Kuliner Indonesia (Sumber gambar: Unsplash/Nita Anggraeni Goenawan)

Hypereport: Gastronomi Indonesia Mencari Jalan Tengah di Antara Keberagaman

14 October 2024   |   13:11 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Tidak lama lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan turun dari jabatannya setelah dua periode menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sepanjang masa kepemimpinannya, Jokowi tak lepas dari catatan prestasi dan evaluasi, termasuk dari bidang gastronomi dan kuliner Indonesia selama 10 tahun terakhir. 

Meski mirip, gastronomi dan kuliner adalah dua hal berbeda. Kuliner lebih berfokus pada masakan dan produk makanan yang dihasilkan produsen, sedangkan gastronomi merupakan ilmu yang mempelajari makanan dari perspektif konsumen, termasuk sejarah, budaya, dan suasana lingkungan. 

Dari sisi kuliner, bidang ini terus mencatatkan performa positif. Kuliner kerap masuk ke dalam tiga besar subsektor ekonomi kreatif yang paling berkontribusi terhadap PDB, disamping fesyen dan kerajinan tangan. 

Baca juga laporan terkait:  Data BPS mencatat PDB untuk industri makanan dan minuman pada 2022 bertumbuh 4,8 persen dibandingkan 2021. Geliat ini juga didorong oleh sumbangan subsektor kuliner sebanyak 42 persen dari keseluruhan subsektor ekonomi kreatif.

Dalam hal gastronomi, Indonesia memang masih mencari bentuk ideal, terutama ketika berbicara gastrodiplomasi. Namun, belum lama ini pemerintah meluncurkan program Indonesia Spice Up The World (ISUTW). 

Program yang dicanangkan Kemenparekraf pada 2021 ini mencoba memfokuskan gastronomi dari rempah dan produk olahannya. Program ini juga bertujuan untuk mengembangkan dan menguatkan restoran Indonesia di luar negeri dan menjadi bagian dari gastrodiplomasi restoran. 

Menparekraf Sandiaga Uno menyebut nilai ekspor bumbu atau rempah olahan serta komoditas rempah segar di Indonesia mengalami tren positif, dengan rata-rata pertumbuhan 2,95 persen dalam lima tahun terakhir. Pada 2020 misalnya, nilai ekspornya bahkan mencapai US$1,02 miliar.

Dirinya pun berharap program ini bisa makin mendorong kuliner Indonesia ke mancanegara. Sejauh ini, program telah berjalan dengan pilot project rendang. Setelah ini, nasi goreng, sate, soto, dan gado-gado juga akan dijajal. Menurut Sandi, bicara gastronomi bukan hanya tentang makanan. Namun, budaya, sejarah dan, identitas bangsa juga dapat dipertontonkan.

Dalam hal ini, narasi menjadi hal yang sangat penting. Sebab, setiap makanan biasanya selalu memiliki cerita-cerita menarik di baliknya, baik berupa sejarah kemunculan maupun cara pembuatan. 

“Jadi betul-betul memiliki filosofi, ada budaya yang terlibat, sejarah, ada story telling bagaimana oleh siapa, berapa yang terlibat bagaimana yang terlibat, resepnya seperti apa,” ujar Sandi dalam laman resmi Kemenparekraf.
 

Kuliner (Sumber gambar: Unsplash/ Harold Wainwright)

Kuliner (Sumber gambar: Unsplash/ Harold Wainwright)

Bicara potensi, kuliner Indonesia memang tidak ada habisnya. Daya tarik cita rasanya telah mendunia. Menurut TasteAtlas Awards 2023/2024, ada delapan kota di Indonesia yang masuk ke dalam 100 besar wilayah dengan makanan-makanan paling enak di dunia.

Bandung menempati posisi tertinggi dengan peringkat ke-10 dan mendapatkan skor 4,66 bintang dari 395.205 responden. Kota lainnya, seperti Jakarta berada di peringkat ke-11, Surabaya ke-16, Padang ke-42, Malang ke-49, Yogyakarta ke-58, Seminyak ke-67, dan Ubud ke-86.

Kendati telah diakui keberadaannya, Indonesia kerap masih kebingungan menentukan kuliner mana yang mesti diprioritaskan terlebih dahulu dan menjadi wajah kuliner Nusantara.

Soal ini, William Wongso dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2023 menawarkan perspektif menarik. Dia mengusulkan Nasi Bungkus sebagai gastrodiplomasi untuk menaklukkan lidah dunia. 

Chef dan pakar kuliner itu menyebut mengurai makanan indonesia ke dalam satu konsep memang kompleks. Sebab, identitas kuliner Indonesia sangat kaya seturut beragamnya suku dan latar budaya di setiap daerah.

Namun, nasi bungkus bisa menjadi gerbang pembuka menarik soal representasi kuliner sekaligus budaya dan aspek sosial masyarakat Indonesia. Menurutnya, nasi bungkus mampu merepresentasikan memori kuliner hampir seluruh daerah di Indonesia. 

Di Jawa, misalnya ada nasi kucing, lalu di Sunda ada nasi timbel, hingga Ambon punya nasi kuning. Nasi Bungkus juga istimewa karena menyuguhkan menu lokal di dalamnya yang beragam.

"Jika diplomasi budaya memberi kedekatan, gastrodiplomasi melengkapinya dengan menyentuh rasa. Sentuhan itulah yang kita harapkan menjadi penjelajahan yang tak berkesudahan bagi masyarakat dunia," katanya

Baca juga: Dukung Gastronomi Berkelanjutan, Ini 4 Kiat yang Bisa Dilakukan 
 

Perkembangan Gastronomi dan Kuliner 

Sekjen Perkumpulan Pengusaha Kuliner Kreatif Indonesia (Apkulindo) Redia mengatakan kuliner sebagai bagian dari ekraf memiliki potensi untuk terus berkembang ke depan. Kuliner, lanjutnya, bahkan termasuk ke dalam bidang yang tahan kondisi ekstrem.

Dia mencontohkan ketika pandemi Covid-19, kuliner menjadi sektor yang pertama kali bisa bangkit. Sebab, kuliner termasuk ke dalam konsumsi harian sehingga akan selalu dibutuhkan setiap waktu. Dengan kebutuhannya yang selalu ada dan kekayaan produk makanan Indonesia, dia mengatakan industri ini seharusnya bisa dimaksimalkan lebih baik.

“Rapor gastronomi di era Jokowi pertama masih biru dan bagus. Kita lihat perkembangan kuliner di mana-mana, Kuliner bahkan terus jadi penopang perekonomian negara,” katanya. 

Kemajuan ini tak lepas dari kondusifnya perekonomian nasional dan global, kebijakan yang mendukung pelaku kuliner, hingga bertumbuhnya kelas menengah ke atas. Namun, pada periode kedua, nilai rapornya mulai menurun. Menurutnya, hal ini terjadi karena entah kuliner bukan lagi prioritas bantuan pemerintah, atau pelaku kuliner yang tengah stagnan.

Padahal, Redia merasa kuliner Indonesia masih bisa berkembang. Di luar itu, beberapa daerah juga makin menegaskan dirinya punya kekayaan kuliner yang beragam. Hal ini tentu bisa jadi capaian menarik untuk ekraf atau bahkan pariwisata.

“Di Indonesia juga ada banyak daerah yang dikenal sebagai surganya kuliner, dari Jabodetabek, Sumatra, Kalimantan hingga Sulawesi,” imbuhnya.
 

Rempah (Sumber gambar: Unsplash/ Yosafat Herdian)

Rempah (Sumber gambar: Unsplash/ Yosafat Herdian)

Laporan dari Statista mencatat revenue kuliner di Indonesia pada 2018 menyentuh US$168,86 miliar angkanya terus menanjak dan diprediksi mencapai US$335,18 miliar pada 2029.

Pakar dari Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari mengatakan potensi gastronomi tourism yang besar sebaiknya mulai menjadi fokus bagi pemerintah. Sebab, Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan ini berkat keunikan yang dimilikinya. 

Azril mengatakan kuliner Indonesia sangat unik, otentik, dan eksotik. Hal ini bisa menjadi kekayaan menarik yang membuat banyak orang ingin mencobanya. Terlebih, Indonesia sudah lama dikenal sebagai Jalur Rempah di abad ke-15.

“Setiap wilayah selalu punya kuliner unggulan masing-masing. Namun, satu benang merahnya, makanan Indonesia itu kan healthy eating dan bisa jadi probiotic. Namun, tentu ini perlu uji klinik lebih dalam sebelum mengeklaimnya,” imbuhnya. 

Baca juga: Gastronomi Teh Lokal Berkualitas Hadir di Kenduri Teh Indonesia Jilid 2

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Prediksi Line up Timnas Indonesia vs China, Waktunya Eliano Reijnders jadi Starter?

BERIKUTNYA

Hypereport: Industri Gim Tanah Air Tumbuh Pesat, Tapi Masih Perlu Banyak Belajar

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: