Ketika Film dan Gerakan Budaya Lokal Menantang Hollywood
06 October 2024 |
12:00 WIB
Sudah lebih dari satu abad, Hollywood mendominasi struktur oligopoli industri film Amerika dan mendunia. Hollywood kerap menjadi kiblat bagi industri film di berbagai negara, baik dari segi bisnis, jejaring infrastruktur industri, hingga penceritaan.
Dalam periode yang sangat lama, Hollywood telah menjadi gurita bisnis raksasa yang cengkramnya mendunia, serta dominasinya yang seolah tak terlawankan. Namun, selama beberapa tahun terakhir, rupanya terjadi pergeseran pandangan dan minat publik terhadap Hollywood. Publik mulai aktif memandang produk-produk film Hollywood secara lebih kritis, yang membuat pengaruhnya kian luruh.
Baca juga: Film Madani Makin Sering Dieksplorasi dalam Bentuk yang Asyik oleh Sineas Lokal
Baca juga: Film Madani Makin Sering Dieksplorasi dalam Bentuk yang Asyik oleh Sineas Lokal
Akademisi sekaligus Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta Shuri Gietty Tambunan mengatakan salah satu hal yang kini mengemuka dari publik dalam memandang Hollywood ialah 'over saturation in Hollywood' atau kejenuhan budaya yang mengacu Hollywood.
Publik mulai jenuh dengan produk-produk film Hollywood, salah satunya ditandai dengan beberapa film Marvel yang dirilis tahun 2023 tidak begitu sukses secara komersial, dan mendominasi box office global.
Seperti diketahui, Barbie menjadi film terlaris yang dirilis pada 2023 dengan pendapatan sebesar US$1,4 miliar. Posisinya disusul dengan film The Super Mario Bros. Movie dengan US$1 miliar dan Oppenheimer dengan US$952 juta.
Fenomena ini, kata Gietty, disebabkan salah satunya karena homogenisasi, formulasi atau narasi yang terus diulang-ulang oleh film-film Marvel yang menciptakan kejenuhan di kalangan penonton.
"Kelelahan budaya ini yang kemudian diisi oleh produk-produk [budaya] yang lebih punya kedekatan. Misalnya film-film Indonesia, ataupun tren mengonsumsi drama-drama Turki atau dari Asia Timur. Jadi sebenarnya ada celah yang bisa diisi oleh pusat-pusat industri budaya populer lainnya," jelasnya dalam acara diskusi Gaza and Post-Hollywoodism di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Sabtu (5/10/2024).
Para pembicara dalam acara diskusi Gaza and Post-Hollywoodism di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Sabtu (5/10/2024). Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta.
Kekuatan Cerita
Sementara itu, dari segi produksi film, banyak pusat industri di berbagai negara kini tidak berusaha membuat produk budaya yang berkiblat pada Hollywood.
Di Indonesia misalnya, kata Gietty, mulai muncul variasi tema yang disampaikan dalam film. Meski masih didominasi genre horor, film-film Indonesia hadir dengan tawaran yang variatif yang mungkin tidak didapatkan dari produk-produk sinema Hollywood.
Hal ini pun disambut baik oleh mayoritas penonton. Banyak penonton kini lebih memburu film-film lokal hingga beberapa diantaranya sukses di box office dengan jutaan penonton, alih-alih menonton film-film besutan Hollywood.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Perfilman Indonesia per 29 September 2024, jumlah penonton film Indonesia pada tahun ini mencapai 61,25 juta penonton, mengungguli jumlah penonton film impor di bioskop.
Teknik penceritaan yang berbeda dinilai menjadi salah satu kekuatan film-film Indonesia, sehingga tak melulu harus mengikuti struktur narasi dan formula Hollywood untuk bisa menonjol.
"Karena dalam hal narasi dan cerita, yang ditawarkan oleh film Indonesia adalah sesuatu yang dekat dengan keseharian kita, sehingga efek atau pengalaman menonton itu jauh lebih familiar. Saya rasa itu juga terjadi di negara-negara lain," katanya.
Di sisi lain, perkembangan teknologi yang menciptakan layanan streaming juga membuka ruang yang lebih luas bagi konten-konten non-Hollywood menemui penontonnya secara luas. Film-film yang tidak bisa diakses di bioskop karena terpinggirkan akibat monopoli pasar Hollywood, kini bisa ditonton di layanan streaming.
Meski demikian, tak dipungkiri, Hollywood merupakan sebuah industri dengan kekuatan kapitalis yang besar dan strategi bisnis yang kuat, dan mungkin melebihi kekuatan dari segi penceritaannya (storytelling). Sehingga, meski tidak kuat secara substansi maupun konten, Hollywood masih mendominasi bioskop-bioskop secara global.
"Ada pergeseran dari penonton, bagaimana mereka mencari produk-produk film yang ingin ditonton. Itulah salah satu alasan mengapa Hollywood tetap menjadi kekuatan besar, tapi sedikit demi sedikit kekuatan itu mulai hilang kalau dilihat dari perspektif budayanya," ucapnya.
Sikap Publik
Menurut Gietty, pandangan bahwa Hollywood sebagai pusat budaya populer saat ini sudah tidak relevan lagi. Meskipun Hollywood masih memiliki kekuatan secara ekonomi, saat ini sudah banyak bermunculan kekuatan-kekuatan alternatif (alternative powers) yang bisa dilakukan untuk mengimbangi kekuatan tersebut.
Gerakan itu semakin masif ketika terjadi serangan Israel ke Gaza yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Gerakan boikot terhadap produk-produk yang mendukung atau berafiliasi dengan Israel menciptakan kesadaran publik dalam hal mengonsumsi suatu produk, tak terkecuali produk budaya seperti film.
"Ketika kita memilih untuk tidak mengonsumsi film-film produksi negara yang sedang melakukan pembunuhan massal ini, itu bisa sekali dilakukan dan kita sudah melihat efeknya dari proses produksi itu sendiri," kata Gietty.
Menurut Gietty, ketika publik secara selektif memilih film-film yang merepresentasikan keberagaman, menyuarakan kelompok minoritas, atau secara sadar memilih menonton film-film yang dibuat oleh sineas Palestina, secara tidak langsung publik sudah menunjukkan kekuatannya untuk ikut berdialog dalam isu kemanusiaan ini.
"Kita tidak akan menghancurkan Hollywood dengan tidak menonton film-filmnya, tapi itu adalah sikap atau cara kita untuk masuk ke dalam dialog tersebut. Ini menjadi jalan untuk sedikit demi sedikit mengikis kekuatan mereka," katanya.
Senada, Dosen Komunikasi Binus University Andari Karina Anom menilai saat ini mulai muncul kecenderungan publik untuk melawan narasi glorifikasi dan heroisme Hollywood yang muncul dalam film-film Hollywood. Bahkan, katanya, hal ini juga muncul dari industri Hollywood itu sendiri.
Menurutnya, saat ini mulai bermunculan film-film yang menonjolkan tema-tema lebih beragam (diversity), termasuk menunjukkan unsur lokalitas dari berbagai negara dan wilayah. Hal itu dikarenakan salah satunya pandangan bahwa film-film Hollywood yang selama ini mendominasi pasar bioskop global, dianggap tidak relevan atau tidak sesuai dengan realitas.
"Jadi unheard voices ini mulai terdengar, yang mungkin dulu tidak terlalu mendapat tempat dan tidak ada channel untuk menyampaikan itu," katanya.
Menurut Karin, fenomena atau tendensi ini menjadi hal yang baik karena terbukanya ruang untuk publik menyuarakan hal-hal dari perspektif yang berbeda melalui film, didukung juga dengan narasi keberagaman yang berkembang di berbagai media.
"Dahulu, pembentukan opini publik yang berasal dari kekuatan besar seperti Hollywood bersifat satu arah. Tapi sekarang, itu muncul dari berbagai arah. Propaganda itu bisa dilawan dengan narasi yang kuat di berbagai media," katanya.
Baca juga: Madani International Film Festival 2024, Menyoroti Perubahan Global Lewat Layar Lebar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Baca juga: Madani International Film Festival 2024, Menyoroti Perubahan Global Lewat Layar Lebar
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.