Ilustrasi band indie. (Sumbe rfoto: Unsplash/Natalie Parham)

Hypereport: Menyusuri Jejak Generasi Baru Kalcer Skena

07 August 2023   |   20:00 WIB
Image
Nirmala Aninda Manajer Konten Hypeabis.id

Skena berkembang menjadi fenomena sosial dalam beberapa waktu terakhir. Meski keberadaannya bukan hal baru, tiap generasi memiliki ciri khas serta cara sendiri untuk mengadaptasinya. Generasi muda Indonesia yang dikelilingi ragam format media menciptakan gelombang baru dalam ekspresi kreatif yang mencerminkan perubahan sosial dan budaya.

Dalam konteks Bahasa kekinian, skena merupakan singkatan dari tiga kata Sua, cengKErama, dan kelaNA. Skena pada awalnya lebih diartikan untuk menyebut perkumpulan kolektif pada sebuah komunitas musik. Jika ada kumpulan penggemar musik metal, maka mereka bisa disebut sebagai skena metal.

Baca juga: Musiknya Makin Diminati, Ini Alasan Musisi Pilih Jalur Indie

Adanya skena membuat musik-musik tertentu tumbuh. Mereka membuat ceruk sendiri. Namun, kini makna skena mulai memiliki intonasi negatif. Skena hanya dipandang sebagai pergi ke kedai kopi, punya tato kupu-kupu kecil, atau sekadar berpenampilan dengan kaos band.

Anggapan ini makin masif setelah banyak kreator konten membuat video lucu-lucuan tentang kata ini. Akhirnya, terjadi pergeseran makna meski sebenarnya makna skena juga belum tertuang di KBBI.

Gaya hidup yang menjadi perhatian utama masyarakat metropolis membuat skena tumbuh dan berkembang. Didorong oleh kesamaan hobi, mereka membentuk kelompok nongkrong yang lebih eksklusif. Fenomena itu pun menjadi budaya massa yang ngetren di kalangan generasi muda urban sekaligus menjadi ajang eksistensi dan kreativitas.

Seperti apa skena di Indonesia dan apa dampak persepsi internet terhadap aliran eksklusif yang dianggap niche ini? Hypeabis.id mencoba mengungkapnya dalam seri laporan khusus berikut ini. (Klik sub-judul untuk membaca tulisan selengkapnya). 
 
 


1. Hypereport: Tren Skena yang Bukan Sekadar Nongkrong

Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi mengatakan bahwa skena merupakan komunitas nongkrong orang-orang muda yang memiliki hobi sama. Menurutnya, mereka yang memiliki hobi yang sama memutuskan untuk membangun suatu komunitas. Kemudian, menciptakan aturan bersama yang tidak tertulis dan berdasarkan kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Di sisi lain, pengamat musik David Tarigan mengatakan bahwa kata skena atau scene sudah digunakan sejak lama, bahkan di Indonesia, dan mengalami perkembangan seiring perkembangan teknologi informasi. Para scenester mendapatkan banyak informasi dan meresponsnya kian kreatif, variatif, baik, dalam wujud apa saja.  Gagasannya yang ditangkap oleh mereka juga lebih clear. Ketika pelakunya makin banyak, skena atau kancahnya juga kian mendalam selain banyak, variatif, dan spesifik. 
 

2. Hypereport: Mengulik Seluk Beluk Skena Lewat Kacamata Musisi

Vokalis The Adams, Saleh Husein, serta vokalis Barasuara, Iga Massardi, satu suara soal skena. Mereka berpendapat bahwa skena adalah ruang yang sejatinya positif khususnya dalam mendukung perkembangan musik di Indonesia. Kantung-kantung skena, menurut Ale, juga bisa menjadi semacam kesempatan untuk melahirkan generasi baru yang gemar mengulik soal musik.

Sementara itu, Iga menyayangkan sentimen negatif masyarakat terhadap skena. Banyak yang menganggap ini adalah komunitas eksklusif dan merasa lebih tinggi dari yang lain. Padahal, Barasuara dan para penggemarnya tidak berusaha untuk mengisolasi diri dengan komunitas mereka. Sebaliknya, mereka membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin bergabung ataupun tertarik untuk mengenal musik mereka. 
 

3. Hypereport: Kaburnya Batasan Musik Indi & Major pada Era Skena

Hadirnya istilah skena di kalangan anak muda, diangap kembali mengkotak-kotakkan tipe musik, seperti major dan indie yang sejak dulu kala sudah bersitegang baik antara musisi, label, maupun penggemarnya. Gatut Suryo, Ketua Umum Asosiasi Komunitas Musisi Indie Kreatif (ASKOMIK), menjelaskan indie adalah sebutan untuk para musisi yang berkarya secara mandiri atau independen dan tidak didikte atau diatur oleh label.

Sebaliknya major adalah musisi yang dinaungi label. Proses perekaman lagu, konsep album dan video klip, sampai strategi pemasarannya diatur oleh manajemen. Lagu-lagu yang diproduksinya pun mengikuti selera pasar. Kemudian, disebut mainstream sebab disukai semua orang. Menurutnya label ini sudah tidak lagi relevan dengan bagaimana industri musik berkembang.
 

4. Hypereport: Skena Musik di Kota-kota Indonesia yang Kian Bernada

Pengamat musik nasional Nuran Wibisono mengatakan bahwa musik dan kota punya hubungan resiprokal. Sebuah kota dan kehidupannya jelas berpengaruh terhadap sudut pandang dan cara musisi berpikir serta membuat lagu. 

“Kalau bisa dibilang, skena musik di kota-kota Indonesia terus bertumbuh dengan cara masing-masing. Di Bogor, contohnya, ada banyak band-band baru yang bagus, dari Swellow sampai The Jansen. Di Jawa Timur, kota seperti Surabaya, Ponorogo, Madiun, hingga Jember terus hidup walau mungkin tak terendus di Jakarta,” jelas Nuran kepada Hypeabis.id. 

Mereka punya geliat dan cara bersenang-senang masing-masing. Dari bikin festival swadaya, rekaman, dan mengedarkan karyanya sendiri. Di luar Jakarta dan Bandung, yang sejak lama jadi kiblat musik nasional, kota-kota lain bahkan di luar Jawa terus menunjukkan semarak yang menarik. Tempat-tempat tersebut terus melahirkan regenerasi musisi yang punya kreativitas baru dan berpengaruh. 

Baca juga: Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Berkenalan dengan Azucena, Si Ratu Kopi Peru Karakter Baru di Game Tekken 8

BERIKUTNYA

Granola dari Timur Tengah Makin Diminati, Penjualannya Capai 200.000 Kilogram

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: