Jimi Multhazam Vokalis Morfem (Sumber Foto: Instagram/@morfem_band)

Hypereport: Musik Rock Era Digital, Masih Setia dengan Idealisme & Kebebasan Berkarya

11 March 2024   |   15:01 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Rok (rock) dan beragam subgenre yang menyertainya masih tersimpan dalam hati dan telinga para penikmat musik pada era digital. Mereka sukses mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran musik-musik futuristis yang mengadopsi kecanggihan teknologi.

Ciri khas rock ialah musiknya yang kuat dan keras, vokal yang riuh, lantang kadang sampai berteriak, serta alunan gitar dan bas elektrik, tabuhan drum yang penuh energi, serta instrumen lainnya seperti piano dan synthesizer yang makin memperkaya lagu.

Menengok kembali sejarah panjangnya, rock pertama kali muncul di Amerika Serikat pada akhir 1940-an dan mencapai puncak popularitasnya pada era 1950-an. Rock and roll muncul sebagai bentuk musik baru yang menggabungkan elemen-elemen blues, rhythm and blues, dan country.

Sejumlah musisi seperti Elvis Presley, Chuck Berry, dan Little Richard adalah pionir musik rock and roll yang sukses secara komersial. Memasuki era 1960-an, genre ini berkembang secara signifikan dan mendapat penerimaan luas di seluruh dunia. The Beatles, The Rolling Stones, The Who, dan The Beach Boys merupakan band rock legendaris dari Inggris banyak menginspirasi musisi rok masa kini. 

Baca juga laporan terkait: 

Sementara di Indonesia, era 1980-1990-an dianggap sebagai masa kejayaan rock. Ditandai dengan kemunculan band-band besar seperti God Bless, Koes Plus, Boomerang, Slank, Dewa 19, dan Superman is Dead. Genre musiknya pun terus berinovasi dengan memunculkan subgenre baru seperti grunge, alternative rock, metal, bahkan yang cadas seperti heavy metal dan metalcore.

Rock kemudian mengalami perluasan makna yang lebar, bukan hanya sekadar musik, melainkan pandangan dan gaya hidup. Musik ini menjadi platform untuk menyampaikan idealisme berupa pesan-pesan sosial dan politik lewat lirik-liriknya yang puitis dan penuh makna. 

Pada era digital ini, sejumlah musisi rock berdiri di persimpangan jalan antara mempertahankan idealisme atau merengkuh pasar yang lebih luas. Namun, beberapa musisi ini tak ragu menampilkan warna musik yang unik dan lebih eksperimental lewat lagu-lagunya.

Sebut saja Morfem, band yang mengkombinasikan genre rock alternative dengan elemen punk rock, power pop dan nuansa gitar yang bising. Lagu-lagunya yang populer, misalnya "Senjakala Cerita", "Rayakan Pemenang", "Binar Wajah Sebaya", dan "Megah Diterima".

Morfem dibentuk pada 2009, ketika Jimi Multhazam (vokalis) rehat dari aktivitasnya sebagai frontman The Upstairs. Jimi bertemu dengan Pandu Fathoni (gitaris), Yusak Anugrah (pemain bas), dan Freddie A. Warnerin (pemain drum) di sebuah gig musik. 

"Awalnya kita hanya ingin memainkan musik yang berbeda dari biasanya, jadilah sepakat untuk bikin band yang format musiknya masih kompleks dengan gitar yang berisik," kata Jimi Multhazam kepada Hypeabis.id. 

Baca juga: The Jansen, Band Punk-Rock Asal Bogor Gelar Tur Konser di Asia
 
 
Sejak dulu sampai sekarang, Morfem konsisten dengan musik-musiknya yang straight to the point lewat liriknya yang lugas dan penuh kritik. Album perdananya yang bertajuk Indonesia menyoroti hiruk pikuk ibu kota yang makin semrawut kian harinya, dilihat dari sudut pandang orang yang bergelut dengan ganasnya kehidupan Jakarta. 

"Lirik lagu Morfem memang simpel tapi menohok lewat makna-makna di baliknya, inspirasinya datang ari kehidupan sehari-hari di sekitar kita," ujar Pandu.

Idealisme dalam berkarya menjadi hal yang terus dipupuk oleh Jimi, Pandu, dan lainnya sejak dulu sampai sekarang. Dengan hal tersebut, musisi bisa lebih leluasa mengeksplorasi musiknya. Morfem memang band rock yang memilih jalur indie dalam proses penggarapan karyanya. Mulai dari proses mixing dan mastering lagu, syuting video klip, hingga bagaimana rilisan fisik mereka dapat diterima oleh para pendengarnya. 

Menariknya, personel Morfem juga masing-masing tergabung dengan band lainnya, ini merupakan sesuatu yang belum tentu bisa didapat oleh band-band major. Hal tersebut sama sekali tidak menjadi kendala untuk tetap bekerja secara profesional di bawah nama Morfem.

"Kuncinya menjalin komunikasi yang baik antar anggota, sehingga kita bisa enjoy dan senang saat menjalaninya," kata Pandu.

Sebagai band rock yang sudah lama mewarnai belantika musik Tanah Air, Pandu melihat sejak dulu sampai sekarang musik rock terus bergema dan tak pernah kehilangan penggemarnya. Memang, dalam penyampaiannya terus bertransformasi dan berinovasi.

"Kalau dilihat dari bentuk-bentuk sound-nya dulu distorsif seperti lempeng dan asal keras, sekarang jadi lebih fuzzy atau berbulu," katanya.
 
Selain itu, band-band rock Indonesia juga banyak yang mengambil inspirasi dari musisi rock legendaris seperti The Beatles, The Rolling Stones, dan lainnya. Sehingga tak menutup kemungkinan seringkali terjadi kesamaan riff gitar, petikan bas, atau ketukan drum.

"Kita bisa saja terinspirasi, kalau pada akhirnya bisa menciptakan hal-hal baru dari sana kenapa tidak, tapi ini sudah bukan saatnya meniru," ujar Pandu.

Sejauh ini Morfem telah merilis tiga album penuh, yakni Indonesia (2011), Hey, Makan Tuh Gitar! (2012), dan Dramaturgi Underground (2018). Selain itu, mereka juga telah membuat eempat EP (extended play), seperti Sneakerfuzz (2014), Apapun Dilibas (2019), Binar Wajah Sebaya (2020), dan Megah Diterima (2022).

Baru-baru ini Morfem juga dipercaya untuk mengisi soundtrack film Ali Topan (2024) yang dibintangi Jefri Nichol, lewat cover lagunya pada 2014 yang berjudul "Kuning" milik Rumah Sakit. Dalam waktu dekat ini, Jimi Multhazam dan lainnya sedang menggarap album penuh terbarunya yang kemungkinan akan berisi 9-10 lagu.

Grup rok lainnya yang turut meramaikan jagat musik bising tanah air adalah The S.I.G.I.T. Grup asal Bandung yang berdiri pada 2002, beranggotakan Rektivianto 'Rekti' Yoewono (vokal, gitar), Farri Icksan Wibisana (gitar), Aditya Bagja Mulyana (bas), dan Donar 'Acil' Armando Ekana (drum).

The S.I.G.I.T. merupakan akronim dari The Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Mereka dikenal dengan gaya musiknya yang terpengaruh dari band-band rock klasik, blues, psychedelic, dan garage rock. Sejauh ini lagu-lagunya yang populer mulai dari "Black Amplifier", "Conundrum", "Owl and Wolf", "Detourne", dan masih banyak lagi.

Umumnya lagu-lagu The S.I.G.I.T. menggunakan lirik berbahasa Inggris. Beberapa kali Rekti dan grupnya membawakan lagu dengan lirik bahasa Indonesia, tapi responnya tidak semeriah lagu-lagunya yang sebelumnya.

"Saya enggak mau musik dibatasi dengan bahasa, karena bahasa konsensus, kesepakatan yang dipaksa, kita lahir di Indonesia otomatis harus berbahasa Indonesia, sementara musik itu universal," kata Rekti dalam wawancaranya di podcast Authenticity ID.

Lebih lanjut, dia mengaku agak kesulitan mengekspresikan sesuatu dengan bahasa Indonesia, baginya cukup sulit untuk mencari padanan katanya. Sementara, lirik berbahasa Inggris membuatnya lebih leluasa menuangkan ide-ide kreatifnya dalam sebuah lagu.

Baca juga: Grup Band Rock Lany Bakal Konser di Jakarta, Tiket Presale Dibuka 11 Maret 2024
 

Musik-musik The S.I.G.I.T. banyak mengambil inspirasi dari band-band Britpop legendaris, terutama The Beatles yang berasal dari kenangan masa kecil Rekti. Diketahui, sang ibu memiliki tumpukan kaset Paul McCartney dan kawan-kawan yang secara tak sadar membentuk kecintaannya terhadap genre rock klasik. Menurutnya, semua unsur musik modern, formulasinya tidak jauh dari Beatles dan The Rolling Stones.

"Kalau lagi membuat lagu, tentunya enggak pernah sambil dengerin lagu orang ya, menurutku bikin musik itu sebaiknya ketika sedang melakukan hal yang tidak bersifat musikal, seperti naik motor," kata Rekti. 

Dalam hal penggarapan lagu, Rekti biasanya bekerja dengan Farri. Masing-masing saling menyumbangkan ide dan berdiskusi, tak jarang keduanya mengalami perbedaan pendapat. Namun, pada akhirnya itu semua membantu grup dalam proses penciptaan karya yang berkualitas, walaupun dalam pengerjaannya harus memakan waktu lama. 

Album paling baru dari The S.I.G.I.T, dirilis 11 tahun lalu yakni Detourn (2013), album sebelumnya yang berjudul Visible Idea of Perfection dirilis pada 2007, enam tahun sebelum Detourn.

Rekti mempertanyakan kenapa band berlomba-lomba untuk merilis album setiap tahun, apakah itu karena ekonomi atau label yang mengharuskan untuk menghasilkan suatu produk. Menurutnya independen dalam hal berkarya juga bisa dilihat dari kebebasan musisi dalam menentukan waktu yang tepat untuk merilis karyanya, tanpa tekanan dan dorongan dari pihak manapun.

"Kebiasaan merilis album banyak itu karena ekonomi, bukan berkarya, kalau asal rilis saya juga bisa setiap tahun ditargetin, tapi pasti enggak puas dan itu terjadi di Heartz Diyslexia," kata Rekti.

Selama berkarier di belantika musik rock The S.I.G.I.T. telah meraih beberapa penghargaan di kancah musik Indonesia, termasuk Best Newcomer pada Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards. Sejauh ini band tersebut telah merilis tiga album studio, yakni Visible Idea of Perfection (2007), Detourn (2013), dan S.I.G.I.T. (2004). Serta dua EP yakni hertz dyslexia yang dirilis secara terpisah pada 2009 dan 2011.  

Baca juga: Hypereport: Metamorfosis Dangdut dari Irama Melayu hingga Feel Koplo

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Aziz Hedra Luncurkan 'Lesson', Album Mini Penuh Makna Pembelajaran Hidup

BERIKUTNYA

Hilal Belum Terlihat, Pemerintah Tetapkan Awal Puasa pada Selasa 12 Maret 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: