Musim Kupu-Kupu Kuning, Novel Sejarah Tentang Tradisi Berburu Kepala di Nias
21 August 2021 |
20:10 WIB
Bagi kalian penggemar novel bertemakan sejarah, novel karya penulis asal Italia yang satu ini sepertinya tak boleh dilewatkan. Novel yang dimaksud adalah Musim Kupu-Kupu Kuning yang kisahnya berlatar belakang tradisi berburu kepala di Pulau Nias, Sumatra Utara.
Novel yang ditulis oleh penulis sekaligus antropolog asal Italia Vanni Puccioni itu resmi dirilis pada Sabtu (21/8/2021) oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Novel tersebut menjadi novel kedua dari Puccioni yang diterbitkan oleh penerbit tersebut setelah Tanah Para Pendekar.
Keduanya punya kesamaan, yakni sama-sama mengisahkan tradisi berburu kepala di pulau yang berada di sebelah barat Sumatra itu. Tradisi itu dilakukan oleh masyarakat Nias sebelum mereka mengenal agama Kristen seperti saat ini.
Tradisi yang disebut sebagai manga'i binu itu awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur tetapi pada kemudian hari berkembang sebagai penanda status sosial.
Makin banyak kepala yang berhasil dikumpulkan oleh seseorang, maka makin tinggi pula status sosial mereka. Biasanya seorang pemimpin atau bangsawan Nias berwasiat ketika mereka meninggal dunia dikuburkan bersama dengan kepala manusia lainnya dalam jumlah tertentu.
Selain itu, dahulu pria yang ingin menikah di Nias juga diminta untuk mempersembahkan kepala dalam jumlah tertentu sebagai mahar.
Menurut Puccioni, sebelum terbit dalam bahasa Indonesia, Musim Kupu-Kupu Kuning terlebih dahulu terbit dalam bahasa Italia berjudul Nella Stagione Delle Farfalle Gialle. Sama seperti novel sebelumnya yang dia tulis, Musim Kupu-Kupu Kuning ditulis saat dia berada di Nias untuk membantu proses rekonstruksi pascabencana gempa bumi tahun 2005.
"Novel ini sama seperti dengan Tanah Para Pendekar yang saya tulis berdasarkan pengalaman saya selama berada di Nias membantu program rekonstruksi. Banyak hal yang saya pelajari mengenai tradisi dan budaya setempat setelah ikut menetap disana," katanya pada Sabtu (21/8/2021) dalam sebuah diskusi virtual.
Penulisan novel tersebut tidak sembarangan lantaran melalui riset yang panjang dan melibatkan sejumlah tokoh setempat. Salah satu di antaranya adalah Esther Glorian Telaumbanua, tokoh perempuan sekaligus pegiat pelestarian pusaka Nias.
"Puccioni beberapa kali menghubungi saya, bahkan untuk hal kecil seperti pemilihan nama tokoh. Dia berulang kali bertanya untuk memastikan apakah nama tokoh yang dia gunakan dalam novelnya sudah tepat sesuai dengan nama Nias saat itu," tuturnya.
Rilisnya Musim Kupu-Kupu Kuning juga mendapatkan perhatian khusus dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Seperti diketahui, Yasonna merupakan putra Nias pertama yang berhasil menduduki jabatan sebagai menteri di negeri ini.
Yasonna memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Puccioni yang mengangkat tradisi Nias dalam karya-karyanya. Dia menyebut masih belum banyak karya atau literatur yang mengangkat tradisi kampung halamannya itu.
"Kisah-kisahnya seperti tradisi yang memang ada. Tradisi itu masih sempat saya temui saat saya kecil. Tetapi menghilang seiring dengan masuknya misionaris Kristen. Apresiasi untuk Puccioni yang mengangkat tradisi Nias ke kancah internasional," katanya.
Sementara itu, terkait dengan pemilihan judul Musim Kupu-Kupu Kuning tak terlepas dari peristiwa kemunculan kupu-kupu kuning di Nias yang kerap diasosiasikan sebagai pertanda hal buruk atau bencana.
Dalam novel tersebut, dikisahkan kedatangan armada perang pemerintah kolonial Belanda di Nias, tepatnya di Teluk Lagundri. Tentunya, kedatangan mereka menjadi ancaman bagi masyarakat Nias.
Kedatangan Belanda ternyata memang benar membawa bencana bagi masyarakat Nias. Mereka membangun benteng pertahanan kemudian menyerang masyarakat dan merusak tatanan kehidupan sosial, termasuk tradisi manga'i binu.
Editor: Indyah Sutriningrum
Novel yang ditulis oleh penulis sekaligus antropolog asal Italia Vanni Puccioni itu resmi dirilis pada Sabtu (21/8/2021) oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Novel tersebut menjadi novel kedua dari Puccioni yang diterbitkan oleh penerbit tersebut setelah Tanah Para Pendekar.
Keduanya punya kesamaan, yakni sama-sama mengisahkan tradisi berburu kepala di pulau yang berada di sebelah barat Sumatra itu. Tradisi itu dilakukan oleh masyarakat Nias sebelum mereka mengenal agama Kristen seperti saat ini.
Tradisi yang disebut sebagai manga'i binu itu awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur tetapi pada kemudian hari berkembang sebagai penanda status sosial.
Makin banyak kepala yang berhasil dikumpulkan oleh seseorang, maka makin tinggi pula status sosial mereka. Biasanya seorang pemimpin atau bangsawan Nias berwasiat ketika mereka meninggal dunia dikuburkan bersama dengan kepala manusia lainnya dalam jumlah tertentu.
Selain itu, dahulu pria yang ingin menikah di Nias juga diminta untuk mempersembahkan kepala dalam jumlah tertentu sebagai mahar.
Menurut Puccioni, sebelum terbit dalam bahasa Indonesia, Musim Kupu-Kupu Kuning terlebih dahulu terbit dalam bahasa Italia berjudul Nella Stagione Delle Farfalle Gialle. Sama seperti novel sebelumnya yang dia tulis, Musim Kupu-Kupu Kuning ditulis saat dia berada di Nias untuk membantu proses rekonstruksi pascabencana gempa bumi tahun 2005.
"Novel ini sama seperti dengan Tanah Para Pendekar yang saya tulis berdasarkan pengalaman saya selama berada di Nias membantu program rekonstruksi. Banyak hal yang saya pelajari mengenai tradisi dan budaya setempat setelah ikut menetap disana," katanya pada Sabtu (21/8/2021) dalam sebuah diskusi virtual.
Penulisan novel tersebut tidak sembarangan lantaran melalui riset yang panjang dan melibatkan sejumlah tokoh setempat. Salah satu di antaranya adalah Esther Glorian Telaumbanua, tokoh perempuan sekaligus pegiat pelestarian pusaka Nias.
"Puccioni beberapa kali menghubungi saya, bahkan untuk hal kecil seperti pemilihan nama tokoh. Dia berulang kali bertanya untuk memastikan apakah nama tokoh yang dia gunakan dalam novelnya sudah tepat sesuai dengan nama Nias saat itu," tuturnya.
Rilisnya Musim Kupu-Kupu Kuning juga mendapatkan perhatian khusus dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Seperti diketahui, Yasonna merupakan putra Nias pertama yang berhasil menduduki jabatan sebagai menteri di negeri ini.
Yasonna memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Puccioni yang mengangkat tradisi Nias dalam karya-karyanya. Dia menyebut masih belum banyak karya atau literatur yang mengangkat tradisi kampung halamannya itu.
"Kisah-kisahnya seperti tradisi yang memang ada. Tradisi itu masih sempat saya temui saat saya kecil. Tetapi menghilang seiring dengan masuknya misionaris Kristen. Apresiasi untuk Puccioni yang mengangkat tradisi Nias ke kancah internasional," katanya.
Sementara itu, terkait dengan pemilihan judul Musim Kupu-Kupu Kuning tak terlepas dari peristiwa kemunculan kupu-kupu kuning di Nias yang kerap diasosiasikan sebagai pertanda hal buruk atau bencana.
Dalam novel tersebut, dikisahkan kedatangan armada perang pemerintah kolonial Belanda di Nias, tepatnya di Teluk Lagundri. Tentunya, kedatangan mereka menjadi ancaman bagi masyarakat Nias.
Kedatangan Belanda ternyata memang benar membawa bencana bagi masyarakat Nias. Mereka membangun benteng pertahanan kemudian menyerang masyarakat dan merusak tatanan kehidupan sosial, termasuk tradisi manga'i binu.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.