Ilustrasi gaya hidup slow living. (Foto: Pexels/Quang Nguyen Vinh)

Hypereport: Menimbang Gaya Hidup Alternatif Bagi Kaum Urban

04 September 2023   |   15:41 WIB
Image
Fajar Sidik Hypeabis.id

Nilai-nilai hidup sederhana pada dasarnya merupakan pendidikan keluarga yang telah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita agar hidup bahagia. Prinsipnya, ketika hidup makin sederhana, maka pikiran dan hati menjadi lapang dan lebih sedikit urusan yang harus diselesaikan. 

Namun prinsip kesederhaan tersebut dalam berbagai hal memang terkesan mudah untuk didengar, tapi cukup menantang untung dijalankan. Apalagi di tengah arus gaya hidup modern yang penuh tekanan, godaan, dan tuntutan untuk mengejar standar hidup tertentu.

Baca juga: Kurangi Stres, Mulai Hidup Sehat dan Berkelanjutan Yuk!

Godaan paling masif adalah serangan konsumerisme yang merasuki hasrat setiap individu untuk mengonsumsi segala sesuatu yang disediakan di pasar. Keputusan untuk berbelanja pun lebih didorong oleh keinginan, dan bukan atas dasar kebutuhan kita sebagai manusia.

Belum lagi di dunia kerja yang menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern, deadline dan target menjadi kata kunci utama keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.

Bahkan dalam perlombaan gaya hidup masyarakat urban, batas antara keinginan dan kebutuhan menjadi makin kabur lantaran persaingan antarkelas sosial begitu dinamis, yang memacu setiap orang untuk terus mengejar standar hidup tertentu yang sebenarnya hanya sebagai permainan budaya permukaan.
 


Semua tuntutan gaya hidup tersebut membuat sebagian orang merasa lelah dan memilih gaya hidup alternatif yang dianggap lebih sesuai dengan persoalan yang dihadapi manusia modern.

Muncullah beberapa konsep seperti sustainable living, slow living, frugal living, hingga minimalism living. Semua itu menjadi semacam jalan tengah untuk memutus segala bentuk tuntutan dan hasrat yang menjadi beban psikologis, beban materi, hingga beban lingkungan.

Misalnya, konsep gaya hidup minimalis ala Vicki Vrint dalam bukunya All You Need is Less: Minimalist Living for Maximum Happiness (2019) menawarkan manfaat memiliki lebih sedikit barang akan membuat kita menjadi lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih ramah lingkungan. 

Dalam bukunya tersebut, dia memberikan panduan praktis tentang cara mengurangi kekacauan termasuk mental clutter, mengurangi screen time, dan membuat lebih banyak waktu untuk diri sendiri.

Mengingat pentingnya tentang gaya hidup alternatif ini, Hypeabis.id pun membuat laporan khusus (Hypereport) tentang gaya hidup berkesadaran yang mulai banyak diadopsi oleh generasi milenial dan generasi Z dewasa ini. Berikut rangkuman laporannya. 


1. Hypereport: Menata Gaya Hidup Lebih Ramah Lingkungan & Berkelanjutan

Artikel ini memaparkan pengalaman Zahara Lindra seorang pegiat sustainable living.  Sejak 2017, perempuan yang akrab disapa Zara itu mulai memperbaiki gaya hidupnya yang tujuan utamanya adalah mengurangi sampah. Dia mulai membawa kotak makan dan tumbler untuk membawa ataupun membeli makanan di luar rumah. 

Selain itu, dia juga sebisa mungkin membeli kebutuhan bahan-bahan makanan dengan cara refill untuk mengurangi sampah kemasan plastik. Begitupun ketika sedang haid, dia lebih memilih untuk menggunakan pembalut kain yang bisa dicuci dan dipakai berulang kali, alih-alih membeli pembalut sekali pakai dan langsung dibuang.

Tak hanya dari sisi konsumsi kebutuhan sehari-hari, Zara juga perlahan memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak terpakai seperti pakaian untuk menjadi barang baru yang lebih fungsional seperti lap meja atau tas tangan.

Menurutnya, dengan memproduksi sampah terus-menerus tanpa ada kesadaran untuk menguranginya, secara tidak langsung akan membuat kondisi lingkungan semakin buruk. Hasilnya, itu akan menjadi ancaman bagi kelangsungan dan kenyamanan hidupnya sendiri juga orang lain. (baca selengkapnya pada tautan berikut ini


2. Hypereport: Gaya Hidup Minimalis, Bukan Sekadar Berhemat

Setiap orang memiliki keinginan akan banyak hal terkait dengan kehidupan duniawi. Namun, semua itu kadang bukan menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Keinginan-keinginan ini kerap muncul lantaran faktor eksternal seperti tren di sosial media yang mendorong seseorang untuk mengikutinya.

Keinginan – keinginan itu tidak sesuai dengan individu-individu yang menerapkan gaya hidup minimalis atau sederhana dalam kehidupannya. Alih-alih mengikuti tren atau menuruti keinginan yang ada di dalam diri, mereka lebih memilih sesuatu yang dibutuhkan dan tidak tertarik dengan sesuatu yang kerap sedang ramai.

Mereka yang memilih gaya ini bukan berarti hidup dengan rasa menderita. Mereka justru merasakan kebahagiaan yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan konsep kebahagiaan umum.  Lia, warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satu dari banyak orang yang memilih untuk memiliki gaya hidup sederhana atau minimalis. Ada beberapa alasan yang membuatnya menerapkan gaya tersebut.

Pertama adalah rasa lelah. Baginya, sangat melelahkan jika harus terus mengikuti keinginan atau sesuatu yang sedang tren pada saat ini mengingat rasa tersebut tidak akan pernah habis atau selesai untuk diikuti. (baca selengkapnya pada tautan berikut ini)


3. Hypereport: Menjalani Hidup yang Bermakna dengan Slow Food & Slow Living

Tak ada salahnya untuk menjalani kehidupan yang perlahan, tanpa terburu-buru dalam melakukan segala sesuatu. Berangkat dari pemahaman tersebut, kini sejumlah orang mulai menerapkan gaya hidup yang dikenal dengan slow living. Mereka yang melakoni ini hidup lebih lebih santai, sederhana, dan bermakna.

Segala ambisi dan kompetisi yang menuntut kita untuk punya suatu pencapaian dalam hidup, mungkin bisa dikesampingkan terlebih dulu. Dengan gaya hidup slow living, kalian akan lebih didorong untuk fokus pada masa kini, diri sendiri, dan hubungan yang terjalin dengan orang sekitar.

Mengutip dari slow living ldn, berdasarkan sejarahnya, kemunculan gaya hidup slow living dipicu oleh gerakan slow food yang dimulai pada era 1980-an di Italia. Gerakan itu merupakan aksi untuk menggunakan pangan lokal, melindungi keanekaragaman hayati, dan mendukung produksi pangan yang baik, bersih, dan adil untuk semua orang

Pada dasarnya slow food adalah aksi penolakan terhadap fast food yang makin menjamur di mana-mana. Sejak awal kemunculannya, waralaba makanan cepat saji memang menyasar orang-orang yang sangat sibuk sampai tidak punya waktu untuk makan.

Kini dengan munculnya gaya hidup slow living, orang jadi bisa memilih untuk lebih menikmati makanan yang diolah dengan perlahan. (baca selengkapnya pada tautan berikut ini


4. Hypereport: Putuskan Pensiun Dini karena Frugal Living

Artikel ini memaparkan pengalaman Samuel Ray bersama pasangan hidupnya, Claudya yang menjalani frugal living, konsep hidup yang mengantarkannya mencapai tujuan pensiun dini. Namun, apa yang dipetik saat ini bukanlah hasil dari menanam buah ajaib kemarin sore. Melainkan, ada waktu dan kedisiplinan panjang yang jadi pupuk terbaiknya.

Perkenalan Samuel dengan frugal living terjadi sepuluh tahun lalu. Meski saat itu dia belum mengenal istilah tersebut, tetapi sebenarnya prinsip-prinsip keuangan yang dianutnya serupa dengan frugal living.

Samuel 10 tahun lalu sama dengan orang kebanyakan. Dia adalah karyawan yang baru saja menikah. Lalu, dia mulai mencari prinsip-prinsip keuangan yang cocok dengan isi kantongnya kala itu.

Hidup sebagai karyawan membuatnya mesti jeli dalam mengatur pos pengeluaran. Apalagi, ketika itu dirinya baru memulai karier yang tentu saja pendapatannya tak terlalu besar. (baca selengkapnya pada tautan berikut ini)

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Sal Priadi dan Joko Pinurbo Persembahkan Rasa yang Paling Serius di Konser Literasi 2023

BERIKUTNYA

7 Tip Memanfaatkan ChatGPT untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: