Hypereport: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
13 October 2024 |
18:30 WIB
Kurang dari 2 minggu, pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir. Publik pun menyoroti hasil kinerja selama dua periode kepemimpinannya di berbagai bidang, tak terkecuali industri kreatif salah satunya musik. Meski sempat terhantam pandemi, industri musik di Indonesia bangkit kembali bahkan kini berkembang sangat pesat.
Perkembangan industri musik selama beberapa tahun terakhir yang bergerak cepat salah satunya disebabkan gencarnya transformasi rilisan fisik musik ke digital. Perkembangan teknologi saat ini menjadikan orang-orang kini lebih mudah dalam mengakses dan mengonsumsi musik digital.
Menurut data International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), pendapatan rekaman musik global meningkat sebesar 10,2 persen pada 2023 yakni mencapai US$28,6 miliar. Pendapatan dari layanan streaming menyumbang sebagian besar pertumbuhan pendapatan dan pangsa pasar secara keseluruhan.
Pendapatan dari streaming berlangganan tumbuh sebesar 11,2 persen dan menguasai hampir setengah (48,9 persen) pangsa pasar global. Pada 2023, jumlah langganan berbayar untuk layanan streaming musik melampaui 500 juta pengguna, dan kini terdapat lebih dari 667 juta pengguna akun langganan berbayar.
Baca juga: Hypereport: Musisi Muda Bersinar di Industri Musik Digital
Menurut Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2021/2022, proyeksi nilai PDB subsektor musik pada 2021 mencapai Rp6,80 triliun. Diperkirakan pertumbuhan PDB pendapatan musik dalam lima tahun ke depan dapat meningkat 12,8 persen dengan dorongan digital streaming yang makin marak.
Sementara itu, berdasarkan data Statista, pendapatan industri musik digital Indonesia diperkirakan mencapai US$282,90 juta pada 2022. Nilai tersebut naik 10,36 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar US$256,34 juta.
Secara rinci, pendapatan terbesar diperoleh dari streaming musik yang mencapai US$225,7 juta. Lalu, iklan streaming musik memberikan pendapatan sebesar US$27,01 juta. Adapun, pendapatan dari unduhan musik mencapai US$15,7 juta pada 2022. Posisinya diikuti oleh iklan siniar (podcast) yang memberikan pendapatan sebesar US$14,49 juta.
Pendapatan musik digital Indonesia diperkirakan terus meningkat hingga 2027. Statista memproyeksikan, musik digital Indonesia akan meraih pemasukan sebesar US$382,04 juta dalam lima tahun mendatang.
Di sisi lain, menurut data dari Koalisi Seni, sektor streaming musik musik mengambil porsi sebesar 65 persen dari total pendapatan rekaman musik global pada 2021. Di Indonesia, jumlah royalti digital mencapai 72,5 persen dari seluruh royalti yang didistribusikan ke pencipta lagu pada 2020. Angka ini jauh di atas persentase rata-rata dunia yaitu 65 persen.
Pertumbuhan juga terjadi pada angka royalti live event musik. Data yang dirilis oleh Wahana Musik Indonesia (WAMI) pada 2022 menyebutkan bahwa pendapatan royalti live event sepanjang tahun tersebut sebesar Rp960 juta. Angka itu meningkat sebesar 2 persen dari 2021 yang mencatatkan pendapatan sebesar Rp940 juta.
Dewan Pembina Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), Candra Darusman, menilai selama 10 tahun terakhir, industri musik di Indonesia mengalami 'ledakan' kreativitas di kalangan penyanyi dan pencipta lagu, yang mengakibatkan oversupply musik. Hal ini ditandai dengan banyaknya penyanyi dan grup musik baru yang bermunculan meramaikan industri.
Tak hanya dari segi kuantitas, perkembangan itu juga terjadi dari segi kualitas. Tak sedikit penyanyi dan grup musik baru yang mencuri perhatian penikmat musik di Indonesia lantaran menawarkan warna baru dalam karya-karyanya.
Musisi berusia 67 tahun itu berpendapat perkembangan tersebut utamanya dikarenakan digitalisasi yang kian masif di industri musik Indonesia. Dengan kecanggihan teknologi, seseorang kini bisa dengan mudah membuat lagu bahkan dari kamar tidurnya sendiri, hingga akhirnya bisa didengarkan di layanan digital streaming platform (DSP).
Selain itu, pada era keterbukaan informasi saat ini, seseorang bisa dengan mudah mengakses banyak referensi musik sebagai pengetahuan dalam membuat musik. Plus, tidak adanya pembatasan dalam berkreasi juga menjadi faktor yang menyebabkan karya-karya musik di Indonesia kian beragam.
"Saya rasa inilah yang menjadi kiat dari setiap musisi, kalau ingin sukses pada masa oversupply ini, mereka mesti menampilkan hal-hal yang unik, yang kualitasnya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa stand out di antara sekian banyaknya musisi," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id.
Besarnya potensi industri musik Indonesia tentunya memerlukan tata kelola yang baik. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan musik, mulai dari berdirinya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Konferensi Musik Indonesia (KAMI), Undang-Undang No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, hingga Undang-Undang No 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif.
Sayangnya, Bekraf kala itu tidak berfokus pada kebijakan publik jangka panjang. Padahal, menurut hasil riset yang dilaporkan oleh British Council tahun 2020 menyebutkan, apa yang dibutuhkan oleh stakeholder musik adalah hadirnya peran negara dalam membangun komitmen, untuk mengimplementasikan aturan perundangan yang sinergis sehingga mampu menjawab kebutuhan para pelaku industri musik.
Terutama, melalui pembangunan infrastruktur seperti gedung pertunjukan di setiap daerah, mempermudah perizinan acara musik, bantuan fasilitas dan pendidikan musik, sampai membangun strategi budaya ke luar negeri. Hingga akhirnya, pada 2019, Bekraf melebur kembali dengan Kemenparekraf.
Pada awal 2019, sempat muncul RUU Permusikan yang kontroversial. Materi-materi yang ada di dalam undang-undang tersebut memunculkan beragam persoalan baru, mulai dari ancaman kebebasan berekspresi para musisi, hingga materinya dianggap hanya menguntungkan para musisi dari pihak industri rekaman besar. Namun, karena derasnya protes yang dilayangkan, akhirnya RUU Permusikan dibatalkan oleh DPR.
Setelah gugurnya RUU Permusikan, tak ada kebijakan yang secara khusus membahas musik. Namun, ada beberapa aturan perundangan yang memiliki keterkaitan dengan musik yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif.
Semua undang-undang tersebut memiliki keterkaitan dalam konteks pengembangan musik dalam aspek hak cipta, pendataan dan pengarsipan, infrastruktur musik, dan pengembangan ekonomi kreatif. Namun, regulasi-regulasi yang ada dinilai belum sepenuhnya melindungi serta menjamin hak-hak dari para musisi.
Baca juga: AI Ubah Wajah Industri Musik, Anang Hermansyah Desak Regulasi dan Perlindungan Hak Cipta
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya menilai regulasi atau peraturan yang ada sekarang ini belum sepenuhnya melindungi musisi, serta masih sangat memberikan privilese pada pihak-pihak perantara. Misalnya, belum ada persentase royalti minimal yang harusnya diterima musisi.
Selain itu, terkait kehadiran layanan digital streaming platform yang masif saat ini, pemerintah dinilai tidak hadir untuk memberi daya tekan agar pihak layanan DSP memberikan porsi royalti yang lebih adil untuk musisi.
"Sistemnya sudah ada, lembaganya sudah dibuat, jadi secara struktur itu sudah cukup lengkap, tapi implementasinya masih banyak bolongnya. Musisi dapat transferan dari LMK [Lembaga Manajemen Kolektif] tapi tidak disertai dengan catatan yang pasti. Untuk satu sektor yang sangat sudah terindustrialisasi, yang main musik dan yang mencipta lagu, masih belum mendapatkan remunerasian setimpal," paparnya.
Perempuan yang akrab disapa Ninin itu menjelaskan daya tawar tarif royalti Indonesia di hadapan sejumlah platform streaming musik digital tegolong sangat kecil, jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dia mencontohkan Korea Selatan bisa memiliki daya tawar tarif royalti yang terbilang besar karena mereka memiliki platform streaming musik lokal sendiri. Artinya, negara hadir untuk memastikan royalti yang berkeadilan bagi musisi lewat kehadiran platform streaming musik lokal tersebut.
"Ketika platform asing masuk, mereka akan dengan mudah menetapkan tarif royalti minimal sebesar yang ditawarkan oleh platform lokal per pemutaran lagu. Sementara Indonesia banyaknya masih pakai platform asing, sehingga kami cuma dijadiin pasar mereka pada akhirnya," jelasnya.
Hal ini pun diamini oleh musisi sekaligus Wakil Ketua Umum Fesmi, Melly Goeslaw. Melly mengatakan pada era digital yang serba transparan, penghitungan royalti untuk musik justru tidak terbuka. Sebagai penyanyi sekaligus pencipta lagu, dia mengaku tidak mengetahui dengan jelas bagaimana skema penghitungan royalti terutama di platform streaming digital.
Dia membandingkan dengan kondisi zaman ketika industri musik masih bergerak secara analog. Kala itu, beberapa albumnya meledak di pasaran dan bisa terjual sebanyak 1 juta hingga 2 juta kopi. Dari penjualan itu, dia mengaku bisa menikmati hasilnya dengan membeli rumah ataupun mobil.
Saat ini, Melly mengatakan beberapa lagunya mencetak ratusan juta stream di platform musik digital. Secara angka konsumsi musik, kondisinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan album pada beberapa dekade silam. Namun, nyatanya, dia mengaku tidak mendapatkan penghasilan royalti yang setimpal dari angka stream tersebut.
"Sampai sekarang itu saya masih berpikir bagaimana menghitung royaltinya. Di grafik saya ini tiga bulan lalu dapat Rp133.000, alhamdulillah bulan ini ada kenaikan jadi Rp590.000. Itu royalti dari platform streaming," katanya dengan nada sarkastis.
Pelantun lagu "Bimbang" itu menambahkan lantaran mekanisme platform streaming digital yang tidak transparan dan berkeadilan, dia juga mengaku sudah tidak lagi mendapatkan penghasilan royalti yang menjanjikan dari pihak label. Padahal, secara grafik, beberapa karyanya meraup ratusan juta streams.
"Saya mendedikasikan hidup saya untuk musik, jadi musik harus bisa menghidupi saya. Karena emang makannya dari situ. Jadi saya rewel terhadap publisher atau label saya soal royalti," tegasnya.
Melly tak memungkiri jika kehadiran sejumlah platform tersebut membantu mempromosikan lagu-lagu ciptaan komposer, termasuk mengangkat kembali karya-karya musik lama untuk bisa dikenal utamanya oleh kalangan penikmat yang lebih muda. Hanya saja, dia menginginkan adanya pembagian royalti yang transparan dan adil untuk pencipta lagu.
Keresahan serupa juga dialami oleh musisi, pencipta lagu sekaligus komposer Yovie Widianto. Dia mengungkapkan di platform streaming musik digital, lagu-lagunya telah diputar lebih dari 2 miliar stream. Namun, sebagai pencipta lagu, dia mengaku belum mendapatkan royalti dengan angka yang proporsional.
Pentolan grup Kahitna itu menyebut besaran royalti yang didapatkan musisi dari platform streaming musik di sejumlah negara berbeda-beda. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand, katanya, Indonesia memiliki angka royalti yang kecil.
"Kami masih terus berusaha dan berjuang untuk bisa meningkatkan posisi harga yang ada di platform-platform digital itu," terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Fesmi itu.
Ninin berpendapat, di tengah kondisi menantang ini, pemerintah seharusnya segera memperbaharui undang-undang terkait hak cipta untuk mengakomodasi seluruh relasi baru yang muncul, dan pihak-pihak yang ikut termasuk ke dalam pembagian royalti musik.
Selain itu, dengan banyaknya karya-karya musik serta jumlah pendengarnya di dalam negeri, sudah semestinya Indonesia memiliki platform streaming musik sendiri yang komprehensif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, negara sudah semestinya hadir untuk memberikan dukungan kepada musisi agar mendapatkan hak royalti yang adil dan sebagaimana mestinya.
"Kemudian musisi harus lebih proaktif, dan merapatkan barisan untuk sama-sama mengawal pembentukan berbagai macam regulasi yang terkait sama hak cipta ini. Harapannya juga musisi bisa mengawal pembentukan itu aturan-aturan itu, sehingga emang hasilnya juga yang menguntungkan musisi," katanya.
"Kami maunya agar musisi yang tergolong BPU ini juga dipikirkan BPJS-nya. Jadi ada manajemen yang memperlakukan musisi seperti pekerja profesional pada umumnya, supaya memiliki hak ekonomi sosial yang sama," katanya.
Termasuk, terkait ruang berekspresi yang aman bagi musisi. Ninin menyampaikan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Seni, ditemukan bahwa penyanyi perempuan masih sangat rentan mendapatkan pelecehan seksual oleh penonton.
Sementara musisi perempuan muda yang masih merintis karier, rentan 'dimanfaatkan' oleh orang-orang yang lebih memiliki kekuasaan di industri musik yang berperan untuk menaikkan kariernya. Mengambil manfaat dari ketimpangan kuasa tersebut, dan memaksa musisi-musisi muda untuk melakukan layanan seksual.
"Jadi peran serikat dan pentingnya untuk bergabung, menyatukan kekuatan supaya bisa punya negosiasi lebih kuat bersama, itu juga belum ada. Jadi kesadaran untuk berserikat dan memperbaiki nasib itu, menurut aku masih rendah, sehingga network support-nya masih lemah," katanya.
Baca juga: Long Play, Extended Play dan Album, Apa Bedanya dalam Industri Musik?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Perkembangan industri musik selama beberapa tahun terakhir yang bergerak cepat salah satunya disebabkan gencarnya transformasi rilisan fisik musik ke digital. Perkembangan teknologi saat ini menjadikan orang-orang kini lebih mudah dalam mengakses dan mengonsumsi musik digital.
Menurut data International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), pendapatan rekaman musik global meningkat sebesar 10,2 persen pada 2023 yakni mencapai US$28,6 miliar. Pendapatan dari layanan streaming menyumbang sebagian besar pertumbuhan pendapatan dan pangsa pasar secara keseluruhan.
Pendapatan dari streaming berlangganan tumbuh sebesar 11,2 persen dan menguasai hampir setengah (48,9 persen) pangsa pasar global. Pada 2023, jumlah langganan berbayar untuk layanan streaming musik melampaui 500 juta pengguna, dan kini terdapat lebih dari 667 juta pengguna akun langganan berbayar.
Baca juga: Hypereport: Musisi Muda Bersinar di Industri Musik Digital
Menurut Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2021/2022, proyeksi nilai PDB subsektor musik pada 2021 mencapai Rp6,80 triliun. Diperkirakan pertumbuhan PDB pendapatan musik dalam lima tahun ke depan dapat meningkat 12,8 persen dengan dorongan digital streaming yang makin marak.
Sementara itu, berdasarkan data Statista, pendapatan industri musik digital Indonesia diperkirakan mencapai US$282,90 juta pada 2022. Nilai tersebut naik 10,36 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar US$256,34 juta.
Secara rinci, pendapatan terbesar diperoleh dari streaming musik yang mencapai US$225,7 juta. Lalu, iklan streaming musik memberikan pendapatan sebesar US$27,01 juta. Adapun, pendapatan dari unduhan musik mencapai US$15,7 juta pada 2022. Posisinya diikuti oleh iklan siniar (podcast) yang memberikan pendapatan sebesar US$14,49 juta.
Pendapatan musik digital Indonesia diperkirakan terus meningkat hingga 2027. Statista memproyeksikan, musik digital Indonesia akan meraih pemasukan sebesar US$382,04 juta dalam lima tahun mendatang.
Di sisi lain, menurut data dari Koalisi Seni, sektor streaming musik musik mengambil porsi sebesar 65 persen dari total pendapatan rekaman musik global pada 2021. Di Indonesia, jumlah royalti digital mencapai 72,5 persen dari seluruh royalti yang didistribusikan ke pencipta lagu pada 2020. Angka ini jauh di atas persentase rata-rata dunia yaitu 65 persen.
Pertumbuhan juga terjadi pada angka royalti live event musik. Data yang dirilis oleh Wahana Musik Indonesia (WAMI) pada 2022 menyebutkan bahwa pendapatan royalti live event sepanjang tahun tersebut sebesar Rp960 juta. Angka itu meningkat sebesar 2 persen dari 2021 yang mencatatkan pendapatan sebesar Rp940 juta.
Dewan Pembina Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), Candra Darusman, menilai selama 10 tahun terakhir, industri musik di Indonesia mengalami 'ledakan' kreativitas di kalangan penyanyi dan pencipta lagu, yang mengakibatkan oversupply musik. Hal ini ditandai dengan banyaknya penyanyi dan grup musik baru yang bermunculan meramaikan industri.
Tak hanya dari segi kuantitas, perkembangan itu juga terjadi dari segi kualitas. Tak sedikit penyanyi dan grup musik baru yang mencuri perhatian penikmat musik di Indonesia lantaran menawarkan warna baru dalam karya-karyanya.
Musisi berusia 67 tahun itu berpendapat perkembangan tersebut utamanya dikarenakan digitalisasi yang kian masif di industri musik Indonesia. Dengan kecanggihan teknologi, seseorang kini bisa dengan mudah membuat lagu bahkan dari kamar tidurnya sendiri, hingga akhirnya bisa didengarkan di layanan digital streaming platform (DSP).
Selain itu, pada era keterbukaan informasi saat ini, seseorang bisa dengan mudah mengakses banyak referensi musik sebagai pengetahuan dalam membuat musik. Plus, tidak adanya pembatasan dalam berkreasi juga menjadi faktor yang menyebabkan karya-karya musik di Indonesia kian beragam.
"Saya rasa inilah yang menjadi kiat dari setiap musisi, kalau ingin sukses pada masa oversupply ini, mereka mesti menampilkan hal-hal yang unik, yang kualitasnya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa stand out di antara sekian banyaknya musisi," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id.
Streaming musik (Sumber gambar: Unsplash/Kenny Eliason)
Sayangnya, Bekraf kala itu tidak berfokus pada kebijakan publik jangka panjang. Padahal, menurut hasil riset yang dilaporkan oleh British Council tahun 2020 menyebutkan, apa yang dibutuhkan oleh stakeholder musik adalah hadirnya peran negara dalam membangun komitmen, untuk mengimplementasikan aturan perundangan yang sinergis sehingga mampu menjawab kebutuhan para pelaku industri musik.
Terutama, melalui pembangunan infrastruktur seperti gedung pertunjukan di setiap daerah, mempermudah perizinan acara musik, bantuan fasilitas dan pendidikan musik, sampai membangun strategi budaya ke luar negeri. Hingga akhirnya, pada 2019, Bekraf melebur kembali dengan Kemenparekraf.
Pada awal 2019, sempat muncul RUU Permusikan yang kontroversial. Materi-materi yang ada di dalam undang-undang tersebut memunculkan beragam persoalan baru, mulai dari ancaman kebebasan berekspresi para musisi, hingga materinya dianggap hanya menguntungkan para musisi dari pihak industri rekaman besar. Namun, karena derasnya protes yang dilayangkan, akhirnya RUU Permusikan dibatalkan oleh DPR.
Setelah gugurnya RUU Permusikan, tak ada kebijakan yang secara khusus membahas musik. Namun, ada beberapa aturan perundangan yang memiliki keterkaitan dengan musik yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif.
Semua undang-undang tersebut memiliki keterkaitan dalam konteks pengembangan musik dalam aspek hak cipta, pendataan dan pengarsipan, infrastruktur musik, dan pengembangan ekonomi kreatif. Namun, regulasi-regulasi yang ada dinilai belum sepenuhnya melindungi serta menjamin hak-hak dari para musisi.
Baca juga: AI Ubah Wajah Industri Musik, Anang Hermansyah Desak Regulasi dan Perlindungan Hak Cipta
Regulasi Belum Berpihak pada Musisi
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya menilai regulasi atau peraturan yang ada sekarang ini belum sepenuhnya melindungi musisi, serta masih sangat memberikan privilese pada pihak-pihak perantara. Misalnya, belum ada persentase royalti minimal yang harusnya diterima musisi. Selain itu, terkait kehadiran layanan digital streaming platform yang masif saat ini, pemerintah dinilai tidak hadir untuk memberi daya tekan agar pihak layanan DSP memberikan porsi royalti yang lebih adil untuk musisi.
"Sistemnya sudah ada, lembaganya sudah dibuat, jadi secara struktur itu sudah cukup lengkap, tapi implementasinya masih banyak bolongnya. Musisi dapat transferan dari LMK [Lembaga Manajemen Kolektif] tapi tidak disertai dengan catatan yang pasti. Untuk satu sektor yang sangat sudah terindustrialisasi, yang main musik dan yang mencipta lagu, masih belum mendapatkan remunerasian setimpal," paparnya.
Perempuan yang akrab disapa Ninin itu menjelaskan daya tawar tarif royalti Indonesia di hadapan sejumlah platform streaming musik digital tegolong sangat kecil, jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Dia mencontohkan Korea Selatan bisa memiliki daya tawar tarif royalti yang terbilang besar karena mereka memiliki platform streaming musik lokal sendiri. Artinya, negara hadir untuk memastikan royalti yang berkeadilan bagi musisi lewat kehadiran platform streaming musik lokal tersebut.
"Ketika platform asing masuk, mereka akan dengan mudah menetapkan tarif royalti minimal sebesar yang ditawarkan oleh platform lokal per pemutaran lagu. Sementara Indonesia banyaknya masih pakai platform asing, sehingga kami cuma dijadiin pasar mereka pada akhirnya," jelasnya.
Suasana saat berlangsungnya media visit di PHR Pressing (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)
Royalti Musik
Hal ini pun diamini oleh musisi sekaligus Wakil Ketua Umum Fesmi, Melly Goeslaw. Melly mengatakan pada era digital yang serba transparan, penghitungan royalti untuk musik justru tidak terbuka. Sebagai penyanyi sekaligus pencipta lagu, dia mengaku tidak mengetahui dengan jelas bagaimana skema penghitungan royalti terutama di platform streaming digital.Dia membandingkan dengan kondisi zaman ketika industri musik masih bergerak secara analog. Kala itu, beberapa albumnya meledak di pasaran dan bisa terjual sebanyak 1 juta hingga 2 juta kopi. Dari penjualan itu, dia mengaku bisa menikmati hasilnya dengan membeli rumah ataupun mobil.
Saat ini, Melly mengatakan beberapa lagunya mencetak ratusan juta stream di platform musik digital. Secara angka konsumsi musik, kondisinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan album pada beberapa dekade silam. Namun, nyatanya, dia mengaku tidak mendapatkan penghasilan royalti yang setimpal dari angka stream tersebut.
"Sampai sekarang itu saya masih berpikir bagaimana menghitung royaltinya. Di grafik saya ini tiga bulan lalu dapat Rp133.000, alhamdulillah bulan ini ada kenaikan jadi Rp590.000. Itu royalti dari platform streaming," katanya dengan nada sarkastis.
Pelantun lagu "Bimbang" itu menambahkan lantaran mekanisme platform streaming digital yang tidak transparan dan berkeadilan, dia juga mengaku sudah tidak lagi mendapatkan penghasilan royalti yang menjanjikan dari pihak label. Padahal, secara grafik, beberapa karyanya meraup ratusan juta streams.
"Saya mendedikasikan hidup saya untuk musik, jadi musik harus bisa menghidupi saya. Karena emang makannya dari situ. Jadi saya rewel terhadap publisher atau label saya soal royalti," tegasnya.
Melly tak memungkiri jika kehadiran sejumlah platform tersebut membantu mempromosikan lagu-lagu ciptaan komposer, termasuk mengangkat kembali karya-karya musik lama untuk bisa dikenal utamanya oleh kalangan penikmat yang lebih muda. Hanya saja, dia menginginkan adanya pembagian royalti yang transparan dan adil untuk pencipta lagu.
Keresahan serupa juga dialami oleh musisi, pencipta lagu sekaligus komposer Yovie Widianto. Dia mengungkapkan di platform streaming musik digital, lagu-lagunya telah diputar lebih dari 2 miliar stream. Namun, sebagai pencipta lagu, dia mengaku belum mendapatkan royalti dengan angka yang proporsional.
Pentolan grup Kahitna itu menyebut besaran royalti yang didapatkan musisi dari platform streaming musik di sejumlah negara berbeda-beda. Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand, katanya, Indonesia memiliki angka royalti yang kecil.
"Kami masih terus berusaha dan berjuang untuk bisa meningkatkan posisi harga yang ada di platform-platform digital itu," terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Fesmi itu.
Ninin berpendapat, di tengah kondisi menantang ini, pemerintah seharusnya segera memperbaharui undang-undang terkait hak cipta untuk mengakomodasi seluruh relasi baru yang muncul, dan pihak-pihak yang ikut termasuk ke dalam pembagian royalti musik.
Selain itu, dengan banyaknya karya-karya musik serta jumlah pendengarnya di dalam negeri, sudah semestinya Indonesia memiliki platform streaming musik sendiri yang komprehensif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, negara sudah semestinya hadir untuk memberikan dukungan kepada musisi agar mendapatkan hak royalti yang adil dan sebagaimana mestinya.
"Kemudian musisi harus lebih proaktif, dan merapatkan barisan untuk sama-sama mengawal pembentukan berbagai macam regulasi yang terkait sama hak cipta ini. Harapannya juga musisi bisa mengawal pembentukan itu aturan-aturan itu, sehingga emang hasilnya juga yang menguntungkan musisi," katanya.
Hak Ekonomi Sosial & Ruang Aman
Selain royalti, hal lain yang perlu dijamin ialah fasilitas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk pelaku kreatif di bidang musik. Candra mengatakan sampai saat ini, musisi masih dikategorikan sebagai pekerja bukan penerima upah (BPU). Dengan status tersebut, musisi tidak memiliki hak ekonomi sosial lainnya seperti pekerja lainnya yang tergolong penerima upah."Kami maunya agar musisi yang tergolong BPU ini juga dipikirkan BPJS-nya. Jadi ada manajemen yang memperlakukan musisi seperti pekerja profesional pada umumnya, supaya memiliki hak ekonomi sosial yang sama," katanya.
Termasuk, terkait ruang berekspresi yang aman bagi musisi. Ninin menyampaikan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Seni, ditemukan bahwa penyanyi perempuan masih sangat rentan mendapatkan pelecehan seksual oleh penonton.
Sementara musisi perempuan muda yang masih merintis karier, rentan 'dimanfaatkan' oleh orang-orang yang lebih memiliki kekuasaan di industri musik yang berperan untuk menaikkan kariernya. Mengambil manfaat dari ketimpangan kuasa tersebut, dan memaksa musisi-musisi muda untuk melakukan layanan seksual.
"Jadi peran serikat dan pentingnya untuk bergabung, menyatukan kekuatan supaya bisa punya negosiasi lebih kuat bersama, itu juga belum ada. Jadi kesadaran untuk berserikat dan memperbaiki nasib itu, menurut aku masih rendah, sehingga network support-nya masih lemah," katanya.
Baca juga: Long Play, Extended Play dan Album, Apa Bedanya dalam Industri Musik?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.