Hypereport: Mengulik Fenomena Menikah dengan Sederhana dan Tanpa Tekanan
18 February 2023 |
14:37 WIB
Fenomena menarik seputar pernikahan terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Banyak generasi Milenial dan Z memutuskan untuk menikah di usia yang lewat dari kata ideal. Selain itu, gelombang baru proses mengikat janji suci lebih sederhana hanya di Kantor Urusan Agama (KUA) pun muncul.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) merekomendasian usia ideal menikah bagi perempuan minimal 21 tahun dan pria 25 tahun. Namun dalam beberapa waktu terakhir, tidak sedikit masyarakat yang memutuskan untuk menikah melebihi standar tersebut.
Di beberapa negara seperti China, Korea, Jepang, dan Jepang, bahkan muncul apa yang disebut ‘resesi seks’. Istilah yang dicetuskan peneliti dan penulis Kate Julian ini merujuk pada rendahnya angka perkawinan dan hilangnya gairah untuk melakukan hubungan seksual hingga memiliki anak.
Baca juga artikel terkait:
- Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
- Hypereport: Childfree, Kala Pasangan Suami Istri Memutuskan Tidak Memiliki Anak
Kendati demikian, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (16/2/2023), memastikan fenomena ini tidak akan terjadi di Indonesia. Keyakinan ini timbul dari tingginya angka kehamilan di Tanah Air. Pada 2021, dia menyebut ada 1,6 juta kehamilan dari 3 juta perkawinan.
Lepas dari masih tingginya angka kehamilan, wanita atau pria yang sudah berusia matang tetapi memutuskan belum mau menikah nyata adanya. Seperti Aditya Hidayat, karyawan di sebuah perusahaan swasta ini memilih untuk mapan secara finansial terlebih dahulu, baru mau menikah.
Pria berusia 35 tahun yang sejatinya sudah memiliki pasangan ini mengaku ingin membangun pondasi yang kuat secara finansial sebelum memutuskan untuk menikah. Menurutnya, konsekuensi menikah adalah bagaimana belajar bertanggung jawab sejak awal karena pernikahan bertujuan membangun masa depan.
“Karena cinta berawal dari hati, lalu dibangun oleh realita. Jadi bagaimana kita harus merancang masa depan, baik itu memiliki rumah dan kendaraan karena tujuan menikah adalah membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Selain dari segi finansial, Adit juga ingin matang secara mental. Dia berpendapat, pernikahan merupakan urusan merangkai kehidupan untuk menua bersama. Pasti akan ada banyak kegelisahan yang harus bisa dilalui ketika memutuskan membangun rumah tangga.
“Karena tidak mungkin menikah tanpa ada persiapan secara matang, baik itu konsep secara pemikiran dan kedewasaan dalam bertindak,” imbuhnya.
Adit tidak merasa gelisah ketika rekan-rekan sebayanya sudah menikah dan memiliki anak. Dia menilai menikah adalah pilihan masing-masing individu. Setiap individu pun mempunyai parameter yang berbeda-beda dalam memaknainya.
Keluarganya pun cukup terbuka dan menghormati pilihan dan keputusan yang diambil. “Jadi keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada diri kita, karena yang jalani hidup sepenuhnya adalah saya,” tutur Adit.
Baca juga: Lagi Viral, Ini Penyebab Hingga Risiko Jika Ogah Nikah & Punya Anak
Bicara fenomena generasi yang memilih menikah di atas usia 30 tahun, konselor pernikahan dari Konselingkeluarga.com, Elly Nagasaputra, menilai fenomena ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang sudah sangat baik.
Banyak pria dan wanita yang menempuh pendidikan tinggi, tidak ingin menyia-nyiakan gelar yang sudah didapat, kemudian memilih untuk mempraktikkan ilmunya dengan mengejar karir terlebih dahulu.
Ketika asyik mengejar karir tersebut, tanpa sadar usianya pun bertambah bahkan lebih dari ‘matang’. Alhasil menemukan lawan jenis yang sesuai usianya pun menjadi semakin sulit. “Apalagi karir tinggi, penghasilan baik, makin susah nemunya walaupun tidak ada niat menikah di usia tua,” sebut Elly.
Sementara itu, psikolog klinis dewasa Hersa Aranti berpendapat generasi saat ini memiliki pola pikir atau mindset yang lebih terbuka dan kritis. Generasi sebelumnya mungkin lebih mengikuti kebiasaan menikah di bawah usia 30 tahun, sedangkan saat ini banyak anak muda yang mempertanyakan apakah harus mengikuti kebiasaan tersebut.
Terlebih dengan adanya sosial media yang membuka ruang opini seputar budaya menikah di masa lampau. Pola pikir generasi saat ini pun lebih terbuka dengan banyaknya pembelajaran yang diperoleh semasa hidup.
“Misal melihat orang atau keluarganya yang menikah cepat, belum matang secara emosional, sehingga pernikahannya kurang kokoh,” tutur founder klinik konseling Sadari itu.
Pandangan menikah perlu ada kesiapan matang dan mampu menuntaskan masalah diri terlebih dahulu juga muncul. Alhasil, usia biologis lalu bukan menjadi patokan terhadap pernikahan. “Kalau 30 tahun kematangan emosional sudah baik, sisi positifnya dia memiliki hubungan yang sehat. Orang menikah dengan alasan tepat bukan karena cukup umur, ada tekanan sosial,” sebut Hersa.
Memang tidak ada waktu yang tepat untuk menyebut usia ideal menikah. Namun demikian, wanita perlu berhati-hati ketika menikah di usia tua karena terpaut masa reproduksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat puncak masa subur dan kualitas sel telur terbaik pada wanita yakni pada usia 20-30 tahun.
Kendati demikian, menurut Hersa, balik lagi kepada individu itu sendiri dan pasangannya kelak. “Kalau menikah untuk memiliki anak, akan ada tantangannya walaupun reproduksi di atas 35 masih oke sebenarnya, tetapi kalau memutuskan tidak punya anak, mungkin tidak akan menjadi masalah,” sambungnya.
Di sisi lain, ada dampak positif ketika menikah di atas usia 30 tahun. Elly menyampaikan umumnya mereka lebih tahu tipe pasangan yang diinginkan dan karakter orang karena sudah melihat ragam pengalaman kehidupan pernikahan di sekitarnya. Dengan demikian, mereka lebih matang secara emosi dalam memilih pasangan
Selain kematangan emosi, orang tersebut juga matang dari sisi mental sehingga lebih siap menghadapi lika-liku dan kesulitan dalam pernikahannya nanti. Berbeda dengan usia 20 tahun yang menikah, ketika ada masalah, umumnya timbul pertengkaran dan banyak berujung perceraian pada pasangan suami istri tersebut.
Kata Elly, mereka rentan tidak mengerti resolusi konflik. Ketika masalah satu belum selesai, didiamkan, dan terus menumpuk, timbul rasa tidak bahagia, menderita, dan ketidakcocokan, lalu memutuskan berpisah.
“Akarnya, mereka memiliki masalah, tidak tau cara menyelesaikannya. Berlarut-latrut, akhirnya menjadi cerai atau selingkuh berujung cerai. Oleh karena itu, pentingnya konseling pernikahan,” tambahnya.
Menikah di usia tua juga lebih mapan secara finansial yang memudahkan dan melancar akan kehidupan pernikahannya di kemudian hari. “[Menikah di usia lebih dari 30 tahun], lebih tau tipe, lebih matang hadapi kesulitan, lebih aman finansial sehingga mudah menata hidupnya,” tegas wanita yang juga mendalami ilmu hipnoterapist ini.
Lepas dari usia, Elly menyampaikan, idealnya orang menikah juga harus baik dalam mengenal jati diri sehingga bisa menghindari salah pilih pasangan. Mereka juga harus mengerti tujuannya dari pernikahan itu, bukan karena paksaan orang tua maupun malu di lingkungan atau teman seusianya sudah menikah semua.
“Dengan kematangan usia, mengetahui siapa saya dan mengetahui pasangan seperti apa. Mengetahui siap secara mental, emosional, finansial. Mengetahui tujuan menikah apa, sehingga ada kesulitan akan tetap bisa bertahan,” tutur Elly merangkum esensi dari topik pernikahan ini.
Sementara itu, ramainya pasangan menikah di KUA, menurut Elly menunjukkan tren anak muda di abad 21 lebih suka kepraktisan alias tidak mau ribet. Ada pula kematangan pemikiran dari pasangan generasi muda saat ini.
Dia berpendapat, menikah yang penting sah secara agama dan mempersiapkan hidup ke depan, bukan hura-hura dalam beberapa jam. Dana yang ada, bisa disimpan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan tantangan finansial di masa mendatang.
“Daripada pesta jor-joran tetapi setelah itu terseok-seok menghadapi hari ke depan, buat apa?" singgungnya.
Sayangnya, jika semua orang memilih menikah sederhana alias hanya di KUA saja, akan menjadi ancaman bagi kelangsungan adat, budaya, dan ritual pernikahan yang begitu ragam di setiap daerahnya. “Nanti generasi muda selanjutnya tidak bisa lihat, sayang juga karena ada nilai yang harus dilestarikan,” jelas Elly.
Hersa menambahkan, tantangan lainnya yakni akan ada konflik dengan keluarga terutama orang tua yang menginginkan pesta untuk pernikahan anaknya. “Negatifnya akan ada konflik dengan orang tua yang tidak terbiasa dengan pernikahan sederhana,” sebutnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) merekomendasian usia ideal menikah bagi perempuan minimal 21 tahun dan pria 25 tahun. Namun dalam beberapa waktu terakhir, tidak sedikit masyarakat yang memutuskan untuk menikah melebihi standar tersebut.
Di beberapa negara seperti China, Korea, Jepang, dan Jepang, bahkan muncul apa yang disebut ‘resesi seks’. Istilah yang dicetuskan peneliti dan penulis Kate Julian ini merujuk pada rendahnya angka perkawinan dan hilangnya gairah untuk melakukan hubungan seksual hingga memiliki anak.
Baca juga artikel terkait:
- Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
- Hypereport: Childfree, Kala Pasangan Suami Istri Memutuskan Tidak Memiliki Anak
Kendati demikian, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (16/2/2023), memastikan fenomena ini tidak akan terjadi di Indonesia. Keyakinan ini timbul dari tingginya angka kehamilan di Tanah Air. Pada 2021, dia menyebut ada 1,6 juta kehamilan dari 3 juta perkawinan.
Lepas dari masih tingginya angka kehamilan, wanita atau pria yang sudah berusia matang tetapi memutuskan belum mau menikah nyata adanya. Seperti Aditya Hidayat, karyawan di sebuah perusahaan swasta ini memilih untuk mapan secara finansial terlebih dahulu, baru mau menikah.
Pria berusia 35 tahun yang sejatinya sudah memiliki pasangan ini mengaku ingin membangun pondasi yang kuat secara finansial sebelum memutuskan untuk menikah. Menurutnya, konsekuensi menikah adalah bagaimana belajar bertanggung jawab sejak awal karena pernikahan bertujuan membangun masa depan.
“Karena cinta berawal dari hati, lalu dibangun oleh realita. Jadi bagaimana kita harus merancang masa depan, baik itu memiliki rumah dan kendaraan karena tujuan menikah adalah membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Selain dari segi finansial, Adit juga ingin matang secara mental. Dia berpendapat, pernikahan merupakan urusan merangkai kehidupan untuk menua bersama. Pasti akan ada banyak kegelisahan yang harus bisa dilalui ketika memutuskan membangun rumah tangga.
“Karena tidak mungkin menikah tanpa ada persiapan secara matang, baik itu konsep secara pemikiran dan kedewasaan dalam bertindak,” imbuhnya.
Adit tidak merasa gelisah ketika rekan-rekan sebayanya sudah menikah dan memiliki anak. Dia menilai menikah adalah pilihan masing-masing individu. Setiap individu pun mempunyai parameter yang berbeda-beda dalam memaknainya.
Keluarganya pun cukup terbuka dan menghormati pilihan dan keputusan yang diambil. “Jadi keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada diri kita, karena yang jalani hidup sepenuhnya adalah saya,” tutur Adit.
Baca juga: Lagi Viral, Ini Penyebab Hingga Risiko Jika Ogah Nikah & Punya Anak
Bicara fenomena generasi yang memilih menikah di atas usia 30 tahun, konselor pernikahan dari Konselingkeluarga.com, Elly Nagasaputra, menilai fenomena ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang sudah sangat baik.
Banyak pria dan wanita yang menempuh pendidikan tinggi, tidak ingin menyia-nyiakan gelar yang sudah didapat, kemudian memilih untuk mempraktikkan ilmunya dengan mengejar karir terlebih dahulu.
Ketika asyik mengejar karir tersebut, tanpa sadar usianya pun bertambah bahkan lebih dari ‘matang’. Alhasil menemukan lawan jenis yang sesuai usianya pun menjadi semakin sulit. “Apalagi karir tinggi, penghasilan baik, makin susah nemunya walaupun tidak ada niat menikah di usia tua,” sebut Elly.
Bukan Menunda, Tapi Menunggu Kesiapan
Sementara itu, psikolog klinis dewasa Hersa Aranti berpendapat generasi saat ini memiliki pola pikir atau mindset yang lebih terbuka dan kritis. Generasi sebelumnya mungkin lebih mengikuti kebiasaan menikah di bawah usia 30 tahun, sedangkan saat ini banyak anak muda yang mempertanyakan apakah harus mengikuti kebiasaan tersebut.
Terlebih dengan adanya sosial media yang membuka ruang opini seputar budaya menikah di masa lampau. Pola pikir generasi saat ini pun lebih terbuka dengan banyaknya pembelajaran yang diperoleh semasa hidup.
“Misal melihat orang atau keluarganya yang menikah cepat, belum matang secara emosional, sehingga pernikahannya kurang kokoh,” tutur founder klinik konseling Sadari itu.
Pandangan menikah perlu ada kesiapan matang dan mampu menuntaskan masalah diri terlebih dahulu juga muncul. Alhasil, usia biologis lalu bukan menjadi patokan terhadap pernikahan. “Kalau 30 tahun kematangan emosional sudah baik, sisi positifnya dia memiliki hubungan yang sehat. Orang menikah dengan alasan tepat bukan karena cukup umur, ada tekanan sosial,” sebut Hersa.
Memang tidak ada waktu yang tepat untuk menyebut usia ideal menikah. Namun demikian, wanita perlu berhati-hati ketika menikah di usia tua karena terpaut masa reproduksi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat puncak masa subur dan kualitas sel telur terbaik pada wanita yakni pada usia 20-30 tahun.
Kendati demikian, menurut Hersa, balik lagi kepada individu itu sendiri dan pasangannya kelak. “Kalau menikah untuk memiliki anak, akan ada tantangannya walaupun reproduksi di atas 35 masih oke sebenarnya, tetapi kalau memutuskan tidak punya anak, mungkin tidak akan menjadi masalah,” sambungnya.
Di sisi lain, ada dampak positif ketika menikah di atas usia 30 tahun. Elly menyampaikan umumnya mereka lebih tahu tipe pasangan yang diinginkan dan karakter orang karena sudah melihat ragam pengalaman kehidupan pernikahan di sekitarnya. Dengan demikian, mereka lebih matang secara emosi dalam memilih pasangan
Selain kematangan emosi, orang tersebut juga matang dari sisi mental sehingga lebih siap menghadapi lika-liku dan kesulitan dalam pernikahannya nanti. Berbeda dengan usia 20 tahun yang menikah, ketika ada masalah, umumnya timbul pertengkaran dan banyak berujung perceraian pada pasangan suami istri tersebut.
Kata Elly, mereka rentan tidak mengerti resolusi konflik. Ketika masalah satu belum selesai, didiamkan, dan terus menumpuk, timbul rasa tidak bahagia, menderita, dan ketidakcocokan, lalu memutuskan berpisah.
“Akarnya, mereka memiliki masalah, tidak tau cara menyelesaikannya. Berlarut-latrut, akhirnya menjadi cerai atau selingkuh berujung cerai. Oleh karena itu, pentingnya konseling pernikahan,” tambahnya.
Same energy aku juga team nikah di KUA hihi https://t.co/01DgxjqU3t pic.twitter.com/rRU54rxbfD
— marsella iskandar (@cellaiskandar) January 30, 2023
Menikah di usia tua juga lebih mapan secara finansial yang memudahkan dan melancar akan kehidupan pernikahannya di kemudian hari. “[Menikah di usia lebih dari 30 tahun], lebih tau tipe, lebih matang hadapi kesulitan, lebih aman finansial sehingga mudah menata hidupnya,” tegas wanita yang juga mendalami ilmu hipnoterapist ini.
Lepas dari usia, Elly menyampaikan, idealnya orang menikah juga harus baik dalam mengenal jati diri sehingga bisa menghindari salah pilih pasangan. Mereka juga harus mengerti tujuannya dari pernikahan itu, bukan karena paksaan orang tua maupun malu di lingkungan atau teman seusianya sudah menikah semua.
“Dengan kematangan usia, mengetahui siapa saya dan mengetahui pasangan seperti apa. Mengetahui siap secara mental, emosional, finansial. Mengetahui tujuan menikah apa, sehingga ada kesulitan akan tetap bisa bertahan,” tutur Elly merangkum esensi dari topik pernikahan ini.
Tren Menikah di KUA
Sementara itu, ramainya pasangan menikah di KUA, menurut Elly menunjukkan tren anak muda di abad 21 lebih suka kepraktisan alias tidak mau ribet. Ada pula kematangan pemikiran dari pasangan generasi muda saat ini.Dia berpendapat, menikah yang penting sah secara agama dan mempersiapkan hidup ke depan, bukan hura-hura dalam beberapa jam. Dana yang ada, bisa disimpan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan tantangan finansial di masa mendatang.
“Daripada pesta jor-joran tetapi setelah itu terseok-seok menghadapi hari ke depan, buat apa?" singgungnya.
Sayangnya, jika semua orang memilih menikah sederhana alias hanya di KUA saja, akan menjadi ancaman bagi kelangsungan adat, budaya, dan ritual pernikahan yang begitu ragam di setiap daerahnya. “Nanti generasi muda selanjutnya tidak bisa lihat, sayang juga karena ada nilai yang harus dilestarikan,” jelas Elly.
Hersa menambahkan, tantangan lainnya yakni akan ada konflik dengan keluarga terutama orang tua yang menginginkan pesta untuk pernikahan anaknya. “Negatifnya akan ada konflik dengan orang tua yang tidak terbiasa dengan pernikahan sederhana,” sebutnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.