Kesehatan mental dan fisik Gen Z (Sumber Foto: Freepik)

Hypereport: Kesehatan Mental dan Fisik jadi Fokus Utama Gen Z Hadapi Tantangan 2025

03 January 2025   |   15:59 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Generasi Z  yang lahir pada periode 1997 hingga 2012, makin menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental sebagai kunci menghadapi tantangan 2025. Pada era modern, media sosial, tekanan orang tua dan pekerjaan, serta perubahan lingkungan mendorong mereka untuk lebih proaktif dalam merawat diri. 

Pola makan sehat, olahraga teratur, serta praktik mindfulness menjadi kunci untuk menciptakan kehidupan yang seimbang. Kesadaran ini bukan hanya sekadar tren, melainkan kebutuhan untuk mencapai produktivitas dan kebahagiaan jangka panjang di tengah dinamika kehidupan yang terus berubah.

Baca juga laporan terkait: 
1. Hypereport: Perilaku Belanja Generasi Z, Tak Sekadar Beli
2. Hypereport: Self Improvement Gen Z di Dunia Karier 2025
3. Hypereport: Penguatan Fondasi Jadi Modal Penting Gen Z Mengelola Keuangan 2025
4. Hypereport: Minat & Tujuan Gen Z Mencapai Pendidikan Tinggi Pada 2025
5. Hypereport: Karakteristik Gen Z, Profesi yang Diminati sampai Tingkat Kesejahteraan Hidup


Sayangnya, menurut penelitian American Psychological Association (APA), sekitar 91 persen Gen Z pernah mengalami setidaknya satu gejala fisik atau emosional akibat stres. Gejala tersebut meliputi perasaan depresi atau sedih, hilangnya minat, motivasi, atau energi. 

Sementara di Indonesia, berdasarkan hasil survei DataIndonesia.id terhadap 300 responden Gen Z pada 1 Agustus sampai 22 Oktober 2023, menunjukkan bahwa sebanyak 56 persen dari mereka menyatakan pernah merasakan gejala gangguan mental. Sementara, sebanyak 44 persen lainnya mengklaim tidak merasakan gangguan tersebut.

Adapun dari 56 persen responden tersebut, gejala yang paling banyak dirasakan adalah merasa takut dan cemas belebihan, kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, mudah marah, tersinggung, dan sensitif, kelelahan berlebih, masalah tidur, putus asa dan tak berdaya, ketidakmampuan mengatasi stres dan sedih berkepanjangan, perubahan suasana hati yang drastis, dan merasa delusi atau halusinasi.

Diolah dari sumber data yang sama, pemicu masalah mental yang paling banyak dirasakan Gen Z adalah masalah keuangan atau ekonomi, kesepian, tuntutan pekerjaan, tekanan orang tua atau keluarga, masalah asmara, tekanan sekolah atau kampus, dan penindasan atau bullying.
 

Ilustrasi generasi z dan dependensi terhadap media sosial. (Sumber foto: Pexels/cottonbro studio)

Ilustrasi generasi z dan dependensi terhadap media sosial. (Sumber foto: Pexels/cottonbro studio)


Psikolog Klinis Istiana Tajuddin memaparkan, salah satu faktor yang membuat Gen Z lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental adalah tingginya penggunaan gadget dan paparan terhadap media sosial. 

"Masalah kesehatan mental para Gen Z tak lepas dari pemakaian gadget dan media sosial yang sangat sering sehingga memengaruhi kehidupan mereka, dampaknya bisa menurunkan menurunkan produktivitas," katanya pada Hypeabis.

Terutama Media sosial, menurutnya meskipun memberikan banyak manfaat, juga sering kali memberikan pengaruh buruk pada kesehatan mental karena mampu menciptakan tekanan dari lingkungan sekitar.

"Media sosial melahirkan cyberbullying, banyak Gen Z yang mendapatkan penindasan di ruang-ruang dunia maya," paparnya.

Lebih lanjut, Istiana juga menyoroti para Gen Z yang terjebak toxic relationship bahkan sampai kekerasan seksual. Ini semua dimulai dari perkenalan yang tidak aman lewat sosial media. 

Di samping itu, komunikasi yang buruk para Gen Z dengan orang tua mereka juga menjadi salah satu pemicu kesehatan mental yang buruk. Hal ini disebabkan oleh adanya gap atau pemisah antar Gen Z dan orang tua mereka yang rata-rata merupakan Gen baby boomer yang lebih muda atau Gen X.

"Gen Z menganggap orang tuanya sulit memahami prilaku mereka, begitupun sebaliknya," ujar Istiana.
 

Cara Gen Z Atasi Masalah Kesehatan Mental dan Fisik

Adapun kondisi kesehatan mental dan fisik yang buruk juga diakui sendiri oleh para Gen Z. Berdasarkan hasil survei McKinsey Health Institute terhadap 41.960 orang di 26 negara, terdapat 18 persen responden Gen Z kelahiran 1997-2012 yang merasa kesehatan mentalnya buruk. Jumlah tersebut lebih tinggi dari Gen milenial, Gen X, dan baby boomers. 

Begitupun dari segi kesehatan fisik, 11 persen Gen Z mengakui kesehatan fisiknya buruk. Persentasenya lebih tinggi dari Gen Milenial, yakni sekitar 10 persen. Dengan demikian, meskipun lebih muda dari Gen Milenial yang merupakan kelahiran 1981 dan 1996, Gen Z merasa tidak lebih sehat dari mereka.

Dokter Yovi Yoanita, pakar nutrisi dan kebugaran yang juga tertarik dengan isu-isu seputar mental health, memaparkan bahwa tak sedikit klien-kliennya dari kelompok usia Gen Z yang berkonsultasi terkait masalah kesehatan, baik mental dan fisik.

"Awalnya keluhannya seperti mudah lelah, susah fokus, insomnia, alergi, berat badan naik atau turun, itu semua efek dari stres, hal ini karena stres, asupan nutrisi, dan gaya hidup secara keseluruhan itu saling berkaitan," ujarnya.

Orang-orang yang merasa stres seringkali lari ke makanan karena dianggap sebagai cara paling mudah dan murah untuk mengatasi stres, sehingga lama kelamaan bisa menyebabkan masalah obesitas. Lantaran apa yang kita makan menentukan jumlah nutrisi yang masuk, serta mencerminkan gaya hidup seseorang.

"Dalam menentukan porsi makan bisa pakai sistem ukuran tangan, sebenarnya Tuhan sudah memberi kita 'alat ukur' untuk menentukan seberapa banyak kita butuh makan," katanya.

Misalnya, karbohidrat cukup satu kepal tangan tertutup sekitar 4 sendok makan nasi, beberapa orang lainnya mungkin bisa 6 sampai 8 sendok makan sesuai kepalan tangannya. Sementara untuk sayuran, pakai dua telapak tangan yang setara dengan setengah piring makan.

Proteinnya sekitar seukuran telapak tangan, kira-kira 100-150 gram. Pilih makanan sehat dan minim pemrosesan karena makanan yang makin banyak diproses artinya kandungan gizinya makin rusak.

Kurangi gula dan tepung. Terutama dari minuman manis, soda, dan sejenisnya. Bahkan jus buah juga sebaiknya dibatasi. Misalnya, jus jeruk biasanya dibuat dari 4-5 buah jeruk. Tapi kalau makan buahnya langsung, biasanya hanya 1-2 jeruk saja sudah cukup dan porsinya pas.

"Ini cara paling gampang yang bisa diterapkan di mana saja, sekarang kan sudah ada pedoman 'Piring Sehatku' Itu bisa jadi acuan," katanya.
 

(Sumber foto: Pexels/Maksim Goncharenok)

(Sumber foto: Pexels/Maksim Goncharenok)

Manajemen stres juga penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil survei DataIndonesia.id, sebagai upaya mengatasi stres, 59,52 persen responden Gen Z yang pernah merasakan gejala gangguan mental melakukan relaksasi dengan traveling atau healing.

Solusi lainnya melakukan hobi, mendekatkan diri kepada Tuhan, sharing atau bercerita ke teman, mengunjungi psikolog atau psikiater, dan berkonsultasi dengan keluarga atau saudara.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh bahwa stres tidak datang secara tiba-tiba. Awalnya keluhannya seperti mudah lelah, susah fokus, insomnia, alergi, berat badan naik atau turun. Namun, yang paling utama adalah mampu membedakan lelah dan stres.

"Kalau merasa lelah jangan self diagnose sebagai stres dan gangguan mental, bisa jadi tubuh cuma kurang dipenuhi kebutuhan dasarnya, misalnya apakah sudah minum air putih, aktif bergerak dan olahraga hari ini?" ujarnya.

Penuhi kebutuhan dasar tubuh, mulai dari bangun tidur di pagi hari jangan langsung lihat ponsel. Sebagai gantinya, minum air putih dulu. Kalau bisa, olahraga ringan atau mandi air dingin untuk membangkitkan dopamin, yakni hormon yang bikin kita lebih semangat dan merasa baik.

Apabila merasa stres, Yovi menyarankan untuk melakukan latihan sederhana 5-4-3-2-1 grounding. Caranya fokus ke 5 hal yang bisa dilihat, 4 hal yang bisa dirasakan, 3 suara yang terdengar, 2 aroma yang bisa dicium, dan 1 hal yang bisa dirasakan secara mendalam.

"Tujuannya untuk mengalihkan pikiran dari stres dan membawa fokus ke momen sekarang, ini bisa membantu meredakan kecemasan dengan cepat," katanya.

Lebih lanjut, dokter Yovi juga membenarkan bahwa kesenjangan antara Gen Z dan generasi sebelumnya sangat besar sehingga seringkali menimbulkan sejumlah perbedaan pendapat. 

"Generasi sebelumnya tidak terlalu kenal dengan mental health, seringkali hanya dianggap manja atau perasaan saja," kata Yovi.

Karakteristik Gen Z memang sangat mengutamakan kesehatan mentalnya. Ini merupakan bagian dari perubahan zaman yang mau tidak mau harus dipahami oleh generasi-generasi sebelumnya.  

Untuk mengatasi hal ini, Yovi sering mengajak orang-orang untuk lebih fleksibel dalam menjalani hidup. Mengenai perubahan zaman, ia berpendapat bahwa yang mampu bertahan bukanlah yang paling kuat atau pintar, tetapi mereka yang dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri.

Gen Z dan generasi sebelumnya sebaiknya belajar untuk fleksibel dalam menempatkan diri dan menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, serta saling memahami karakter masing-masing.

Baca juga: 4 Alasan Gen Z Memilih Curhat dengan AI, Salah Satunya Trust Issue

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

AI Bawa Ancaman Baru dalam Dunia Kejahatan Siber untuk Bisnis dan Industri

BERIKUTNYA

3 Fakta Menarik Squid Game Season 3, Tayang Pertengahan 2025

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: