Industri perfilman nasional semakin menunjukkan tajinya dengan mencetak rekor jumlah penonton film Indonesia. (Sumber gambar: Freepik/freemufilms)

Hypereport: Industri Film Kiwari, Masih Banyak PR Meski Bertaji

14 October 2024   |   19:50 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Kurang dari satu minggu, pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir. Publik pun menyoroti hasil kinerja selama dua periode kepemimpinannya di berbagai bidang, tak terkecuali industri ekonomi kreatif salah satunya film, subsektor yang tengah mengalami pertumbuhan pesat.

Industri perfilman nasional semakin menunjukkan tajinya dengan mencetak rekor jumlah penonton film Indonesia. Menurut data dari Badan Perfilman Indonesia (BPI), jumlah penonton film lokal per 29 September 2024 mencapai 61,25 juta penonton. 

Angka ini menjadi perolehan penonton film Indonesia tertinggi sejak 1926, mengungguli jumlah penonton film impor yang berada di angka 35 juta penonton. Selain itu, angka tersebut juga terpantau melesat selama 9 tahun terakhir, dari tahun 2015 yang hanya meraup 16,2 juta penonton. 

Di sisi lain, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memproyeksikan kontribusi subsektor film dan animasi pada tahun 2024 mencapai Rp3,41 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
2. Hypereport: Gastronomi Indonesia Mencari Jalan Tengah di Antara Keberagaman

3. Hypereport: Industri Gim Tanah Air Tumbuh Pesat, Tapi Masih Perlu Banyak Belajar

Tak hanya dari segi kuantitas, industri perfilman nasional juga dipandang kian menunjukkan dinamika positif dari segi kualitas. Hal tersebut tampak dari beragamnya tema, genre, cara bertutur, hingga kritik film yang berkembang di berbagai platform.

Sutradara Garin Nugroho menilai kondisi tersebut terjadi berkat beberapa hal seperti misalnya pengolahan teknologi film. Menurutnya, generasi para filmmaker saat ini mengalami percepatan dalam mengolah teknologi film, sehingga menimbulkan standarisasi perfilman global.

Begitupun dengan cara bertutur (storytelling) mereka dalam membuat film, yang cenderung beragam satu dengan yang lainnya. Hal itu kian diperkuat dengan arus penonton Indonesia yang sudah apresiatif terhadap ragam produk film yang ada.

"Dengan demikian, batas-batas antara seni, hiburan, pencapaian teknologi dan industri sudah lebur menjadi satu. Itu adalah pertanda dinamika film Indonesia yang makin dewasa," ujarnya.
 

Ilustrasi bioskop. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)

Ilustrasi bioskop. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)

Kendati begitu, Ketua Umum BPI Gunawan Paggaru berpandangan capaian jumlah penonton film Indonesia yang terus melesat bukan suatu keberhasilan baik dari perspektif ekonomi maupun budaya. Menurutnya, pertumbuhan perfilman nasional masih menghadapi berbagai tantangan dari perspektif ekonomi dan budaya.

Dalam catatannya yang berjudul Rekomendasi untuk Pemerintah Menuju 10 Tahun 2014-2024 yang dirilis BPI, dari sisi ekonomi, kendala utama perfilman Indonesia meliputi rendahnya investasi, infrastruktur terbatas, distribusi yang kurang optimal, rendahnya pendapatan box office, dan persaingan dengan film asing.

Sementara dari sisi budaya, kesulitan dalam mengukur keberhasilan budaya, kurangnya representasi dan diversitas, pengaruh budaya populer asing, serta rendahnya pendidikan dan kesadaran budaya menjadi hambatan utama. 

Misalnya, saat ini, menurut catatan BPI, rata-rata jumlah film Indonesia yang diproduksi per tahunnya ialah 150 judul film. Dari 150 judul, hanya 20 film yang mencapai 1 juta penonton. Hal ini menunjukkan bahwa capaian tersebut bisa dibilang merupakan keberhasilan semu, lantaran masih banyaknya film yang tidak mencapai kesuksesan komersial secara signifikan.

"Secara keseluruhan, meskipun ada indikasi keberhasilan dengan beberapa film yang sangat sukses dan dominasi market share, masih ada tantangan besar dalam hal kualitas  dan daya tarik mayoritas film yang diproduksi. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan ini memiliki elemen keberhasilan semu, di mana angka keseluruhan tampak mengesankan, tetapi distribusi kesuksesan tidak merata," kata Gunawan.

Menurut catatan BPI, secara ideal, berdasarkan standar internasional 1 layar per 10.000 orang, Indonesia memerlukan sekitar 27.000 layar bioskop untuk melayani populasinya yang berjumlah 270 juta.

Distribusi layar ini harus proporsional dengan populasi di setiap provinsi dan memperhitungkan faktor-faktor seperti urbanisasi, infrastruktur, dan aksesibilitas untuk memastikan bahwa seluruh populasi memiliki akses yang memadai ke layar bioskop.

Sementara itu, berdasarkan analisis BPI, dengan market potensial 270 juta penduduk dan penyediaan 27.000 layar bioskop, jumlah ideal judul film yang sebaiknya diproduksi dalam setahun adalah adalah sekitar 982 judul. 

Dalam skenario ini, 50 persen dari film yang diproduksi diharapkan dapat mencapai rata-rata 1 juta penonton per film, sementara sisa 50 persen film menarik rata-rata 100.000 penonton per film. Ini memberikan total penonton tahunan yang mendekati potensi pasar penonton sebesar 540 juta penonton per tahun.

Jumlah ini memperhitungkan kapasitas layar bioskop, rata-rata penonton per tayangan, dan total penonton potensial per tahun. Hal ini juga mempertimbangkan variasi dalam popularitas film untuk mencapai distribusi penonton yang merata.

Di sisi lain, biaya produksi yang layak untuk sebuah film dengan target 1 juta penonton dan harga rata-rata tiket Rp45.000 adalah sekitar Rp8.437.500.000. Ini mempertimbangkan biaya 
distribusi dan pemasaran, biaya operasional bioskop, dan keuntungan yang diharapkan oleh produsen film.

Dengan rata-rata biaya produksi sekitar Rp8,44 miliar per film dan 982 film per tahun, total investasi dalam produksi film dapat mencapai sekitar Rp8,29 triliun per tahun. Ini belum termasuk pendapatan tambahan dari distribusi, pemasaran, dan kegiatan ekonomi terkait.

Menurut Gunawan, industri film Indonesia memiliki potensi signifikan untuk berkontribusi terhadap PDB melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Untuk mencapai ini, diperlukan peningkatan produksi film yang berkualitas, dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendukung, dan upaya berkelanjutan dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja.

"Dengan langkah-langkah ini, industri film dapat menjadi pilar penting dalam pembangunan ekonomi dan budaya Indonesia," ujarnya.
 

Pentingnya Pasar Majemuk

 

Ilustrasi bioskop. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Ilustrasi bioskop. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)


Di sisi lain, Pengamat film Hikmat Darmawan menilai bahwa selama era kepemimpinan Presiden Jokowi, film cenderung tidak dipandang sebagai produk kebudayaan, melainkan sebagai peluang industri kreatif yang memiliki valuasi yang akan terus meningkat. Hal ini, lanjutnya, menyebabkan pasar perfilman Indonesia kurang terbangun secara majemuk.

"Karena yang dinilai yang valuasinya tinggi, jadi pemain [industri film]-nya mengerucut hanya itu-itu saja, pemain yang memang modalnya tinggi. Yang jadi perhatian dan dirayakan adalah film-film yang punya power untuk bisa nge-grab sebanyak-banyaknya," katanya.

Menurut Hikmat, pemerintah seharusnya dapat melihat potensi  pasar sinema Indonesia dari pelaku film yang lebih majemuk. Hal ini pun tidak terlepas dari perlunya peningkatan jumlah layar bioskop untuk mengakses film secara merata, rumah produksi, serta kebijakan slot film lokal di bioskop Tanah Air.

"Apabila kita menaruh perhatian pada pasar itu, maka sebetulnya jumlah penonton dan revenue stream dari pembelian tiket [film] itu akan lebih banyak. Menurut saya sih kebijakan harus berpihak pada penonton, bukan pada pemain mapan, bukan pada valuasi tinggi," ucapnya.

Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir, pertumbuhan jumlah penonton film Indonesia yang meningkat menunjukkan permintaan (demand) yang besar terhadap film-film lokal. Meski demikian, katanya, dengan 270 juta penduduk, capaian 60 juta lebih penonton masih terbilang kecil.

"Kita punya 270 juta penonton. Kalau 60 juta penonton sebenarnya masih sedikit banget, kurang lebih seperempatnya. Bandingin dengan Amerika, China, atau Korea Selatan. Korea Selatan itu 50 juta penduduk, 200 juta tiket [film] lokal setiap tahun terjual. Jadi artinya kita masih punya potensi," katanya.

Edwin menyampaikan, di tengah pertumbuhan tersebut, salah satu tantangan yang kini dihadapi oleh para produser film ialah kurangnya sumber daya manusia (SDM) di industri film. Dia pun berharap dengan tingginya permintaan (demand) terhadap perfilman Indonesia, akan semakin banyak pula orang-orang yang tertarik untuk menempuh studi film kemudian terlibat dalam produksi film.

"Kita punya tantangan besar sekarang ini adalah kru kita kurang. Produksi makin banyak, SDM kita belum sebanyak itu. Jadi kita rebutan kru nih. Apalagi ada juga beberapa OTT kalau bikin series panjang-panjang, sehingga kru bisa keblok 4-3 bulan. Jadi sekarang itu rebutan kru banget," katanya.


Strategi Kebijakan Perfilman

Gunawan menuturkan untuk memastikan bahwa keberhasilan industri film Indonesia menjadi lebih nyata dan merata, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat melakukan berbagai langkah strategis. Seperti dukungan finansial untuk proyek film yang inovatif dan berpotensi tinggi, dan insentif pajak bagi produser film yang mencapai standar tertentu dalam hal kualitas dan jumlah penonton.

Seain itu, pengembangan infrastruktur dan teknologi, peningkatan kualitas dan pelatihan, pemasaran dan promosi, serta regulasi dan perlindungan pasar dengan menerapkan kebijakan kuota yang mengharuskan bioskop untuk menayangkan sejumlah film lokal tertentu, serta memperketat regulasi dan penegakan hukum terkait hak cipta untuk melindungi karya sineas dari pembajakan.

Lalu, melakukan penelitian pasar perfilman yang mendalam, membangun database yang komprehensif tentang film Indonesia, bekerja sama dengan jaringan bioskop untuk 
memastikan distribusi yang luas dan adil bagi film lokal, dan mendorong perusahaan swasta untuk berinvestasi dalam produksi film melalui skema sponsorship dan investasi bersama.

Termasuk, memberikan arah strategis dalam pengembangan industri film nasional. Menurut Gunawan, dengan memperkuat infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia, mempromosikan budaya, menguatkan regulasi, dan mendorong inovasi, industri film Indonesia dapat tumbuh lebih pesat dan berkontribusi signifikan terhadap ekonomi dan budaya nasional. 

"Dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan di atas, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi industri film untuk berkembang secara merata dan berkelanjutan. Ini akan memastikan bahwa keberhasilan industri film Indonesia tidak hanya terlihat dari jumlah produksi dan market share, tetapi juga dari kualitas dan daya tarik yang konsisten di kalangan penonton," paparnya.


Rencana Induk Perfilman Indonesia

 

Suasana gala premiere film. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)

Suasana gala premiere film. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)

Gunawan juga menilai, pemerintah perlu segera membuat Rencana Induk Perfilman Indonesia untuk memberikan arah strategis dalam pengembangan industri film nasional. 

Menurutnya, dengan memperkuat infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia, mempromosikan budaya, menguatkan regulasi, dan mendorong inovasi, industri film Indonesia dapat tumbuh lebih pesat dan berkontribusi signifikan terhadap ekonomi dan budaya nasional.

Merespons kondisi tersebut, BPI telah mengadakan Konferensi Film Nasional pada 6-11 Maret 2023 dengan melibatkan 47 narasumber yang merupakan insan perfilman baik itu praktisi film, akademisi, organisasi, pelaku usaha, maupun instansi pemerintah terkait, untuk membahas tentang arah kebijakan perfilman nasional.

Konferensi tersebut membedah seluruh persoalan yang ada di dalam industri film nasional mulai dari hulu hingga hilir, sekaligus merancang regulasi baru yang dinilai harus menggantikan Undang-Undang (UU) Perfilman sebelumnya yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan industri film Indonesia saat ini.

Hasilnya, tersusunlah buku Wajah Perfilman Indonesia yang berisi rangkuman permasalahan industri film nasional, analisis, data, hingga rekomendasi pengembangan industri film. Nantinya, buku tersebut akan dikembangkan menjadi naskah akademik untuk diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna mendorong penggantian Undang-Undang Perfilman.

Gunawan mengatakan regulasi perfilman sudah tidak bisa lagi hanya bertumpu pada satu kementerian dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Namun, harus juga berkolaborasi dengan sejumlah kementerian guna dapat menghasilkan regulasi yang menyeluruh.

Misalnya, regulasi mengenai jaminan dan perlindungan tenaga kerja perfilman harus melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, regulasi mengenai upaya pengembangan film sebagai komoditi ekonomi kreatif dapat melibatkan Kemenparekraf, termasuk perkembangan industri platform streaming digital yang dinilai perlu diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Selain itu, pengembangan industri film yang selama ini tersentralisasi di kota-kota besar seperti Jakarta juga dinilai perlu diubah. Pasalnya, Gunawan menjelaskan saat ini komunitas-komunitas perfilman lokal berkembang pesat hampir di seluruh daerah di Tanah Air, sehingga perlu upaya pengembangan yang menyebar dengan kolaborasi bersama pemerintah daerah di bawah Kementerian Dalam Negeri.

"Kami sudah menganalisis 38 Undang-Undang dan peraturan pemerintah soal perfilman, memang betul-betul dinyatakan rekomendasinya Undang-Undang harus diganti bukan diubah, karena tidak lagi relevan," tegasnya.

Dalam buku Wajah Perfilman Indonesia yang akan dikembangkan menjadi naskah akademik sebagai bahan pembentukan regulasi, setidaknya ada 6 poin yang menjadi sorotan dalam perfilman nasional yakni pendidikan film, produksi film, usaha perfilman, regulasi perfilman, kegiatan perfilman nasional, dan harmonisasi UU & peraturan terkait perfilman.

Keenam hal tersebut merupakan hasil pemetaan seluruh persoalan perfilman dari hulu hingga hilir. Dari sisi hulu misalnya diperlukan sumber daya manusia (SDM) perfilman yang berkualitas baik itu sebagai pembuat, pengkaji, maupun pengamat.

Namun, selama ini, pendidikan film nasional masih menghadapi sejumlah tantangan mulai dari kurikulum yang belum sesuai dengan kebutuhan industri, kurangnya pengajar, kurangnya sertifikasi kompetensi pekerja film, hingga minimnya fasilitas teknologi perfilman. Semua persoalan ini akhirnya membuat tidak adanya link and match antara ketersediaan dan kebutuhan SDM di industri film saat ini.

"Selama ini pendidikan film semuanya untuk mencetak pembuat film, tidak ada studi tentang bisnis film. Kalau semua disuruh bikin film, lalu siapa yang akan jualin. Pemerintah tidak pernah tahu ini," kata Gunawan.

Sementara dari sisi produksi, industri film Indonesia dinilai belum memiliki konvensi tentang standarisasi, baik standard operating procedure (SOP), standar alur kerja, standar etika kerja, dan standar mutu dalam ekosistem kerja produksi, distribusi hingga eksibisi.

Hal ini pun menimbulkan sejumlah persoalan mulai dari deskripsi tugas dan tanggung jawab pekerja film dalam produksi film menjadi bias, perlakuan terhadap pekerja film yang masih relatif rendah, hingga hubungan kerja di industri ini yang cenderung belum sehat baik dari skema kontrak kerja, durasi kerja, hingga jaminan sosial bagi pekerja film.

Persoalan lain yang juga menjadi krusial datang dari sisi hilir atau distribusi. Ketersediaan jumlah bioskop saat ini tidak mampu menampung jumlah produk film Indonesia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan infrastruktur bioskop-bioskop di sejumlah daerah yang melibatkan pemerintah setempat.

"Target kami naskah akademik tentang wajah perfilman kita bisa diserahkan ke DPR tahun ini. Supaya enggak seperti dulu tiba-tiba UU Perfilman jadi dan disahkan," terangnya.

Gunawan menuturkan hasil diskusi dari seluruh insan perfilman ini akan bermuara pada terbentuknya Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) yang diharapkan dapat menjadi peta jalan bagi pengembangan industri film nasional. Hal ini, paparnya, juga sejalan dengan amanat yang tertuang dalam UU Perfilman sebelumnya dimana harus adanya RIPN yang terus dievaluasi setiap 5 tahun sekali.

Dia menjelaskan dalam RIPN ini nantinya akan tertulis rencana kerja perbaikan sekaligus pengembangan ekosistem perfilman nasional selama lima tahun ke depan yang berangkat dari pemetaan persoalan film dari hulu hingga hilir, yang melibatkan lintas instansi dan kementerian.

Baca juga: Ketika Film dan Gerakan Budaya Lokal Menantang Hollywood

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Head to Head Timnas Indonesia vs China Jelang Kualifikasi Piala Dunia 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: