Hypereport: Meracik Strategi Meraih Untung dari Live Selling
02 October 2023 |
13:13 WIB
Penjualan secara daring atau online tidak dapat dimungkiri menjadi salah satu cara yang kini ditempuh oleh banyak pemilik produk. Selain lebih murah dan mudah, menjajakan barang secara langsung melalui dunia maya dapat menjangkau lebih banyak konsumen, sehingga membuat penjualan pun mengalami pasang.
Jika sebelumnya penjualan daring hanya melampirkan foto barang, layaknya meletakkan dagangan di etalase, kini pemilik bisa menjajakan barangnya secara langsung (live selling). Namun, semua itu dilakukannya di depan kamera, yang mewakili mata para audiens dari berbagai tempat yang tidak diketahui.
Baca juga laporan terkait:
> Hypereport: Tren Live Commerce & Masa Depan Proses Belanja Masyarakat Indonesia
> Hypereport: Mencetak Ahli Digital Marketing Lewat Jurusan Bisnis Daring dan Pemasaran
> Hypereport: Mengintip Suka Duka hingga Peluang Besar Profesi Host Live Selling
Prita Dyah adalah salah satu penjual barang yang kerap melakukan penjualan secara live di sejumlah media sosial, seperti instagram dan TikTok. Memulai proses ini pada 2020, pemilik usaha bernama Sosialita itu berhasil menorehkan penjualan yang cukup memuaskan.
6 karyawan host live, yang terdiri dari 3 orang penuh waktu (full time) dan 3 lainnya freelance bisa menjadi bukti kesuksesannya. Tanpa menyebutkan dengan pasti angka penjualan yang diraihnya, dia mengeklaim selalu berhasil menjual produknya setiap hari.
Bagi Prita, live selling menjadi metode yang efektif lantaran terbukti mampu menarik konsumen dan membelinya. Mereka menjadi tahu barang yang dijualnya dan dapat melihat secara langsung, sehingga kepercayaan konsumen dapat terbangun.
Langkah tersebut menjadi penting mengingat tas yang dijajakan memiliki harga yang tidak murah, yakni jutaan Rupiah. Dia berjualan di Instagram dan TikTok karena tidak dapat menjual tas branded, mengingat lokapasar daring mengharuskan distributor resmi yang berjualan meskipun barangnya asli.
Saat ini, Prita telah memiliki dua toko luring sebagai pelengkap bagi konsumen yang ingin datang untuk membeli tas yang dijajakannya. Toko offline-nya berada di Cibinong, Jawa Barat, dan Yogyakarta, Jawa Tengah.
“Utama masih mengandalkan online. Offline enaknya karena tas aku Rp1 juta ke atas, sehingga membuat orang menjadi lebih percaya karena ada tokonya. Kalau live, orang mau transfer enggak takut kena tipu karena ada toko fisiknya. Toko offline pelengkap,” katanya. Pada saat ini, penjualannya sebesar 80 persen berasal dari daring.
Pencapaian Prita saat ini tidak diraih semudah membalikkan telapak tangan. Pada saat memulai, dia tidak memiliki pengikut sehingga sulit baginya menjual barang secara live di media sosial. Untuk mengatasi kondisi yang demikian, ibu muda itu menggunakan jasa iklan untuk memasarkan akunnya.
Tidak hanya itu, dia juga terus membangun keterikatan dengan pengikutnya, menggunakan jasa host live sesuai dengan pasar, menyampaikan informasi yang sesuai dengan pengikutnya, dan sebagainya.
Dia mencontohkan bahwa mengadakan live di media sosial instagram berbeda dengan siaran langsung di TikTok. Perbedaan itu dapat terjadi lantaran penonton live di Instagram harus menjadi pengikut terlebih dahulu, sementara di TikTok siapa saja bisa menyaksikannya.
”Di TikTok bisa grab market luas karena yang menonton enggak harus follow. Kalau Instagram harus,” ujarnya.
Meskipun begitu, pasar Instagram lebih matang jika dibandingkan dengan di TikTok. Penonton di media sosial Instagram yang hanya 30-50 orang memiliki keterikatan yang lebih kuat, ketimbang penonton TikTok yang mencapai ratusan orang.
Pasar yang sudah matang itu membuat jumlah barang yang ditampilkan saat live tidak sebanyak di TikTok, lantaran sudah dapat mengetahui barang seperti apa yang diinginkan oleh penonton. Kondisi ini juga membuat ulasan barang di Instagram lebih detail dibandingkan dengan TikTok. “Di TikTok cepat sekali. Pilihan barang harus lebih banyak,” ujarnya.
Karakter host live yang menjual barang juga berbeda antara dua media sosial tersebut. Dia mengaku tidak bisa asal tunjuk individu untuk mengisinya. Sementara dari sisi dekorasi, pencahayaan menjadi yang utama saat melakukan siaran langsung. Warna dan background juga harus menjadi perhatian meskipun melakukannya di dalam rumah. Selain itu, suara dan koneksi internet tidak boleh terganggu.
Baca juga: Lakukan 4 Hal Ini Saat Akun TikTok Kena Shadowban Saat Live Selling
Porsi live selling yang dilakoninya masih lebih sedikit dibandingkan dengan menjajakan barang di e-commerce. Meskipun begitu, pengaruh berjualan secara langsung tetap dirasakan oleh wanita pemilik usaha Essen Furniture dan Essen Baby itu. “[Live selling] lumayan berpengaruh terhadap penjualan,” kata wanita yang akrab disapa Eci itu.
Ramai atau tidaknya berjualan di lokapasar daring tidak dapat dilepaskan dari program yang dimiliki oleh e-commerce. Sebagai contoh, salah satu platform dagang-el di dalam negeri memberikan beragam fitur seperti harga khusus saat live.
Ketika ada promo dari lokapasar daring, penjualan pun dapat mengalami pasang. Namun, penjualan bakal surut ketika promo telah usai. Pada awal-awal, dia mengaku mengalami pertumbuhan penjualan. Kini, penjualannya kembali sepi lantaran nilai potongan harga yang diberikan oleh e-commerce juga turun.
Lain barang dagangan, maka beda juga respons konsumen dalam menanggapi barang yang dijajakan secara live di media sosial atau lokapasar. Budaya masyarakat menjadi alasan harus memegangnya terlebih dahulu sebelum membeli.
Pakar marketing dan branding Yuswohady pernah mengungkapkan bahwa pemilik produk harus memiliki basis pelanggan yang besar dan punya kedalaman relasi sebelum jualan di live commerce. Hal ini penting agar memperoleh efektivitas fitur pemasaran tersebut.
Menurutnya, merek tidak akan bisa melakukan jualan secara live di media sosial ketika tidak ada ketertarikan konsumen untuk melakukan pembelian dan menonton. Untuk mengumpulkan pengikut di media sosial tempat penjualan secara langsung, pemilik produk dapat membuat konten yang bisa berbentuk video, teks, grafik, dan sebagainya untuk meng-engage konsumen dan meraih pengikut.
Dia menuturkan bahwa live commerce akan efektif jika pemilik produk sudah memiliki basis konsumen dengan jumlah banyak dan terdapat hubungan yang mendalam terlebih dahulu.
Baca juga: Tren Live Selling Makin Populer, Perlu Ada Regulasi Khusus?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Jika sebelumnya penjualan daring hanya melampirkan foto barang, layaknya meletakkan dagangan di etalase, kini pemilik bisa menjajakan barangnya secara langsung (live selling). Namun, semua itu dilakukannya di depan kamera, yang mewakili mata para audiens dari berbagai tempat yang tidak diketahui.
Baca juga laporan terkait:
> Hypereport: Tren Live Commerce & Masa Depan Proses Belanja Masyarakat Indonesia
> Hypereport: Mencetak Ahli Digital Marketing Lewat Jurusan Bisnis Daring dan Pemasaran
> Hypereport: Mengintip Suka Duka hingga Peluang Besar Profesi Host Live Selling
Prita Dyah adalah salah satu penjual barang yang kerap melakukan penjualan secara live di sejumlah media sosial, seperti instagram dan TikTok. Memulai proses ini pada 2020, pemilik usaha bernama Sosialita itu berhasil menorehkan penjualan yang cukup memuaskan.
6 karyawan host live, yang terdiri dari 3 orang penuh waktu (full time) dan 3 lainnya freelance bisa menjadi bukti kesuksesannya. Tanpa menyebutkan dengan pasti angka penjualan yang diraihnya, dia mengeklaim selalu berhasil menjual produknya setiap hari.
Bagi Prita, live selling menjadi metode yang efektif lantaran terbukti mampu menarik konsumen dan membelinya. Mereka menjadi tahu barang yang dijualnya dan dapat melihat secara langsung, sehingga kepercayaan konsumen dapat terbangun.
Langkah tersebut menjadi penting mengingat tas yang dijajakan memiliki harga yang tidak murah, yakni jutaan Rupiah. Dia berjualan di Instagram dan TikTok karena tidak dapat menjual tas branded, mengingat lokapasar daring mengharuskan distributor resmi yang berjualan meskipun barangnya asli.
Saat ini, Prita telah memiliki dua toko luring sebagai pelengkap bagi konsumen yang ingin datang untuk membeli tas yang dijajakannya. Toko offline-nya berada di Cibinong, Jawa Barat, dan Yogyakarta, Jawa Tengah.
“Utama masih mengandalkan online. Offline enaknya karena tas aku Rp1 juta ke atas, sehingga membuat orang menjadi lebih percaya karena ada tokonya. Kalau live, orang mau transfer enggak takut kena tipu karena ada toko fisiknya. Toko offline pelengkap,” katanya. Pada saat ini, penjualannya sebesar 80 persen berasal dari daring.
(Sumber gambar: Freepik)
Live Selling Instagram vs TikTok
Pencapaian Prita saat ini tidak diraih semudah membalikkan telapak tangan. Pada saat memulai, dia tidak memiliki pengikut sehingga sulit baginya menjual barang secara live di media sosial. Untuk mengatasi kondisi yang demikian, ibu muda itu menggunakan jasa iklan untuk memasarkan akunnya. Tidak hanya itu, dia juga terus membangun keterikatan dengan pengikutnya, menggunakan jasa host live sesuai dengan pasar, menyampaikan informasi yang sesuai dengan pengikutnya, dan sebagainya.
Dia mencontohkan bahwa mengadakan live di media sosial instagram berbeda dengan siaran langsung di TikTok. Perbedaan itu dapat terjadi lantaran penonton live di Instagram harus menjadi pengikut terlebih dahulu, sementara di TikTok siapa saja bisa menyaksikannya.
”Di TikTok bisa grab market luas karena yang menonton enggak harus follow. Kalau Instagram harus,” ujarnya.
Meskipun begitu, pasar Instagram lebih matang jika dibandingkan dengan di TikTok. Penonton di media sosial Instagram yang hanya 30-50 orang memiliki keterikatan yang lebih kuat, ketimbang penonton TikTok yang mencapai ratusan orang.
Pasar yang sudah matang itu membuat jumlah barang yang ditampilkan saat live tidak sebanyak di TikTok, lantaran sudah dapat mengetahui barang seperti apa yang diinginkan oleh penonton. Kondisi ini juga membuat ulasan barang di Instagram lebih detail dibandingkan dengan TikTok. “Di TikTok cepat sekali. Pilihan barang harus lebih banyak,” ujarnya.
Karakter host live yang menjual barang juga berbeda antara dua media sosial tersebut. Dia mengaku tidak bisa asal tunjuk individu untuk mengisinya. Sementara dari sisi dekorasi, pencahayaan menjadi yang utama saat melakukan siaran langsung. Warna dan background juga harus menjadi perhatian meskipun melakukannya di dalam rumah. Selain itu, suara dan koneksi internet tidak boleh terganggu.
Baca juga: Lakukan 4 Hal Ini Saat Akun TikTok Kena Shadowban Saat Live Selling
Memanfaatkan Fitur Platform
Jika Prita sudah lebih dahulu memulai penjualan secara langsung, tidak dengan Resi Fahma. Penjual di salah satu lokapasar daring itu baru menggunakan metode live selling dalam 2 bulan terakhir. Dia juga menjalani sendiri peran sebagai host live.Porsi live selling yang dilakoninya masih lebih sedikit dibandingkan dengan menjajakan barang di e-commerce. Meskipun begitu, pengaruh berjualan secara langsung tetap dirasakan oleh wanita pemilik usaha Essen Furniture dan Essen Baby itu. “[Live selling] lumayan berpengaruh terhadap penjualan,” kata wanita yang akrab disapa Eci itu.
Ramai atau tidaknya berjualan di lokapasar daring tidak dapat dilepaskan dari program yang dimiliki oleh e-commerce. Sebagai contoh, salah satu platform dagang-el di dalam negeri memberikan beragam fitur seperti harga khusus saat live.
Ketika ada promo dari lokapasar daring, penjualan pun dapat mengalami pasang. Namun, penjualan bakal surut ketika promo telah usai. Pada awal-awal, dia mengaku mengalami pertumbuhan penjualan. Kini, penjualannya kembali sepi lantaran nilai potongan harga yang diberikan oleh e-commerce juga turun.
Lain barang dagangan, maka beda juga respons konsumen dalam menanggapi barang yang dijajakan secara live di media sosial atau lokapasar. Budaya masyarakat menjadi alasan harus memegangnya terlebih dahulu sebelum membeli.
Pakar marketing dan branding Yuswohady pernah mengungkapkan bahwa pemilik produk harus memiliki basis pelanggan yang besar dan punya kedalaman relasi sebelum jualan di live commerce. Hal ini penting agar memperoleh efektivitas fitur pemasaran tersebut.
Menurutnya, merek tidak akan bisa melakukan jualan secara live di media sosial ketika tidak ada ketertarikan konsumen untuk melakukan pembelian dan menonton. Untuk mengumpulkan pengikut di media sosial tempat penjualan secara langsung, pemilik produk dapat membuat konten yang bisa berbentuk video, teks, grafik, dan sebagainya untuk meng-engage konsumen dan meraih pengikut.
Dia menuturkan bahwa live commerce akan efektif jika pemilik produk sudah memiliki basis konsumen dengan jumlah banyak dan terdapat hubungan yang mendalam terlebih dahulu.
Baca juga: Tren Live Selling Makin Populer, Perlu Ada Regulasi Khusus?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.