Hypereport: Jalan Panjang Pengarsipan Musik Digital dan Restorasi Rilisan Analog
28 January 2024 |
18:36 WIB
Tembang lawas memang selalu mengena di hati. Apalagi dilantunkan dengan vokal dan instrumen musik yang jernih. Melodinya seolah mengajak orang-orang untuk berdendang dan bersuka cita, di sisi lain juga bisa membuatmu terhanyut dalam kesenduan, semuanya membawa kita melintasi ruang dan waktu untuk sekadar bernostalgia.
Nah, pernahkah Genhype bertanya-tanya bagaimana orang-orang bisa mendengarkan kembali karya musisi tempo dulu yang berjaya seperti Benyamin Sueb, Bing Slamet, Fariz RM, Trio Visca, dan lainnya? Apalagi jika kita ingin mendengarkan kembali tembang lawas dengan kualitas audio yang jernih.
Kali ini, bersama Irama Nusantara kita akan memaknai jalan panjang proses pengarsipan dan digitalisasi karya-karya musik lawas tersebut, serta bagaimana cara mengaksesnya kembali.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
2. Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
3. Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
4. Hypereport: Menengok Upaya Restorasi Aset Seni Nasional
Irama Nusantara sendiri adalah sebuah yayasan nirlaba yang fokus pada pengarsipan musik, sejak didirikan pada 2013. Sampai saat ini mereka berhasil mengarsipkan secara digital musik populer Indonesia yang dirilis dari era 1920-an hingga 2000-an, sebanyak 5.508 rilisan atau sebanding dengan 50.216 lagu. Hasil dari pengarsipan digital tersebut telah diunggah pada situs resmi Irama Nusantara dan dapat diakses oleh seluruh penikmat musik.
Musik populer yang diarsipkan, tak hanya sebatas genre pop saja, melainkan jazz, rock, reggae, dangdut, keroncong. Menariknya lagi, ada juga musik-musik tradisional seperti pop Tapanuli, campur sari, jaipongan sunda, langgam jawa, dan lainnya dengan lirik berbahasa daerah.
Gerry Apriryan selaku Program Manager Irama Nusantara, memaparkan bahwa proses pengarsipan digital dari musik-musik lawas terdiri dari tiga tahapan.
"Yang kita lakukan pertama kali, mengkonversi atau atau memindahkan dari format analog seperti piringan hitam, pita kaset, atau cakram padat (CD) ke format digital dengan cara direkam," katanya pada Hypeabis.id.
Rilisan fisik tersebut diperolehnya dari koleksi pribadi para kolektor rekaman atau juga arsip rekaman yang dimiliki oleh institusi formal seperti Radio Republik Indonesia. Tapi sering kali berburu atau meminjam dari toko-toko musik jadul di Blok M, kalau barangnya langka kemungkinan hanya dipinjam saja dan dikembalikan lagi.
Melihat kembali sejarahnya, rilisan fisik bermula dari piringan hitam berbahan dasar shellac yang banyak ditemukan sebelum era 1950-an. Selanjutnya berinovasi ke bahan dasar polyvinyl chloride/PVC atau biasa disingkat vinyl yang bahan dasarnya lebih kokoh dan relatif mahal. Sampai akhirnya masuk ke era 1070-an, munculah pita kaset dan CD yang lebih praktis dibawa kemana-mana.
Dalam hal ini, Irama Nusantara memilih untuk fokus menyelamatkan musik dalam format piringan hitam berbahan vinil dan shellac saja karena kondisinya yang sangat rentan. Selain itu, belum banyak orang yang memiliki akses untuk mendengarkan musik dalam format tersebut, dibandingkan dari pita kaset atau CD.
"Tahap kedua, kita melakukan restorasi secara digital, karena tidak semua rilisan fisik ini kondisinya baik, ada juga yang cacat sehingga menjadi kendala dalam proses pengarsipan," jelas Gerry
Setelah memindahkan ke format audio, file-nya akan disimpan di hard disk. Tim kemudian akan melakukan restorasi digital untuk menghilangkan noise atau suara-suara yang tidak diinginkan akibat kondisi vinyl dan shellac yang cacat. Setelah selesai direstorasi, file akan digandakan dan dikonversi menjadi format audio MP3 dengan bitrate 56 Kbps yang setara dengan kualitas suara radio AM untuk diunggah ke situs daring.
"Memang hasilnya masih terdengar sedikit noise dan ada keterbatasan lainnya, tapi setidaknya nada dan liriknya masih terdengar dan bisa dimenegrti oleh orang banyak," kata Gerry.
Dengan demikian, musik-musik yang diarsipkan di platform Irama Nusantara hanya bertujuan untuk edukasi dan referensi saja, tidak seperti saat kita mendengarkan musik dari platform streaming digital. Menurutnya, ini bertujuan untuk mencegah munculnya permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual, misalnya jika ada oknum-oknum yang berniat memproduksi atau mempublikasikannya lagi secara ilegal.
"Tahap ketiga, kita melakukan transkrip dari sampul album atau stiker-stiker pada rilisan fisiknya sebagai informasi pendukung audionya," papar Gerry.
Lebih lanjut dia menekankan, pentingnya memiliki tim dengan keahlian khusus di bidang audio dan visual. Saat proses restorasi digital, dibutuhkan pemahaman mengenai sound engineering untuk mengolah frekuensi audio. Adapun dari segi visualnya banyak menggunakan photoshop untuk memperbaiki sampul album yang rusak. Terakhir tentunya wawasan dan pemahaman yang luas mengenai khasanah musik Indonesia.
"Misalnya Benyamin S merilis lagu dengan nama aliasnya seperti Bens atau Bunyamin, kita harus tahu supaya semua karyanya bisa dikatalogisasikan dengan lengkap," jelasnya.
Adapun dari tiga tahap pengerjaan tersebut, memakan waktu yang cukup singkat. Konversi ke format audio dapat dilakukan secara realtime, menurutnya sekitar 1-1,5 jam termasuk dengan pembersihan rilisan fisiknya. Kalau proses restorasinya rumit dan panjang, terkadang bisa sampai 3-4 jam.
"Biasanya kita konversi dalam jumlah besar, minimal 10 album lalu disetor ke divisi lain untuk direstorasi secara digital," ujar Gerry.
Irama Nusantara sendiri terdiri dari 6 orang sebagai foundernya, karyawan full time 5 orang, dan sisanya freelance. Lebih lanjut, Gerry memaparkan tantangan yang dihadapi mereka, terbatas pada kurangnya SDM dengan keahlian yang dibutuhkan, alat-alat yang seperti pemutar piringan hitam dan kaset yang kurang baik serta, pendanaan.
"Pengerjaan satu keping rilisan bisa mencapai 700-800 ribu, itu sudah diperhitungkan dengan variabel cost lainnya seperti jasa profesi dan alat-alat, sementara kita punya target setiap tahunnya mengarsipkan 1000 rilisan," sahutnya.
Sebagai yayasan nirlaba, mereka menjalin kerja sama dengan Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Namun, sekarang duah berhenti total terhitung sejak Bekraf melebur dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) pada 2019 lalu. Selanjutnya mereka mencari pendanaan dengan membuka donasi untuk umum.
"Banyak pemilik dana menganggapnya bukan hal urgent, jadi mereka enggak tertarik dengan program seperti ini karena enggak bisa menghasilkan uang langsung, beda kalau kita menggelar konser dan ada hasil dari penjualan tiketnya," ujar Gerry.
Akhirnya Irama Nusantara berusaha menjalin kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) supaya setiap karya rilisan musik populer Indonesia bisa terselamatkan dan terus diapresiasi oleh generasi penerusnya.
“Pendataan seluruh informasi yang berkaitan dengan karya musik harus mendapatkan perhatian yang serius, yaitu dikelola secara sistematis mencakup identifikasi, pengumpulan, pengelolaan [digitalisasi, restorasi], penyimpanan [katalogisasi], dan pelayanan/publikasi,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, melalui laman resmi Kemdikbud.
Kegiatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan terbentuknya sistem pendataan kebudayaan terpadu. Salah satunya melalui manajemen aset digital yang berisi data tentang objek pemajuan kebudayaan (OPK). Karya musik lawas akan didokumentasikan dengan rapi mulai dari judul, penyanyi, pencipta, tahun, label produksi serta data lainnya
Lebih lanjut, Hilmar Farid berujar basis data yang terbangun diharapkan dapat menjadi rujukan informasi dan sumber pengetahuan bagi seluruh pecinta musik dan masyarakat Indonesia secara umum. Mengenali arsip atau dokumentasi warisan budaya bisa membuat kita tahu jejak perjalanan bangsa, sehingga dapat menumbuhkan kebanggaan tehadap karya budaya bangsa dan cinta tanah air.
“Ini salah satu mimpi besar kita yang sudah sering didiskusikan dalam waktu yang cukup lama. Saya kira, kita perlu mulai memikirkan secara lebih serius karena arsip ini kelihatannya susah-susah gampang,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan digitalisasi musik populer Indonesia juga dimaksudkan untuk melengkapi ruang-ruang perpustakaan dan arsip dengan basis data yang sudah dimiliki, sehingga informasi mengenai musik populer Indonesia dapat diperluas dan memudahkan akses masyarakat Indonesia dan pendengar di seluruh dinia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Nah, pernahkah Genhype bertanya-tanya bagaimana orang-orang bisa mendengarkan kembali karya musisi tempo dulu yang berjaya seperti Benyamin Sueb, Bing Slamet, Fariz RM, Trio Visca, dan lainnya? Apalagi jika kita ingin mendengarkan kembali tembang lawas dengan kualitas audio yang jernih.
Kali ini, bersama Irama Nusantara kita akan memaknai jalan panjang proses pengarsipan dan digitalisasi karya-karya musik lawas tersebut, serta bagaimana cara mengaksesnya kembali.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
2. Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
3. Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
4. Hypereport: Menengok Upaya Restorasi Aset Seni Nasional
Irama Nusantara sendiri adalah sebuah yayasan nirlaba yang fokus pada pengarsipan musik, sejak didirikan pada 2013. Sampai saat ini mereka berhasil mengarsipkan secara digital musik populer Indonesia yang dirilis dari era 1920-an hingga 2000-an, sebanyak 5.508 rilisan atau sebanding dengan 50.216 lagu. Hasil dari pengarsipan digital tersebut telah diunggah pada situs resmi Irama Nusantara dan dapat diakses oleh seluruh penikmat musik.
Musik populer yang diarsipkan, tak hanya sebatas genre pop saja, melainkan jazz, rock, reggae, dangdut, keroncong. Menariknya lagi, ada juga musik-musik tradisional seperti pop Tapanuli, campur sari, jaipongan sunda, langgam jawa, dan lainnya dengan lirik berbahasa daerah.
Gerry Apriryan selaku Program Manager Irama Nusantara, memaparkan bahwa proses pengarsipan digital dari musik-musik lawas terdiri dari tiga tahapan.
"Yang kita lakukan pertama kali, mengkonversi atau atau memindahkan dari format analog seperti piringan hitam, pita kaset, atau cakram padat (CD) ke format digital dengan cara direkam," katanya pada Hypeabis.id.
Rilisan fisik tersebut diperolehnya dari koleksi pribadi para kolektor rekaman atau juga arsip rekaman yang dimiliki oleh institusi formal seperti Radio Republik Indonesia. Tapi sering kali berburu atau meminjam dari toko-toko musik jadul di Blok M, kalau barangnya langka kemungkinan hanya dipinjam saja dan dikembalikan lagi.
Melihat kembali sejarahnya, rilisan fisik bermula dari piringan hitam berbahan dasar shellac yang banyak ditemukan sebelum era 1950-an. Selanjutnya berinovasi ke bahan dasar polyvinyl chloride/PVC atau biasa disingkat vinyl yang bahan dasarnya lebih kokoh dan relatif mahal. Sampai akhirnya masuk ke era 1070-an, munculah pita kaset dan CD yang lebih praktis dibawa kemana-mana.
Dalam hal ini, Irama Nusantara memilih untuk fokus menyelamatkan musik dalam format piringan hitam berbahan vinil dan shellac saja karena kondisinya yang sangat rentan. Selain itu, belum banyak orang yang memiliki akses untuk mendengarkan musik dalam format tersebut, dibandingkan dari pita kaset atau CD.
"Tahap kedua, kita melakukan restorasi secara digital, karena tidak semua rilisan fisik ini kondisinya baik, ada juga yang cacat sehingga menjadi kendala dalam proses pengarsipan," jelas Gerry
Setelah memindahkan ke format audio, file-nya akan disimpan di hard disk. Tim kemudian akan melakukan restorasi digital untuk menghilangkan noise atau suara-suara yang tidak diinginkan akibat kondisi vinyl dan shellac yang cacat. Setelah selesai direstorasi, file akan digandakan dan dikonversi menjadi format audio MP3 dengan bitrate 56 Kbps yang setara dengan kualitas suara radio AM untuk diunggah ke situs daring.
"Memang hasilnya masih terdengar sedikit noise dan ada keterbatasan lainnya, tapi setidaknya nada dan liriknya masih terdengar dan bisa dimenegrti oleh orang banyak," kata Gerry.
Dengan demikian, musik-musik yang diarsipkan di platform Irama Nusantara hanya bertujuan untuk edukasi dan referensi saja, tidak seperti saat kita mendengarkan musik dari platform streaming digital. Menurutnya, ini bertujuan untuk mencegah munculnya permasalahan Hak atas Kekayaan Intelektual, misalnya jika ada oknum-oknum yang berniat memproduksi atau mempublikasikannya lagi secara ilegal.
"Tahap ketiga, kita melakukan transkrip dari sampul album atau stiker-stiker pada rilisan fisiknya sebagai informasi pendukung audionya," papar Gerry.
Lebih lanjut dia menekankan, pentingnya memiliki tim dengan keahlian khusus di bidang audio dan visual. Saat proses restorasi digital, dibutuhkan pemahaman mengenai sound engineering untuk mengolah frekuensi audio. Adapun dari segi visualnya banyak menggunakan photoshop untuk memperbaiki sampul album yang rusak. Terakhir tentunya wawasan dan pemahaman yang luas mengenai khasanah musik Indonesia.
"Misalnya Benyamin S merilis lagu dengan nama aliasnya seperti Bens atau Bunyamin, kita harus tahu supaya semua karyanya bisa dikatalogisasikan dengan lengkap," jelasnya.
Adapun dari tiga tahap pengerjaan tersebut, memakan waktu yang cukup singkat. Konversi ke format audio dapat dilakukan secara realtime, menurutnya sekitar 1-1,5 jam termasuk dengan pembersihan rilisan fisiknya. Kalau proses restorasinya rumit dan panjang, terkadang bisa sampai 3-4 jam.
"Biasanya kita konversi dalam jumlah besar, minimal 10 album lalu disetor ke divisi lain untuk direstorasi secara digital," ujar Gerry.
Irama Nusantara sendiri terdiri dari 6 orang sebagai foundernya, karyawan full time 5 orang, dan sisanya freelance. Lebih lanjut, Gerry memaparkan tantangan yang dihadapi mereka, terbatas pada kurangnya SDM dengan keahlian yang dibutuhkan, alat-alat yang seperti pemutar piringan hitam dan kaset yang kurang baik serta, pendanaan.
"Pengerjaan satu keping rilisan bisa mencapai 700-800 ribu, itu sudah diperhitungkan dengan variabel cost lainnya seperti jasa profesi dan alat-alat, sementara kita punya target setiap tahunnya mengarsipkan 1000 rilisan," sahutnya.
Sebagai yayasan nirlaba, mereka menjalin kerja sama dengan Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Namun, sekarang duah berhenti total terhitung sejak Bekraf melebur dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) pada 2019 lalu. Selanjutnya mereka mencari pendanaan dengan membuka donasi untuk umum.
"Banyak pemilik dana menganggapnya bukan hal urgent, jadi mereka enggak tertarik dengan program seperti ini karena enggak bisa menghasilkan uang langsung, beda kalau kita menggelar konser dan ada hasil dari penjualan tiketnya," ujar Gerry.
Akhirnya Irama Nusantara berusaha menjalin kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) supaya setiap karya rilisan musik populer Indonesia bisa terselamatkan dan terus diapresiasi oleh generasi penerusnya.
Kerjasama dengan Kemdikbud RI
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru bekerja sama dengan Irama Nusantara. Langkah digitalisasi musik dinilai sebagai dukungan nyata dalam menyelamatkan musik lawas Indonesia yang pernah terekam atau dirilis di masa lalu. Pendataan musik diperlukan untuk mendukung upaya pemahaman serta pelestarian musik sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.“Pendataan seluruh informasi yang berkaitan dengan karya musik harus mendapatkan perhatian yang serius, yaitu dikelola secara sistematis mencakup identifikasi, pengumpulan, pengelolaan [digitalisasi, restorasi], penyimpanan [katalogisasi], dan pelayanan/publikasi,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, melalui laman resmi Kemdikbud.
Kegiatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan terbentuknya sistem pendataan kebudayaan terpadu. Salah satunya melalui manajemen aset digital yang berisi data tentang objek pemajuan kebudayaan (OPK). Karya musik lawas akan didokumentasikan dengan rapi mulai dari judul, penyanyi, pencipta, tahun, label produksi serta data lainnya
Lebih lanjut, Hilmar Farid berujar basis data yang terbangun diharapkan dapat menjadi rujukan informasi dan sumber pengetahuan bagi seluruh pecinta musik dan masyarakat Indonesia secara umum. Mengenali arsip atau dokumentasi warisan budaya bisa membuat kita tahu jejak perjalanan bangsa, sehingga dapat menumbuhkan kebanggaan tehadap karya budaya bangsa dan cinta tanah air.
“Ini salah satu mimpi besar kita yang sudah sering didiskusikan dalam waktu yang cukup lama. Saya kira, kita perlu mulai memikirkan secara lebih serius karena arsip ini kelihatannya susah-susah gampang,” ujarnya.
Selain itu, kegiatan digitalisasi musik populer Indonesia juga dimaksudkan untuk melengkapi ruang-ruang perpustakaan dan arsip dengan basis data yang sudah dimiliki, sehingga informasi mengenai musik populer Indonesia dapat diperluas dan memudahkan akses masyarakat Indonesia dan pendengar di seluruh dinia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.