Hypereport: Novel Digital Bikin Pengembangan IP Sebuah Karya Jadi Lebih Kuat
19 May 2024 |
12:59 WIB
1
Like
Like
Like
Di tengah digitalisasi yang merebak ke berbagai bidang, industri buku menunjukkan geliat antitesis yang unik. Popularitas buku cetak, termasuk juga bacaan novel, masih tak tergantikan meski dunia makin tak bisa menahan laju era yang serba maya ini.
Bagi sebagian orang, buku cetak masih menjadi pilihan utama untuk mengonsumsi bacaan. Begitu pula yang dirasakan oleh salah satu pembaca, Irma Wahyuningtyas, yang juga lebih menyukai bentuk buku cetak yang konservatif.
Baca juga laporan terkait
“Ya, sampai sekarang masih betah membaca buku fisik. Aromanya satisfying, selain tentu saja ini lebih enteng dan bisa dicoret-coret,” ucapnya ketika sedang memilih salah satu bacaan baru di salah satu toko buku di Pos Bloc, Jakarta.
Apa yang terjadi pada Tyas, yang lebih menyenangi buku fisik dibanding digital, memang juga banyak dialami orang lain di Indonesia, bahkan dunia. Menurut laporan Statista, penjualan buku digital atau e-book secara global memang belum bisa menggeser buku fisik.
Proyeksi penjualan e-book tahun ini hanya akan terjual US$14,61 miliar, angka yang masih jauh dibanding pendapatan buku fisik sebesar US$69,44 miliar. Penetrasi e-book juga masih di bawah buku fisik di hampir semua negara, kecuali China.
Di negeri Tirai Bambu, penetrasi e-book sudah lebih tinggi, yakni mencapai 27 persen, sedangkan buku fisik hanya 24 persen. Namun, di luar China, penetrasi buku fisik masih unggul di hampir semua negara.
Di Inggris misalnya, peredaran buku fisiknya mencatatkan skor penetrasi 50 persen, sedangkan e-book hanya 15 persen, atau Amerika Serikat dengan penetrasi e-book hanya 20 persen, sedangkan buku fisiknya lebih tinggi, yakni 30 persen.
Di Indonesia, belum ada terlalu banyak survei yang mengangkat hal ini. Namun, Kementerian Kominfo sempat menggelar jajak pendapat di media sosial X pada 2020. Hasilnya, buku fisik lebih menarik 77,2 persen responden, sedangkan e-book hanya 22,8 persen.
Namun, di Survei Rakutan Insight 2023, smartphone kini sudah jadi perangkat favorit untuk membaca buku di Indonesia. Adapun, buku fisik hanya mendapat nilai 12 persen dan tablet 1 persen.
Perbincangan mengenai novel digital pun jadi hal menarik. Utamanya seberapa besar pengaruhnya dalam industri buku saat ini.
Di Indonesia, perkembangan tren novel digital cukup dinamis, meski harus diakui bahwa kepopuleran buku konvensional masih tetaplah jadi primadonanya. Ebook kerap kali dianggap hanya sebagai komplementer saat masyarakat tidak bisa memperoleh buku fisiknya.
Begitu pula saat kondisi-kondisi khusus yang lain terjadi, seperti ketika pandemi Covid-19, novel digital, termasuk dalam bentuk audio, itu tumbuh sangat tinggi. Namun, angkanya memang belum bisa menembus apa yang dicapai buku kertas.
“Ya, buku digital itu memang masih kecil. Mungkin pangsa pasarnya hanya 10 persen dari nilai omzet buku secara keseluruhan. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, buku cetak memang masih mendominasi,” ungkap Arys kepada Hypeabis.id.
Salah satu faktor yang membuat itu terjadi adalah karena buku cetak masih dianggap sebagai sebuah masterpiece dalam berkarya di kepenulisan. Baik itu oleh penulisnya maupun para pembacanya.
Jadi, walaupun karya si penulis sudah laku di dunia digital, rasanya belum lengkap bila bukunya tidak dicetak. Bagi penulis, kebahagiaan terbesarnya justru ketika karyanya dijadikan buku. Karena itu jugalah hingga kini buku cetak tetap menjadi hal yang penting.
Begitu pula bagi pembaca, yang meski sudah membaca versi digital, kerap kali masih menginginkan versi fisiknya. Hal ini karena memiliki buku fisik selalu menyuguhkan pengalaman membaca yang berbeda.
Itulah yang membuat meski penulis telah membuat karya novel di digital, lalu menjadi populer, mereka tetap menempuh jalur konvensional: menerbitkan naskahnya. Hal yang kemudian juga disambut antusias oleh pembacanya.
Namun, bukan berarti digitalisasi tak memberi berkah tersendiri di industri penulisan. Salah satu hal menarik dari digitalisasi dari dunia buku adalah mendemokrasi ranah kekaryaan dan membuat regenerasi lebih berjalan mulus.
Saat ini sudah ada banyak sekali platform buku digital yang berkembang. Aneka platform itu tidak hanya sebagai distribusi karya, tetapi juga wadah berkarya. Tren yang sudah berlangsung bertahun-tahun tersebut membuat pertumbuhan novelis atau penulis novel baru berkembang pesat.
Baca juga: Memacu Penerbitan Novel Berbahasa Daerah di Negeri yang Kaya Bahasa
Menurut Arys, perkembangan tren penulis di platform digital menjadi peluang baik karena melahirkan banyak penulis potensial baru. Di sisi lain, penulis baru ini juga makin mudah menerbitkan karyanya.
Platform digital juga membuat penulis-penulis baru bisa dengan cepat menemukan pengikut atau calon pembaca potensial. Pada ujungnya, mereka pun dapat membangun karyanya menjadi sebuah IP yang besar.
Dari sisi penerbit, kata Arys, industri ini terantu dalam menemukan calon-calon penulis baru. penerbit makin mudah untuk mengakuisisi sebuah karya karena tak lagi menggunakan cara-cara konvensional.
Dahulu, penerbit baru akan mengakuisisi karya ketika penulis mengirim naskah penuh bukunya. Sekarang, akuisisi naskah bisa dilakukan penerbit dengan mencari penulis yang memiliki konten di dunia digital.
Fenomena ini makin menarik. Sebab, digitalisasi telah memancing karya-karya baru untuk muncul, tetapi justru karya tersebut tidak bisa hidup langsung di sana. Dalam artian, masih mesti beralih medium ke fisik terlebih dahulu. Namun, soal ini, Arys punya pandangan lain.
“Saya cenderung untuk tidak mengkotak-kotakan itu. Dalam industri penerbitan, itu tidak masalah. Yang sedang kami bisniskan itu kan konten, mau dalam bentuk kertas, audio, video, itu tidak masalah. Lain hal ketika perspektifnya adalah industri percetakan,” imbuhnya.
Dalam era digital, kata Arys, proses pengeditan, promosi, dan penjualan juga kini lebih mudah. Kehadiran marketplace membuat buku lebih mudah bertemu calon pembeli. Dalam hal ini, Arys menyebut kini sudah 50 persen anggota IKAPI yang bertransformasi ke format digital.
Kendati demikian, ada beberpa masalah yang muncul di ekosistem novel digital, seperti plagiarisme, penyontekan buku dan masalah hak cipta. Dalam hal penjualan, isu pembajakan juga masih jadi persoalan yang harus segera dituntaskan.
Ekosistem novel digital telah memacu pertumbuhan penulis-penulis baru. Mereka juga mampu mengembangkan karyanya tidak hanya berakhir menjadi tulisan, tetapi sebuah IP yang bisa berkembang ke mana pun.
Salah satunya dialami oleh Erisca Febriani. Dia adalah novelis yang karyanya kerap kali diadaptasi menjadi film atau serial. Erisca pertama kali mengawali karier kepenulisannya dari hal sederhana.
Dia kerap kali membagikan cerita-cerita bikinannya lewat SMS blast. Lantaran banyak yang menyukai, Erisca memberanikan diri menulis di Facebook hingga kemudian di platform Wattpad.
Salah satu judul populernya adalah Dear Nathan, kisah romansa remaja yang pada dekade 2015-an begitu booming. Karya tersebut kemudian diadaptasi ke dalam film maupun series.
Erisca juga mengembangkannya ke dalam universe. Setelah Dear Nathan, lahirlah Hello Salma (2018), Thank You Salma (2019), dan Goodbye Daniel (2021). Erisca juga menggarap serial novel yang lain, seperti Kisah untuk Geri (2019) hingga Kisah untuk Dinda (2021).
Saat ini total ada sekiat 8 karyanya yang sudah menjadi IP besar dan diadaptasi menjadi medium lain, termasuk film. Platform digital memang telah membuka jalan karier kepenulisan bagi Erisca.
“Saat ini aku sedang menulis novel grafis baru, bakal segera terbit. Judulnya Memori Era 200-an. bukan fiksi, jadi berisi tentang tren-tren pada 2000-an yang ngangenin,” kata Erisca kepada Hypeabis.id.
Segendang sepenarian, Eria Chuzaimiah atau karib disapa Mia juga merasakan hal senapa. Lulusan teknik industri Universitas Andalas ini memberanikan diri menulis dengan modal nekat. Sebab, dia tidak punya ilmu dasar kepenulisan.
Namun, pada 2017, dia akhirnya mencoba-coba menulis di platform online, seperti Wattpad. Lalu, ketagihan. Cerita pertama yang ditulisnya adalah Dearest Mai, berlanjut ke judul-judul karya yang lain.
Saat menulis di Wattpad, Mia kerap kali memacu diri untuk meng-update ceritanya secara berkala dalam waktu yang tak terlalu lama. Hal yang kemudian menjadi pembacanya terikat dan mengikuti ceritanya secara terus menerus.
Tak lama kemudian, salah satu judul cerita populernya, yakni Wedding Agreement, meledak. Pada 2019, karya itu dialihwanakan menjadi film layar lebar oleh Starvision. Pada 2022 dijadikan web series sebanyak 10 episode dan tayang di Disney+ Hotstar.
Sembilan karya novel telah diterbitkannya, kini Mia juga sedang menggarap karya baru. Novel teranyarnya itu merupakan adaptasi dari sebuah film yang akan terbit.
Baca juga: 8 Julukan Bagi Para Penggemar Buku, Genhype yang Mana?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Bagi sebagian orang, buku cetak masih menjadi pilihan utama untuk mengonsumsi bacaan. Begitu pula yang dirasakan oleh salah satu pembaca, Irma Wahyuningtyas, yang juga lebih menyukai bentuk buku cetak yang konservatif.
Baca juga laporan terkait
- Hypereport: Komik Digital Paling Populer di Indonesia
- Hypereport: 8 Film Hasil Alih Wahana Novel & Komik Digital Terpopuler di Indonesia
- Hypereport: Cerita Komikus Indonesia Tertatih di Industri Komik Digital
- Hypereport: Berselancar di Platform Webtoon dan Mengintip Ladang Cuan Komikus Digital
- Hypereport: Menilik Proses Kreatif Pembuatan Film Adaptasi Komik Digital
“Ya, sampai sekarang masih betah membaca buku fisik. Aromanya satisfying, selain tentu saja ini lebih enteng dan bisa dicoret-coret,” ucapnya ketika sedang memilih salah satu bacaan baru di salah satu toko buku di Pos Bloc, Jakarta.
Apa yang terjadi pada Tyas, yang lebih menyenangi buku fisik dibanding digital, memang juga banyak dialami orang lain di Indonesia, bahkan dunia. Menurut laporan Statista, penjualan buku digital atau e-book secara global memang belum bisa menggeser buku fisik.
Proyeksi penjualan e-book tahun ini hanya akan terjual US$14,61 miliar, angka yang masih jauh dibanding pendapatan buku fisik sebesar US$69,44 miliar. Penetrasi e-book juga masih di bawah buku fisik di hampir semua negara, kecuali China.
Di negeri Tirai Bambu, penetrasi e-book sudah lebih tinggi, yakni mencapai 27 persen, sedangkan buku fisik hanya 24 persen. Namun, di luar China, penetrasi buku fisik masih unggul di hampir semua negara.
Di Inggris misalnya, peredaran buku fisiknya mencatatkan skor penetrasi 50 persen, sedangkan e-book hanya 15 persen, atau Amerika Serikat dengan penetrasi e-book hanya 20 persen, sedangkan buku fisiknya lebih tinggi, yakni 30 persen.
Di Indonesia, belum ada terlalu banyak survei yang mengangkat hal ini. Namun, Kementerian Kominfo sempat menggelar jajak pendapat di media sosial X pada 2020. Hasilnya, buku fisik lebih menarik 77,2 persen responden, sedangkan e-book hanya 22,8 persen.
Namun, di Survei Rakutan Insight 2023, smartphone kini sudah jadi perangkat favorit untuk membaca buku di Indonesia. Adapun, buku fisik hanya mendapat nilai 12 persen dan tablet 1 persen.
Perbincangan mengenai novel digital pun jadi hal menarik. Utamanya seberapa besar pengaruhnya dalam industri buku saat ini.
Posisi E-book dalam Ekosistem Perbukuan Indonesia
Di Indonesia, perkembangan tren novel digital cukup dinamis, meski harus diakui bahwa kepopuleran buku konvensional masih tetaplah jadi primadonanya. Ebook kerap kali dianggap hanya sebagai komplementer saat masyarakat tidak bisa memperoleh buku fisiknya.Begitu pula saat kondisi-kondisi khusus yang lain terjadi, seperti ketika pandemi Covid-19, novel digital, termasuk dalam bentuk audio, itu tumbuh sangat tinggi. Namun, angkanya memang belum bisa menembus apa yang dicapai buku kertas.
“Ya, buku digital itu memang masih kecil. Mungkin pangsa pasarnya hanya 10 persen dari nilai omzet buku secara keseluruhan. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, buku cetak memang masih mendominasi,” ungkap Arys kepada Hypeabis.id.
Salah satu faktor yang membuat itu terjadi adalah karena buku cetak masih dianggap sebagai sebuah masterpiece dalam berkarya di kepenulisan. Baik itu oleh penulisnya maupun para pembacanya.
Jadi, walaupun karya si penulis sudah laku di dunia digital, rasanya belum lengkap bila bukunya tidak dicetak. Bagi penulis, kebahagiaan terbesarnya justru ketika karyanya dijadikan buku. Karena itu jugalah hingga kini buku cetak tetap menjadi hal yang penting.
Begitu pula bagi pembaca, yang meski sudah membaca versi digital, kerap kali masih menginginkan versi fisiknya. Hal ini karena memiliki buku fisik selalu menyuguhkan pengalaman membaca yang berbeda.
Itulah yang membuat meski penulis telah membuat karya novel di digital, lalu menjadi populer, mereka tetap menempuh jalur konvensional: menerbitkan naskahnya. Hal yang kemudian juga disambut antusias oleh pembacanya.
Namun, bukan berarti digitalisasi tak memberi berkah tersendiri di industri penulisan. Salah satu hal menarik dari digitalisasi dari dunia buku adalah mendemokrasi ranah kekaryaan dan membuat regenerasi lebih berjalan mulus.
Saat ini sudah ada banyak sekali platform buku digital yang berkembang. Aneka platform itu tidak hanya sebagai distribusi karya, tetapi juga wadah berkarya. Tren yang sudah berlangsung bertahun-tahun tersebut membuat pertumbuhan novelis atau penulis novel baru berkembang pesat.
Baca juga: Memacu Penerbitan Novel Berbahasa Daerah di Negeri yang Kaya Bahasa
Menurut Arys, perkembangan tren penulis di platform digital menjadi peluang baik karena melahirkan banyak penulis potensial baru. Di sisi lain, penulis baru ini juga makin mudah menerbitkan karyanya.
Platform digital juga membuat penulis-penulis baru bisa dengan cepat menemukan pengikut atau calon pembaca potensial. Pada ujungnya, mereka pun dapat membangun karyanya menjadi sebuah IP yang besar.
Dari sisi penerbit, kata Arys, industri ini terantu dalam menemukan calon-calon penulis baru. penerbit makin mudah untuk mengakuisisi sebuah karya karena tak lagi menggunakan cara-cara konvensional.
Dahulu, penerbit baru akan mengakuisisi karya ketika penulis mengirim naskah penuh bukunya. Sekarang, akuisisi naskah bisa dilakukan penerbit dengan mencari penulis yang memiliki konten di dunia digital.
Fenomena ini makin menarik. Sebab, digitalisasi telah memancing karya-karya baru untuk muncul, tetapi justru karya tersebut tidak bisa hidup langsung di sana. Dalam artian, masih mesti beralih medium ke fisik terlebih dahulu. Namun, soal ini, Arys punya pandangan lain.
“Saya cenderung untuk tidak mengkotak-kotakan itu. Dalam industri penerbitan, itu tidak masalah. Yang sedang kami bisniskan itu kan konten, mau dalam bentuk kertas, audio, video, itu tidak masalah. Lain hal ketika perspektifnya adalah industri percetakan,” imbuhnya.
Dalam era digital, kata Arys, proses pengeditan, promosi, dan penjualan juga kini lebih mudah. Kehadiran marketplace membuat buku lebih mudah bertemu calon pembeli. Dalam hal ini, Arys menyebut kini sudah 50 persen anggota IKAPI yang bertransformasi ke format digital.
Kendati demikian, ada beberpa masalah yang muncul di ekosistem novel digital, seperti plagiarisme, penyontekan buku dan masalah hak cipta. Dalam hal penjualan, isu pembajakan juga masih jadi persoalan yang harus segera dituntaskan.
Digitalisasi & Penguatan IP
Ekosistem novel digital telah memacu pertumbuhan penulis-penulis baru. Mereka juga mampu mengembangkan karyanya tidak hanya berakhir menjadi tulisan, tetapi sebuah IP yang bisa berkembang ke mana pun.Salah satunya dialami oleh Erisca Febriani. Dia adalah novelis yang karyanya kerap kali diadaptasi menjadi film atau serial. Erisca pertama kali mengawali karier kepenulisannya dari hal sederhana.
Dia kerap kali membagikan cerita-cerita bikinannya lewat SMS blast. Lantaran banyak yang menyukai, Erisca memberanikan diri menulis di Facebook hingga kemudian di platform Wattpad.
Salah satu judul populernya adalah Dear Nathan, kisah romansa remaja yang pada dekade 2015-an begitu booming. Karya tersebut kemudian diadaptasi ke dalam film maupun series.
Erisca juga mengembangkannya ke dalam universe. Setelah Dear Nathan, lahirlah Hello Salma (2018), Thank You Salma (2019), dan Goodbye Daniel (2021). Erisca juga menggarap serial novel yang lain, seperti Kisah untuk Geri (2019) hingga Kisah untuk Dinda (2021).
Saat ini total ada sekiat 8 karyanya yang sudah menjadi IP besar dan diadaptasi menjadi medium lain, termasuk film. Platform digital memang telah membuka jalan karier kepenulisan bagi Erisca.
“Saat ini aku sedang menulis novel grafis baru, bakal segera terbit. Judulnya Memori Era 200-an. bukan fiksi, jadi berisi tentang tren-tren pada 2000-an yang ngangenin,” kata Erisca kepada Hypeabis.id.
Segendang sepenarian, Eria Chuzaimiah atau karib disapa Mia juga merasakan hal senapa. Lulusan teknik industri Universitas Andalas ini memberanikan diri menulis dengan modal nekat. Sebab, dia tidak punya ilmu dasar kepenulisan.
Namun, pada 2017, dia akhirnya mencoba-coba menulis di platform online, seperti Wattpad. Lalu, ketagihan. Cerita pertama yang ditulisnya adalah Dearest Mai, berlanjut ke judul-judul karya yang lain.
Saat menulis di Wattpad, Mia kerap kali memacu diri untuk meng-update ceritanya secara berkala dalam waktu yang tak terlalu lama. Hal yang kemudian menjadi pembacanya terikat dan mengikuti ceritanya secara terus menerus.
Tak lama kemudian, salah satu judul cerita populernya, yakni Wedding Agreement, meledak. Pada 2019, karya itu dialihwanakan menjadi film layar lebar oleh Starvision. Pada 2022 dijadikan web series sebanyak 10 episode dan tayang di Disney+ Hotstar.
Sembilan karya novel telah diterbitkannya, kini Mia juga sedang menggarap karya baru. Novel teranyarnya itu merupakan adaptasi dari sebuah film yang akan terbit.
Baca juga: 8 Julukan Bagi Para Penggemar Buku, Genhype yang Mana?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.