Hypereport: Ekraf Jadi Tulang Punggung Baru Ekonomi Indonesia
15 October 2024 |
12:22 WIB
Sejak awal terpilih satu dekade silam, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah menaruh sorotan besar terhadap pengembangan ekonomi kreatif. Dia percaya ekraf akan menjadi salah satu tulang punggung ekonomi masa depan Indonesia.
Pada awal pemerintahannya, eks wali kota Solo ini pernah membentuk Badan Ekonomi Kreatif melalui Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 yang terpisah dari kementerian pariwisata. Meski kemudian Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf ini kembali dilebur dengan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada periode kedua Jokowi.
Meski terus terjadi tambal sulam, pengembangan ekraf sepanjang sepuluh tahun ini cenderung terus mengalami kenaikan. Hal itu misalnya dapat dilihat dari kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
2. Hypereport: Gastronomi Indonesia Mencari Jalan Tengah di Antara Keberagaman
3. Hypereport: Industri Gim Tanah Air Tumbuh Pesat, Tapi Masih Perlu Banyak Belajar
4. Hypereport: Industri Film Kiwari, Masih Banyak PR Meski Bertaji
5. Hypereport: Geliat Industri Fashion Indonesia dan Posisinya di Kancah Global
Menurut Bank Data Kemenparekraf, pada 2014 lalu kontribusi ekraf bagi PDB masih di angka Rp784,87 triliun. Kemudian, pada 2019 kontribusi ekraf naik cukup tajam menjadi Rp1.153,4 triliun. Pada 2023, kontribusi ekraf kembali naik menjadi Rp1.414 triliun
Sepanjang satu dekade ini, tren positif kontribusi ekraf ditopang oleh tiga subsektor unggulan. Subsektor kuliner rata-rata tiap tahun menyumbang sekitar 42 persen, subsektor fashion 18 persen, dan subsektor kriya 15 persen dari total PDB ekonomi kreatif.
Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan ekonomi kreatif dapat menjadi salah satu lokomotif utama dalam mendorong ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, ekraf merupakan pilar ekonomi ekstraktif menuju sesuatu yang mengedepankan inovasi, adaptasi, dan kreativitas.
Sandi juga menyebut saat ini nilai tambah ekraf Indonesia telah mencapai RP1,4 triliun. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi tiga besar dunia negara dengan kontribusi ekraf terbesar ke PDB, di bawah Amerika Serikat dan Korea Selatan.
“Di lima tahun terakhir Indonesia melesat masuk ke posisi tiga besar dunia dengan total kontribusi terhadap GDP sekitar 8 persen,” ucap Sandi dikutip dari laman resmi Kemenparekraf.
Dia ingin kontribusi sektor ekraf bisa terus bertambah, tak terkecuali dalam sisi ekspor. Menurutnya, peluang peningkatan nilai ekspor ini tidak bisa lepas dari menguatnya tingkat daya saing produk. Sandi berpesan agar pelaku ekraf menyasar pasar non tradisional, seperti kawasan Amerika Latin, Eropa Tengah, Afrika, hingga Asia Selatan.
“Nilai tambah ekonomi kreatif 2023 telah menembus Rp1.415 triliun, di atas target Rp1.300. Tapi kita punya PR untuk nilai ekspor karena peluangnya lebih besar sebetulnya,” imbuhnya.
Seiring dengan melesatnya industri ekraf di Indonesia, sektor ini juga terus menyerap banyak tenaga kerja. Pada 2018 lalu, jumlah tenaga kerja ekraf baru berkisar 18,76 juta orang, kemudian meningkat menjadi 23,98 juta orang. Pada 2024 ini, diperkirakan jumlah tenaga kerja ekraf menjadi 24,7 juta orang.
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mengatakan ekonomi kreatif di Indonesia merupakan salah satu tulang punggung penting sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, industri ini makin besar.
Jika merujuk data Kemenperin pada 2023, kontribusi ekraf sudah berada di sekitar 7,8 persen dari PDB. Meski terlihat masih kecil, potensi industri ini untuk terus bertumbuh masih sangat besar.
Selain itu, jika dibandingkan dengan negara lain, kontribusi ekraf terhadap PDB Indonesia masihlah tinggi. Dia menyebut Indonesia hanya kalah dari Amerika Serikat (11,12 persen dan Korea Selatan dengan 8,67 persen
“Saat ini sektor garmen, fesyen, kuliner, dan perhiasan merupakan sektor ekonomi kreatif unggulan Indonesia,” tuturnya
Menurut Yudo, jika berorientasi ekspor, beberapa subsektor tersebut patut dijadikan fokus utama. Selain itu, stakeholder terkait juga mesti membaca pasar dengan baik. Sebab, ekspor suatu produk tak bisa disamakan di setiap negara.
Dia mencontohkan untuk pasar Hong Kong, produk seperti mutiara, batu mulia, logam mulia, itu sangat diminati. Namun, untuk pasar Amerika Serikat, barang seperti alas kaki, pelindung kaki, rambut palsu, janggut palsu, hingga bulu mata, itu yang lebih disukai.
Menurutnya, dari sekian sektor ekraf, bidang fesyen dan kuliner masih perlu mendapat dorongan lebih kuat lagi. Sebab, sebenarnya Indonesia secara natural memiliki keunggulan di dua bidang ini.
Sayangnya, beberapa usaha di bidang ini masih menghadapi kendala. Pertama, soal pendanaan yang terbatas. Kedua, soal pelrindungan hak cipta yang belum kuat. Ketiga, soal teknologi, eperti food safety da preservation yang masih serba terbatas.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan sektor ekonomi kreatif dalam 10 tahun terakhir berkembang pesat. Beberapa hal yang patut disorot ialah perihal dukungan digitalisasi, infrastruktur digital yang makin memadai, yang itu menciptakan gelombang kreativitas besar.
Meski sejumlah subsektor ekraf sempat terganggu akibat pandemi Covid-19, tetapi subsektor lain, seperti film, karya seni, seni budaya, hingga pameran-pameran justru melonjak signifikan.
Menurut Bhima, salah satu pendorong ekraf makin memiliki posisi kuat di Indonesia adalah karena populasi gen Z dan milenial yang mendominasi. Menurutnya, bonus demografi ini memunculkan istilah experience ekonomi.
“Artinya, pengeluaran untuk rekreasi, seperti pertunjukan seni misalnya, itu porsinya makin besar. Ini jadi salah satu indikator Indonesia memang punya potensi ekraf yang besar,” jelasnya.
Bhima mengatakan sayangnya saat ini kontribusi ekraf terhadap PDB memang masih berada di bawah 8 persen. Padahal, hal tersebut masih bisa dieksplorasi lagi. Menurutnya, Indonesia mesti mulai menatap ekspor untuk produk kreatif, seperti musik, seni, sampai film.
Selain itu, berbagai hal terkait kerajinan juga mesti lebih diperhatikan lagi. Tak hanya fokus pada ekspor, industri ekraf juga diharapkan bisa menarik wisatawan asing datang ke Indonesia, misalnya melalui konser.
Jika potensi ini dimaksimalkan, kontribusi ekraf terhadap PDB bisa tembus 15 persen atau setidaknya dua kali lipat dari sekarang. Semua ini masih membutuhkan bantuan dari berbagai stakeholder terkait. Menurutnya, payung hukumnya memang perlu lebih jelas lagi agar ekosistem di dalamnya bisa lebih bergerak cair.
“Misalnya, di sektor pertunjukan selain pinjaman dengan agunan yang lebih rendah, bank-bank jugs segera mengimplementasikan aturan intellectual property right yang bisa dijadikan agunan,” imbuhnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Pada awal pemerintahannya, eks wali kota Solo ini pernah membentuk Badan Ekonomi Kreatif melalui Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 yang terpisah dari kementerian pariwisata. Meski kemudian Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf ini kembali dilebur dengan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada periode kedua Jokowi.
Meski terus terjadi tambal sulam, pengembangan ekraf sepanjang sepuluh tahun ini cenderung terus mengalami kenaikan. Hal itu misalnya dapat dilihat dari kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
2. Hypereport: Gastronomi Indonesia Mencari Jalan Tengah di Antara Keberagaman
3. Hypereport: Industri Gim Tanah Air Tumbuh Pesat, Tapi Masih Perlu Banyak Belajar
4. Hypereport: Industri Film Kiwari, Masih Banyak PR Meski Bertaji
5. Hypereport: Geliat Industri Fashion Indonesia dan Posisinya di Kancah Global
Menurut Bank Data Kemenparekraf, pada 2014 lalu kontribusi ekraf bagi PDB masih di angka Rp784,87 triliun. Kemudian, pada 2019 kontribusi ekraf naik cukup tajam menjadi Rp1.153,4 triliun. Pada 2023, kontribusi ekraf kembali naik menjadi Rp1.414 triliun
Sepanjang satu dekade ini, tren positif kontribusi ekraf ditopang oleh tiga subsektor unggulan. Subsektor kuliner rata-rata tiap tahun menyumbang sekitar 42 persen, subsektor fashion 18 persen, dan subsektor kriya 15 persen dari total PDB ekonomi kreatif.
Menparekraf Sandiaga Uno mengatakan ekonomi kreatif dapat menjadi salah satu lokomotif utama dalam mendorong ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, ekraf merupakan pilar ekonomi ekstraktif menuju sesuatu yang mengedepankan inovasi, adaptasi, dan kreativitas.
Sandi juga menyebut saat ini nilai tambah ekraf Indonesia telah mencapai RP1,4 triliun. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi tiga besar dunia negara dengan kontribusi ekraf terbesar ke PDB, di bawah Amerika Serikat dan Korea Selatan.
“Di lima tahun terakhir Indonesia melesat masuk ke posisi tiga besar dunia dengan total kontribusi terhadap GDP sekitar 8 persen,” ucap Sandi dikutip dari laman resmi Kemenparekraf.
Dia ingin kontribusi sektor ekraf bisa terus bertambah, tak terkecuali dalam sisi ekspor. Menurutnya, peluang peningkatan nilai ekspor ini tidak bisa lepas dari menguatnya tingkat daya saing produk. Sandi berpesan agar pelaku ekraf menyasar pasar non tradisional, seperti kawasan Amerika Latin, Eropa Tengah, Afrika, hingga Asia Selatan.
“Nilai tambah ekonomi kreatif 2023 telah menembus Rp1.415 triliun, di atas target Rp1.300. Tapi kita punya PR untuk nilai ekspor karena peluangnya lebih besar sebetulnya,” imbuhnya.
Ekonomi kreatif (Sumber gambar: Unsplash/Rachael Gorjestani)
Subsektor Ekraf Unggulan
Seiring dengan melesatnya industri ekraf di Indonesia, sektor ini juga terus menyerap banyak tenaga kerja. Pada 2018 lalu, jumlah tenaga kerja ekraf baru berkisar 18,76 juta orang, kemudian meningkat menjadi 23,98 juta orang. Pada 2024 ini, diperkirakan jumlah tenaga kerja ekraf menjadi 24,7 juta orang.Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mengatakan ekonomi kreatif di Indonesia merupakan salah satu tulang punggung penting sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, industri ini makin besar.
Jika merujuk data Kemenperin pada 2023, kontribusi ekraf sudah berada di sekitar 7,8 persen dari PDB. Meski terlihat masih kecil, potensi industri ini untuk terus bertumbuh masih sangat besar.
Selain itu, jika dibandingkan dengan negara lain, kontribusi ekraf terhadap PDB Indonesia masihlah tinggi. Dia menyebut Indonesia hanya kalah dari Amerika Serikat (11,12 persen dan Korea Selatan dengan 8,67 persen
“Saat ini sektor garmen, fesyen, kuliner, dan perhiasan merupakan sektor ekonomi kreatif unggulan Indonesia,” tuturnya
Menurut Yudo, jika berorientasi ekspor, beberapa subsektor tersebut patut dijadikan fokus utama. Selain itu, stakeholder terkait juga mesti membaca pasar dengan baik. Sebab, ekspor suatu produk tak bisa disamakan di setiap negara.
Dia mencontohkan untuk pasar Hong Kong, produk seperti mutiara, batu mulia, logam mulia, itu sangat diminati. Namun, untuk pasar Amerika Serikat, barang seperti alas kaki, pelindung kaki, rambut palsu, janggut palsu, hingga bulu mata, itu yang lebih disukai.
Menurutnya, dari sekian sektor ekraf, bidang fesyen dan kuliner masih perlu mendapat dorongan lebih kuat lagi. Sebab, sebenarnya Indonesia secara natural memiliki keunggulan di dua bidang ini.
Sayangnya, beberapa usaha di bidang ini masih menghadapi kendala. Pertama, soal pendanaan yang terbatas. Kedua, soal pelrindungan hak cipta yang belum kuat. Ketiga, soal teknologi, eperti food safety da preservation yang masih serba terbatas.
rub Musik Juicy Luicy tampil saat berlangsungnya acara Synchronize Fest 2024 di Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Economic Experience
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan sektor ekonomi kreatif dalam 10 tahun terakhir berkembang pesat. Beberapa hal yang patut disorot ialah perihal dukungan digitalisasi, infrastruktur digital yang makin memadai, yang itu menciptakan gelombang kreativitas besar.Meski sejumlah subsektor ekraf sempat terganggu akibat pandemi Covid-19, tetapi subsektor lain, seperti film, karya seni, seni budaya, hingga pameran-pameran justru melonjak signifikan.
Menurut Bhima, salah satu pendorong ekraf makin memiliki posisi kuat di Indonesia adalah karena populasi gen Z dan milenial yang mendominasi. Menurutnya, bonus demografi ini memunculkan istilah experience ekonomi.
“Artinya, pengeluaran untuk rekreasi, seperti pertunjukan seni misalnya, itu porsinya makin besar. Ini jadi salah satu indikator Indonesia memang punya potensi ekraf yang besar,” jelasnya.
Bhima mengatakan sayangnya saat ini kontribusi ekraf terhadap PDB memang masih berada di bawah 8 persen. Padahal, hal tersebut masih bisa dieksplorasi lagi. Menurutnya, Indonesia mesti mulai menatap ekspor untuk produk kreatif, seperti musik, seni, sampai film.
Selain itu, berbagai hal terkait kerajinan juga mesti lebih diperhatikan lagi. Tak hanya fokus pada ekspor, industri ekraf juga diharapkan bisa menarik wisatawan asing datang ke Indonesia, misalnya melalui konser.
Jika potensi ini dimaksimalkan, kontribusi ekraf terhadap PDB bisa tembus 15 persen atau setidaknya dua kali lipat dari sekarang. Semua ini masih membutuhkan bantuan dari berbagai stakeholder terkait. Menurutnya, payung hukumnya memang perlu lebih jelas lagi agar ekosistem di dalamnya bisa lebih bergerak cair.
“Misalnya, di sektor pertunjukan selain pinjaman dengan agunan yang lebih rendah, bank-bank jugs segera mengimplementasikan aturan intellectual property right yang bisa dijadikan agunan,” imbuhnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.