Candi Muarajambi (sumber gambar: Kemendikbud)

6 Kawasan Cagar Budaya di Sumatra Ini Punya Banyak Keunikan

30 June 2022   |   22:30 WIB
Image
Fajar Sidik Hypeabis.id

Wisata budaya mulai mendapatkan perhatian kembali seiring dengan meningkatnya minat terhadap wisata alam selama masa pandemi Covid-19. Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan warisan budaya yang beragam di setiap daerahnya sehingga sangat menarik untuk dieksplorasi.

Buat kalian yang suka berpetualang dan menjelajahi kekayaan alam dan kebudayaan Nusantara dapat mencoba wisata ke kawasan cagar budaya di Pulau Sumatra. Setidaknya ada 6 kawasan cagar budaya yang dapat menjadi destinasi berpetualang di alam sambil mempelajari artefak budaya di daerah yang dikunjungi.

Berikut ini enam kawasan cagar budaya yang memiliki keunikan tersendiri di wilayah Sumatra dan Nias yang dapat menjadi destinasi wisata pilihan anti-mainstream yang dirangkum dari situs cagar budaya Kemendikbud. 
 

1. Kawasan Megalitik Bawomataluo

Bawo

Kawasan Megalitik Bawomataluo (Kemendikbud)

Kawasan cagar budaya ini merupakan perkampungan tradisional yang menempati perbukitan yang disebut bukit matahari di ketinggian sekitar 270 meter di atas pemukaan laut. Desa di Pulau Nias, Sumatra Utara ini berjarak sekitar 4 kilometer dari jalan raya antara pantai Sorake dan Teluk Dalam. Kawasan ini terdiri dari area permukiman, pemandian, dan pemakaman tradisional.

Bangunan-bangunan tradisional Bawomataluwo ditata memanjang mengikuti punggung bukit mengarah ke timur laut-barat daya, sebagian lagi mengarah ke barat laut-tenggara yang memperlihatkan pola linier. Setiap rumah dibangun berhadapan dengan rumah lain. Halaman depan yang lebar berfungsi sebagai jalan desa yang ujungnya berupa tangga.

Secara keseluruhan jalan ini membentuk halaman luas tempat di mana upacara-upacara adat yang melibatkan warga desa berlangsung. Halaman luasnya tersusun dari lempengan batu yang sambung menyambung. Meja batu daro-daro, pilar batu, atau tempat duduk batu ditempatkan sepanjang jalan, tepat di muka rumah penduduk. Batu-batu ini menjadi peringatan atas anggota keluarga yang meninggal.

Pemilihan lokasi hunian di atas bukit erat hubungannya dengan upaya mempertahankan desa dari serangan musuh pada masa lalu seperti halnya desa-desa lain di wilayah Nias Selatan. Di sekeliling daerah hunian masih ditemukan sisa-sisa benteng tanah oli mbanua yang dibangun untuk maksud area pertahanan. Terdapat empat jalan masuk menuju ke daerah hunian Bawomataluo, masing-masing terletak di sisi sebelah tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut berupa tangga batu cukup terjal.  

Seluruhnya terdapat lebih kurang 116 bangunan tradisional berusia ratusan tahun yang masih berdiri hingga sekarang meskipun mengalami perubahan-perubahan karena masih dipergunakan sebagai tempat tinggal hingga sekarang. Ukuran dan gaya arsitektur omo sebua dan omo hada dibedakan berdasarkan status sosial warga yang menganut sistem patriarhad. Di luar daerah hunian terdapat pemandian raja yang terbuat dari batu, sarkopagus keluarga bangsawan yang terbuat dari kayu, dan pemakaman umum sebagai kesatuan permukiman desa Bawomataluo.
 

2. Percandian Muara Takus

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus (Kemendikbud)

Kawasan cagar budaya Percandian Muara Takus Candi terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, berjarak sekitar 135 kilometer dari Pekanbaru. Candi ini merupakan percandian Buddha. Hal tersebut terlihat dari adanya stupa yang merupakan lambang Buddha Gautama. Gaya bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia.

Pada 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Muara Takus. Pada waktu itu di setiap sisi dia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk. Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘gelap’.

Kawasan Cagar Budaya Kompleks Percandian Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan, yaitu Candi Tuo, Candi Mahligai, Candi Palangka, dan Candi Bungsu. Dalam kompleks percandian Muara Takus terdapat enam bangunan lain serta Tanggul Kuno dan Pagar Keliling.
 

3. Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato

Satuan ruang geografis Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato di wilayah Nagari Sijunjung merupakan representasi perkampungan masyarakat matrilineal Minangkabau, dari kelarasan Koto Piliang (aristokrasi) dan Bodi Chaniago (demokrasi) yang hidup berdampingan.

Di perkampungan ini terdapat deretan rumah gadang sebagai simbol kaum (clan) berbasis matrilineal yang masih berfungsi dan tertata rapi dalam satu kawasan. Sistem matrilineal ini tercermin dalam budaya musyawarah oleh masyarakat dan pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak perempuan.

Perkampungan ini dihuni oleh 9 suku utama yaitu Chaniago, Piliang, Malayu, Tobo, Bodi, Panai, Patopang, Bendang, dan Malayu Tak Timbago. Aktivitas-aktivitas budaya seperti batoboh berupa kegiatan ekonomi dalam hal menggarap pertanian, dan bakaua sebagai syukuran atas limpahan hasil panen, masih dipraktikkan bersama oleh kesembilan suku tersebut.

Pada kawasan seluas 157,1 hektare ini terdapat 76 rumah gadang sebagai himpunan terbanyak dalam satu lokasi di wilayah Sumatra Barat. Penempatan rumah-rumah gadang itu ditata sesuai tradisi permukiman lama khas budaya Minangkabau.

Keseluruhan rumah gadang di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato terbuat dari kayu dengan gaya dan ukuran yang beragam, terkumpul di tempat yang sama. Bentuk dasarnya berupa persegi empat panjang dengan empat atau lima ruang di dalamnya. Konstruksi bangunan dibuat mengembang ke atas, diakhiri dengan atap gonjong berbentuk pelana melengkung dan meninggi.

Beberapa rumah gadang memiliki ukiran dekoratif seperti corak buah palo patah, kuciang lalok jo saik galamai, aka duo gagang, atau kaluak paku kacang balimbiang. Terdapat hal yang berbeda pada rumah gadang di kawasan ini karena tidak satu pun yang memiliki rangkiang, yaitu lumbung padi berupa bangunan kecil yang di tempatkan di halaman depan rumah.
 

4. Kota Lama, Sawahlunto

Sawahlunto, Sumatra Barat merupakan sebuah Kota Lama yang terbentuk sejak masa Hindia Belanda, terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan dalam jajaran Bukit Barisan. Kota ini berkembang setelah penemuan dan aktivitas penambangan batubara oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad XIX.

Pada awal abad XX Sawahlunto sudah menjadi kota tambang terdiri atas lima area sebagai elemen pembentuk kota, yakni area industri perusahaan tambang, area bisnis dan perdagangan, area hunian, area administrasi pemerintahan, dan area fasilitas kesehatan.

Berdasarkan Keputusan Wali Kota Sawahlunto Nomor 84/2007 tentang Penetapan Kawasan Bersejarah, Bangunan, Gedung, Komplek Bangunan, Situs, dan Fitur sebagai Benda Cagar Budaya Kota Sawahlunto, ditetapkan sebanyak 68 Benda Cagar Budaya.
 

5. Muarajambi

Muarajambi terletak di Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Saat ini dimanfaatkan sebagai daerah hunian, kebun rakyat, perkebunan kelapa sawit, pembudidayaan ikan, dan tempat penimbunan batu bara (stockpile). Di tengah-tengahnya mengalir Sungai Batanghari yang menghubungkan Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Jambi dan bermuara di Selat Berhala.

Lingkungannya ditandai oleh rawa air tawar dan tanggul alam purba (natural levee) yang terbentuk pada masa plestosen. Pada awalnya satuan ruang geografis ini pernah merupakan laut dangkal, hal inilah yang menyebabkan terbentuknya kawasan rawa yang sangat luas di Desa Muarajambi dan sekitarnya. Setiap tahun pada musim hujan lingkungan ini digenangi oleh banjir, menenggelamkan tanggul alam purba dan menyatukan kawasan rawa dengan aliran Sungai Batanghari.

Temuan-temuan purbakala berada di atas tanggul alam purba baik di sisi selatan maupun sisi utara dari Sungai Batanghari, menandakan bahwa pada masa lalu permukiman kuno sejak abad VIII sudah menempati kedua sisi tanggul alam ini, terbukti dari ditemukannya sisa-sisa kegiatan manusia kuno di kedua sisi sungai.
 

6. Candi Kadebok Udang

Situs cagar budaya Kompleks Percandian Bumi Ayu, atau masyarakat sekitar mengenalnya dengan nama Candi Kadebok Udang, merupakan salah satu situs peninggalan agama Hindu yang terdapat di pesisir Sungai Lematang, di hilir Desa Siku, Kecamatan Rembang Dangku, Kabupaten Panukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatra Selatan.

Kawasan ini merupakan satu-satunya Kompleks Percandian di Sumatra Selatan, tidak kurang terdapat 10 gundukan tanah yang diduga candi, telah ditemukan dan empat di antaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, 2, 3 dan 8. Adapun Candi Induk bentuk bangunannya berdenah empat persegi panjang, setiap sisi bangunannya terdapat sebuah penampil dan pilaster di setiap sudutnya. Pada penampil bagian timur memiliki tangga masuk yang merupakan pintu masuk utama dan juga menunjukkan arah hadap candi yaitu ke arah Timur.

Selain itu, ada pula Candi Perwara yang berjumlah tiga buah terletak di sebelah timur candi induk. Candi ini mempunyai denah yang berbeda dengan candi induknya, yaitu berbentuk bujur sangkar.
 

SEBELUMNYA

Beragam Karakter Sepatu Pria

BERIKUTNYA

Meraup Rupiah dari Kelom Cantik & Unik

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: