Ilustrasi komik strip Si Juki. (Sumber gambar: Si Juki/Instagram)

Hypereport: Cerita Komikus Indonesia Tertatih di Industri Komik Digital

20 May 2024   |   12:24 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Teknologi mengubah cara masyarakat mengakses buku bacaan, tak terkecuali komik. Cerita bergambar atau komik kini tak hanya hadir dalam bentuk cetak, tapi juga digital. Berbekal ponsel pintar dan kuota internet, pembaca bebas mengunduh aplikasi komik digital dan menikmati semua cerita sesuai genre favorit.
 
Ujung jempol dan telunjuk tangan tak lagi kusam saat atau setelah membaca komik. Begitupun aroma kertas komik yang khas sudah jarang dinikmati pembaca. Belakangan, kedua jari pembaca komik tersebut hanya tinggal scroll atas-bawah, kiri-kanan, untuk menikmati setiap rangkaian cerita komik digital.
Kebiasaan tersebut mulai banyak terlihat di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, tepatnya setelah perusahaan komik digital asal Korea Selatan, Line Webtoon, merambah pasar dalam negeri pada 2015. Banyak judul komik digital baik karya dari kreator Korea maupun Indonesia di Webtoon yang menjadi bacaan favorit audiens saat ini di dalam negeri. 
 
Meski demikian, sebenarnya sebelum adanya Webtoon, Indonesia sudah punya platform komik digital bernama Ngomik.com. Versi beta situs tersebut sudah ada sejak 2010 dengan 500 komikus dan 2.700 pengguna. Namun, situs itu kini sudah tidak aktif.
 
Selain Ngomik.com, dikenal juga satu platform komik digital lokal bernama Makko yang dibuat tahun 2010. Makko adalah situs penyaji komik digital gratis, lengkap dengan artikel dan tempat belanja merchandise. Sayangnya, situs ini juga tak bisa bertahan lama untuk menjamu para pencinta komik lokal.
 
Setelah Webtoon masuk pun, platform komik digital lain dari dalam negeri juga mulai bergeliat, seperti Ciayo.com. Namun senasib dengan Ngomik.com dan Makko, situs ini berhenti beroperasi pada Agustus 2020 lalu, menjadi salah satu platform yang tutup di masa pandemi. 
 
Dengan begitu, kini industri komik digital Indonesia boleh dibilang dikuasai oleh Webtoon. Belum ada platform asal Indonesia atau negara lain yang mampu menyaingi Webtoon, dan beroperasi secara berkelanjutan. Platform komik digital asal Jepang, Comico, pun tutup pada September 2019 setelah beroperasi sekitar 2 tahun.
 
Selain Webtoon, banyak komikus juga saat ini memanfaatkan platform media sosial seperti Facebook dan Instagram untuk mengunggah dan mempublikasikan karya-karya komik mereka. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan media sosial yang telah menjadi bagian cara berkomunikasi sekaligus mencari hiburan dari keseharian masyarakat.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by MINDBLOWON® (@tahilalats)


 
Pengajar sekaligus pengamat komik dari Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, Bambang Tri Rahadian mengatakan komik digital kini telah menjadi realitas sehari-hari yang dekat dengan pembaca sekaligus komikus khususnya dari kalangan Generasi Z, yang kesehariannya memang tak bisa lepas dari teknologi digital dan media sosial.
 
Komik digital bukan hanya soal cara mengakses bacaan cerita bergambar, melainkan juga mengubah cara komikus dalam membuat komik secara digital juga. Meski demikian, dalam komunitas-komunitas yang lebih kecil, katanya, banyak juga Gen Z yang justru tertarik memburu komik cetak untuk mencari pengalaman yang berbeda.
 
Begitupun di kalangan mahasiswa yang mengambil studi komik, banyak dari mereka yang justru tertarik untuk belajar membuat komik dengan proses konvensional versi cetak. Komik cetak dianggap sebagai media untuk mencari romantisme atau hal-hal baru di kalangan Gen Z.
 
"Karena komik digital sudah keseharian, justru bikin komik versi buku itu hal yang baru buat mereka. Jadi terbalik pemikirannya, dan paradoks gitu. Akhirnya, mereka dapat pembelajaran dari keduanya, komik cetak dan digital," katanya kepada Hypeabis.id.
Perubahan cara baca komik secara digital dengan cara scroll dari atas ke bawah, rupanya turut mengubah cara bertutur komik saat ini. Pria yang karib disapa Beng itu mengatakan dalam satu slide komik digital, cenderung menghadirkan cerita yang pendek dengan paced yang cepat. Berbeda dengan komik cetak yang paced-nya lebih lambat.
 
Beng mengatakan hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi para komikus senior yang merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan cara bertutur komik digital. Sebaliknya, mereka justru terbiasa dengan pacing yang intens di komik cetak yang menjadi salah satu seni dari cerita bergambar.
 
"Kalau kita bikin seperti itu di komik digital, membosankan. Anak-anak muda sudah enggak mau lihat itu. Jadi mereka ingin cepat, karena mungkin ingin buka aplikasi lain seperti TikTok dan WhatsApp di gadget yang sama. Beda dengan buku, pembaca bisa berlama-lama," kata Beng.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Ade Lukman (@komikluks)


 
Perubahan juga terjadi dari segi genre. Komikus Is Yuniarto mengatakan format media sosial seperti Facebook dan Instagram membuat kecenderungan sejumlah komikus saat ini lebih mengeksplorasi karya komik bergenre humor dan strip. Dari situ, mereka juga biasanya menyajikannya di platform lain dalam bentuk video di YouTube maupun TikTok.
 
Untuk diketahui, komik strip adalah jenis komik yang hanya terdiri dari beberapa buah gambar namun tetap memiliki alur cerita dan gagasan yang utuh. Biasanya komik strip mengangkat isu atau peristiwa yang sedang viral diperbincangkan publik.
 
Is menjelaskan secara teknik, komik strip yang cenderung mengangkat hal-hal ringan bisa dibikin lebih cepat ketimbang komik dengan narasi yang lebih serius atau panjang. Karena secara teknis lebih mudah cepat, akhirnya komik strip pun menjamur dan menciptakan pasar pembaca yang luas.
 
"Komik digital Indonesia menemukan sebuah tempat dan platform seperti Facebook dan Instagram yang sampai hari ini masih menjadi salah satu channel utama bagi komikus lokal seperti Tahilalats dan Si Juki," kata Is. 

Baca juga: Hypereport: Novel Digital Bikin Pengembangan IP Sebuah Karya Jadi Lebih Kuat
 
Kondisi itu pun dipandang oleh Beng sebagai salah satu tantangan utama perkembangan dunia komik di Indonesia saat ini. Menurutnya, tren komik digital yang saat ini menjamur justru membuat Indonesia kekurangan konten komik yang bercerita secara mendalam.
 
"Jadi anak-anak pembuat komik di Webtoon atau Instagram ini bercerita dengan cepat, yang pembacanya juga membaca dengan cepat," ucap Beng. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Si Juki (@jukihoki)


 

Persaingan Konten & Basis Penggemar

Di tengah perkembangan komik digital yang cukup masif di Indonesia, para komikus juga masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya ialah persaingan konten dari kreator luar negeri seperti yang terjadi di platform Webtoon.
 
Is menuturkan persaingan konten yang terjadi salah satunya disebabkan oleh dominasi porsi kreator Korea yang lebih banyak ketimbang dari komikus lokal di Webtoon. Hal ini pun menyebabkan kreator lokal mesti bersaing dengan mereka untuk mendapatkan tempat di kalangan pembaca.
 
 "Karena ini memang platform dari Korea dan punya misi untuk mewadahi konten-konten mereka, dan kreator lokal harus bersaing," kata komikus pencipta Grand Legend Ramayana itu.
 
Kondisi ini juga serupa dengan kondisi di komik versi cetak. Is mengatakan sebagian besar toko buku di Indonesia masih didominasi oleh komik-komik dari luar negeri seperti dari Jepang, Korea maupun Amerika. Tidak ada regulasi yang mengatur agar komik lokal bisa lebih mendapatkan tempat di negerinya sendiri. 
 
Oleh karena itu, dia memandang diperlukan dukungan serta regulasi dari pemerintah untuk mendorong perkembangan dunia komik di Indonesia. Dia membandingkan dengan di Malaysia. Negeri Jiran itu, kata Is, saat ini tengah maju industri komik lokalnya ditandai dengan masih banyaknya jumlah terbitan komik cetak. 
 
Belajar dari Malaysia, Is menilai Indonesia bisa memberikan dukungan salah satunya berupa dana produksi untuk mencetak komik lokal secara lebih masif lagi, serta memperluas distribusi. "Karena di Malaysia ada regulasi-regulasi pemerintah dan dukungan-dukungan khususnya dana produksi," ucapnya.
 
Contoh dukungan lain yang bisa menjadi opsi, menurut Is ialah adanya regulasi dari pemerintah untuk memberikan porsi yang lebih besar bagi kreator lokal di kalangan penerbit. Hal ini juga bisa diterapkan di platform komik digital dari luar negeri. Dengan begitu, pasar bisa lebih banyak memberikan ruang bagi kreator lokal untuk mengenalkan karya-karyanya ke pembaca.
 
"Kalau tidak ada regulasi seperti sekarang jadinya bebas saja, mau menerbitkan 1.000 komik Jepang versus 1 komik Indonesia, enggak ada yang mengatur," kata komikus kelahiran Semarang itu. 

Baca juga: Hypereport: Komik Digital Paling Populer di Indonesia
 
Di sisi lain, Beng menyebut tantangan lain yang dihadapi komikus ialah terkait fan-based. Menurutnya, penerbit saat ini memiliki kecenderungan tertarik untuk menerbitkan komik dari para kreator salah satunya dengan mempertimbangkan basis penggemar atau jumlah pengikut mereka di media sosial.
 
Basis penggemar atau pengikut di media sosial itu seolah menjadi tolok ukur keberhasilan penjualan komik di kalangan pembaca. "Padahal follower kita di Instagram atau Twitter itu belum tentu juga pembeli buku kita. Jadi komikus itu sekarang harus memelihara fan-based," ujarnya.
 
Tantangan lain yang dihadapi dunia komik menurut Beng ialah SDM yang mampu membuat cerita. Menurutnya, saat ini banyak orang bisa menggambar namun tidak semuanya memiliki kemampuan untuk membuat cerita atau narasi.
 
Terlebih, katanya, banyak anak muda yang tertarik untuk mempelajari komik tapi belum tentu berminat menjadikannya sebagai profesi lantaran tidak bisa memberikan penghasilan yang instan. Lain hal kalau bekerja di perusahaan yang memang memproduksi komik.
 
"Komik itu kan cerita, kemampuan bercerita. Jadi komikus dengan kemampuan bercerita itu yang harus diperbanyak. Kemampuan bertutur dalam bentuk komik, panel-panel itu yang harus dikuasai, kalau gambar bisa mengikuti," ujar Beng.
Bicara soal tren, Beng menilai ke depan, komik-komik digital di Indonesia akan didominasi dengan topik-topik yang berkaitan dengan persoalan yang lebih personal seperti kesehatan mental, krisis kepercayaan diri, dan sebagainya. Bukan lagi didominasi dengan komik-komik superhero yang membawa narasi heroik.
 
"Sekarang itu sudah mulai mengangkat ke hal-hal yang lebih personal, misalnya menceritakan tokoh yang bipolar. Jadi komik-komik yang tidak membawa narasi besar kupikir akan menjadi tema ke depan," imbuh Beng.

Editot: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Kronologi Ruben Onsu Dilarikan ke Rumah Sakit Majalengka

BERIKUTNYA

Kiprah Mendiang Salim Said dari Wartawan, Tokoh Film, Hingga Dubes

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: