Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)

Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas

27 January 2024   |   19:07 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Setumpuk rol film seluloid tertata rapi di atas rak di ruangan khusus dengan suhu dingin yang temperaturnya dijaga dengan presisi. Di ruangan ini, gulungan film berwarna hitam tersebut tengah menanti giliran, sebelum memasuki tahap restorasi fisik.

Suhu di tempat penyimpanan ini memang terasa lebih dingin dibanding ruangan lain. Wajar, rol film adalah benda yang butuh perlakuan khusus, salah mengatur suhu ruangan bisa-bisa membuat materi di dalamnya menjadi rusak.

Masuk ke ruangan ini pun tak sembarangan, perlu mengenakan jas lab, petugas yang memeriksa rol film pun mesti menggunakan sarung tangan khusus.

Siang itu, Hypeabis.id tengah berada di salah satu ruang penyimpanan sekaligus scanner milik PT Render Digital Indonesia, di Kemang, Jakarta Selatan.

Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Mengulik Karya & Asa Para Penulis Muda

Ruangan ini cukup unik, selain keberadaan rol film yang cukup banyak, di salah satu sudutnya, terdapat satu mesin tua berwarna hitam pekat dengan sedikit aksen oranye di bawahnya. Di bagian kanan dan kirinya, terdapat dua piringan sebagai tempat meletakkan rol film seluloidnya.

Saat itu pula seorang petugas tampak sedang memasang rol film pada alat tersebut. Dengan kehati-hatian tinggi, rol film tersebut pun mulai dipasang, lalu secara perlahan berputar, tanda mesin ini mulai bekerja.
 

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)


“Itu mesin scanner film. Jadi, setelah dicek dan diperbaiki fisik seluloidnya, di sini rol film akan mulai di-scan menjadi digital,” ucap Komisaris PT Render Digital Indonesia Yoki P. Soufyan yang turut mendampingi Hypeabis.id ketika melihat proses restorasi film.

Mesin scanner film tersebut produksi Swedia. Di Indonesia, jumlahnya hanya ada dua, salah satunya ada di ruangan ini. Dia menyebut mesin scanner film ini ‘spec military’. Berbeda dari scanner lain, mesin pemindainya ini tidak memiliki gerigi di bagian tempat meletakkan rol filmnya.

Dalam melakukan pemindaian rol film lawas, mesin tersebut memang lebih direkomendasikan. Sebab, adanya gerigi di mesin scanner bisa berakibat fatal karena dapat merusak rol film lawas yang memang rentan sobek.

Proses pemindaian satu rol film biasanya membutuhkan waktu 1-3 jam, bergantung dari kondisi materi seluloid yang akan di-scan. Makin banyak kerusakan, scan rol filmnya akan jauh lebih lama. 

Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Eksplorasi Baru Sineas Lokal Wujudkan Film yang Lebih Berwarna

Saat seluruh rol film berhasil dipindai, materi digitalnya akan disusun dan ditransfer ke komputer pengeditan yang terletak di ruangan lain. Pada tahap ini, editor akan mulai memperbaiki gambar yang rusak dan melakukan sinkronisasi audio untuk menghasilkan materi yang lebih berkualitas, tetapi tanpa mengurangi keautentikan karya tersebut.

Secara umum restorasi film dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama ada restorasi fisik, berupa pengecekan materi rol film dan perbaikan. Kedua, restorasi digital, yakni ketika materi rol film diubah format sesuai dengan kebutuhan terkini. Namun, layaknya kerja kebudayaan lain, restorasi film juga melibatkan berbagai stakeholder serta riset mendalam sebelum prosesnya dimulai.

 
Komisaris PT Render Digital Indonesia Yoki P Soufyan memberikan paparan saat wawancara dengan Hypeabis di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)
Yoki mengatakan sejak perusahaan restorasinya berdiri pada 2010, sudah ada banyak film yang berhasil diperbaikinya. Salah satu yang cukup melekat di ingatannya adalah ketika dia merestorasi film Tiga Dara (1957).

Bersama SA Films, rumah produksi yang juga dipimpinnya, Yoki merestorasi salah satu film terbaik yang pernah dibuat sineas Indonesia tersebut. Prosesnya cukup panjang dan unik.

Cerita bermula pada 2011-2012, ketika itu pemerintah Belanda melalui EYE Museum di Amsterdam berniat merestorasi film Tiga Dara ini. Materi asli film seluloid dari sutradara Usmar Ismail ini pun sudah dikirim ke Amsterdam. Namun, karena krisis ekonomi yang melanda kasawan Eropa saat itu, restorasi tak kunjung dilakukan.

Ketidakpastian ini kemudian mendorong Render Digital Indonesia dan SA Films untuk mengambil alih restorasi film tersebut. Gayung bersambut, pihak EYE Museum menyetujui restorasi dilakukan pihak Indonesia dengan satu syarat, yakni harus benar-benar dikerjakan dengan baik.

Pihaknya mulai menghubungi keluarga almarhum Usmar Ismail, pemerintah, dan beberapa stakeholder terkait. Restorasi film ini pun dimulai. Restorasi fisik film Tiga Dara dilakukan di L’immagine Ritrovata, sebuah laboratorium milik pemerintah Bologna, Italia. Proses ini juga melibatkan dua orang Indonesia, yakni Lintang Gitomartoyo dan Lisabona Rahman.

“Di Render, restorasi fisik dan digital sebenarnya bisa dilakukan. Namun, khusus restorasi fisik masih terbatas. Kalau rusaknya sudah karena jamur dan butuh cairan khusus, itu mesti dibawa ke luar,” imbuhnya.

Setelah restorasi fisik selesai, restorasi digitalnya dilakukan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, saat itu pihaknya mengubah film Tiga Dara jadi berformat 4K. Film ini sempat ditayangkan di bioskop kala itu, sebelum akhirnya kini bisa disaksikan di layanan streaming Netflix.

Sebelum Tiga Dara, Render merestorasi film Indonesia klasik 1950 yang bertajuk Darah dan Doa pada 2013 dan film populer Lima Sahabat (1981) pada 2014. Pada 2012, Render melakukan digitalisasi 29 judul film klasik koleksi Sinematek Indonesia. Terbaru, pada 2023, Render juga terlibat dalam proses restorasi Dr Samsi karya Ratna Asmara.


Membangun Budaya Restorasi Film

Sejak awal kemerdekaan 1945, dunia perfilman Indonesia telah berkembang pesat. Di tengah kondisi keterbatasan, era awal kemerdekaan itu mampu melahirkan banyak maestro perfilman dengan karya-karya yang mengagumkan.

Dari Usmar Ismail dengan film fenomenalnya, seperti Tiga Dara, Darah dan Doa, hingga Lewat Djam Malam. Lalu ada Asrul Sani dengan film Pagar Kawat Berduri, Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran dengan film Bintang Ketjil, Mochtar Soemodimedjo dengan film Kereta Api Terakhir, Ratna Asmara dengan film Dr Samsi, dan masih banyak lagi.

Namun, hingga saat ini masih belum terlalu banyak film yang berhasil direstorasi. Padahal, restorasi untuk film-film berjenis seluloid selalu berkejaran dengan waktu. Ada ancaman tidak kelihatan dari jamur, kotoran, goresan, hingga bunga air yang bisa merusak gulungan pita seluloid.

“Kami punya banyak arsip film yang kalau tidak segera diselematkan, ini akan jadi malapetaka. Kita bisa kehilangan arsip sejarah bangsa kita yang begitu penting,” kata Yoki.
 

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)


Tujuan utama restorasi adalah untuk bisa memutar kembali film-film lama pada zaman sekarang. Sebab, film adalah produk seni budaya yang di dalamnya tidak hanya berisi hiburan. Lewat film, publik bisa memahami kecenderungan artistik, politis, sosilogis, dan historis yang terjadi di masa lalu.

Melalui film publik juga bisa melihat bagaimana kondisi sebuah kota di masa lalu dan transformasi apa yang terjadi hingga berubah seperti sekarang. Benang merah ini akan menjadi petunjuk penting melihat diri sendiri secara lebih dalam.

“Contoh lain adalah ketika lagu Rasa Sayange diklaim Malaysia. Kita bisa tidak kehilangan lagu tersebut kalau bisa membuktikan itu tembang asli Indonesia. Dan, memang benar, lagu itu sudah ada di Indonesia dan muncul di film restorasi Darah dan Doa. Ini jadi bukti sejarahnya,” imbuhnya.

Yoki mengatakan upaya restorasi film di Indonesia kini masih terus dalam proses. Dalam perkembangannya mungkin belum jadi sesuatu yang masif, tetapi dirinya memandang sudah berada di jalur yang benar.

Sejak restorasi pertama film Lewat Djam Malam dibiayai oleh National Museum of Singapore, memang diakui ada sebuah tamparan keras yang terjadi. Sejak saat itu, publik mulai memandang pentingnya merestorasi film-film lama untuk merekam kebudayaan dan belajar dari masa lalu.

Menurut Yoki, saat ini upaya-upaya restorasi mulai digalakkan pemerintah Indonesia lewat Kemendikbudristek. Di sisi lain, dari sektor swasta, restorasi film atau setidaknya digitasi, juga mulai banyak diminati swasta.

Sejak adanya layanan Over The Top (OTT), banyak rumah produksi yang mendigitasi film lamanya agar bisa kembali ditayangkan. Sebab, beberapa platform kini mulai menerapkan standar tertentu sebelum bisa tayang. Jadi butuh perbaikan di beberapa sisi, dengan digitasi, untuk bisa layak tayang.

“Ini juga jadi pertanda baik. Ya, paling tidak sebuah karya jadi bisa memperpanjang nilai ekonominya. Ini membuktikan juga secara pasar pun masih memiliki peminat,” terangnya.

Sementara itu, pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan bahwa restorasi film di Indonesia memang perlu diakui belum menjadi budaya. Menurutnya, preservasi maupun restorasi masih sangat minim, terlebih jika dibandingan dengan jumlah film yang ada.

Dalam hal restorasi, salah satu hal yang perlu disoroti juga tentu saja dalam hal arsip. Menurutnya, proses penyimpanan aset film di Indonesia masih tertatih-tatih. Padahal, sumber arsip ini penting dan perlu dijaga kualitasnya, sehingga sebuah film nantinya bisa direstorasi dengan baik.

Menurut Hikmat, permasalahan penyimpanan ini bahkan bukan hanya terjadi pada periode awal perfilman Indonesia. Pada era yang lebih baru, seperti setelah 1998, dirinya memandang isu ini juga belum mendapat porsi yang pas dalam sebuah usaha untuk pengarsipan dan restorasi.

“Ironinya, sumber arsip berharga justru beberapa kali didapat dari pengusaha bioskop keliling. Ini misalnya terjadi pada film Violetta (1962) karya Bachtiar Siagian yang ditemukan di koleksi pengusaha bioskop di Bogor,” jelas Hikmat.
 

a

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)


Menurut Hikmat, restorasi film lawas memang perlu segera dimasifkan. Baginya, tindakan ini juga masuk ke dalam usaha kemajuan budaya, sesuatu yang memang diamanatkan undang-undang. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran tentang arsip dan kesinambungan budaya sebagai sesuatu hal penting yang disepakati
bersama.

Dirinya percaya ungakapan ilmu dan kebudayaan itu standing on the shoulder of giants (berdiri di bahu para raksasa). Raksasa tersebut bagi Hikmat adalah para maestro sineas masa lalu. Dengan demikian, generasi setelahnya hanya perlu belajar, lalu meneruskan, bukan malah seolah memulai lagi dari nol dan membuat kebudayaan ini seolah berjalan di tempat terus menerus.

Di sisi lain, hal yang perlu dipikirkan setelah restorasi juga adalah tentang ekosistem. Film yang direstorasi perlu mendapatkan tempat khusus dalam hal distribusinya. Sayangnya, hal itu masih minim di Indonesia. 

Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: Eksplorasi Sandiwara Dardanella Lahirkan Teater Modern Indonesia

Saat ini bioskop yang ada hanya menamping film-film blockbuster. Padahal, menurutnya, perlu ada lebih banyak bioskop yang menerapkan kurasi. Bioskop tipe ini biasanya rajin mengeluarkan program-program sinema khusus.

Misalnya, dalam satu waktu bioskop kurasi ini menayangkan film karya sutradara A saja, lalu minggu selanjutnya menayangkan film dari sutradara Asia Tenggara, kemudian pada waktu yang lain menayangkan film-film hasil restorasi.

Dengan demikian, ekosistem perfilman akan lebih terbangun dengan apik. Film-film pun jadi lebih beragam. Tentu saja, harapannya juga makin banyak film-film yang diselamatkan lewat restorasi ini karena ekosistemnya telah mendukung. Sebab, restorasi film bukanlah sesuatu yang murah untuk dijalankan. Namun, bukankah kebudayaan lebih penting dari hal-hal tersebut.
 

Komitmen Merawat Kebudayaan

Direktur Perfilman, Musik, dan Media Direktorat Jenderal Kebudayaan KemendikbudRistek Ahmad Mahendra mengatakan pihaknya berkomitmen dalam terus melestarikan warisan film nasional. Sejauh ini, Kemendikbudristek telah merestorasi sejumlah film klasik Indonesia yang dipilih berdasarkan nilai historis dan budaya mereka.

Proyek restorasi ini yang selama ini dilakukan juga didukung oleh Undang-undang No.33 tahun 2009 tentang Perfilman dan Undang-undang No.5 tahun 2017 tentang Pelestarian Artefak atau Produk Budaya. Artinya, tidak hanya memulihkan film-film tersebut, tetapi juga menjaga integritas dan aspek legalnya.
 

A

Karyawan melakukan proses restorasi film di kantor Render Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1/2024). (Sumber gambar: IBI/Bisnis/Fanny)


Setelah restorasi Dr Samsi  pada 2023 selesai, Kemendikbudristek berencana merestorasi dua judul film lagi yang telah masuk menjadi kandidat untuk penyelamatan arsip film Indonesia. Namun, ada satu judul yang akan dikurasi lebih lanjut untuk pemilihan. Kemendikbudristek masih enggan membocorkan dua film yang dimaksud. Namun, menurutnya, film tersebut tengah memasuki kriteria untuk segera direstorasi.

"Kriteria pemilihan film tersebut berfokus pada film yang kondisinya nyaris punah secara fisik dan memiliki nilai lebih yang berkaitan dengan sejarah dan budaya bangsa," ungkap Mahendra kepada Hypeabis.id

Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: W.S. Rendra dan Penggambaran Era Orde Baru Lewat Bengkel Teater

Menurutnya, tantangan utama dalam proyek ini begitu beragam, termasuk kondisi materi film yang sangat rapuh dan tidak lengkap, serta biaya restorasi yang signifikan. Durasi dan biaya restorasi bergantung pada kondisi awal film, dengan kerusakan seperti vinegar syndrome dan masalah kimia lainnya yang dapat memperlama proses dan meningkatkan biaya.

Mahendra mengatakan bahwa film-film yang telah direstorasi hanya dapat digunakan untuk kepentingan terbatas dan non komersial, seperti riset dan pendidikan, dengan distribusi melalui akademisi dan komunitas yang membutuhkan film tersebut.


Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Hypeprofil Amrit Punjabi: Produser Bertangan Dingin & Mimpi Memajukan Industri Film Nasional

BERIKUTNYA

Game dengan Jumlah Download Terbanyak di Dunia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: