Hypereport: Putuskan Pensiun Dini karena Frugal Living
02 September 2023 |
14:30 WIB
Samuel Ray bersama pasangan hidupnya, Claudya menjalani frugal living, konsep hidup yang mengantarkannya mencapai tujuan pensiun dini. Namun, apa yang dipetik saat ini bukanlah hasil dari menanam buah ajaib kemarin sore. Melainkan, ada waktu dan kedisiplinan panjang yang jadi pupuk terbaiknya.
Perkenalan Samuel dengan frugal living terjadi sepuluh tahun lalu. Meski saat itu dia belum mengenal istilah tersebut, tetapi sebenarnya prinsip-prinsip keuangan yang dianutnya serupa dengan frugal living.
Samuel 10 tahun lalu sama dengan orang kebanyakan. Dia adalah karyawan yang baru saja menikah. Lalu, dia mulai mencari prinsip-prinsip keuangan yang cocok dengan isi kantongnya kala itu.
Hidup sebagai karyawan membuatnya mesti jeli dalam mengatur pos pengeluaran. Apalagi, ketika itu dirinya baru memulai karier yang tentu saja pendapatannya tak terlalu besar.
Di samping itu, Samuel dan istri yang menerima takdir mereka sebagai generasi sandwich. Mereka pun mesti pintar-pintar mengatur pos keuangan untuk kebutuhan orang tua juga. Terhimpit oleh gaji yang tak terlalu besar saat merintis karier dan tuntutan ini itu membuatnya memilih frugal living.
Selama menjalani gaya hidup frugal, ada beberapa hal penting yang dijalankan oleh Samuel dan Claudya. Mereka menjadi pasangan yang disiplin mengatur prioritas keuangan dan melakukan pengeluaran dengan berkesadaran. Ada catatan rutin setiap pengeluaran yang selalu ditulis oleh dirinya dan istri.
Keduanya juga mesti membuat bujet keuangan setiap bulannya untuk beberapa pos pengeluaran penting, seperti pos untuk orang tua, pos kebutuhan harian, pos anak, dan sebagainya. Pelan-pelan, gaya hidup ini mengenalkannya pada pentingnya melakukan selektif pengeluaran.
“Tentu ada kesulitan di awal-awal, karena ketika itu belum terbiasa mengelola keuangan. Itu sih, tantangannya, lebih ke membiasakan diri aja. Salah satunya lewat sistem keterbukaan,” ungkap Samuel kepada Hypeabis.id.
Bagi Samuel, keterbukaan ini sangat penting. Sebab, dirinya dan istri jadi tahu secara real kondisi keuangan rumah tangganya. Dengan demikian, mereka jadi lebih mudah mengatur siasat dalam keuangannya.
Meski pada awalnya cukup ada tantangan, Samuel dan Claudya pada akhirnya terbiasa. Mereka kini telah terbiasa hidup berhemat. Gaya hidup ini juga pada akhirnya mengantarkannya ke tujuan awal, yakni pensiun dini bahkan jauh lebih cepat dibanding perkiraan awalnya.
“Akhirnya, pensiun dini itu sudah tercapai tahun lalu, di usia saya ke-33. Awal tahun ini saya sudah resign dari kerjaan formal saya,” imbuhnya.
Kini, Samuel dan Claudya sudah memetik buah dari menjadi frugal dan mengejar fire (financial, independence, retire early). Dia berhasil menjadi karyawan yang bisa pensiun dini. Namun, saat ditanya apakah akan tetap menjadi frugal ketika kini telah pensiun, Samuel dengan cepat menjawab iya.
Menurutnya, hitung-hitungan biaya pensiun ini bisa tercapai karena dia menjadi frugal. Kalau dirinya menaikkan gaya hidupnya, tentu saja hitung-hitungan tersebut bisa menjadi kacau dan bukan tidak mungkin dirinya akan kembali bekerja. Oleh karena itu, dia memilih tetap menjadi frugal, hal yang sudah dilakukannya sepuluh tahun lalu itu.
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusar Muljadji mengatakan bahwa gaya hidup frugal living belakangan memang menarik atensi publik. Istilah ini banyak dibicarakan karena seolah menjadi counter atas konsumerisme.
Walaupun demikian, sebenarnya prinsip gaya hidup hemat ini bukanlah hal yang baru. Sebab, prinsip-prinsip serupa sudah sejak zaman dahulu ada. Di sisi lain, dirinya melihat atensi publik yang besar ini juga sepertinya hanya sebatas pembicaraan saja.
Artinya, memang bisa jadi ada yang tertarik, tetapi belum banyak yang menerapkannya secara utuh. Ini hanya sebagai tren belaka. Sebab, dalam kacamatanya, budaya konsumerisme masih kuat mengakar di masyarakat Indonesia.
“Perlu saya kemukakan bahwa masyarakat kita ini agak-agak ahistoris berpikirnya, jadi frugal living dipandang sebagai sesuatu yang baru lalu dianggap sebagai trend. Padahal kita telah memiliki pepatah ‘besar pasak daripada tiang’ yang maknanya mengacu pada sikap hemat-tidak boros atau mengajarkan kecakapan mengelola keuangan,” jelasnya kepada Hypeabis.id.
Menurut Yusar, munculnya tren pembicaraan mengenai frugal living terjadi karena tekanan struktur lingkungan. Seperti halnya yang terjadi saat pandemi Covid-19 kemarin, ketika banyak yang kehilangan pekerjaan, maka mau tidak mau banyak orang mulai beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Selain itu, pembiasaan karena tekanan struktur juga menghadirkan kesadaran mengenai investasi. Pengeluaran yang lebih kecil daripada pendapatan memungkinkan seseorang untuk menabung dan ini boleh dianggap investasi bagi dirinya ataupun keturunannya. Tekanan struktur ini menghasilkan kecakapan pengelolaan keuangan, termasuk tentang frugal living tersebut.
Baca juga: Perhatikan Ini untuk Memulai Gaya Hidup Frugal Living
Editor: Dika Irawan
Perkenalan Samuel dengan frugal living terjadi sepuluh tahun lalu. Meski saat itu dia belum mengenal istilah tersebut, tetapi sebenarnya prinsip-prinsip keuangan yang dianutnya serupa dengan frugal living.
Samuel 10 tahun lalu sama dengan orang kebanyakan. Dia adalah karyawan yang baru saja menikah. Lalu, dia mulai mencari prinsip-prinsip keuangan yang cocok dengan isi kantongnya kala itu.
Hidup sebagai karyawan membuatnya mesti jeli dalam mengatur pos pengeluaran. Apalagi, ketika itu dirinya baru memulai karier yang tentu saja pendapatannya tak terlalu besar.
Di samping itu, Samuel dan istri yang menerima takdir mereka sebagai generasi sandwich. Mereka pun mesti pintar-pintar mengatur pos keuangan untuk kebutuhan orang tua juga. Terhimpit oleh gaji yang tak terlalu besar saat merintis karier dan tuntutan ini itu membuatnya memilih frugal living.
Selama menjalani gaya hidup frugal, ada beberapa hal penting yang dijalankan oleh Samuel dan Claudya. Mereka menjadi pasangan yang disiplin mengatur prioritas keuangan dan melakukan pengeluaran dengan berkesadaran. Ada catatan rutin setiap pengeluaran yang selalu ditulis oleh dirinya dan istri.
Keduanya juga mesti membuat bujet keuangan setiap bulannya untuk beberapa pos pengeluaran penting, seperti pos untuk orang tua, pos kebutuhan harian, pos anak, dan sebagainya. Pelan-pelan, gaya hidup ini mengenalkannya pada pentingnya melakukan selektif pengeluaran.
“Tentu ada kesulitan di awal-awal, karena ketika itu belum terbiasa mengelola keuangan. Itu sih, tantangannya, lebih ke membiasakan diri aja. Salah satunya lewat sistem keterbukaan,” ungkap Samuel kepada Hypeabis.id.
Claudya dan Samuel Ray (Sumber foto: Dok. Pribadi)
Meski pada awalnya cukup ada tantangan, Samuel dan Claudya pada akhirnya terbiasa. Mereka kini telah terbiasa hidup berhemat. Gaya hidup ini juga pada akhirnya mengantarkannya ke tujuan awal, yakni pensiun dini bahkan jauh lebih cepat dibanding perkiraan awalnya.
“Akhirnya, pensiun dini itu sudah tercapai tahun lalu, di usia saya ke-33. Awal tahun ini saya sudah resign dari kerjaan formal saya,” imbuhnya.
Kini, Samuel dan Claudya sudah memetik buah dari menjadi frugal dan mengejar fire (financial, independence, retire early). Dia berhasil menjadi karyawan yang bisa pensiun dini. Namun, saat ditanya apakah akan tetap menjadi frugal ketika kini telah pensiun, Samuel dengan cepat menjawab iya.
Menurutnya, hitung-hitungan biaya pensiun ini bisa tercapai karena dia menjadi frugal. Kalau dirinya menaikkan gaya hidupnya, tentu saja hitung-hitungan tersebut bisa menjadi kacau dan bukan tidak mungkin dirinya akan kembali bekerja. Oleh karena itu, dia memilih tetap menjadi frugal, hal yang sudah dilakukannya sepuluh tahun lalu itu.
Belum Sepenuhnya Dilirik
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusar Muljadji mengatakan bahwa gaya hidup frugal living belakangan memang menarik atensi publik. Istilah ini banyak dibicarakan karena seolah menjadi counter atas konsumerisme.Walaupun demikian, sebenarnya prinsip gaya hidup hemat ini bukanlah hal yang baru. Sebab, prinsip-prinsip serupa sudah sejak zaman dahulu ada. Di sisi lain, dirinya melihat atensi publik yang besar ini juga sepertinya hanya sebatas pembicaraan saja.
Artinya, memang bisa jadi ada yang tertarik, tetapi belum banyak yang menerapkannya secara utuh. Ini hanya sebagai tren belaka. Sebab, dalam kacamatanya, budaya konsumerisme masih kuat mengakar di masyarakat Indonesia.
“Perlu saya kemukakan bahwa masyarakat kita ini agak-agak ahistoris berpikirnya, jadi frugal living dipandang sebagai sesuatu yang baru lalu dianggap sebagai trend. Padahal kita telah memiliki pepatah ‘besar pasak daripada tiang’ yang maknanya mengacu pada sikap hemat-tidak boros atau mengajarkan kecakapan mengelola keuangan,” jelasnya kepada Hypeabis.id.
Menurut Yusar, munculnya tren pembicaraan mengenai frugal living terjadi karena tekanan struktur lingkungan. Seperti halnya yang terjadi saat pandemi Covid-19 kemarin, ketika banyak yang kehilangan pekerjaan, maka mau tidak mau banyak orang mulai beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Selain itu, pembiasaan karena tekanan struktur juga menghadirkan kesadaran mengenai investasi. Pengeluaran yang lebih kecil daripada pendapatan memungkinkan seseorang untuk menabung dan ini boleh dianggap investasi bagi dirinya ataupun keturunannya. Tekanan struktur ini menghasilkan kecakapan pengelolaan keuangan, termasuk tentang frugal living tersebut.
Baca juga: Perhatikan Ini untuk Memulai Gaya Hidup Frugal Living
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.