Eggnoid Film adaptasi Webtoon (Sumber Foto: Instagram/@visinema)

Hypereport: Menilik Proses Kreatif Pembuatan Film Adaptasi Komik Digital

20 May 2024   |   10:12 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Seiring perkembangan zaman, rilisan nonfisik mulai merambah ke karya sastra. Ini ditandai dengan munculnya novel dan komik digital yang bisa diakses melalui ponsel pintar dan layanan internet. Sejumlah platform novel digital populer misalnya Wattpad dan Fizzo, dan komik digital ada Webtoon dan masih banyak lagi kian eksis dan diminati.

Menariknya kini penggemar novel dan komik digital tak hanya bisa menikmati ceritanya dalam format teks atau gambar dua dimensi saja. Sejumlah sineas perfilman Indonesia mulai tertarik mengadaptasi karya novel dan komik digital dalam bentuk film.

Baca juga: Hypereport: 8 Film Hasil Alih Wahana Novel & Komik Digital Terpopuler di Indonesia

Kesempatan ini juga menguntungkan para kreator novel dan komik digital dengan pembelian IP (Intellectual Property) dan pembayaran royalti. Selain itu, tentunya bisa menarik audiens lebih luas dari kedua platform, sehingga cerita dan karakter-karakter di dalamnya menjadi ikonik dan makin populer.

Menurut data Cinepoint, film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini, di antaranya ada KKN di Desa Penari (2022) 10.061.033 penonton, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) 6.858.616 penonton, Pengabdi Setan 2: Communion (2022) 6.391.982 penonton.

Selanjutnya Dilan 1990 (2018) 6.315.664 penonton, Miracle in Cell No.7 (2022): 5.852.916 penonton, Dilan 1991 (2019) 5.253.411 penonton, Agak Laen (2024): 4.987.385 penonton, Sewu Dino (2023): 4.891.609 penonton, Laskar Pelangi (2008) 4.719.453 penonton, serta Habibie & Ainun (2012) 4.583.641 penonton.

Menariknya, sebagian besar film tersebut didominasi oleh karya-karya adaptasi, baik dari utas, novel, bahkan film negara lain. Misalnya Dilan yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dan Habibie & Ainun dari novel biografi karya B.J Habibie.

Meski tak banyak, film-film adaptasi komik digital juga mulai mandapatkan posisinya di jajaran film populer Indonesia. Sebut saja Pasutri Gaje dan Virgo and The Sparkling karya Annisa Nisfihani, Terlalu Tampan karya Mas Okis dan S.M.S, Eggnoid dan Sri Asih karya Archie The Redcat.

Sebelum diadaptasi jadi film, karya-karya tersebut sangat populer bahkan sudah memiliki audiensnya sendiri. Meski demikian, proses alih wahana novel dan komik digital ke film tentu tak selamanya mulus tanpa hambatan. Sejumlah hal perlu dicermati, mulai dari penyesuaian plot dan karakter, hingga proses monetisasinya.
 
Kali ini, Naya Anindita, sutradara Eggnoid: Cinta & Portal Waktu membagikan proses kreatif selama proses alih wahana komik digital ke film. Adapun film keluaran 5 Desember 2019 tersebut, diproduksi Visinema Pictures yang diadaptasi dari Webtoon karya Archie The Redcat. Diperankan oleh Morgan Oey sebagai Eggy dan Sheila Dara sebagai Ran.
 

Sinopsisnya mengisahkan tentang Ran menemukan Eggnoid yang kemudian dia beri nama Eggy. Eggnoid adalah manusia yang dikirim dari masa depan dan ditakdirkan untuk menjadi support system bagi master-nya. Ran adalah master Eggy sehingga segala pilihan yang dibuat Eggy harus selalu berpusat pada kebahagiaan Ran. Sampai sebuah peristiwa memaksa Ran dan Eggy untuk membuat pilihan-pilihan yang mungkin akan menyalahi takdir keduanya.

"Jadi waktu itu ada project dari Visinema Pictures yang membeli beberapa IP komik digital karena waktu itu Webtoon lagi rame-ramenya di Indonesia dan pembacanya juga banyak," ujar Naya.

Wanita yang juga dikenal sebagai host Jalan-Jalan Men! tersebut tertarik untuk menyutradarai Eggnoid yang bergenre romance dan science fiction. Selama proses pembuatan film, kreator Eggnoid juga dilibatkan. Mereka banyak berdiskusi mengenai plot cerita dan eksekusinya dalam setiap adegan.

"Sebetulnya saat film ini tayang, Webtoonnya belum tamat. Jadi kita nggak bisa menebak-nebak perkembangan ceritanya dan kita juga enggak mau ngasih spoiler ke pembaca komiknya," kata Naya. 

Baca juga: Hypereport: Novel Digital Bikin Pengembangan IP Sebuah Karya Jadi Lebih Kuat

Akhirnya Naya dan tim produksi menggarap ending yang berbeda. Meski begitu, diungkapkan olehnya, sebagai sutradara dia tak mau membuat film yang melenceng dari dunia yang diciptakan kreator dalam komik. Akhirnya ending film tersebut tercipta atas dasar kreativitas para sineas yang terlibat setelah berdiskusi dengan kreator.

Selama alih wahana komik digital ke film, menurut Naya proses ini beda dari pengerjaan film-film adaptasi pada umumnya. Beda dengan novel, komik punya dunia yang lebih luas dan kreativitas yang tidak terbatas.

"Apalagi Eggnoid ini genrenya scifi, tentunya ada beberapa penyesuaian saat diadaptasi ke film. Ada pertimbangan budget juga, karena tidak mungkin pakai CGI semua," katanya.

Selain itu, seperti yang kita tahu komik punya banyak episode, sementara di film durasinya terbatas sekitar dua jam. Naya hanya punya waktu 15 menit pertama di awal film untuk build up perkenalan singkat dunia Eggnoid dan para karakternya. Baginya, saat sudah diadaptasi ke film, otomatis karya ini sudah merengkuh pasar masyarakat luas, bukan hanya pembaca komiknya saja.

"Sedangkan 15 menit itu sangat singkat untuk orang yang memang awam dan sama sekali tidak baca komiknya, ini cukup menantang, kita berkali-kali mengubah draft supaya penceritaannya tidak terlalu lambat," kata Naya.

Lebih lanjut, tantangan lain yang dihadapinya adalah bagimana cara memvisualisasikan karakter di komik ke karakter manusia nyata dalam film. Seringkali kita mendengar, penggemar yang kecewa karena karakter dalam film adaptasi tidak bisa memenuhi ekspektasi pada karya aslinya.

"Kalau di komik kita lihat Eggy rambutnya pirang matanya biru, tapi ketika ditranslasikan ke film tentunya tidak bisa sama, kita tetap pakai aktor Indonesia karena memang komiknya diciptakan oleh kreator lokal," ujarnya.

Baca juga: Hypereport: Komik Digital Paling Populer di Indonesia

Komik juga punya world building nya sendiri. Setiap adegannya ada hiperbolanya, beda dengan novel. Oleh karenanya perlu disesuaikan lagi ceritanya saat dieksekusi ke adegan film. Selain itu, dalam komik para kreator bisa dengan liar menggambarkan dunia imajinatifnya, sementara ketika diadaptasi ke film akan dibatasi oleh durasi dan budget produksi.

Meski begitu, proses adaptasi komik digital ke film tentunya bisa menguntungkan kedua paltform dan pihak-pihak yang terlibat. Melalui monetisasi kreator komik digital bisa menjangkau audiens lebih luas dan mendapatkan keuntungan. Biasanya rumah produksi akan meminjam IP dengan sistem beli putus atau pembayaran royalti.

"Sebetulnya untuk urusan ini production house akan bernegosiasi dengan kreator, untuk Eggnoid sendiri karyanya tidak dibeli putus, tapi dibayar melalui royalti dengan jangka waktu tertentu," papar Naya.

Berdasarkan pengamatannya, para kreator yang karyanya dibeli oleh PH untuk diadaptasi ke film, mereka akan mendapatkan pembayaran royalti sekitar 3-5 tahun. Misalnya suatu PH meminjam IP dari kreator komik digital dengan hak pakai selama 5 tahun dengan fee sekian. Selain itu, tidak menutup kemungkinan hanya diadaptasi ke film saja, bisa juga sekalian dengan turunannya, misalnya mau dibuat series atau merchandise, semuanya tergantung kesepakatan bersama.
 

Pentingnya Pencatatan Hak Cipta untuk Penulis 

Film sebagai karya sinematografi seringkali idenya berangkat dari karya novel atau komik. Kesuksesan sebuah karya novel atau komik bisa menjadi peluang besar untuk para sineas yang membutuhkan ide pembuatan proyek film-film berikutnya. Kendati demikian, Asma Nadia, penulis buku Surga Yang Tak Dirindukan, menekankan pada para penulis untuk tidak langsung tergiur ketika ada rumah produksi yang ingin mengadaptasi karyanya ke layar lebar. 

“Kita harus sangat teliti untuk melihat setiap klausul yang disodorkan production house kepada kita sebagai penulis atau pemilik ide cerita pertama kali untuk memastikan tidak ada kerugian di kemudian hari,” ujarnya dalam webinar POP HC (Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta) bertajuk Peluang Karya Film yang Diadaptasi dari Novel.

Asma Nadia berpesan supaya para penulis tidak langsung percaya kepada pihak lain yang memperlihatkan minat pada naskah tulisan mereka. Para penulis baru boleh memperlihatkan seluruh ide ceritanya apabila telah terjadi kesepakatan yang sah. Tentunya ini menghindari kemungkinan plagiarisme dan segala hal yang bisa merugikan penulis.

Penulis perlu juga memperhatikan apakah karyanya dibeli putus atau dibayar melalui royalti, serta jangka waktu pemberian lisensi. Apa saja hak dan kewajiban penulis selama proses dan pasca pembuatan film, dan lain sebagainya.

Asma Nadia juga menekankan pentingnya mendokumentasikan karya yang mungkin akan diadaptasi ke wahana lain misalnya seperti webseries, sinetron, atau merchandise. Langkah ini menurutnya wajib agar penulis bisa melindungi karyanya jika terjadi sengketa di masa depan.

“Saya tidak diamkan karya yang saya buat. Saya kirim ke penerbit, ke majalah atau koran. Kemudian, saya juga selalu membuat pembaruan-pembaruan dari tulisan saya sehingga ketika ada orang yang mengklaim idenya mirip, saya punya bukti kepemilikan,” lanjutnya.

Hal serupa juga dijelaskan Agung Damarsasongko, Koordinator Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif, Kementerian Hukum dan HAM RI. Kementerian akan membantu para penulis untuk membuktikan kepemilikan karyanya jika suatu hari kelak terjadi sengketa, caranya dengan melakulan Pencatatan karya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

“Pencatatan hak cipta memang tidak wajib. Kendati demikian, penulis karya akan memiliki bukti kuat kepemilikan jika telah mencatatkan karya di DJKI,” katanya, dikutip dari laman resmi Kementerian Hukum dan HAM RI. 

Baca juga: Hypereport: Melihat Proses Kreatif di Balik Podcast Komedi Viral

Sebagai dukungan DJKI untuk para penulis dan kreator, pencatatan karya kini dapat dilakukan dengan cepat yaitu melalui Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP HC). Pencatatan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan waktu paling lama 10 menit asalkan kreator telah memiliki seluruh dokumen pendukung.

Sistem Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP HC) telah diluncurkan dan digunakan sejak 20 Desember 2021. Para kreator dapat mengakses e-hakcipta.dgip.go.id untuk mengajukan permohonan pencatatan hak cipta. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Byeon Woo Seok Gelar Fan Meeting 'Summer Letter' di Jakarta 28 Juni 2024

BERIKUTNYA

Seniman Ryan LH Gelar Pameran Bertajuk Reflectry_: So Far So Good

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: