Kalangan Milenial & Gen Z Belum Meminati Instrumen Derivatif Keuangan
09 June 2022 |
12:44 WIB
Generasi Z dan Generasi Y atau Milenial makin melek investasi. Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), generasi Z mendominasi pasar modal yakni mencapai 60,18 persen diikuti generasi Milenial dengan 21,61 persen. Namun, mereka belum tertarik memilih derivatif keuangan yang diperdagangkan di bursa efek.
Mengutip penjelasan Bursa Efek Indonesia (BEI), derivatif keuangan merupakan kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain seperti saham, obligasi, indeks saham, indeks obligasi, mata uang, tingkat suku bunga, dan instrumen keuangan lainnya. Aset lain ini disebut sebagai underlying assets.
Contoh jenis produk derivatif keuangan yang diperdagangkan BEI seperti kontrak berjangka indeks LQ45 yakni IDX LQ45 Futures. LQ45 dikenal sebagai benchmark saham-saham di pasar modal Indonesia.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan selama ini memang literasi dan edukasi mengenai derivatif keuangan yang diperdagangkan BEI belum terlalu gencar. Alhasil, produk ini tidak dikenal Gen Z dan Milenial.
Sejatinya BEI sudah lama membuat regulasi tentang derivatif keuangan, namun produk yang diluncurkan terbilang masih baru. Berbeda dengan derivatif berjangka komoditas yang diperdagangkan PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), yang diawasi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Menurut Ibrahim produk yang dikeluarkan Bappebti ini sudah dikenal dan cukup banyak peminatnya.
"Ini diminati milenial terutama anak muda. Ada milenial, ada yang baru lulus, ada yang berumur tetapi belum menikah, itu mereka suka. Yang melakukan transaksi derivatif berjangka itu kebanyakan milenial," tuturnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar BEI hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih gencar melakukan literasi dan sosialisasi mengenai produknya. Ini bisa dimulai dari level universitas. Menurutnya, perguruan tinggi perlu menerapkan kurikulum yang membahas pasar derivatif keuangan ini.
"Tanpa adanya sosialisasi dan edukasi, kaum Milenial dan Z pun tidak akan tahu dan tertarik pada derivatif di bursa berjangka," tegas Ibrahim.
Potensi menggarap pasar Gen Z dan milenial untuk tertarik pada derivatif keuangan menurutnya cukup besar. Terlebih, produk ini memiliki underlying asset atau aset keuangan yang mendasarinya.
Generasi ini memang cukup tinggi semangatnya dalam berinvestasi, namun mereka perlu pencerahan mengenai keamanan dan keuntungan yang akan didapatkan. Khususnya Gen Z yang kerap kali memakai uang tabungan untuk berinvestasu.
"Gen Z dan Milenial memang senang investasi derivatif apalagi ada underlyingnya, tetapi perlu edukasi. Edukasi penting menarik minat Milenial dan Gen Z, karena sampai saat ini masih sepi, terlalu banyak permasalahan investasi ilegal," terang Ibrahim.
Mengutip penjelasan Bursa Efek Indonesia (BEI), derivatif keuangan merupakan kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain seperti saham, obligasi, indeks saham, indeks obligasi, mata uang, tingkat suku bunga, dan instrumen keuangan lainnya. Aset lain ini disebut sebagai underlying assets.
Contoh jenis produk derivatif keuangan yang diperdagangkan BEI seperti kontrak berjangka indeks LQ45 yakni IDX LQ45 Futures. LQ45 dikenal sebagai benchmark saham-saham di pasar modal Indonesia.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan selama ini memang literasi dan edukasi mengenai derivatif keuangan yang diperdagangkan BEI belum terlalu gencar. Alhasil, produk ini tidak dikenal Gen Z dan Milenial.
Sejatinya BEI sudah lama membuat regulasi tentang derivatif keuangan, namun produk yang diluncurkan terbilang masih baru. Berbeda dengan derivatif berjangka komoditas yang diperdagangkan PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), yang diawasi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Menurut Ibrahim produk yang dikeluarkan Bappebti ini sudah dikenal dan cukup banyak peminatnya.
"Ini diminati milenial terutama anak muda. Ada milenial, ada yang baru lulus, ada yang berumur tetapi belum menikah, itu mereka suka. Yang melakukan transaksi derivatif berjangka itu kebanyakan milenial," tuturnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar BEI hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lebih gencar melakukan literasi dan sosialisasi mengenai produknya. Ini bisa dimulai dari level universitas. Menurutnya, perguruan tinggi perlu menerapkan kurikulum yang membahas pasar derivatif keuangan ini.
"Tanpa adanya sosialisasi dan edukasi, kaum Milenial dan Z pun tidak akan tahu dan tertarik pada derivatif di bursa berjangka," tegas Ibrahim.
Potensi menggarap pasar Gen Z dan milenial untuk tertarik pada derivatif keuangan menurutnya cukup besar. Terlebih, produk ini memiliki underlying asset atau aset keuangan yang mendasarinya.
Generasi ini memang cukup tinggi semangatnya dalam berinvestasi, namun mereka perlu pencerahan mengenai keamanan dan keuntungan yang akan didapatkan. Khususnya Gen Z yang kerap kali memakai uang tabungan untuk berinvestasu.
"Gen Z dan Milenial memang senang investasi derivatif apalagi ada underlyingnya, tetapi perlu edukasi. Edukasi penting menarik minat Milenial dan Gen Z, karena sampai saat ini masih sepi, terlalu banyak permasalahan investasi ilegal," terang Ibrahim.
Paham Risiko
Secara terpisah, Head of Investment Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyampaikan hingga saat ini memang Gen Z maupun Milenial lebih melek terhadap reksadana. Terlihat dari pertumbuhan investor reksa dana yang mencapai 7,7 juta orang.
"Menurut saya ini didukung oleh kemudahan, keamanan dan tentu saja keuntungan. Untuk derivatif, pengetahuan yang dibutuhkan lebih kompleks dari instrumen utama pasar modal," imbuhnya.
Adapun kemudahan yang didapat dari reksa dana seperti transaksi online, pendaftaran yang cepat dan mudah tanpa tatap muka, kemudahan dan kecepatan pencairan. Untuk memahami derivatif, menurut Wawan harus memahami underlying asset-nya. "Memahami derivatif terutama dari sisi risikonya," sebut Wawan.
"Menurut saya ini didukung oleh kemudahan, keamanan dan tentu saja keuntungan. Untuk derivatif, pengetahuan yang dibutuhkan lebih kompleks dari instrumen utama pasar modal," imbuhnya.
Adapun kemudahan yang didapat dari reksa dana seperti transaksi online, pendaftaran yang cepat dan mudah tanpa tatap muka, kemudahan dan kecepatan pencairan. Untuk memahami derivatif, menurut Wawan harus memahami underlying asset-nya. "Memahami derivatif terutama dari sisi risikonya," sebut Wawan.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.