Platform streaming musik

Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital

01 August 2023   |   22:30 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Seiring perkembangan platform streaming musik di Indonesia, kini masyarakat jadi lebih mudah mendengarkan lagu dari musisi favorit mereka. Namun, apakah risiko pembajakan yang selama ini dikhawatirkan para pelaku seni akan meningkat seiring dengan masifnya penggunaan platform music streaming?

Menurut Federasi Internasional Industri Fonograf (IFPI), total pendapatan pasar musik global mencapai US$26,2 miliar dengan jumlah terbesar berasal dari aktivitas streaming, yang menyumbang sekitar 67 persen total sepanjang 2022. Dari jumlah itu, kegiatan berlangganan menempati proporsi terbanyak dengan 48,3 persen. Sisa berasal dar iklan di streaming

Baca juga laporan terkait:
Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
- Hypereport: Candra Darusman Sayangkan Kebijakan Hak Cipta Belum Sepenuhnya Efektif
- Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam laporannya yang berjudul Survei Internet Indonesia 2023 menyebutkan sejumlah platform musik yang paling sering digunakan masyarakat. YouTube music menempati peringkat pertama dalam daftar dengan jumlah 44,18 persen. Diikuti oleh Spotify dan Google Play Music dengan persentase masing-masing sebesar 17,52 dan 16,86 persen.

Disusul oleh berbagai platform musik lainnya, yakni Joox 12,95 persen, Apple music 1,63 persen, Resso 0,83 persen, Soundcloud 0,34 persen, Shazam 0,17 persen, TikTok 0,13 persen, Snack video 0,02 persen, Vidio 0,01 persen, Langit music 0,01 persen, Vidmate 0,01 persen, dan My music 0,01 persen. 

Baca juga laporan terkait: 
Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air 
-
 Strategi dan Solusi untuk Memperkuat Hak Cipta dalam Industri Musik Modern
Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik


Hafez Gumay, Manager Advokasi Koalisi Seni, memaparkan bahwa perkembangan dunia musik sudah sangat modern dan pembajakan sudah tidak relevan lagi. Perlu diketahui pembajakan adalah upaya untuk menyalin suatu karya seni dan menyebarluaskannya untuk kepentingan komersial.

"Pembajakan sudah tidak relevan lagi, kalau dulu banyak pembajakan CD album musik, kalau sekarang mungkin maraknya akun palsu di platform streaming musik," kata Hafez.

Lebih lanjut dia menyebut persoalan tersebut tidak jadi soal karena tidak begitu memengaruhi sumber pendapatan para musisi. Menurutnya, akun palsu di platform streaming masih kalah jumlahnya dengan orang yang mendengarkan lagu lewat akun gratisan, misalnya di Spotify dan YouTube. 

"Biarpun pakai akun gratis, platform streaming musik tetap akan membayarkan royalti kepada musisi, meskipun jumlahnya tidak sebesar pengguna akun premium," kata Hafez.

Menurutnya, platform music streaming luar negeri berani membayar mahal kepada para musisinya karena pengguna mereka menggunakan akun premium. Perhitungannya setiap negara bisa beda-beda, lagu yang diputar 1.000 kali di Indonesia belum tentu harganya sama dengan lagu yang diputar 1.000 kali di AS.

"Musisi sebaiknya memperbanyak basis fan-nya di luar negeri, supaya dipakai harga streaming luar negeri," kata Hafez.


Persoalan Hak Cipta 

Menurutnya sekarang yang jadi masalah adalah pelanggaran hak cipta yang merugikan para musisi. Mengutip dari laman Koalisi Seni, di Indonesia ada hak cipta dan hak terkait. Pihak yang mempunyai hak cipta adalah pencipta, sementara yang memiliki hak terkait, salah satunya adalah pelaku pertunjukan.

Kehadiran platform streaming musik digital tidak diimbangi dengan kebijakan yang dapat melindungi pencipta dan karyanya. Berdasarkan peraturan yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, belum mengikuti perkembangan industri musik yang makin modern.

UU tersebut tidak mengatur secara khusus hak cipta musik digital, termasuk konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pelaku. Padahal sekarang sebagian besar musisi dan pencipta lagu di Indonesia merilis dan mempromosikan karyanya lewat platform digital.

Lahirnya UU Hak Cipta yang pertama pada 1982 didorong oleh tekanan industri dalam negeri dan organisasi dagang internasional untuk mengkampanyekan retorika antipembajakan. Pada akhirnya, muncullah ketakutan bilamana digitalisasi menjadi peluang lahirnya pembajakan model baru. 

Pembajakan salinan fisik dan teknologi menjadi salah satu faktor yang membuat kebijakan hak cipta di Indonesia terbata-bata mengatur ranah musik digital. Pasalnya, kebijakan yang ada masih mengidentifikasi 'digital' sebagai format, bukan perubahan yang lebih modern dalam industri musik. 

Menurut Hafez, isu utama dalam maraknya layanan streaming musik di Indonesia bukanlah soal pembajakan, melainkan perlindungan hak cipta. Sehingga bisa menciptakan sistem tata kelola royalti digital yang lebih transparan dan berpihak pada mereka
 
Koalisi Seni juga mendapati situasi industri yang makin eksploitatif terhadap musisi. Penyedia akses terhadap salinan (streaming) digital memunculkan aktor-aktor baru seperti platform itu sendiri, aggregator, label rekaman berbasis kekayaan intelektual (KI), label rekaman 360, dan penerbit musik. Hubungan musisi dengan para pelaku baru di ranah musik digital berkembang makin kompleks dengan berbagai  kepentingan yang berbenturan. 

Baca juga: Pusat Data Lagu dan Musik Diharapkan Permudah Pembayaran Royalti ke Musisi

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Sosok Daniel Kho, Semakin Berwarna Semakin Bahagia & Ngepop

BERIKUTNYA

Hwiyoung SF9 Siap Rilis Single Digital Agustus 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: