Ilustrasi memutuskan untuk tidak menikah (Sumber gambar: Unsplash/Sasha Freemind)

Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis  

18 February 2023   |   19:41 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Pernikahan menjadi topik yang sedang berseliweran di media sosial. Selain soal childfree, media sosial juga banjir dengan pengakuan dari mereka yang memilih untuk tidak menikah. Laporan terbaru Pew Research semakin memperkuat hal tersebut.

Data ini membuat publik bertanya-tanya, apa yang ada dalam benak generasi milenial hingga belum memutuskan menikah meski sudah menginjak kepala tiga? Pew Research mencatat jika penurunan angka pernikahan itu menandai perubahan signifikan dari generasi milenial jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya untuk rentang usia 23-38 tahun. 
 

Baca juga: Hypereport: Mengulik Fenomena Menikah dengan Sederhana dan Tanpa Tekanan

Hanya sekitar 44 persen generasi milenial yang menikah pada 2019, dibandingkan dengan 53 persen generasi X. Angka itu makin jauh jika dibandingkan dengan generasi baby boomer yang mencatat 61 persen dalam angka pernikahan.
 
Generasi milenial pun tercatat memutuskan pertama kali menikah di usia 40 tahun untuk pria dan 28 tahun untuk wanita. Usia itu tiga kali lebih lambat baik untuk pria dan wanita dibanding  generasi yang menikah pada 2003. 

Sepanjang 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat sekitar 1,74 juta saja pernikahan yang terjadi di Indonesia. Angka ini turun sebanyak 2,8 persen dibandingkan dengan 2020. Angka pernikahan mulai tercatat menurun sejak 2020 dengan jumlah 2 juta pernikahan di Indonesia kala itu.
 
Berbagai faktor diduga menjadi alasan mengapa angka pernikahan terus menurun. Menurut psikolog A. Kasandra Putranto, pengalaman buruk di masa lalu dalam menjalani hubungan, seperti dikecewakan atau disakiti turut mendorong menurunnya kepercayaan untuk mempercayai pasangan. Sebab, ketakutan itu, banyak orang memilih menghindar agar tidak menemukan kekecewaan di masa depan mereka.
 
Anwar, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), salah seorang yang memutuskan untuk tidak menikah mengamini hal tersebut. Dalam pandangannya, pernikahan bukan konsep yang mudah, setelah semua hal yang dilaluinya. Selain faktor pernah dikecewakan oleh pasangan, Anwar memilih jalan ini agar bisa menikmati kebebasan untuk segala hal yang diinginkannya. 

“Sesederhana ingin bebas berteman, enggak buang tenaga cemburu sama pasangan, uang juga jadi buat diri sendiri aja, dan melakukan semuanya bebas dengan memilih apa yang dimau sendiri,” kata Anwar kepada Hypeabis.id.
 
Sejatinya, Anwar keputusanya tidak datang dengan tiba-tiba. Dia juga pernah punya rencana menikah, tetapi kandas. Pengalaman pahit itu membuat Anwar enggan mencobanya lagi. 

“Ada kayak rasa enggak mampu lagi mulai mengenal orang lain sebagai pasangan ya, kayak pemikiran sudah muncul, ya ini akan sama saja dengan kisah yang lalu. Setelah dipikir-pikir ya memang lebih enak sendiri saja,” jelasnya.
 
Menurut Anwar, laki-laki pun memiliki usia yang lebih panjang untuk mengejar karier ketimbang memikirkan urusan pernikahan. Menikmati perjalanan karier untuk menggapai keinginan sembari memperbanyak teman, dinilainya sebagai jalan yang lebih santai dibanding memenuhi ekspektasi sosial tentang pernikahan di usianya yang ke-28 tahun tersebut. 

Terlebih baginya, pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga kondisi finansial yang melibatkan dua orang atau lebih saat sudah berkeluarga.
 
Dari sudut pandang seorang wanita, ada Kendra yang memilih opsi ini. Berkali-kali patah hati dan diselingkuhi oleh pasangannya, pegawai swasta itu melihat tak ada harapan untuk melaju ke pelaminan. 

“Banyak yang menyarankan untuk mencoba lagi, tapi aku sendiri sudah melakukannya berulang kali. Hasilnya sama, entah ekspektasi yang terlalu tinggi atau memang orangnya tidak tepat. Jadi enakan sendiri aja,” jelas Kendra kepada Hypeabis.id.
 
Semenjak putus dari kekasih sekitar 3 tahun lalu, Kendra beberapa kali mencoba hubungan baru dengan yang pria lain satu tahun setelahnya. Sampai akhirnya dia menemukan kenyamanan saat sendiri sekitar 2 tahun terakhir. 
 

Ilustrasi patah hati (Sumber gambar: Kelly Sikkema/Unsplash)

Ilustrasi patah hati (Sumber gambar: Kelly Sikkema/Unsplash)

"Kayaknya faktor udah biasa sendiri beberapa tahun ini juga ikut mendukung aku lebih senang sendiri, banyak dengar kisah teman juga soal pernikahan yang gagal. Jadi merasa pernikahan bukan hal yang aku inginkan," imbuhnya.

Meski demikian, Kendra menyebut tetap saja ada kekurangan dari keputusan bulat yang sudah diambilnya. Tak menampik jika acap kali Kendra merasa bingung menumpahkan keluh kesahnya setelah melalui aktivitas harian.
 
“Kekurangan dalam mengambil keputusan ini menurutku kadang merasa sepi, bingung soal tempat berpulang dan cerita, karena kalo sama teman rasanya tetap beda gitu,” jelas Kendra. 

Daripada memikirkan stigma orang lain tentang dirinya, Kendra yang kini pekerja di salah satu perusahaan swasta mengaku lebih baik fokus menggunakan waktu untuk berkarier, serta menghasilkan uang untuk dinikmatinya sendiri.

Dia juga sadar jika keputusannya ini tidak mudah diterima oleh orang di sekitarnya. Wanita yang menginjak usia 27 tahun itu kalang kabut menghalau pertanyaan keluarga soal rencana menikah. 

Namun, dalam pandangan Kendra, sebagai seorang manusia, dia tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang. Semuanya kembali pada kenyamanan yang diterima Kendra saat sendirian.
 
Terkait sikap trauma di masa lalu, psikolog Kasandra menjelaskan jika terdapat psikodinamika yang mempengaruhi perilaku individu. Dalagran & Towey menjelaskan ketakutan bisa mengganggu proses otak yang memungkinkan kita mengatur emosi. 

Pemikiran dan pengambilan keputusan akan berdampak karena kita sudah rentan dengan emosi yang kuat dibarengi reaksi impulsif.


Alasan Realistis

Selain faktor masa lalu yang buruk, Kasandra justru menyoroti alasan lain mengapa generasi masa kini mulai berpikir ulang untuk menikah. Alasan itu terbilang realistis. Tentang kondisi keuangan yang bisa menjadi polemik pada masa depan.  Ragam alasan ini menghimpit kehidupan yang dijalani generasi masa sekarang, baik itu datang dari alasan masa lalu dan prediksi di masa depan.
 
“Prioritas dalam hidup generasi muda sudah berubah drastis dari generasi sebelumnya. Bukan soal sakit hati, adanya peningkatan kualitas hidup, terutama soal pendidikan dan status ekonomi juga jadi pemicunya. Jadi makin banyak anak muda yang terpikir untuk memilih keputusan meningkatkan taraf hidup mereka dibanding memikirkan percintaan, yang mungkin dalam pikiran mereka bisa jadi masalah baru kalau mereka saja sebagai individu belum mampu settle,” jelas Kasandra.
 
Penelitian lembaga pendidikan di Inggris, Vespa Academy pada 2021 menyebut, generasi masa kini semakin melek dengan pendidikan dan finansial yang stabil. Hal itu dianggap lebih penting ketimbang menikah dan membangun keluarga yang dianggap bukan prioritas dalam hidup. Situsi ini membuat mereka memilih memaksimalkan masa muda untuk mencapai banyak pengalaman dan prestasi daripada memilih menikah.
 
Alasan realistis inilah yang dinilai Kasandra harus dipertimbangkan. Bahwa ada prioritas lain yang harus dikejar sehingga menyampingkan menikah. “Ketakutan untuk disakiti bukanlah sebuah alasan untuk generasi ini enggan menikah. Menjalin pernikahan bukan jadi fokus utama generasi muda karena ada mimpi yang harus dikejar,” katanya.
 
Meski mendapat banyak pandangan buruk, Kasandra menjabarkan beberapa poin dari penelitian DePaulo pada 2023 mengenai single-at-heart, istilah untuk orang yang memilih hidup tanpa pasangan. 

Beberapa di antaranya adalah memiliki kebebasan penuh dalam menjalani kehidupan. Hal ini membuat kehidupan orang yang memilih hidup tanpa pasangan sangat fokus kepada dirinya dan membuat kehidupan mereka autentik.
 
Alasan kedua berkaitan dengan hubungan yang erat dengan diri sendiri. Kecintaan terhadap diri sendiri membawa mereka mampu menikmati kesendirian. Orang-orang yang nyaman dengan dirinya sendiri justru memiliki kerentanan yang rendah akan mengalami kesepian. Mereka mengedepankan diri sendiri sebagai prioritas diikuti oleh keluarga dan teman terdekat .
 
Terlepas dari alasan tersebut, manusia memiliki alasan psikologis mengapa mereka membutuhkan pasangan dalam hidup. Ahli Psikologi Jerman Erik Erikson pernah mengembangkan teori tentang kewajiban manusia usia dewasa muda untuk menjalin intimasi dengan pasangan. Hal ini menjadi hal penting berkaitan dengan kebutuhan manusia yang membutuhkan dukungan sosial dalam kehidupan.
 
Harvard Medical School dalam laporannya pada 2016 juga menyebut, seseorang cenderung memiliki kesehatan mental yang cenderung meningkat ketika seseorang memutuskan memiliki pasangan. Hal ini karena adanya keberadaan dukungan sosial yang menurunkan risiko individu terkena masalah mental seperti kesepian atau depresi. Namun, bukan berarti orang yang memiliki pasangan selalu merasakan keuntungan ini.
 
Memutuskan menikah atau tidak menikah kembali kepada individu masing-masing. Di balik keputusan untuk tidak menikah, tentu ada alasan personal dari masing-masing orang yang memilikinya baik itu terkait dengan urusan mental atau urusan finansial.

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Festival Reba & Harmonisasi Kehidupan Masyarakat Ngada

BERIKUTNYA

Goenawan Mohamad Gelar Pameran Kitab Hewan di Dia.lo.gue, Tampilkan Koleksi Karya Grafis Intaglio & Litografi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: