Hypereport: Pengaruh Beauty Influencer di Tengah Fenomena Overclaim
12 November 2024 |
13:39 WIB
Istilah overclaim dalam produk perawatan kulit atau skincare kini tengah jadi sorotan. Frasa ini belakangan banyak digunakan oleh para beuaty influencer atau pemengaruh kecantikan untuk menyebut produk tertentu yang memberikan klaim tidak sesuai fakta.
Seperti namanya, skincare dengan pemasaran overclaim adalah produk perawatan kulit yang menawarkan efek tertentu secara berlebihan, meski secara kandungan di dalamnya tidak demikian. Hal ini tak jarang membuat konsumen seketika tergiur.
Dalam laporan ZAP Beuaty Index 2024, kandungan produk memang jadi salah satu bahan pertimbangan penting bagi konsumen di Indonesia. Sebanyak 66,4 persen dari responden survei tersebut mengatakan kandungan produk jadi faktor pertimbangan sebelum memilih produk kecantikan.
Baca juga: Hypereport: Fenomena Skincare Overclaim dan Pengawasan Produk Ilegal di Pasaran
Tak mengherankan bila kandungan bahan dalam produkna, yang kerap kali diasosiasikan juga dengan manfaat yang didapat, berperan besar dalam meyakinkan pembeli. Oleh karena itu, ketika hal tersebut dilebih-lebihkan, efeknya bisa membuat konsumen tergiur.
Dalam hal ini, mencari sumber informasi menjadi perkara yang penting. Masih dalam laporan survei yang sama, konsumen Indonesia kerap kali mencari informasi tersebut dari review influencer (60,9 persen), terbanyak kedua setelah Instagram (76,4 persen).
Pemengaruh kecantikan Monica Moher mengatakan dunia skincare belakangan memang tengah dihebohkan dengan isu overclaim. Pada dasarnya, overclaim adalah klaim manfaat atau kandungan yang berlebihan yang tertera dalam produknya.
Monica mengingatkan masyarakat sebaiknya lebih jeli dalam memilih produk perawatan kulit. Menurutnya, saat ini tidak bisa serta merta hanya melihat dari kandungan produk saja. Namun, ada unsur-unsur lain yang juga perlu diperhatikan.
Misalnya, kredibilitas brand. Menurutnya, tingkat kredibilitas ini cukup penting sebelum memilih produk skincare. Kemudian, pastikan juga kandungan di dalamnya telah tersertifikasi, baik secara keamanannya maupun keasliannya.
“Jadi, ini memang kayak bumerang ya, dan orang Indonesia kadang suka yang berlebihan. Melihat tulisan 9x whitening effect atau 10 persen niacinamide itu udah langsung. Padahal, belum tentu sesuai, baik klaimnya atau bahkan malah tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujar Monica kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Waspadai Daftar Skincare & Kosmetik dengan Kandungan Berbahaya yang Ditarik BPOM
Monica mengatakan masyarakat sebaiknya tak langsung tergiur dengan kandungan tertentu dengan jumlah besar. Sebab, bukan berarti kandungan dengan jumlah besar tersebut akan otomatis membuat manfaat yang didapat juga besar.
Bisa jadi, efeknya justru berkebalikan. Dia mencontohkan, seseorang yang cocok dengan kandungan tertentu sebesar 5 persen, belum tentu akan cocok dengan kandungan 10 persen. Terlebih, jika kandungan tersebut berbahan aktif.
Alih-alih langsung tergiur, Monica menyarankan masyarakat untuk lebih mengenal kebutuhan kulitnya terlebih dahulu. Hal itu bisa dimilai dari mencari tahu skin type sendiri seperti apa, lalu masalah kulit apa yang sedang dihadapi.
Sebagai pemengaruh kecantikan, dirinya mengaku selalu mengedukasi hal tersebut. Monica mengaku ingin turut andil dalam meningkatkan pengetahuan dasar tentang skincare.
Ketika mengulas skincare, Monica pun selalu memerhatikan banyak hal. Misalnya, dirinya sebisa mungkin telah menggunakan produk tersebut setidaknya selama dua minggu. Hal ini penting, karena ada beberapa skincare yang memberi manfaat pada satu minggu pertama, tetapi mulai menurun pada minggu berikutnya.
Dia pun selalu mencatat efek yang dihasilkan dengan lebih detail. Tak hanya tentang keberhasilan, tetapi juga efek samping. Misalnya, ada skincare yang punya kinerja baik dalam mencerahkan, tetapi saat pemakaian ada efek kering di wajah dan sebagainya.
“Integritas memang tetap jadi yang utama pada akhirnya. Jadi, tidak cuma asal baca manfaat produk tanpa mengalaminya langsung. Saya juga selalu bilang kalau skincare itu cocok-cocokan. Jadi, perlu sabar sampai ketemu yang cocok,” imbuhnya.
Baca juga: Hypereport: Pentingnya Kewaspadaan & Ketelitian Memilih Skincare, Banyak Produk Ilegal
Monica lantas memberi tip buat Genhype yang ingin mencoba skincare, tetapi ingin terlebih dahulu mengetahui ulasan dari beuaty influencer. Sebaiknya, pilihlah beuaty influencer yang terpercaya dan punya skin type yang sama dengan konsumen.
Dengan demikian, ada bayangan tersendiri tentang efek skincare yang didapat. "Meski, sekali lagi, skincare itu cocok-cocokan," tegasnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Hanny Nilasari mengatakan meski penggunaan skincare naik dalam beberapa tahun terakhir, literasi produk perawatan kulit memang masih menjadi tantangannya.
Menurutnya, sebagian masyarakat masih kerap terjebak pada janji-janji manis sebuah skincare, tanpa mereka benar-benar tahu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhannya.
Hal ini pada akhirnya membuat rawan dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab, tidak hanya skincare overclaim, tetapi sampai penggunaan krim merkuri yang berbahaya krim etiket biru tanpa pengawasan.
“Saat ini, misalnya, sebagian masyarakat masih menginginkan kulit putih atau cerah dengan pori-pori yang tidak terlihat dengan menggunakan skincare. Padahal, ini merupakan ekspektasi yang tidak masuk akal,” ucap Hanny kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Tren Maklon Skincare, Intip Model Bisnis & Tantangannya di Indonesia
Di sisi lain, Hanny juga menyebut sebagian masyarakat masih kerap bergantung informasi pada selebriti, influencer, atau buzzer skincare untuk mencari informasi. Namun, akun-akun edukasi dasar tentang ilmu skincare justru cenderung sepi peminat.
Hanny mengatakan tren literasi di dunia skincare memang perlu terus mendapat edukasi yang tepat. Dia mengamini bahwa pemahaman konsumen terhadap bahan atau kandungan itu sudah tinggi. Namun, ada yang masih keliru.
Misalnya, masih ada anggapan jika suatu bahan punya konsentrasi yang lebih tinggi, maka efeknya lebih besar. Padahal, hal tersebut sangatlah keliru.
Hanny lantas menganalogikannya seperti makanan. Sup pertama berisi ikan penuh sebesar 30 persen, sedangkan sup kedua berisi ikan hanya 10 persen, tetapi di dalamnya ada tambahan sayur, seafood lain atau protein lain. Pada intinya, bukan seberasa besar, tetapi seberapa tepat formulasinya.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Profesi dan Pendidikan Perdoski Anesia Tania mengatakan masyarakat perlu memahami fungsi skincare dan obat. Ini adalah dua hal berbeda, tetapi kerap dicampur adukkan.
“Skincare itu kosmetik, bukan obat. Jadi, fungsinya hanya mengubah tampilan pada bagian luar atau epidermis saja. Jadi, skincare itu hanya bisa mengeklaim fungsi membantu membersihkan atau mencerahkan, tetapi tidak bisa bilang menyembuhkan jerawat atau mengangkat flek hitam,” ucap Anes.
Baca juga: Hypereport: Kenali Ciri-ciri Produk Skincare Overclaim & Cara Cek Keasliannya
Jadi, hanya berfungsi untuk membantu, bukan mengobati. Sebab, kalau sampai ke tahap menyembuhkan itu sudah masuk ke ranah obat. Jika ada skincare yang mengeklaim sampai ke fungsi obat, itu bisa dibilang overclaim.
Anes mengatakan masyarakat mesti jeli melihat kebutuhan kulitnya sendiri. Dalam artian, apakah kondisi yang dihadapinya masih bisa diselesaikan dengan bantuan skincare, atau mesti disembuhkan dengan obat.
Editor: Fajar Sidik
Seperti namanya, skincare dengan pemasaran overclaim adalah produk perawatan kulit yang menawarkan efek tertentu secara berlebihan, meski secara kandungan di dalamnya tidak demikian. Hal ini tak jarang membuat konsumen seketika tergiur.
Dalam laporan ZAP Beuaty Index 2024, kandungan produk memang jadi salah satu bahan pertimbangan penting bagi konsumen di Indonesia. Sebanyak 66,4 persen dari responden survei tersebut mengatakan kandungan produk jadi faktor pertimbangan sebelum memilih produk kecantikan.
Baca juga: Hypereport: Fenomena Skincare Overclaim dan Pengawasan Produk Ilegal di Pasaran
Tak mengherankan bila kandungan bahan dalam produkna, yang kerap kali diasosiasikan juga dengan manfaat yang didapat, berperan besar dalam meyakinkan pembeli. Oleh karena itu, ketika hal tersebut dilebih-lebihkan, efeknya bisa membuat konsumen tergiur.
Dalam hal ini, mencari sumber informasi menjadi perkara yang penting. Masih dalam laporan survei yang sama, konsumen Indonesia kerap kali mencari informasi tersebut dari review influencer (60,9 persen), terbanyak kedua setelah Instagram (76,4 persen).
Pemengaruh kecantikan Monica Moher mengatakan dunia skincare belakangan memang tengah dihebohkan dengan isu overclaim. Pada dasarnya, overclaim adalah klaim manfaat atau kandungan yang berlebihan yang tertera dalam produknya.
Monica mengingatkan masyarakat sebaiknya lebih jeli dalam memilih produk perawatan kulit. Menurutnya, saat ini tidak bisa serta merta hanya melihat dari kandungan produk saja. Namun, ada unsur-unsur lain yang juga perlu diperhatikan.
Misalnya, kredibilitas brand. Menurutnya, tingkat kredibilitas ini cukup penting sebelum memilih produk skincare. Kemudian, pastikan juga kandungan di dalamnya telah tersertifikasi, baik secara keamanannya maupun keasliannya.
“Jadi, ini memang kayak bumerang ya, dan orang Indonesia kadang suka yang berlebihan. Melihat tulisan 9x whitening effect atau 10 persen niacinamide itu udah langsung. Padahal, belum tentu sesuai, baik klaimnya atau bahkan malah tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujar Monica kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Waspadai Daftar Skincare & Kosmetik dengan Kandungan Berbahaya yang Ditarik BPOM
Monica mengatakan masyarakat sebaiknya tak langsung tergiur dengan kandungan tertentu dengan jumlah besar. Sebab, bukan berarti kandungan dengan jumlah besar tersebut akan otomatis membuat manfaat yang didapat juga besar.
Bisa jadi, efeknya justru berkebalikan. Dia mencontohkan, seseorang yang cocok dengan kandungan tertentu sebesar 5 persen, belum tentu akan cocok dengan kandungan 10 persen. Terlebih, jika kandungan tersebut berbahan aktif.
Alih-alih langsung tergiur, Monica menyarankan masyarakat untuk lebih mengenal kebutuhan kulitnya terlebih dahulu. Hal itu bisa dimilai dari mencari tahu skin type sendiri seperti apa, lalu masalah kulit apa yang sedang dihadapi.
Sebagai pemengaruh kecantikan, dirinya mengaku selalu mengedukasi hal tersebut. Monica mengaku ingin turut andil dalam meningkatkan pengetahuan dasar tentang skincare.
Ketika mengulas skincare, Monica pun selalu memerhatikan banyak hal. Misalnya, dirinya sebisa mungkin telah menggunakan produk tersebut setidaknya selama dua minggu. Hal ini penting, karena ada beberapa skincare yang memberi manfaat pada satu minggu pertama, tetapi mulai menurun pada minggu berikutnya.
Dia pun selalu mencatat efek yang dihasilkan dengan lebih detail. Tak hanya tentang keberhasilan, tetapi juga efek samping. Misalnya, ada skincare yang punya kinerja baik dalam mencerahkan, tetapi saat pemakaian ada efek kering di wajah dan sebagainya.
“Integritas memang tetap jadi yang utama pada akhirnya. Jadi, tidak cuma asal baca manfaat produk tanpa mengalaminya langsung. Saya juga selalu bilang kalau skincare itu cocok-cocokan. Jadi, perlu sabar sampai ketemu yang cocok,” imbuhnya.
Baca juga: Hypereport: Pentingnya Kewaspadaan & Ketelitian Memilih Skincare, Banyak Produk Ilegal
Monica lantas memberi tip buat Genhype yang ingin mencoba skincare, tetapi ingin terlebih dahulu mengetahui ulasan dari beuaty influencer. Sebaiknya, pilihlah beuaty influencer yang terpercaya dan punya skin type yang sama dengan konsumen.
Dengan demikian, ada bayangan tersendiri tentang efek skincare yang didapat. "Meski, sekali lagi, skincare itu cocok-cocokan," tegasnya.
Literasi Kandungan & Manfaat Skincare
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Hanny Nilasari mengatakan meski penggunaan skincare naik dalam beberapa tahun terakhir, literasi produk perawatan kulit memang masih menjadi tantangannya.Menurutnya, sebagian masyarakat masih kerap terjebak pada janji-janji manis sebuah skincare, tanpa mereka benar-benar tahu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhannya.
Hal ini pada akhirnya membuat rawan dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab, tidak hanya skincare overclaim, tetapi sampai penggunaan krim merkuri yang berbahaya krim etiket biru tanpa pengawasan.
“Saat ini, misalnya, sebagian masyarakat masih menginginkan kulit putih atau cerah dengan pori-pori yang tidak terlihat dengan menggunakan skincare. Padahal, ini merupakan ekspektasi yang tidak masuk akal,” ucap Hanny kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Hypereport: Tren Maklon Skincare, Intip Model Bisnis & Tantangannya di Indonesia
Di sisi lain, Hanny juga menyebut sebagian masyarakat masih kerap bergantung informasi pada selebriti, influencer, atau buzzer skincare untuk mencari informasi. Namun, akun-akun edukasi dasar tentang ilmu skincare justru cenderung sepi peminat.
Hanny mengatakan tren literasi di dunia skincare memang perlu terus mendapat edukasi yang tepat. Dia mengamini bahwa pemahaman konsumen terhadap bahan atau kandungan itu sudah tinggi. Namun, ada yang masih keliru.
Misalnya, masih ada anggapan jika suatu bahan punya konsentrasi yang lebih tinggi, maka efeknya lebih besar. Padahal, hal tersebut sangatlah keliru.
Hanny lantas menganalogikannya seperti makanan. Sup pertama berisi ikan penuh sebesar 30 persen, sedangkan sup kedua berisi ikan hanya 10 persen, tetapi di dalamnya ada tambahan sayur, seafood lain atau protein lain. Pada intinya, bukan seberasa besar, tetapi seberapa tepat formulasinya.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Profesi dan Pendidikan Perdoski Anesia Tania mengatakan masyarakat perlu memahami fungsi skincare dan obat. Ini adalah dua hal berbeda, tetapi kerap dicampur adukkan.
“Skincare itu kosmetik, bukan obat. Jadi, fungsinya hanya mengubah tampilan pada bagian luar atau epidermis saja. Jadi, skincare itu hanya bisa mengeklaim fungsi membantu membersihkan atau mencerahkan, tetapi tidak bisa bilang menyembuhkan jerawat atau mengangkat flek hitam,” ucap Anes.
Baca juga: Hypereport: Kenali Ciri-ciri Produk Skincare Overclaim & Cara Cek Keasliannya
Jadi, hanya berfungsi untuk membantu, bukan mengobati. Sebab, kalau sampai ke tahap menyembuhkan itu sudah masuk ke ranah obat. Jika ada skincare yang mengeklaim sampai ke fungsi obat, itu bisa dibilang overclaim.
Anes mengatakan masyarakat mesti jeli melihat kebutuhan kulitnya sendiri. Dalam artian, apakah kondisi yang dihadapinya masih bisa diselesaikan dengan bantuan skincare, atau mesti disembuhkan dengan obat.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.