Hypereport: Tren Live Commerce & Masa Depan Perilaku Belanja Masyarakat Indonesia
02 October 2023 |
15:44 WIB
Tren menggelar lapak online dengan metode live streaming atau live selling belakangan terus tumbuh dan diminati masyarakat. Benefit dari strategi marketing ini mendorong berkembangnya perdagangan daring dan munculnya fenomena baru dalam proses berbelanja publik.
Kalimat “Boleh Kakak, dilihat-lihat dulu” atau “Silakan mampir Kakak” yang dahulu sering terngiang di pusat perbelanjaan konvensional, kini bakal makin jarang terdengar. Tergantikan oleh “Langsung cek keranjang kuning, Kak” atau “Yuk, langsung check out, diskon cuma ada waktu live saja ya” yang belakangan terdengar makin akrab ketika menonton live commerce.
Di Indonesia, fenomena ini memang sedang jadi perbincangan hangat. Akan tetapi, sejatinya pergeseran sistem perdagangan ini telah menunjukkan geliatnya secara global dalam beberapa tahun belakangan.
Baca juga laporan terkait:
> Hypereport: Meracik Strategi Meraih Untung dari Live Selling
> Hypereport: Mencetak Ahli Digital Marketing Lewat Jurusan Bisnis Daring dan Pemasaran
> Hypereport: Mengintip Suka Duka hingga Peluang Besar Profesi Host Live Selling
Hadirnya Taobao Live Alibaba pada Mei 2016 menandai dibukanya babak baru penjualan. Raksasa ritel asal China itu telah memelopori pendekatan baru yang ampuh, yakni menghubungkan siaran online dengan toko e-commerce. Metode ini membuat konsumen dapat menonton entertainment sekaligus berbelanja pada saat yang bersamaan.
Pada 2020, saat event promo Singles’ Day, metode live shopping Taobao berhasil mencatatkan total transaksi US$7,5 miliar hanya dalam waktu 30 menit pertama. Sejak saat itu, gelombang revolusi e-commerce telah memasuki fase berikutnya. Live shopping menjadi metode baru yang diminati karena melalui obrolan dan tombol reaksi, konsumen bisa berinteraksi dengan penjual. Ini membuat proses transaksi tidak lagi kaku.
Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi begitu masif. Survei JakPat pada 2022 menunjukkan bahwa 83,7 persen masyarakat Indonesia pernah menonton fitur live shopping. Ada beberapa produk yang paling sering ditonton, mulai pakaian (82,6 persen), produk kecantikan (47,2 persen), hingga peralatan rumah tangga (39,3 persen).
Pakar Branding dan pemasaran Yuswohady mengatakan bahwa live shopping merupakan bagian dari transformasi perdagangan digital. Dimulai dari e-commerce, social commerce, lalu kini live commerce atau live shopping. Tidak hanya di Indonesia, tren live commerce kini juga menyebar secara global.
Metode ini sebenarnya tak baru-baru amat. Sebab, cara ini hanya memindahkan experience belanja fisik ke dalam pasar digital. Live shopping tak ada bedanya dengan proses berbelanja secara konvensional. Dalam pusat perbelanjaan fisik, penjual akan menjajakan barangnya, berinteraksi dengan konsumen, lalu bertransaksi.
Dahulu, cara tersebut sulit dilakukan karena perdagangan digital bentuknya hanya e-commerce yang terkesan lebih kaku karena menghilangkan interaksi. Nah, dengan adanya live shopping, proses transaksinya jadi lebih cair.
Metode live commerce memang efektif dalam memengaruhi konsumen agar tertarik, kemudian membeli. Dengan konten yang menarik, konsumen yang tadinya masih mikir-mikir untuk beli, bisa berubah pikiran jadi mau beli saat itu juga.
Ada alasan untuk itu. Sebagian orang membeli tidak hanya berdasarkan kebutuhan. Terkadang, hanya karena impulsif saja. Selain itu, fitur live yang terbatas juga membuat orang merasa FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan atau kehabisan barang.
Penjual live commerce juga menerapkan limited stock. Terkadang disertai dengan diskon besar-besaran. Hal ini membuat keputusan membeli dari konsumen bisa lebih cepat. Tidak lagi hitungan jam atau hari, tetapi detik.
Bagi Yuswohady, metode marketing ini merupakan evolusi yang tak bisa dihindari. Live commerce akan jadi proses berbelanja yang mainstream. Sebab, dari sisi penjual, mereka bisa berdagang secara efektif.
Dari segi pembeli, mereka bisa mendapatkan barang secara lebih mudah. Selain itu, para pembeli juga bisa mengetahui fungsi atau manfaatnya secara jelas dengan berinteraksi secara langsung melalui streaming. Hal ini membuat efektivitasnya lebih tinggi lagi.
Sementara itu, Pengamat Bisnis Kafi Kurnia mengatakan bahwa fitur live commerce membuat penjual bisa menjangkau konsumen secara lebih mudah. Tidak perlu membuat outlet di berbagai tempat, cukup secara online mereka bisa berjualan dan melebarkan sayap bisnisnya lebih luas.
Walaupun demikian, jangkauan tersebut akan berbeda dari satu penjual ke penjual lain. Titik penentuannya biasanya berdasarkan pada keviralan konten yang dibuat dan juga followers. Kalau tidak viral, jangkauan produknya bisa lebih sedikit.
“Di metode ini, selain tentu saja kualitas produk, yang diuji adalah kreativitas membuat konten. Ini sama saja dengan beriklan, harus kreatif, agar orang yang melihat bisa tertarik,” ucap Kafi.
Bisa dibilang live commerce membuat siapa saja bisa berjualan. Sebab, mereka cukup membuat konten menarik dan viral, lalu jangkauan produknya akan meluas. Namun, metode ini juga akan membuat penjual yang belum memiliki nama mesti berjuang ekstra keras untuk mendapatkan hal tersebut.
Hal ini berbeda dengan mereka yang telah terlebih dahulu memiliki nama atau followers yang kuat. Oleh karena itu, bisa dilihat dalam beberapa waktu terakhir ada banyak aktris atau selebgram yang ikut turun berjualan live commerce. Sebab, mereka memiliki titik pijak lebih tinggi untuk membuat barang jualannya viral dan memiliki jangkauan lebih luas.
Baca juga: Banyak Artis Turun Gunung Jualan Sembako di TikTok, Saat Followers Berubah Jadi Pasar
Akan tetapi, apa pun itu, live commerce adalah masa depan perdagangan. Bagi Kafi, ini adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah. Justru mesti dirangkul dengan baik, tentunya lewat regulasi yang bijak.
Sebab, ke depan, terutama milenial, generasi Z dan generasi baru setelahnya akan makin jarang berbelanja secara fisik. Mereka lebih memilih waktu senggang untuk mencari hiburan, dibanding membeli barang di pusat perbelanjaan konvensional.
Di Indonesia, hal itu sudah makin sering terjadi. Tren live commerce yang marak tak ayal membuat banyak raksasa e-commerce berlomba-lomba membuat fitur live streaming. Bahkan, beberapa media sosial, seperti TikTok, juga punya fitur serupa dan melahirkan fenomena social commerce.
Namun, baru-baru ini Pemerintah melalui Kementerian perdagangan resmi melarang media sosial ikut berjualan. Hal itu menyusul diluncurkannya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang merupakan Revisi Permendag 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik PMSE.
Juru Bicara TikTok Indonesia menyatakan bahwa mereka menghormati peraturan baru tersebut. Namun, akan tetap menempuh jalur konstruktif ke depan. Sebab, menurut mereka, ada banyak individu yang terdampak.
“Kami sangat menyayangkan terkait pengumuman ini, terutama bagaimana keputusan tersebut akan berdampak pada penghidupan 6 juta penjual dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop,” tulis Juru Bicara TikTok Indonesia kepada Hypeabis.id.
Dari segi platform, survei Populix Mei 2023 mencatat Shopee Live dan TikTok Live menjadi dua jenama yang saling bersaing merebut pangsa pasar live shopping di Indonesia. Dalam survei yang dilakukan pada 506 laki-laki dan perempuan berumur 17-45 tahun pada Mei 2023, mengungkapkan 69 persen responden mengatakan Shopee Live merupakan fitur live streaming yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Angka tersebut jauh melampaui para pesaingnya, yakni TikTok Live (25 persen), Tokopedia Play (4 persen) dan LazLive (2 persen). Shopee Live juga menjadi fitur live streaming yang paling diingat oleh masyarakat Indonesia dengan hasil 60 persen responden, jauh melampaui TikTok Live (30 persen), LazLive (4 persen) dan Tokopedia Play (2 persen).
Baca juga: Mengapa Live Shopping Semakin Populer di Kalangan Pembeli? Ternyata Ini Alasannya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Kalimat “Boleh Kakak, dilihat-lihat dulu” atau “Silakan mampir Kakak” yang dahulu sering terngiang di pusat perbelanjaan konvensional, kini bakal makin jarang terdengar. Tergantikan oleh “Langsung cek keranjang kuning, Kak” atau “Yuk, langsung check out, diskon cuma ada waktu live saja ya” yang belakangan terdengar makin akrab ketika menonton live commerce.
Di Indonesia, fenomena ini memang sedang jadi perbincangan hangat. Akan tetapi, sejatinya pergeseran sistem perdagangan ini telah menunjukkan geliatnya secara global dalam beberapa tahun belakangan.
Baca juga laporan terkait:
> Hypereport: Meracik Strategi Meraih Untung dari Live Selling
> Hypereport: Mencetak Ahli Digital Marketing Lewat Jurusan Bisnis Daring dan Pemasaran
> Hypereport: Mengintip Suka Duka hingga Peluang Besar Profesi Host Live Selling
Hadirnya Taobao Live Alibaba pada Mei 2016 menandai dibukanya babak baru penjualan. Raksasa ritel asal China itu telah memelopori pendekatan baru yang ampuh, yakni menghubungkan siaran online dengan toko e-commerce. Metode ini membuat konsumen dapat menonton entertainment sekaligus berbelanja pada saat yang bersamaan.
Pada 2020, saat event promo Singles’ Day, metode live shopping Taobao berhasil mencatatkan total transaksi US$7,5 miliar hanya dalam waktu 30 menit pertama. Sejak saat itu, gelombang revolusi e-commerce telah memasuki fase berikutnya. Live shopping menjadi metode baru yang diminati karena melalui obrolan dan tombol reaksi, konsumen bisa berinteraksi dengan penjual. Ini membuat proses transaksi tidak lagi kaku.
Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi begitu masif. Survei JakPat pada 2022 menunjukkan bahwa 83,7 persen masyarakat Indonesia pernah menonton fitur live shopping. Ada beberapa produk yang paling sering ditonton, mulai pakaian (82,6 persen), produk kecantikan (47,2 persen), hingga peralatan rumah tangga (39,3 persen).
Pakar Branding dan pemasaran Yuswohady mengatakan bahwa live shopping merupakan bagian dari transformasi perdagangan digital. Dimulai dari e-commerce, social commerce, lalu kini live commerce atau live shopping. Tidak hanya di Indonesia, tren live commerce kini juga menyebar secara global.
Metode ini sebenarnya tak baru-baru amat. Sebab, cara ini hanya memindahkan experience belanja fisik ke dalam pasar digital. Live shopping tak ada bedanya dengan proses berbelanja secara konvensional. Dalam pusat perbelanjaan fisik, penjual akan menjajakan barangnya, berinteraksi dengan konsumen, lalu bertransaksi.
Dahulu, cara tersebut sulit dilakukan karena perdagangan digital bentuknya hanya e-commerce yang terkesan lebih kaku karena menghilangkan interaksi. Nah, dengan adanya live shopping, proses transaksinya jadi lebih cair.
Baca juga: 4 Jurus Ampuh Tingkatkan Penjualan Live Streaming di TikTok“Live commerce adalah strategi yang efektif karena bisa mempercepat konversi, sehingga pembelian barang bisa dilakukan dengan cepat,” ucap Yuswohady.
Alasan Live Commerce Diminati
Metode live commerce memang efektif dalam memengaruhi konsumen agar tertarik, kemudian membeli. Dengan konten yang menarik, konsumen yang tadinya masih mikir-mikir untuk beli, bisa berubah pikiran jadi mau beli saat itu juga.Ada alasan untuk itu. Sebagian orang membeli tidak hanya berdasarkan kebutuhan. Terkadang, hanya karena impulsif saja. Selain itu, fitur live yang terbatas juga membuat orang merasa FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan atau kehabisan barang.
Penjual live commerce juga menerapkan limited stock. Terkadang disertai dengan diskon besar-besaran. Hal ini membuat keputusan membeli dari konsumen bisa lebih cepat. Tidak lagi hitungan jam atau hari, tetapi detik.
Bagi Yuswohady, metode marketing ini merupakan evolusi yang tak bisa dihindari. Live commerce akan jadi proses berbelanja yang mainstream. Sebab, dari sisi penjual, mereka bisa berdagang secara efektif.
Dari segi pembeli, mereka bisa mendapatkan barang secara lebih mudah. Selain itu, para pembeli juga bisa mengetahui fungsi atau manfaatnya secara jelas dengan berinteraksi secara langsung melalui streaming. Hal ini membuat efektivitasnya lebih tinggi lagi.
(Sumber: Freepik/Zinkevych)
Walaupun demikian, jangkauan tersebut akan berbeda dari satu penjual ke penjual lain. Titik penentuannya biasanya berdasarkan pada keviralan konten yang dibuat dan juga followers. Kalau tidak viral, jangkauan produknya bisa lebih sedikit.
“Di metode ini, selain tentu saja kualitas produk, yang diuji adalah kreativitas membuat konten. Ini sama saja dengan beriklan, harus kreatif, agar orang yang melihat bisa tertarik,” ucap Kafi.
Bisa dibilang live commerce membuat siapa saja bisa berjualan. Sebab, mereka cukup membuat konten menarik dan viral, lalu jangkauan produknya akan meluas. Namun, metode ini juga akan membuat penjual yang belum memiliki nama mesti berjuang ekstra keras untuk mendapatkan hal tersebut.
Hal ini berbeda dengan mereka yang telah terlebih dahulu memiliki nama atau followers yang kuat. Oleh karena itu, bisa dilihat dalam beberapa waktu terakhir ada banyak aktris atau selebgram yang ikut turun berjualan live commerce. Sebab, mereka memiliki titik pijak lebih tinggi untuk membuat barang jualannya viral dan memiliki jangkauan lebih luas.
Baca juga: Banyak Artis Turun Gunung Jualan Sembako di TikTok, Saat Followers Berubah Jadi Pasar
Masa Depan Proses Berbelanja
Akan tetapi, apa pun itu, live commerce adalah masa depan perdagangan. Bagi Kafi, ini adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah. Justru mesti dirangkul dengan baik, tentunya lewat regulasi yang bijak.Sebab, ke depan, terutama milenial, generasi Z dan generasi baru setelahnya akan makin jarang berbelanja secara fisik. Mereka lebih memilih waktu senggang untuk mencari hiburan, dibanding membeli barang di pusat perbelanjaan konvensional.
Di Indonesia, hal itu sudah makin sering terjadi. Tren live commerce yang marak tak ayal membuat banyak raksasa e-commerce berlomba-lomba membuat fitur live streaming. Bahkan, beberapa media sosial, seperti TikTok, juga punya fitur serupa dan melahirkan fenomena social commerce.
Namun, baru-baru ini Pemerintah melalui Kementerian perdagangan resmi melarang media sosial ikut berjualan. Hal itu menyusul diluncurkannya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang merupakan Revisi Permendag 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik PMSE.
Juru Bicara TikTok Indonesia menyatakan bahwa mereka menghormati peraturan baru tersebut. Namun, akan tetap menempuh jalur konstruktif ke depan. Sebab, menurut mereka, ada banyak individu yang terdampak.
“Kami sangat menyayangkan terkait pengumuman ini, terutama bagaimana keputusan tersebut akan berdampak pada penghidupan 6 juta penjual dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop,” tulis Juru Bicara TikTok Indonesia kepada Hypeabis.id.
Dari segi platform, survei Populix Mei 2023 mencatat Shopee Live dan TikTok Live menjadi dua jenama yang saling bersaing merebut pangsa pasar live shopping di Indonesia. Dalam survei yang dilakukan pada 506 laki-laki dan perempuan berumur 17-45 tahun pada Mei 2023, mengungkapkan 69 persen responden mengatakan Shopee Live merupakan fitur live streaming yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Angka tersebut jauh melampaui para pesaingnya, yakni TikTok Live (25 persen), Tokopedia Play (4 persen) dan LazLive (2 persen). Shopee Live juga menjadi fitur live streaming yang paling diingat oleh masyarakat Indonesia dengan hasil 60 persen responden, jauh melampaui TikTok Live (30 persen), LazLive (4 persen) dan Tokopedia Play (2 persen).
Baca juga: Mengapa Live Shopping Semakin Populer di Kalangan Pembeli? Ternyata Ini Alasannya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.