Hypereport: Menengok Upaya Restorasi Aset Seni Nasional
28 January 2024 |
15:44 WIB
Sejumlah karya seni koleksi Taman Budaya Yogyakarta (TBY) baru-baru ini dilaporkan mengalami kerusakan. Setidaknya terdapat lebih dari 110 karya seni berharga yang tersimpan bertahun-tahun di TBY rusak karena masalah jamur, debu, dan rayap. Padahal, karya-karya tersebut berasal dari para seniman besar di Indonesia.
Mereka adalah Edhi Sunarso, Jumaldi Alfi atau Rudi Mantofani, Aming Prayitno, Amri Yahya, Askabul, Bagong Kussudiarjo, Djakaria Suryakusumah, Dyan Anggraini Rais, dan Eddy Sulistyo. Selain itu, ada pula karya dari seniman Entang Wiharso, Fadjar Sidik, Genthong HSA, H. Harjiman, H. Widayat, Herry Wibowo, Ida Hadjar, I Made Wiradana, dan I Made Toris Mahendra.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
2. Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
3. Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
Kerusakan itu terjadi lantaran karya-karya tersebut hanya disimpan di ruangan tertutup, dan tidak ada perawatan tertentu untuk menjaga kelembapan atau kebersihan ruangan. Padahal, ratusan karya yang dihibahkan seniman kepada TBY itu merupakan bagian penting dari sejarah seni rupa Indonesia khususnya di Yogyakarta, serta memiliki nilai ekonomis yang tak main-main dan mencapai miliaran rupiah.
Kabar serupa tak hanya terjadi di TBY. Sebelumnya, pada 2022, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga membeberkan bahwa 60 persen dari 393 karya seni dan arsip dalam koleksi DKJ kondisinya memprihatinkan. Koleksi tersebut mencakup seni lukis, seni grafis, dan seni patung, ditambah ribuan arsip seni rupa berbentuk poster, foto, rekaman audio, dan kliping media cetak.
Padahal, koleksi karya dan arsip tersebut merupakan sumber sejarah berharga yang seyogyanya bisa dinikmati sebagai pengetahuan bagi generasi muda, serta inspirasi bagi pembangunan ekosistem seni mendatang. Selain itu, karya-karya tersebut juga memiliki valuasi tinggi. Adapun, sumber daya dan dana disebut menjadi tantangan utama dalam merestorasi koleksi dan arsip yang ada di DKJ.
Dua kabar tersebut hanyalah bagian kecil dari besarnya pekerjaan rumah yang dihadapi Indonesia dalam menciptakan upaya konservasi dan restorasi karya seni yang tersistematis dan teregulasi. Negara dinilai belum memberikan perhatian serius dalam memandang karya seni sebagai aset negara, serta dipelihara dan dikelola dalam satu payung regulasi alih-alih mengerjakannya secara sektoral melalui mekanisme penganggaran yang banyak dan berbeda-beda.
Peneliti Seni Agung Hujatnikajennong mengatakan restorasi merupakan kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh setiap museum atau galeri khususnya yang menyimpan koleksi karya seni nasional. Sebab, lanjutnya, baik museum maupun galeri memiliki tanggung jawab untuk menyimpan, memelihara, termasuk memajangnya untuk kepentingan publik.
Namun, di Indonesia, Agung melihat karya-karya seni old masters juga banyak dipajang di sejumlah kantor kementerian atau instansi pemerintah. Meski tak memiliki kewajiban untuk mengkonservasi atau merestorasi, karya-karya tersebut tetaplah dipandang sebagai aset nasional sehingga harus dipelihara secara baik.
"Sehingga konservasi dan restorasi itu juga kewajiban untuk mereka walaupun bukan museum," katanya saat dihubungi Hypeabis.id melalui sambungan telepon, baru-baru ini.
Agung menilai publikasi terkait upaya konservasi dan restorasi yang dilakukan oleh pihak museum atau galeri negara masih terbilang kurang masif, sehingga publik tak mengetahui secara pasti bagaimana kondisi karya-karya tersebut. Padahal, menurutnya, publik berhak mengetahui kondisi dari karya-karya seni yang menjadi aset nasional dari waktu ke waktu.
"Kalau misalnya di Galeri Nasional, ada koleksi karya yang rusak dan tidak direstorasi, sebenarnya kita [publik] itu punya kewajiban untuk menuntut. Karena itu tugas mereka kan," kata dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu.
Kepala Unit Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra menjelaskan pihaknya selalu melakukan upaya preventif untuk menjaga koleksi karya di Galeri Nasional (Galnas) baik itu di ruang pameran koleksi tetap maupun tempat penyimpanan karya (storage). Untuk koleksi pameran tetap di Galnas, akan dilakukan pengecekan atau inspeksi setiap hari Senin saat kunjungan ditutup untuk publik.
Pengecekan itu dilakukan secara menyeluruh mulai dari karya, tingkat kelembapan tempat, hingga ruangan pameran. Sementara untuk karya-karya yang diletakkan di ruang penyimpanan, pengecekan dilakukan justru lebih sering yakni pada Selasa-Jumat tiap minggunya.
"Kalau hanya kelihatan debu misalnya, biasanya langsung kami bersihkan di lokasi. Tapi kalau ada vandalisme atau ternyata ada insiden pada saat [karya] dipamerkan, kami akan membuat report kondisi karya itu yang nanti akan diusulkan untuk melakukan konservasi atau restorasi," jelasnya.
Jarot menerangkan sebagian upaya restorasi karya dilakukan secara mandiri oleh pengelola museum, khususnya untuk karya-karya lukisan yang menggunakan cat minyak pada kanvas. Namun, jika media yang digunakan kertas, Galnas akan menggandeng lembaga-lembaga yang dinilai bisa merestorasi karya-karya tersebut yang biasanya memanggil tenaga ahli dari Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional.
Kemampuan untuk konservasi ataupun restorasi karya yang dimiliki oleh para pengelola di Galeri Nasional, kata Jarot, didapatkan dari program ujian kompetensi sumber daya manusia (SDM) pelaku budaya profesional melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP P2) Bidang Kebudayaan yang rutin diadakan oleh Kemendikbud.
"Kalau patung, kami masih bisa [merestorasi] selama materialnya kayu. Tapi kalau patungnya dari besi dan butuh las-lasan, biasanya kami memanggil tukang las tentunya dengan supervisi dari kami untuk pengerjaannya. Jadi memang tergantung medianya," katanya.
Diakui oleh Jarot salah satu tantangan utama dalam upaya restorasi karya-karya yang ada di Galeri Nasional adalah masih terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang tersebut. Hal itu membuat proses restorasi terhadap karya pun memakan waktu yang lama.
Untuk mengatasi hal tersebut, paparnya, para konservator di seluruh museum dan galeri di bawah Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) akan dibentuk menjadi satu bidang khusus tenaga konservator. Dengan begitu, para konservator dengan berbagai spesialisasi bisa saling mengisi kebutuhan tenaga konservasi di berbagai museum dan galeri di dalam negeri.
"Kami sudah bekerja sama dengan lembaga kebudayaan di Korea Selatan yang membantu kami untuk upgrade dengan melakukan workshop konservasi untuk tenaga-tenaga museum yang ada di BLU MCB. Jadi kami memang sudah punya peta, langkah-langkah untuk upgrade kemampuan SDM-nya itu sendiri," imbuhnya.
Agung sepakat jika ketersediaan ahli restorasi seni di Indonesia masih minim. Padahal, menurutnya, Indonesia adalah negara dengan sejarah seni rupa yang panjang sehingga kebutuhan akan tenaga ahli restorasi pun cukup besar.
Ada beberapa kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang restorer. Menurut Agung, restorer idealnya harus menempuh pendidikan restorasi karya seni. Selain itu, restorer juga bukan hanya harus memahami material atau unsur fisik dari karya, melainkan juga harus memahami sejarah seni atau estetika dari karya.
"Jadi biasanya riset untuk tugas akhir seorang restorer, kalau dia sekolah S2 atau S3, dia memang spesifik sekali misalnya khusus merestorasi karya-karya Picasso atau Van Gogh. Sepertinya belum ketemu dengan orang seperti itu di Indonesia. Saya mengharapkan lebih banyak restorer dan konservator dari Indonesia," ujarnya.
Oleh karena itu, Agung berharap negara bisa membuat banyak program beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang tertarik untuk mendalami bidang konservasi dan restorasi. Di samping itu, menurutnya, penting juga bagi pemerintah untuk memastikan standarisasi museum dan galeri nasional demi kelangsungan karya-karya seperti tingkat kelembapan ruang, ketersediaan dehumidifier, hingga pengadaan teknologi termutakhir untuk memperpanjang koleksi benda seni.
"Ketika karya itu dirawat, tentu umurnya bisa lebih panjang, dari aspek narasi sejarah juga bisa lebih terawat, dan imbasnya pada memori kolektif masyarakat serta pemahaman tentang identitas. Karya seni kan fungsinya seperti itu kalau di museum," tambahnya.
Pemilik Arte Restauro Monica Gunawan mengatakan lantaran tingkat kelembapan relatif (RH) di Indonesia cukup tinggi terlebih pada bulan September-Maret yang mencapai 80-90 persen, membuat lukisan kanvas menjadi cepat rusak jika dibandingkan di Eropa. Sebab, lanjutnya, tingkat kelembapan relatif yang ideal untuk lukisan yakni berkisar di angka 55 persen. Sementara untuk suhu penyimpanan yang ideal berada pada 19-21 derajat celcius.
Perempuan yang berprofesi sebagai konservator sekaligus restorer itu menjelaskan jika berada pada kondisi ruangan yang terlalu panas, cat pada lukisan bisa mengering yang mengakibatkan keretakan. Begitupun ketika ruangan penyimpanannya terlalu lembap, bisa memunculkan jamur pada lukisan.
Kondisi itulah yang membuat Arte Restauro cukup masif menerima proyek restorasi karya-karya seni terutama lukisan di Indonesia. Arte Restauro sendiri merupakan studio konservasi dan restorasi lukisan yang berbasis di Jakarta. Studio yang telah berdiri selama 15 tahun ini telah mengerjakan ribuan proyek restorasi lukisan baik dari dalam maupun luar negeri.
Sejumlah karya seni maestro yang pernah direstorasi oleh Arte Restauro diantaranya Picasso, Salvador Dali, Raden Saleh, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Affandi, R. Locatelli, Le Mayeur, Nieuwenkamp, Henk Ngantung, R. Bonnet, dan masih banyak lagi.
"Kami menangani lukisan yang sobek, jamuran, dan kotor, indikasi kerusakan di atas lima tahun. Kami juga banyak menerima [restorasi] lukisan dari zaman modern sampai kontemporer. Jadi memang lukisan itu harus selalu di-maintenance sehingga kerusakannya tidak terlalu panjang," kata perempuan lulusan Instituto d'Arte e Restauro itu.
Monica menjelaskan terdapat 30 jenis tindakan dalam pengerjaan restorasi karya seni yang terbagi atas pembersihan (cleaning), pengecekan struktural, estetika, pelapisan akhir (final coating), dan tindakan tambahan. Untuk tahap cleaning, tindakan tersebut meliputi seperti pembersihan permukaan lukisan dari debu, jamur, ataupun pernis yang telah kecoklatan.
Sementara untuk bagian struktural, meliputi pengecekan terhadap kondisi kanvas yang bisa saja mengalami kerusakan seperti bergelombang, sobek, ataupun retak. Setelah itu, barulah masuk pada tahap estetika yang meliputi retouching atau memperbaiki baik itu warna maupun gambar lukisan. Lalu, agar lukisan yang telah direstorasi bisa tahan lama, akan dilakukan pelapisan pernis.
Namun, tidak semua lukisan perlu mendapatkan penanganan sebanyak 30 tindakan restorasi. Hal tersebut tergantung dari masing-masing tingkat kerusakan lukisan. Nantinya, setiap lukisan yang akan direstorasi akan dianalisis dan dibuatkan laporan kondisi (condition report) terlebih dahulu, baru kemudian diberikan rekomendasi penanganannya mulai dari 2-30 tindakan.
Harga restorasi tiap lukisan ditentukan dari banyaknya tindakan yang dilakukan serta jam kerja restorer. Monica menyampaikan untuk pengerjaan pembersihan misalnya, dipatok harga mulai dari Rp5 juta-Rp6 juta dengan durasi sekitar empat minggu. "Kami pernah mengerjakan restorasi lukisan sampai setahun dan itu otomatis harganya bisa sampai ratusan juta rupiah," imbuhnya.
Adapun, proses restorasi dianggap selesai ketika telah memenuhi kebutuhan perbaikan dari kerusakan-kerusakan yang dialami oleh lukisan. Hal itulah yang membuat laporan kondisi hasil analisis di awal sebelum tindakan menjadi sangat penting, sebagai media checklist untuk finalisasi hasil restorasi karya seni.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Mereka adalah Edhi Sunarso, Jumaldi Alfi atau Rudi Mantofani, Aming Prayitno, Amri Yahya, Askabul, Bagong Kussudiarjo, Djakaria Suryakusumah, Dyan Anggraini Rais, dan Eddy Sulistyo. Selain itu, ada pula karya dari seniman Entang Wiharso, Fadjar Sidik, Genthong HSA, H. Harjiman, H. Widayat, Herry Wibowo, Ida Hadjar, I Made Wiradana, dan I Made Toris Mahendra.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Melihat Proses & Tantangan Revitalisasi Bangunan Bersejarah Dunia
2. Hypereport: Merawat Warisan Intelektual Lewat Restorasi Film Lawas
3. Hypereport: Proyek-proyek Restorasi Karya Seni Paling Kesohor di Dunia
Kerusakan itu terjadi lantaran karya-karya tersebut hanya disimpan di ruangan tertutup, dan tidak ada perawatan tertentu untuk menjaga kelembapan atau kebersihan ruangan. Padahal, ratusan karya yang dihibahkan seniman kepada TBY itu merupakan bagian penting dari sejarah seni rupa Indonesia khususnya di Yogyakarta, serta memiliki nilai ekonomis yang tak main-main dan mencapai miliaran rupiah.
Kabar serupa tak hanya terjadi di TBY. Sebelumnya, pada 2022, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga membeberkan bahwa 60 persen dari 393 karya seni dan arsip dalam koleksi DKJ kondisinya memprihatinkan. Koleksi tersebut mencakup seni lukis, seni grafis, dan seni patung, ditambah ribuan arsip seni rupa berbentuk poster, foto, rekaman audio, dan kliping media cetak.
Padahal, koleksi karya dan arsip tersebut merupakan sumber sejarah berharga yang seyogyanya bisa dinikmati sebagai pengetahuan bagi generasi muda, serta inspirasi bagi pembangunan ekosistem seni mendatang. Selain itu, karya-karya tersebut juga memiliki valuasi tinggi. Adapun, sumber daya dan dana disebut menjadi tantangan utama dalam merestorasi koleksi dan arsip yang ada di DKJ.
Dua kabar tersebut hanyalah bagian kecil dari besarnya pekerjaan rumah yang dihadapi Indonesia dalam menciptakan upaya konservasi dan restorasi karya seni yang tersistematis dan teregulasi. Negara dinilai belum memberikan perhatian serius dalam memandang karya seni sebagai aset negara, serta dipelihara dan dikelola dalam satu payung regulasi alih-alih mengerjakannya secara sektoral melalui mekanisme penganggaran yang banyak dan berbeda-beda.
Peneliti Seni Agung Hujatnikajennong mengatakan restorasi merupakan kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh setiap museum atau galeri khususnya yang menyimpan koleksi karya seni nasional. Sebab, lanjutnya, baik museum maupun galeri memiliki tanggung jawab untuk menyimpan, memelihara, termasuk memajangnya untuk kepentingan publik.
Namun, di Indonesia, Agung melihat karya-karya seni old masters juga banyak dipajang di sejumlah kantor kementerian atau instansi pemerintah. Meski tak memiliki kewajiban untuk mengkonservasi atau merestorasi, karya-karya tersebut tetaplah dipandang sebagai aset nasional sehingga harus dipelihara secara baik.
"Sehingga konservasi dan restorasi itu juga kewajiban untuk mereka walaupun bukan museum," katanya saat dihubungi Hypeabis.id melalui sambungan telepon, baru-baru ini.
Agung menilai publikasi terkait upaya konservasi dan restorasi yang dilakukan oleh pihak museum atau galeri negara masih terbilang kurang masif, sehingga publik tak mengetahui secara pasti bagaimana kondisi karya-karya tersebut. Padahal, menurutnya, publik berhak mengetahui kondisi dari karya-karya seni yang menjadi aset nasional dari waktu ke waktu.
"Kalau misalnya di Galeri Nasional, ada koleksi karya yang rusak dan tidak direstorasi, sebenarnya kita [publik] itu punya kewajiban untuk menuntut. Karena itu tugas mereka kan," kata dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu.
Kepala Unit Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra menjelaskan pihaknya selalu melakukan upaya preventif untuk menjaga koleksi karya di Galeri Nasional (Galnas) baik itu di ruang pameran koleksi tetap maupun tempat penyimpanan karya (storage). Untuk koleksi pameran tetap di Galnas, akan dilakukan pengecekan atau inspeksi setiap hari Senin saat kunjungan ditutup untuk publik.
Pengecekan itu dilakukan secara menyeluruh mulai dari karya, tingkat kelembapan tempat, hingga ruangan pameran. Sementara untuk karya-karya yang diletakkan di ruang penyimpanan, pengecekan dilakukan justru lebih sering yakni pada Selasa-Jumat tiap minggunya.
"Kalau hanya kelihatan debu misalnya, biasanya langsung kami bersihkan di lokasi. Tapi kalau ada vandalisme atau ternyata ada insiden pada saat [karya] dipamerkan, kami akan membuat report kondisi karya itu yang nanti akan diusulkan untuk melakukan konservasi atau restorasi," jelasnya.
Jarot menerangkan sebagian upaya restorasi karya dilakukan secara mandiri oleh pengelola museum, khususnya untuk karya-karya lukisan yang menggunakan cat minyak pada kanvas. Namun, jika media yang digunakan kertas, Galnas akan menggandeng lembaga-lembaga yang dinilai bisa merestorasi karya-karya tersebut yang biasanya memanggil tenaga ahli dari Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional.
Kemampuan untuk konservasi ataupun restorasi karya yang dimiliki oleh para pengelola di Galeri Nasional, kata Jarot, didapatkan dari program ujian kompetensi sumber daya manusia (SDM) pelaku budaya profesional melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP P2) Bidang Kebudayaan yang rutin diadakan oleh Kemendikbud.
"Kalau patung, kami masih bisa [merestorasi] selama materialnya kayu. Tapi kalau patungnya dari besi dan butuh las-lasan, biasanya kami memanggil tukang las tentunya dengan supervisi dari kami untuk pengerjaannya. Jadi memang tergantung medianya," katanya.
Diakui oleh Jarot salah satu tantangan utama dalam upaya restorasi karya-karya yang ada di Galeri Nasional adalah masih terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang tersebut. Hal itu membuat proses restorasi terhadap karya pun memakan waktu yang lama.
Untuk mengatasi hal tersebut, paparnya, para konservator di seluruh museum dan galeri di bawah Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) akan dibentuk menjadi satu bidang khusus tenaga konservator. Dengan begitu, para konservator dengan berbagai spesialisasi bisa saling mengisi kebutuhan tenaga konservasi di berbagai museum dan galeri di dalam negeri.
"Kami sudah bekerja sama dengan lembaga kebudayaan di Korea Selatan yang membantu kami untuk upgrade dengan melakukan workshop konservasi untuk tenaga-tenaga museum yang ada di BLU MCB. Jadi kami memang sudah punya peta, langkah-langkah untuk upgrade kemampuan SDM-nya itu sendiri," imbuhnya.
Agung sepakat jika ketersediaan ahli restorasi seni di Indonesia masih minim. Padahal, menurutnya, Indonesia adalah negara dengan sejarah seni rupa yang panjang sehingga kebutuhan akan tenaga ahli restorasi pun cukup besar.
Ada beberapa kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang restorer. Menurut Agung, restorer idealnya harus menempuh pendidikan restorasi karya seni. Selain itu, restorer juga bukan hanya harus memahami material atau unsur fisik dari karya, melainkan juga harus memahami sejarah seni atau estetika dari karya.
"Jadi biasanya riset untuk tugas akhir seorang restorer, kalau dia sekolah S2 atau S3, dia memang spesifik sekali misalnya khusus merestorasi karya-karya Picasso atau Van Gogh. Sepertinya belum ketemu dengan orang seperti itu di Indonesia. Saya mengharapkan lebih banyak restorer dan konservator dari Indonesia," ujarnya.
Oleh karena itu, Agung berharap negara bisa membuat banyak program beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang tertarik untuk mendalami bidang konservasi dan restorasi. Di samping itu, menurutnya, penting juga bagi pemerintah untuk memastikan standarisasi museum dan galeri nasional demi kelangsungan karya-karya seperti tingkat kelembapan ruang, ketersediaan dehumidifier, hingga pengadaan teknologi termutakhir untuk memperpanjang koleksi benda seni.
"Ketika karya itu dirawat, tentu umurnya bisa lebih panjang, dari aspek narasi sejarah juga bisa lebih terawat, dan imbasnya pada memori kolektif masyarakat serta pemahaman tentang identitas. Karya seni kan fungsinya seperti itu kalau di museum," tambahnya.
Proses restorasi di Arte Restauro. (Sumber foto: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Perempuan yang berprofesi sebagai konservator sekaligus restorer itu menjelaskan jika berada pada kondisi ruangan yang terlalu panas, cat pada lukisan bisa mengering yang mengakibatkan keretakan. Begitupun ketika ruangan penyimpanannya terlalu lembap, bisa memunculkan jamur pada lukisan.
Kondisi itulah yang membuat Arte Restauro cukup masif menerima proyek restorasi karya-karya seni terutama lukisan di Indonesia. Arte Restauro sendiri merupakan studio konservasi dan restorasi lukisan yang berbasis di Jakarta. Studio yang telah berdiri selama 15 tahun ini telah mengerjakan ribuan proyek restorasi lukisan baik dari dalam maupun luar negeri.
Sejumlah karya seni maestro yang pernah direstorasi oleh Arte Restauro diantaranya Picasso, Salvador Dali, Raden Saleh, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Affandi, R. Locatelli, Le Mayeur, Nieuwenkamp, Henk Ngantung, R. Bonnet, dan masih banyak lagi.
"Kami menangani lukisan yang sobek, jamuran, dan kotor, indikasi kerusakan di atas lima tahun. Kami juga banyak menerima [restorasi] lukisan dari zaman modern sampai kontemporer. Jadi memang lukisan itu harus selalu di-maintenance sehingga kerusakannya tidak terlalu panjang," kata perempuan lulusan Instituto d'Arte e Restauro itu.
Monica menjelaskan terdapat 30 jenis tindakan dalam pengerjaan restorasi karya seni yang terbagi atas pembersihan (cleaning), pengecekan struktural, estetika, pelapisan akhir (final coating), dan tindakan tambahan. Untuk tahap cleaning, tindakan tersebut meliputi seperti pembersihan permukaan lukisan dari debu, jamur, ataupun pernis yang telah kecoklatan.
Sementara untuk bagian struktural, meliputi pengecekan terhadap kondisi kanvas yang bisa saja mengalami kerusakan seperti bergelombang, sobek, ataupun retak. Setelah itu, barulah masuk pada tahap estetika yang meliputi retouching atau memperbaiki baik itu warna maupun gambar lukisan. Lalu, agar lukisan yang telah direstorasi bisa tahan lama, akan dilakukan pelapisan pernis.
Namun, tidak semua lukisan perlu mendapatkan penanganan sebanyak 30 tindakan restorasi. Hal tersebut tergantung dari masing-masing tingkat kerusakan lukisan. Nantinya, setiap lukisan yang akan direstorasi akan dianalisis dan dibuatkan laporan kondisi (condition report) terlebih dahulu, baru kemudian diberikan rekomendasi penanganannya mulai dari 2-30 tindakan.
Harga restorasi tiap lukisan ditentukan dari banyaknya tindakan yang dilakukan serta jam kerja restorer. Monica menyampaikan untuk pengerjaan pembersihan misalnya, dipatok harga mulai dari Rp5 juta-Rp6 juta dengan durasi sekitar empat minggu. "Kami pernah mengerjakan restorasi lukisan sampai setahun dan itu otomatis harganya bisa sampai ratusan juta rupiah," imbuhnya.
Adapun, proses restorasi dianggap selesai ketika telah memenuhi kebutuhan perbaikan dari kerusakan-kerusakan yang dialami oleh lukisan. Hal itulah yang membuat laporan kondisi hasil analisis di awal sebelum tindakan menjadi sangat penting, sebagai media checklist untuk finalisasi hasil restorasi karya seni.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.