Hypereport: Kerja Berat Melestarikan Bangunan Cagar Budaya
29 January 2024 |
12:00 WIB
Lebih dari sekadar peninggalan masa lalu, bangunan cagar budaya merupakan bukti kemajuan dalam sebuah peradaban. Keberadaannya menyimpan banyak cerita dan sejarah yang harus dipelihara dan dilestarikan oleh seluruh pihak, terutama pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
Sebagai upaya memelihara dan melestarikan cagar budaya, pemerintah di berbagai belahan dunia memiliki arsip dan pendataan tentang bangunan heritage, dan secara berkala menjalankan program pemulihan dan perbaikan agar tetap terjaga.
Baca juga:
> Hypereport: Jalan Panjang Pengarsipan Musik Digital dan Restorasi Rilisan Analog
> Hypereport: Menengok Upaya Restorasi Aset Seni Nasional
> Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
> Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
> Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
Berbicara restorasi dan revitalisasi bangunan cagar budaya, salah satu nama ahli bangunan yang melekat dengan kegiatan tersebut ialah arsitektur senior Yori Antar. Sejumlah bangunan bersejarah telah berhasil dipugar atau direvitalisasi. Misalnya, Gedung Antara yang dalam tahap finalisasi, Masjid Tua Angke, Kapel Santa Ursula, dan sebagainya.
Pemulihan bangunan Gedung Antara yang berada di Pasar Baru, Jakarta itu hampir selesai. Dalam prosesnya, Yori juga melakukan pengembangan dengan menghadirkan bangunan baru, sehingga gedung yang pada awalnya hanya satu, sekarang menjadi tiga unit.
Sang arsitek menghadirkan lagi bangunan yang dahulu pernah ada dengan mempelajari dari foto–foto dokumenter. Tidak hanya itu, dirinya juga menghadirkan kembali nuansa ruang yang pernah tersaji pada masa lampau.
Sementara itu, terkait dengan Masjid Tua Angke, dia melakukan restorasi dengan membuka plafon sehingga terasa lebih luas. Bangunan itu tidak mengalami perubahan sama sekali.
Ya, restorasi dan revitalisasi merupakan dua hal yang berbeda. Yori mengungkapkan bahwa dalam proses restorasi, bangunan akan dikembalikan ke bentuk aslinya. Sementara itu, dalam proses revitalisasi, bangunan bersejarah bisa digunakan untuk fungsi yang baru. Jadi, ada kehidupan baru dalam bangunan tersebut.
“Dahulu kantor pemerintah, sekarang jadi hotel dan tahu-tahu jadi Museum,” katanya.
Meskipun begitu, tidak jarang keduanya berdampingan. Salah satu contohnya adalah ketika menangani bangunan Kementerian Perhubungan. Dia harus deal dengan fungsi yang sekarang. Namun, 'wajah' gedung harus direstorasi sesuai dengan bentuk aslinya.
Proses merestorasi dan revitalisasi bangunan bersejarah bukan sesuatu yang mudah, lantaran harus melalui sidang. Dalam proses sidang itu terdapat tim ahli cagar budaya yang di dalamnya juga ada arkeolog, pakar ilmu sosial, dan sebagainya.
“Saya senang dengan sidang [Restorasi dan Revitalisasi] lantaran sering mendapatkan masukan. Ada arkeolog, ilmu sosial. Kita dengar dan terapkan secara arsitektur,” ujarnya.
Dengan mendapatkan banyak masukan, proses restorasi dan revitalisasi dapat memiliki ketajaman. Dia mengakui bahwa sidang yang dijalani sebelum melakukan restorasi atau revitalisasi tidak sebentar, yakni bisa mencapai 6 bulan.
Sementara itu, saat masuk proses restorasi dan revitalisasi, penggunaan bahan-bahan bangunan juga tidak bisa sembarangan. Berbagai teknik diperlukan agar tidak mengubah bentuk ketika merestorasi suatu bangunan.
“Saat ayah saya merestorasi Gedung Arsip Nasional, dinding tidak boleh dibikin rata dan diaci. Jadi, dibentuk pakai tangan. Saat [Yori] merestorasi Kapel Ursula, tidak pakai cat sembarangan. Saya cari ke Belanda melalui ahli restorasi lukisan Italia,” ujarnya.
Pada saat ini, Yori mengungkapkan bahwa dirinya tengah menangani bangunan Produksi Film Negara (PFN) dan sedang dalam tahap penelitian dan pengukuran. Arsitek kawakan itu sedang membuat perencanaan bangunan lama yang hendak direstorasi atau dipertahankan dan yang akan dihadirkan baru.
Direktur Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Judi Wahjudin mengatakan bahwa pemeliharaan bangunan, kawasan, situs, dan benda cagar budaya itu bentuknya beragam sesuai kondisi dan kebutuhannya.
Pemeliharaan terhadap cagar budaya mulai dari kebersihan, kelembapan, dan konservasi. “Bila diperlukan lebih lanjut untuk pemugarannya,” katanya.
Dalam kegiatan pelestarian cagar budaya, pemerintah bekerja sama dengan banyak pihak dan sesuai dengan kebutuhannya. Salah satu di antaranya adalah arsitek yang biasa terlibat dalam perencanaan, penataaan kawasan, dan pemugaran.
Saat ini, pemeliharaan berkala yang masuk dalam daftar pemerintah, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Ratuboko, Benteng Roterdam, Benteng Malbourgh, dan Rumah Singgah Bung Karno di Bengkulu.
Sementara itu, kegiatan berupa pemugaran dan penataan kawasan cagar budaya di antaranya di kawasan cagar budaya Muaro Jambi dan kawasan Budaya Trowulan.
“Untuk kawasan cagar budaya peringkat nasional dan urgensinya tentu tidak hanya sebagai cagar budaya, tetapi juga menjadi ruang inklusif yang dapat diakses oleh publik untuk berbagai kegiatan edutainment, sehingga perlu kerja sama semua pihak dalam pelestariannya,” katanya.
Dia menuturkan kawasan cagar budaya yang memiliki wilayah luas kerap menjadi kendala karena beririsan dengan berbagai kepentingan dan kewenangan. Dengan begitu, perlu peningkatan pemahaman, komitmen, dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan.
Selain itu, Judi mengatakan bahwa salah satu tugas Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek adalah revitalisasi cagar budaya peringkat nasional. Sementara untuk cagar budaya yang peringkat kabupaten/kota dan provinsi, proses revitalisasi berada di tangan pemerintah daerah masing-masing.
Kegiatan revitalisasi diawali dengan studi kelayakan dan teknis agar perencanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan yang diamanatkan UU No. 11/ 2010 tentang Cagar Budaya.
“Urgensi dari revitalisasi, di samping agar tetap terpelihara dan lestari, juga agar dapat bermanfaat buat masyarakat saat ini maupun yang akan datang,” katanya.
Berdasarkan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya, dijelaskan bahwa revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Lalu dalam pedoman revitalisasi cagar budaya yang dibuat Kemendikbudristek, revitalisasi menjadi penting bagi cagar budaya lantaran tantangan pelestariannya kian meningkat, bahkan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fisiknya.
Pedoman tersebut menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya kelangsungan cagar budaya, seperti penurunan kualitas fisik karena jenis dan sifat bahan serta usianya, kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan pendukung.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Mengulik Karya & Asa Para Penulis Muda
Selain itu, kejadian pembongkaran juga bisa terjadi karena lahan tempat cagar budaya akan dibangun bangunan baru, kurangnya pemahaman pemilik, pengembangan dan pemanfaatan yang tidak terkendali, dan ancaman alam lainnya seperti bencana gempa bumi.
Semua tantangan itu masih menjadi kendala tersendiri hingga saat ini, terutama dalam upaya merawat dan melestarikan aset cagar budaya Indonesia yang sangat kaya.
Editor: Fajar Sidik
Sebagai upaya memelihara dan melestarikan cagar budaya, pemerintah di berbagai belahan dunia memiliki arsip dan pendataan tentang bangunan heritage, dan secara berkala menjalankan program pemulihan dan perbaikan agar tetap terjaga.
Baca juga:
> Hypereport: Jalan Panjang Pengarsipan Musik Digital dan Restorasi Rilisan Analog
> Hypereport: Menengok Upaya Restorasi Aset Seni Nasional
> Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
> Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
> Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
Arsitek Indonesia Yori Antar (Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Berbicara restorasi dan revitalisasi bangunan cagar budaya, salah satu nama ahli bangunan yang melekat dengan kegiatan tersebut ialah arsitektur senior Yori Antar. Sejumlah bangunan bersejarah telah berhasil dipugar atau direvitalisasi. Misalnya, Gedung Antara yang dalam tahap finalisasi, Masjid Tua Angke, Kapel Santa Ursula, dan sebagainya.
Pemulihan bangunan Gedung Antara yang berada di Pasar Baru, Jakarta itu hampir selesai. Dalam prosesnya, Yori juga melakukan pengembangan dengan menghadirkan bangunan baru, sehingga gedung yang pada awalnya hanya satu, sekarang menjadi tiga unit.
Sang arsitek menghadirkan lagi bangunan yang dahulu pernah ada dengan mempelajari dari foto–foto dokumenter. Tidak hanya itu, dirinya juga menghadirkan kembali nuansa ruang yang pernah tersaji pada masa lampau.
Sementara itu, terkait dengan Masjid Tua Angke, dia melakukan restorasi dengan membuka plafon sehingga terasa lebih luas. Bangunan itu tidak mengalami perubahan sama sekali.
Ya, restorasi dan revitalisasi merupakan dua hal yang berbeda. Yori mengungkapkan bahwa dalam proses restorasi, bangunan akan dikembalikan ke bentuk aslinya. Sementara itu, dalam proses revitalisasi, bangunan bersejarah bisa digunakan untuk fungsi yang baru. Jadi, ada kehidupan baru dalam bangunan tersebut.
“Dahulu kantor pemerintah, sekarang jadi hotel dan tahu-tahu jadi Museum,” katanya.
Meskipun begitu, tidak jarang keduanya berdampingan. Salah satu contohnya adalah ketika menangani bangunan Kementerian Perhubungan. Dia harus deal dengan fungsi yang sekarang. Namun, 'wajah' gedung harus direstorasi sesuai dengan bentuk aslinya.
Proses merestorasi dan revitalisasi bangunan bersejarah bukan sesuatu yang mudah, lantaran harus melalui sidang. Dalam proses sidang itu terdapat tim ahli cagar budaya yang di dalamnya juga ada arkeolog, pakar ilmu sosial, dan sebagainya.
“Saya senang dengan sidang [Restorasi dan Revitalisasi] lantaran sering mendapatkan masukan. Ada arkeolog, ilmu sosial. Kita dengar dan terapkan secara arsitektur,” ujarnya.
Dengan mendapatkan banyak masukan, proses restorasi dan revitalisasi dapat memiliki ketajaman. Dia mengakui bahwa sidang yang dijalani sebelum melakukan restorasi atau revitalisasi tidak sebentar, yakni bisa mencapai 6 bulan.
Sementara itu, saat masuk proses restorasi dan revitalisasi, penggunaan bahan-bahan bangunan juga tidak bisa sembarangan. Berbagai teknik diperlukan agar tidak mengubah bentuk ketika merestorasi suatu bangunan.
“Saat ayah saya merestorasi Gedung Arsip Nasional, dinding tidak boleh dibikin rata dan diaci. Jadi, dibentuk pakai tangan. Saat [Yori] merestorasi Kapel Ursula, tidak pakai cat sembarangan. Saya cari ke Belanda melalui ahli restorasi lukisan Italia,” ujarnya.
Pada saat ini, Yori mengungkapkan bahwa dirinya tengah menangani bangunan Produksi Film Negara (PFN) dan sedang dalam tahap penelitian dan pengukuran. Arsitek kawakan itu sedang membuat perencanaan bangunan lama yang hendak direstorasi atau dipertahankan dan yang akan dihadirkan baru.
Bentuk Pemeliharaan
Direktur Pelindungan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Judi Wahjudin mengatakan bahwa pemeliharaan bangunan, kawasan, situs, dan benda cagar budaya itu bentuknya beragam sesuai kondisi dan kebutuhannya.Pemeliharaan terhadap cagar budaya mulai dari kebersihan, kelembapan, dan konservasi. “Bila diperlukan lebih lanjut untuk pemugarannya,” katanya.
Dalam kegiatan pelestarian cagar budaya, pemerintah bekerja sama dengan banyak pihak dan sesuai dengan kebutuhannya. Salah satu di antaranya adalah arsitek yang biasa terlibat dalam perencanaan, penataaan kawasan, dan pemugaran.
Saat ini, pemeliharaan berkala yang masuk dalam daftar pemerintah, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Ratuboko, Benteng Roterdam, Benteng Malbourgh, dan Rumah Singgah Bung Karno di Bengkulu.
Sementara itu, kegiatan berupa pemugaran dan penataan kawasan cagar budaya di antaranya di kawasan cagar budaya Muaro Jambi dan kawasan Budaya Trowulan.
“Untuk kawasan cagar budaya peringkat nasional dan urgensinya tentu tidak hanya sebagai cagar budaya, tetapi juga menjadi ruang inklusif yang dapat diakses oleh publik untuk berbagai kegiatan edutainment, sehingga perlu kerja sama semua pihak dalam pelestariannya,” katanya.
Dia menuturkan kawasan cagar budaya yang memiliki wilayah luas kerap menjadi kendala karena beririsan dengan berbagai kepentingan dan kewenangan. Dengan begitu, perlu peningkatan pemahaman, komitmen, dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan.
Selain itu, Judi mengatakan bahwa salah satu tugas Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek adalah revitalisasi cagar budaya peringkat nasional. Sementara untuk cagar budaya yang peringkat kabupaten/kota dan provinsi, proses revitalisasi berada di tangan pemerintah daerah masing-masing.
Kegiatan revitalisasi diawali dengan studi kelayakan dan teknis agar perencanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan yang diamanatkan UU No. 11/ 2010 tentang Cagar Budaya.
“Urgensi dari revitalisasi, di samping agar tetap terpelihara dan lestari, juga agar dapat bermanfaat buat masyarakat saat ini maupun yang akan datang,” katanya.
Berdasarkan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya, dijelaskan bahwa revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Lalu dalam pedoman revitalisasi cagar budaya yang dibuat Kemendikbudristek, revitalisasi menjadi penting bagi cagar budaya lantaran tantangan pelestariannya kian meningkat, bahkan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fisiknya.
Pedoman tersebut menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya kelangsungan cagar budaya, seperti penurunan kualitas fisik karena jenis dan sifat bahan serta usianya, kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan pendukung.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Mengulik Karya & Asa Para Penulis Muda
Selain itu, kejadian pembongkaran juga bisa terjadi karena lahan tempat cagar budaya akan dibangun bangunan baru, kurangnya pemahaman pemilik, pengembangan dan pemanfaatan yang tidak terkendali, dan ancaman alam lainnya seperti bencana gempa bumi.
Semua tantangan itu masih menjadi kendala tersendiri hingga saat ini, terutama dalam upaya merawat dan melestarikan aset cagar budaya Indonesia yang sangat kaya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.