Syuting Film (Sumber gambar: Unsplash/ ShareGrid)

Fenomena Pembajakan Film di Media Sosial, Perlu Penegakan Hukum Tegas

15 October 2024   |   06:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Di tengah riuhnya perkembangan perfilman Tanah Air, baik secara produksi karya maupun apresiasi penontonnya, isu soal pembajakan film masih saja berkelindan di dalamnya dan jadi cerita lama yang terus terulang seolah tak ada ujungnya.

Dahulu, orang membajak sebuah film dan didistribusikan ulang lewat DVD. Sekarang, orang masih juga membajak film, tetapi kali ini penyebaran konten ilegal tersebut melalui media sosial, baik dalam bentuk live streaming maupun unggahan konten.

Baca juga: Hypereport: Industri Film Kiwari, Masih Banyak PR Meski Bertaji

Padahal, peringatan larangan merekam dalam bentuk apa pun, dari suara, gambar, hingga cuplikan adegan sudah terpampang jelas di layar bioskop sebelum film dimulai. Namun, larangan tersebut seolah jadi angin lalu bagi sebagian orang.

Cuplikan video sesedikit apa pun yang diambil di bioskop sebenarnya sudah termasuk dalam ranah pembajakan. Cuplikan video yang diambil ilegal ini tentu berbeda dan tak bisa disamakan dengan cuplikan adegan yang menjadi bagian dari promosi film.

Produser Sinemaku Pictures Umay Shahab mengatakan isu pembajakan film lewat media sosial memang tengah jadi sesuatu yang hangat belakangan ini. Namun, jika ditilik ke belakang, ini sebenarnya adalah masalah klasik yang terjadi sejak dahulu.

Menurutnya, masalah ini bisa diselesaikan dengan cara urun rembug dari berbagai stakeholder terkait. Bukan hanya rumah produksi dan bioskop saja, melainkan juga pemerintah mesti ikut turun dan memastikan aturan diberlakukan dengan tegas.

“Mungkin sudah, tetapi semoga lebih baik lagi partisipasi pemerintah terhadap masalah ini. Karena bukan cuma kita doang kan yang bikin film,” ujar Umay di Plaza Indonesia beberapa waktu lalu.

Umay mengatakan meski sama-sama salah, isu pembajakan film sebenarnya tak bisa dilihat dari kacamata hitam dan putih saja. Dalam artian, di dalamnya ada banyak layer lagi yang mesti dibedah dan menjalani pendekatan yang berbeda agar penyelesaian pembajakan lebih maksimal.

Produser film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis ini mengatakan tidak semua orang membajak film untuk keuntungan pribadi. Sebagian dari mereka, lanjutnya, bisa jadi melakukan itu karena memang belum paham.

“Kadang-kadang mereka tuh ngevideoin untuk bikin mereka terlihat keren di pergaulan. Kayak ‘oh gue habis nonton film ini loh’. Sebenarnya itu baik, tetapi caranya yang salah,” imbuhnya.

Menurutnya, pemahaman soal pembajakan film ini mesti lebih disosialisasikan lagi. Bukan hanya soal pengetahuan soal hal tersebut saja. Lebih dari itu, anti pembajakan harus disebarkan dan menjadi budaya menonton di Indonesia.

Dalam hal ini, rumah produksi, pemangku keputusan dari pemerintah, hingga bioskop mesti bekerja bersama. Sebab, masih banyak rasanya yang belum memahami mana batas konten dan pembajakan film.
 

Sementara itu, pengamat film nasional Shandy Gasella sepakat pembajakan memang telah menjadi masalah akut dalam perfilman Indonesia. Namun, dia juga menyadari masalah pembajakan sekarang agak lebih kompleks, karena motifnya tak selalu soal keuntungan pribadi.

“Akan tetapi, pembajakan film apa pun motifnya, mau itu over share, FOMO, atau cari popularitas di media sosial, itu tetap saja harus dianggap tindakan pelanggaran hak cipta,” ungkap Shandy.

Festival Director Jakarta World Cinema tersebut mengatakan minimnya literasi tak bisa jadi tameng untuk sebuah pembenaran. Menurutnya, kesalahan mesti diakui sebagai kesalahan dan harus diluruskan.

“Jangan sampai kemudian dinormalisasi karena tidak ada penegakan hukum yang jelas,” tegasnya.

Di Indonesia, aturan tentang pembajakan sebenarnya telah jelas tertulis. Aturan yang mengatur pembajakan film tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 113 ayat 3 dan Pasal 40 huruf M.

Pembajakan film adalah tindakan menggandakan, menyalin, atau menyebarkan film tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Tindakan ini dapat dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau denda.

Selain itu, menonton film bajakan juga melanggar undang-undang hak cipta dan dapat berakibat pada tindakan hukum dan denda.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Hypereport: Industri Film Kiwari, Masih Banyak PR Meski Bertaji

BERIKUTNYA

Dari Wattpad ke Rak Toko Buku, Niallgina Rilis Novel Perdananya Trending Topic

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: