diredam, Deni menyarankan untuk membuat aturan khusus seperti pedoman pemanfaatan teknologi AI dalam dunia pendidikan, termasuk juga dalam kepentingan penelitian.
“Pedoman ini harus jelas mengatur bagaimana fungsi teknologi dalam bidang disiplin pendidikan,” tukas Deni.
Jadi Sarjana Jalur Joki
Memang benar teknologi bisa membantu penyelesaian tugas akhir. Setidaknya, ada proses kerangka berpikir dan penyempurnaan dari tulisan yang dihasilkan oleh AI. Namun, bagaimana jika mahasiswa memilih lepas tangan dari tugas akhir yang merupakan kewajibannya?Jasa penyedia skripsi atau joki skripsi sudah lama mengakar di negeri ini. Demi mempercepat proses atau sekadar lulus dengan gelar sarjana, banyak mahasiswa yang rela membayar jutaan hingga puluhan juta rupiah agar tugas akhir mereka segera rampung tanpa perlu repot.
Amelia, seorang mahasiswa jurusan ilmu politik di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Selatan merupakan salah satu contoh pengguna jasa joki skripsi. Dia sudah berlangganan dengan penjoki skripsi, Putri (bukan nama asli) yang juga tengah menempuh pendidikan di kampus yang sama dengannya.
Hasil pencarian "joki tugas" di Twitter. (Sumber gambar: tangkapan layar Twitter)
Amelia mengaku, kesibukannya kuliah dan bekerja menjadi salah satu alasannya rela membayar Rp500.000 untuk satu bab saja. Amelia mengaku sudah menggunakan jasa dari Putri sejak penyusunan bab awal.
“Aku cuma kasih kerangkanya saja, jadi dari bab awal semua pakai jasa joki,” jelas Amelia kepada Hypeabis.id. Seluruh rangkaian skripsi Amelia berisi enam bab, tetapi bab terakhir hanya berisi kesimpulan yang dibuatnya sendiri. Dia pun hanya perlu mengeluarkan dana Rp2,5 juta, belum termasuk ongkos cetak dan kebutuhan lainnya.
Amelia hanya satu di antara pelanggan jasa skripsi yang dibantu Putri. Pengguna jasa joki tugas kebanyakan adalah mahasiswa yang kesehariannya begitu padat dan mereka kesulitan membagi waktu dengan baik untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan skripsi. Sebagian lainnya tak mau ambil pusing dengan urusan akademis dan memilih jalan pintas.
Akan tetapi, Putri tak sembarang menyanggupi keinginan kliennya. Dia hanya mengambil skripsi untuk bidang ilmu ilmu sosial dan politik saja, sesuai dengan bidang keilmuannya semasa kuliah. “Saya juga enggak berani ambil banyak klien. Paling dalam satu waktu saya berani ambil dua orang saja. Apalagi kalau langganan lanjut ke bab berikutnya, perlu perencanaan waktu dan pendalaman materi juga,” katanya.
Pundi uang yang bisa dihasilkan Putri terbilang lumayan. Biaya itu cukup menambah dana kebutuhan sehari-harinya. “Satu bulan ada aja masuk Rp1-2 juta. Tapi kalo yang minta langsung full skripsi bisa langsung bayar penuh mungkin saya dapat kisaran Rp3-5juta,” ujarnya.
Keberadaan Joki Sudah Jadi Rahasia Umum
Ilustrasi kelulusan. (Sumber foto: Pexels/Leon Wu)
Bukan hanya skripsi, bahkan oknum dosen yang berburu waktu untuk menyelesaikan karya makalah pun menggunakan jasa ini. Dari sisi akademisi, aksi ini dianggap sebagai perbuatan tercela yang bisa dihukum secara pidana. Pihak yang terlibat dalam jasa penyedia skripsi ini bisa terjerat KUHP, tergantung pada penggunaannya.
“Kalau dia menggunakannya demi mendapat gelar sama saja menipu, bisa dikenakan pasal memberi keterangan palsu. Kalau dari delik aduan soal plagiarisme bisa kena pasal terkait Hak Kekayaan Intelektual,” ujar Asep.
Diperlukan proses panjang untuk memutus belenggu intelegensi pendidikan ini. Deni selaku pemangku jajaran rektor di dunia pendidikan tinggi mentakaan, setidaknya ada beberapa langkah kecil yang dimulai untuk menyudahi soal jasa joki.
“Pertama, perguruan tinggi harus memperhatikan betul bagaimana tugas-tugas akhir mahasiswa diselesaikan. Ajak mahasiswa presentasi dan memaparkan karya tulisannya, tidak hanya pas sidang saja,” ujar Deni.
Langkah yang tak kalah penting lainnya menurutnya adalah mengembalikan semangat kejujuran di institusi pendidikan. “Bahwa mahasiswa berasas pada integritas, maka kejujuran sebagai fondasi harus benar-benar dibangun. Jangan sampai melanggar integritas karena yang kita nilai kan prosesnya,” kata Deni.
Terlepas dari ujian pendidikan di dunia serba instan, pendidik di Indonesia masih optimis untuk membangun jejak positif untuk generasi masa kini dan masa mendatang. Apalagi, Indonesia masih dihadapkan dengan persoalan pemerataan pendidikan yang masih menjadi PR, termasuk bidang pendidikan tinggi.
Deni menyampaikan, angka partisipasi kasar mahasiswa di Indonesia masih berkisar 38-39 persen. Artinya, hanya 39 persen dari seluruh penduduk Indonesia berusia 18-24 tahun yang terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Angka ini masih jauh dari standar global yang menetapkan minimal 50 persen angka partisipasi kasar sebagai indikator kesuksesan sistem pendidikan tinggi di suatu negara.
Fakta-fakta ini tentunya membuka mata kita bahwa dunia pendidikan Indonesia masih harus terus berjuang untuk menciptakan pendidikan berkualitas tinggi yang dijalankan dengan integritas penuh guna melahirkan generasi baru yang kompeten.
Baca juga: Cek Biaya, Keunggulan & Fasilitas 5 Kampus Termahal di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.