Ilustrasi hidup minimalis. (sumber foto: Pexels/Cottonbro)

Hypereport: Gaya Hidup Minimalis, Bukan Sekadar Berhemat

03 September 2023   |   15:00 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Setiap orang memiliki keinginan akan banyak hal terkait dengan kehidupan duniawi. Namun, semua itu kadang bukan menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Keinginan-keinginan ini kerap muncul lantaran faktor eksternal seperti tren di sosial media yang mendorong seseorang untuk mengikutinya.

Keinginan – keinginan itu tidak sesuai dengan individu-individu yang menerapkan gaya hidup minimalis atau sederhana dalam kehidupannya. Alih-alih mengikuti tren atau menuruti keinginan yang ada di dalam diri, mereka lebih memilih sesuatu yang dibutuhkan dan tidak tertarik dengan sesuatu yang kerap sedang ramai.

Mereka yang memilih gaya ini bukan berarti hidup dengan rasa menderita. Mereka justru merasakan kebahagiaan yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan konsep kebahagiaan umum.  

Baca juga artikel terkait:
1. Hypereport: Putuskan Pensiun Dini karena Frugal Living
2. Hypereport: Menata Gaya Hidup Lebih Ramah Lingkungan & Berkelanjutan

 


Lia, warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satu dari banyak orang yang memilih untuk memiliki gaya hidup sederhana atau minimalis. Ada beberapa alasan yang membuatnya menerapkan gaya tersebut.

Pertama adalah rasa lelah. Baginya, sangat melelahkan jika harus terus mengikuti keinginan atau sesuatu yang sedang tren pada saat ini mengingat rasa tersebut tidak akan pernah habis atau selesai untuk diikuti. Dengan menerapkan gaya hidup yang minimalis, maka dia merasa memiliki energi yang lebih bermanfaat untuk dialihkan ke hal-hal positif dan berguna bagi diri dan keluarganya.

Kedua adalah menjalani gaya hidup yang sederhana juga membuatnya tidak harus banyak mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan atau tidak berguna.

"Saat mengeluarkan uang, hal pertama yang saya pikirkan adalah fungsinya. Contohnya kalau beli sepatu atau sandal, selain model saya juga melihat peruntukannya apakah itu kasual atau formal," ujarnya.

Dia juga tidak ragu untuk membayar barang yang dibutuhkannya dengan harga yang lebih mahal, tapi memiliki kualitas bagus karena akan berpengaruh terhadap daya tahan barang tersebut dibandingkan dengan harga murah dan kualitas tidak bagus.  

Lia berpendapat bahwa membeli barang berkualitas dan tahan lama pada akhirnya akan membuatnya menjadi hemat walaupun harganya jauh lebih mahal. Sementara itu, barang-barang dengan kualitas tidak mumpuni dan tidak tahan lama pada akhirnya akan boros lantaran akan sering dibeli mengingat barang itu menjadi kebutuhan.  

Gaya hidup sederhana atau minimalis yang diterapkannya itu bukan sesuatu yang baru diaplikasikannya. Dia tidak tahu sejak kapan memulainya. Namun, dia memperoleh pengetahuan dan ilmu tentangnya dari kedua orang tuanya yang juga menerapkan gaya hidup sederhana.

Psikolog Tika Bisono menuturkan tidak ada yang salah dengan gaya hidup minimalis atau sederhana yang dijalankan oleh Lia dan individu lainnya yang menerapkannya. Ada banyak faktor yang membuat seseorang menjalani kehidupan minimalis atau sederhana.

Mereka dengan penghasilan ekonomi yang cukup tentu dapat memilih gaya hidup maksimalis. Meskipun begitu, ada juga orang dengan pendapatan yang tinggi memilih hidup secara minimalis atau sederhana.

Orang-orang yang memilih gaya hidup minimalis juga kerap memiliki tujuan besar yang ingin ditempuh pada masa yang akan datang. Sebagai contoh, individu yang harus menikmati dunia gemerlap malam bisa jadi tidak merasa penting untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang ada di tempat tersebut.

“Kenikmatan itu bukan ditentukan oleh mahalnya makanan, tapi kualitas hang out yang menentukan,” katanya.

Dengan kata lain, maka ukuran kebahagiaan tidak hanya satu. Faktor kebahagiaan satu orang dengan orang lainnya akan berbeda-beda mengingat sifatnya yang sangat subjektif atau personal dan juga situasional.

Konsep kebahagiaan individu tidak bisa dibandingkan dengan konsep kebahagiaan umum yang diketahui oleh banyak orang selama ini. Bisa jadi, seseorang cukup merasa bahagia ketika mengantre panjang membeli buku yang dibutuhkannya dan bertemu dengan orang-orang baru yang baik baginya.


Minimalis Dalam Hubungan Dengan Manusia

Terkait gaya hidup minimalis, dia mengingatkan bahwa konsep ini tidak bisa diterapkan dalam hubungan sosial antar sesama manusia atau gaya hidup yang ada kaitannya dengan orang lain.

Hubungan antara manusia tidak boleh minimalis karena seseorang hidup dalam sebuah lingkungan sosial. “Seseorang hidup dengan orang lain, bukan binatang lain dan orang itu adalah makhluk yang hidup, bukan artificial intelligence,” tegasnya.

Seseorang tidak boleh minimalis dalam gaya hidup berhubungan dengan orang lain karena ada kebutuhan yang memerlukan keberadaan individu lainnya. Dia menegaskan bahwa manusia sangat tergantung kepada manusia lainnya.

“Jadi, memang, itu enggak boleh minimalis hubungan antar manusia. Kita harus menjadi manusia yang bersosial. Kalau enggak, kita jadinya makhluk anti sosial,” katanya.

Dia mengingatkan seseorang yang sudah memiliki sifat anti sosial berarti individu tersebut sudah memiliki sakit kejiwaan atau psikologis. Saat ini, seseorang yang memiliki gaya hidup minimalis terkait hubungan dengan orang lain tidak dapat dilepaskan dari budaya digitalisasi atau click culture.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

5 Adegan Menarik Mok Sol-hee Menyelematkan Kim Do-ha di Drakor My Lovely Liar

BERIKUTNYA

Resep Nasi Kebuli Ayam, Hidangan Nikmat yang Terinspirasi dari Kuliner Timur Tengah

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: