Hypereport: Mengurai Akar Persoalan dari Fenomena Perceraian Pasangan Muda
20 February 2023 |
18:48 WIB
Angka perceraian di Indonesia meningkat hampir setiap tahun. Pernikahan dini, alasan ekonomi hingga perselingkuhan rupanya menjadi pemicu dari kasus putusnya hubungan pernikahan tersebut. Yang patut jadi perhatian adalah fenomena keretakan rumah tangga itu banyak terjadi pada usia pernikahan yang masih seumur jagung dari pasangan muda.
Salah satunya dialami oleh Aji, (28) seorang musisi kafe di Bali. Dirinya tidak menyangka bahtera pernikahan yang telah dibina selama 4 tahun kandas pada 2020. Bersama istrinya (Rani), mereka memutuskan bercerai karena berbagai alasan krusial. Benang kusut sudah tidak bisa diurai, dan biduk pernikahan harus berakhir dengan ketukan palu di meja hijau.
Baca juga:
- Hypereport: Childfree, Kala Pasangan Suami Istri Memutuskan Tidak Memiliki Anak
- Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
- Hypereport: Mengulik Fenomena Menikah dengan Sederhana dan Tanpa Tekanan
Namun, setelah berpisah, hubungan keduanya tetap berjalan normal meski Aji memilih hijrah ke Bali. Hingga suatu hari, dia terbang ke Jakarta untuk merayakan ulang tahun anaknya yang ke-6. Bersama pasangan barunya, dia ikut menyemarakkan momen tersebut dan bertemu mantan istrinya. Momen langka dalam studi perceraian di Indonesia.
Tidak semua orang seberuntung Aji. Pasalnya, mayoritas pasangan yang bercerai tidak akan berhubungan lagi. Tak hanya itu, alih-alih tetap saling berperan dalam pola asuh anak, pasangan yang bercerai biasanya menyerahkan tanggung jawab tersebut pada orang tua yang memenangkan putusan pengadilan.
"Meski memenangkan hak asuh, saya belakangan mulai memikirkan masa depan anak, dan akhirnya memberi izin mantan istri untuk tetap bertemu dengannya. Sebab itu juga baik untuk psikologis dan masa tumbuh kembangnya, meski dia tetap diasuh ibu saya di Jakarta," papar Aji saat dihubungi Hypeabis.id.
Kasus Aji, adalah satu dari sepersekian ribu kompleksitas perceraian di Indonesia. Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air memang terus mengalami tren peningkatan. Pada 2021, misalnya, kasus perceraian mencapai 447.743 kasus, meningkat 53,50 persen dibanding 2020 yang mencapai 291.677 kasus.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengatakan penyebab kasus perceraian di Indonesia didominasi faktor percekcokan kecil berkepanjangan antara pasangan. Selain itu, mayoritas yang menggugat cerai adalah dari pihak istri ketimbang suami.
Menurut Hasto, adanya pertengkaran panjang antara pasangan suami istri (pasutri) tersebut mengindikasikan bahwa keduanya itu tidak mampu menoleransi perbedaan. Oleh karena itu dibutuhkan sikap dewasa untuk saling memaklumi dan memaafkan kekurangan istri, begitupun sebaliknya agar bahtera pernikahan tetap berjalan baik.
Selain itu, menikah terlalu muda juga bisa menjadi penyebab tidak langgengnya hubungan sebuah pernikahan. Sebab, saat usia seseorang belum dewasa akan sulit bagi orang tersebut untuk memaklumi kekurangan orang lain. Hal ini dikarenakan emosi dan psikologis para remaja masih belum stabil dalam menyikapi hubungan keluarga.
Kondisi tersebut sesuai dengan data Komnas Perempuan, yang mencatat sepanjang 2021, ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Meski ada sedikit penurunan dibanding 2020, yakni 64.211 kasus, tapi angka itu masih sangat tinggi dibandingkan 2019 yang berjumlah 23.126 pernikahan anak.
"Coba bayangkan ada anak laki-laki ada anak laki-laki berusia 18 tahun menikah dengan perempuan berusia 16 tahun, itu kan masih emosional semua pola pikir dan psikologis mereka. Sehingga latar belakang seperti itu pun juga menjadi salah satu penyebab [banyaknya kasus perceraian] saya kira," jelas Hasto.
Hasto mengungkap, dispensasi pernikahan yang diberikan oleh pengadilan agama mayoritas karena pasangan perempuan hamil duluan. Jika ditilik dari persoalan tersebut, dia menengarai ada pergaulan bebas yang tidak terkendali dan kurangnya pendidikan seksual di kalangan remaja.
"Oleh karena itu kami pun terus melakukan sosialisasi terhadap keluarga yang memiliki anak remaja kalau mau menikah, usia yang sehat itu ada umur 21 untuk perempuan dan 25 untuk lelaki. Ada juga program duta Generasi Berencana mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi dan yang lainnya," kata Hasto.
TINGKAT KEDEWASAAN
Namun, Psikolog Adi Dinardinata mengatakan bahwa tingkat kedewasaan seseorang, meski memiliki peran penting tapi bukan faktor utama penyebab perceraian. Pasalnya bukan usia yang berpengaruh, melainkan keterampilan pasangan dalam membangun hubungan yang baik saat terjadi percekcokan di antara itulah yang dibutuhkan.
"Di masyarakat kita juga ada banyak kesalahpahaman mengenai sebuah hubungan. Misal, ketika pasangan berantem mereka direkomendasikan untuk quality time bareng, padahal yang membuat pernikahan kuat dan lemah bukan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama tapi proporsi positif dan negatifnya," papar Adi.
Dosen Universitas Diponegoro itu mengatakan, mayoritas mereka yang pernikahannya kuat adalah yang proporsi positifnya lima kali lebih banyak dibanding proporsi negatifnya. Sehingga, saat hubungan mulai renggang setiap pasangan jadi lebih menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain.
"Jadi bukan waktu bersama yang penting, melainkan lebih ke apresiasi positifnya yang diperbanyak. Ini pun bisa diterapkan pada pasangan yang LDR alias long distance relationship, karena hal tersebut juga membuat mereka jadi lebih percaya satu sama lain," jelas Adi.
Baca juga:
- Penelitian Ini Temukan Orang yang Menikah Cenderung Lebih Sehat
- Ini Alasan Pentingnya Buat Komitmen Keuangan Sebelum Menikah
Kendati begitu, perceraian menurut Adi juga bisa menjadi jalan terakhir jika segala upaya yang terbaik sudah dilakukan oleh pasutri. Namun jika belum dilakukan dia menyarankan untuk memikirkan kembali tindakan yang akan mereka ambil karena akan berdampak pada keduanya, dan sang anak bila mereka sudah diberi momongan.
"Tantangan perkembangan anak ini kan banyak,[dirawat] berdua saja itu nggak mudah, apalagi sendiri. Tak hanya itu, anak yang berasal dari keluarga broken itu biasanya juga membutuhkan penanganan khusus, karena mereka memang tidak mendapat perhatian dari orang tuanya dan tentu bakal berdampak pada tumbuh kembangnya kelak," jelas Adi.
(Ikuti terus laporan Hypeabis.id lewat Google News)
Editor: Fajar Sidik
Salah satunya dialami oleh Aji, (28) seorang musisi kafe di Bali. Dirinya tidak menyangka bahtera pernikahan yang telah dibina selama 4 tahun kandas pada 2020. Bersama istrinya (Rani), mereka memutuskan bercerai karena berbagai alasan krusial. Benang kusut sudah tidak bisa diurai, dan biduk pernikahan harus berakhir dengan ketukan palu di meja hijau.
Baca juga:
- Hypereport: Childfree, Kala Pasangan Suami Istri Memutuskan Tidak Memiliki Anak
- Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
- Hypereport: Mengulik Fenomena Menikah dengan Sederhana dan Tanpa Tekanan
Namun, setelah berpisah, hubungan keduanya tetap berjalan normal meski Aji memilih hijrah ke Bali. Hingga suatu hari, dia terbang ke Jakarta untuk merayakan ulang tahun anaknya yang ke-6. Bersama pasangan barunya, dia ikut menyemarakkan momen tersebut dan bertemu mantan istrinya. Momen langka dalam studi perceraian di Indonesia.
Tidak semua orang seberuntung Aji. Pasalnya, mayoritas pasangan yang bercerai tidak akan berhubungan lagi. Tak hanya itu, alih-alih tetap saling berperan dalam pola asuh anak, pasangan yang bercerai biasanya menyerahkan tanggung jawab tersebut pada orang tua yang memenangkan putusan pengadilan.
"Meski memenangkan hak asuh, saya belakangan mulai memikirkan masa depan anak, dan akhirnya memberi izin mantan istri untuk tetap bertemu dengannya. Sebab itu juga baik untuk psikologis dan masa tumbuh kembangnya, meski dia tetap diasuh ibu saya di Jakarta," papar Aji saat dihubungi Hypeabis.id.
Kasus Aji, adalah satu dari sepersekian ribu kompleksitas perceraian di Indonesia. Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air memang terus mengalami tren peningkatan. Pada 2021, misalnya, kasus perceraian mencapai 447.743 kasus, meningkat 53,50 persen dibanding 2020 yang mencapai 291.677 kasus.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengatakan penyebab kasus perceraian di Indonesia didominasi faktor percekcokan kecil berkepanjangan antara pasangan. Selain itu, mayoritas yang menggugat cerai adalah dari pihak istri ketimbang suami.
"Ini kan berarti salah satunya akibat ketidakpuasan istri terhadap kepemimpinan suami yang bisa juga menjadi faktor pemicu. Pasalnya hampir 70 persen lebih yang menggugat adalah istri. Kalau faktor adanya kehadiran pihak ketiga itu sekitar 25 persen," papar Hasto.
Menurut Hasto, adanya pertengkaran panjang antara pasangan suami istri (pasutri) tersebut mengindikasikan bahwa keduanya itu tidak mampu menoleransi perbedaan. Oleh karena itu dibutuhkan sikap dewasa untuk saling memaklumi dan memaafkan kekurangan istri, begitupun sebaliknya agar bahtera pernikahan tetap berjalan baik.
Selain itu, menikah terlalu muda juga bisa menjadi penyebab tidak langgengnya hubungan sebuah pernikahan. Sebab, saat usia seseorang belum dewasa akan sulit bagi orang tersebut untuk memaklumi kekurangan orang lain. Hal ini dikarenakan emosi dan psikologis para remaja masih belum stabil dalam menyikapi hubungan keluarga.
Kondisi tersebut sesuai dengan data Komnas Perempuan, yang mencatat sepanjang 2021, ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Meski ada sedikit penurunan dibanding 2020, yakni 64.211 kasus, tapi angka itu masih sangat tinggi dibandingkan 2019 yang berjumlah 23.126 pernikahan anak.
"Coba bayangkan ada anak laki-laki ada anak laki-laki berusia 18 tahun menikah dengan perempuan berusia 16 tahun, itu kan masih emosional semua pola pikir dan psikologis mereka. Sehingga latar belakang seperti itu pun juga menjadi salah satu penyebab [banyaknya kasus perceraian] saya kira," jelas Hasto.
Hasto mengungkap, dispensasi pernikahan yang diberikan oleh pengadilan agama mayoritas karena pasangan perempuan hamil duluan. Jika ditilik dari persoalan tersebut, dia menengarai ada pergaulan bebas yang tidak terkendali dan kurangnya pendidikan seksual di kalangan remaja.
"Oleh karena itu kami pun terus melakukan sosialisasi terhadap keluarga yang memiliki anak remaja kalau mau menikah, usia yang sehat itu ada umur 21 untuk perempuan dan 25 untuk lelaki. Ada juga program duta Generasi Berencana mengenai pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi dan yang lainnya," kata Hasto.
TINGKAT KEDEWASAAN
Namun, Psikolog Adi Dinardinata mengatakan bahwa tingkat kedewasaan seseorang, meski memiliki peran penting tapi bukan faktor utama penyebab perceraian. Pasalnya bukan usia yang berpengaruh, melainkan keterampilan pasangan dalam membangun hubungan yang baik saat terjadi percekcokan di antara itulah yang dibutuhkan.
"Di masyarakat kita juga ada banyak kesalahpahaman mengenai sebuah hubungan. Misal, ketika pasangan berantem mereka direkomendasikan untuk quality time bareng, padahal yang membuat pernikahan kuat dan lemah bukan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama tapi proporsi positif dan negatifnya," papar Adi.
Dosen Universitas Diponegoro itu mengatakan, mayoritas mereka yang pernikahannya kuat adalah yang proporsi positifnya lima kali lebih banyak dibanding proporsi negatifnya. Sehingga, saat hubungan mulai renggang setiap pasangan jadi lebih menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain.
"Jadi bukan waktu bersama yang penting, melainkan lebih ke apresiasi positifnya yang diperbanyak. Ini pun bisa diterapkan pada pasangan yang LDR alias long distance relationship, karena hal tersebut juga membuat mereka jadi lebih percaya satu sama lain," jelas Adi.
Baca juga:
- Penelitian Ini Temukan Orang yang Menikah Cenderung Lebih Sehat
- Ini Alasan Pentingnya Buat Komitmen Keuangan Sebelum Menikah
Kendati begitu, perceraian menurut Adi juga bisa menjadi jalan terakhir jika segala upaya yang terbaik sudah dilakukan oleh pasutri. Namun jika belum dilakukan dia menyarankan untuk memikirkan kembali tindakan yang akan mereka ambil karena akan berdampak pada keduanya, dan sang anak bila mereka sudah diberi momongan.
"Tantangan perkembangan anak ini kan banyak,[dirawat] berdua saja itu nggak mudah, apalagi sendiri. Tak hanya itu, anak yang berasal dari keluarga broken itu biasanya juga membutuhkan penanganan khusus, karena mereka memang tidak mendapat perhatian dari orang tuanya dan tentu bakal berdampak pada tumbuh kembangnya kelak," jelas Adi.
(Ikuti terus laporan Hypeabis.id lewat Google News)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.