7 Karya Sastra Dilarang pada Masa Orde Baru: Tetralogi Pulau Buru hingga Rangsang Detik
01 October 2024 |
17:06 WIB
Buku merupakan simbol peradaban. Kemajuan peradaban sebuah bangsa tidak bisa menafikan instrumen pengetahuan yang penting tersebut. Di tengah pergulatan media baru yang lekat dengan kecanggihan teknologi, buku tetap mampu meniupkan 'ruh' pengetahuan yang merefleksikan kebebasan berpikir dan berpendapat.
Meski demikian, dalam sejarahnya, terdapat praktik-praktik pelarangan buku yang terjadi di Indonesia sejak masa kolonial. Setelah merdeka, pelarangan buku tetap berlanjut, bahkan dengan eskalasi yang terus meningkat, yakni dari masa Demokrasi Terpimpin di bawah kendali Soekarno dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Setelah Orde Baru tumbang diganti era Reformasi, pelarangan buku dianggap tidak ada lagi. Namun, kondisi bebas pelarangan buku tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Era Reformasi yang mengusung agenda kebebasan berekspresi dan penegakan hak asasi manusia kembali melanggengkan praktik pelarangan buku.
Baca juga: Buku No Limits: Reformasi dengan Hati Ungkap Liku-liku Sri Mulyani Benahi Kemenkeu
Beberapa buku yang dilarang pada masa Reformasi di antaranya Aku Bangga Menjadi Anak PKI (2002) karya Ribka Tjiptaning, Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay, Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (2007) karya Sendius Wonda, dan Buku Kronik Sejarah Kelas I karya Asvi Warman Adam.
Mengutip dari buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (2011), fakta sejarah mencatat, motif utama pelarangan buku yang terjadi dari zaman ke zaman mengulang sebuah pola, yakni manifestasi otoritarianisme penguasa dan dominasi mayoritas yang ditopang legitimasi kekuasaan.
Meskipun struktur kekuasaan berganti, budaya otoriter dari rezim yang berkuasa menjadi pendorong utama segala bentuk pemberangusan sikap kritis masyarakat. Praktik ini dilakukan dengan cara memberi label “membahayakan keamanan”, “mengganggu ketertiban umum”, “tafsir yang keliru”, “ajaran sesat”, dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto, upaya pelarangan buku secara terang-terangan dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya dilarang terbit, bahkan para penulis hingga penjualnya pun harus rela mendekam di penjara jika kedapatan memiliki kaitan dengan buku-buku yang dianggap berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI), atau pengikut paham Marxisme-Leninisme-Komunisme.
Laporan Gadis Rasid, “Boekencensuur in Indonesië Blijft Aanhouden“, dalam NRC Handelsblad, 28 September 1976, mencatat bahwa 99 judul buku karya para penulis Indonesia dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Kejaksaan Orde itu mengaitkan buku-buku itu dengan PKI dan organisasi-organisasi mantelnya.
Di antara banyaknya buku yang dilarang pada masa Orde Baru, beberapa di antaranya merupakan karya sastra karangan para penulis berbakat Indonesia. Berikut adalah daftar 7 karya sastra yang dilarang pada masa Orde Baru.
Tetralogi Bumi Manusia atau yang dikenal juga sebagai Tetralogi Pulau Buru merupakan empat seri novel Indonesia karya penulis Pramoedya Ananta Toer. Keempat judul tersebut adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Pada masa Orde Baru, Kejaksaaan Agung secara resmi mengumumkan pelarangan terhadap empat novel tersebut. Hal ini didasari anggapan bahwa Tetralogi Pulau Buru mengandung propaganda ajaran marxisme dan komunisme. Plus, label ‘Tetralogi Buru’ yang identik dengan eks-tapol atau tahanan politik membuat buku ini masuk dalam catatan hitam pemerintah kala itu.
Matinya Seorang Petani ialah kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat tahun 1963. Buku setebal 40 halaman ini menampilkan puisi-puisi karya Agam Wispi, Amarsan Ismail Hamid, Benni Tjung, Chalik Hamid, F.L. Rissakota, Hr. Bandaharo, Klara Akustia, Ratini, Rumambi, Sobron Aidit, S Anantaguna, dan T Iskandar A.S.
Kumpulan puisi ini merespons matinya petani Boyolali yakni Latini, Djumeri, Sonomiredjo, dan Partodikromo. Lewat sajak-sajak puisi, buku ini menggambarkan ketidakadilan, perjuangan, dan tuntutan akan keadilan dalam kehidupan petani. Namun, buku ini dilarang pada 1960-an.
Buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada 1960 ini mengkritik kebijakan diskriminatif yang diberlakukan terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Buku ini didasarkan pada serangkaian artikel yang diterbitkan di halaman depan surat kabar harian terlaris di Jakarta pada saat itu, Bintang Timur, yang diterbitkan oleh Hasyim Rahman.
Baca juga: Rekomendasi Buku Bacaan Musim Panas Barack Obama
Hoakiau lalu dilarang oleh pemerintah pada awal tahun 1960-an lantaran dianggap mendukung etnis Tionghoa serta sebagai advokasi terhadap penganiayaan terhadap mereka. Suaranya yang lantang dalam menyuarakan ketidakadilan membuat hidup Pram terpuruk. Setelah kudeta militer Oktober 1965, perpustakaan Pramoedya dibakar, rumahnya disita, dan dia dipukuli. Dia kemudian dipenjara selama 14 tahun, sebagian besar di pulau terpencil Buru.
S. Rukiah merupakan salah satu penulis yang buku-bukunya dilarang beredar pada masa Orde Baru. Rukiah merupakan salah satu generasi pertama perempuan yang menerbitkan karyanya pascaperang. Bukunya yang paling terkenal ialah novel pertamanya yakni Kejatuhan dan Hati yang pertama kali terbit tahun 1950.
Novel ini menyajikan gambaran detail tentang apa yang terjadi seputar kehidupan pejuang gerilyawan. Bukunya mengangkat kompleksitas permasalahan generasi muda yang tidak semata-mata soal adat, serta melawan modernitas seperti yang sebelumnya banyak hadir dalam sastra masa sebelum perang.
Lebih jauh lagi, Rukiah menghadirkan pergulatan antara nilai-nilai revolusi yang diusung oleh generasi muda melawan nilai-nilai lama generasi tua dan masyarakat serta permasalahan politik yang melingkupinya.
Meski demikian, dalam sejarahnya, terdapat praktik-praktik pelarangan buku yang terjadi di Indonesia sejak masa kolonial. Setelah merdeka, pelarangan buku tetap berlanjut, bahkan dengan eskalasi yang terus meningkat, yakni dari masa Demokrasi Terpimpin di bawah kendali Soekarno dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Setelah Orde Baru tumbang diganti era Reformasi, pelarangan buku dianggap tidak ada lagi. Namun, kondisi bebas pelarangan buku tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Era Reformasi yang mengusung agenda kebebasan berekspresi dan penegakan hak asasi manusia kembali melanggengkan praktik pelarangan buku.
Baca juga: Buku No Limits: Reformasi dengan Hati Ungkap Liku-liku Sri Mulyani Benahi Kemenkeu
Beberapa buku yang dilarang pada masa Reformasi di antaranya Aku Bangga Menjadi Anak PKI (2002) karya Ribka Tjiptaning, Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay, Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (2007) karya Sendius Wonda, dan Buku Kronik Sejarah Kelas I karya Asvi Warman Adam.
Mengutip dari buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (2011), fakta sejarah mencatat, motif utama pelarangan buku yang terjadi dari zaman ke zaman mengulang sebuah pola, yakni manifestasi otoritarianisme penguasa dan dominasi mayoritas yang ditopang legitimasi kekuasaan.
Meskipun struktur kekuasaan berganti, budaya otoriter dari rezim yang berkuasa menjadi pendorong utama segala bentuk pemberangusan sikap kritis masyarakat. Praktik ini dilakukan dengan cara memberi label “membahayakan keamanan”, “mengganggu ketertiban umum”, “tafsir yang keliru”, “ajaran sesat”, dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto, upaya pelarangan buku secara terang-terangan dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya dilarang terbit, bahkan para penulis hingga penjualnya pun harus rela mendekam di penjara jika kedapatan memiliki kaitan dengan buku-buku yang dianggap berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI), atau pengikut paham Marxisme-Leninisme-Komunisme.
Laporan Gadis Rasid, “Boekencensuur in Indonesië Blijft Aanhouden“, dalam NRC Handelsblad, 28 September 1976, mencatat bahwa 99 judul buku karya para penulis Indonesia dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Kejaksaan Orde itu mengaitkan buku-buku itu dengan PKI dan organisasi-organisasi mantelnya.
Di antara banyaknya buku yang dilarang pada masa Orde Baru, beberapa di antaranya merupakan karya sastra karangan para penulis berbakat Indonesia. Berikut adalah daftar 7 karya sastra yang dilarang pada masa Orde Baru.
1. Tetralogi Pulau Buru (Pramoedya Ananta Toer)
Tetralogi Bumi Manusia atau yang dikenal juga sebagai Tetralogi Pulau Buru merupakan empat seri novel Indonesia karya penulis Pramoedya Ananta Toer. Keempat judul tersebut adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Pada masa Orde Baru, Kejaksaaan Agung secara resmi mengumumkan pelarangan terhadap empat novel tersebut. Hal ini didasari anggapan bahwa Tetralogi Pulau Buru mengandung propaganda ajaran marxisme dan komunisme. Plus, label ‘Tetralogi Buru’ yang identik dengan eks-tapol atau tahanan politik membuat buku ini masuk dalam catatan hitam pemerintah kala itu.
2. Matinya Seorang Petani (Agam Wispi dkk)
Matinya Seorang Petani ialah kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat tahun 1963. Buku setebal 40 halaman ini menampilkan puisi-puisi karya Agam Wispi, Amarsan Ismail Hamid, Benni Tjung, Chalik Hamid, F.L. Rissakota, Hr. Bandaharo, Klara Akustia, Ratini, Rumambi, Sobron Aidit, S Anantaguna, dan T Iskandar A.S.Kumpulan puisi ini merespons matinya petani Boyolali yakni Latini, Djumeri, Sonomiredjo, dan Partodikromo. Lewat sajak-sajak puisi, buku ini menggambarkan ketidakadilan, perjuangan, dan tuntutan akan keadilan dalam kehidupan petani. Namun, buku ini dilarang pada 1960-an.
3. Hoakiau (Pramoedya Ananta Toer)
Buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada 1960 ini mengkritik kebijakan diskriminatif yang diberlakukan terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Buku ini didasarkan pada serangkaian artikel yang diterbitkan di halaman depan surat kabar harian terlaris di Jakarta pada saat itu, Bintang Timur, yang diterbitkan oleh Hasyim Rahman.Baca juga: Rekomendasi Buku Bacaan Musim Panas Barack Obama
Hoakiau lalu dilarang oleh pemerintah pada awal tahun 1960-an lantaran dianggap mendukung etnis Tionghoa serta sebagai advokasi terhadap penganiayaan terhadap mereka. Suaranya yang lantang dalam menyuarakan ketidakadilan membuat hidup Pram terpuruk. Setelah kudeta militer Oktober 1965, perpustakaan Pramoedya dibakar, rumahnya disita, dan dia dipukuli. Dia kemudian dipenjara selama 14 tahun, sebagian besar di pulau terpencil Buru.
4. Kejatuhan dan Hati (S. Rukiah)
S. Rukiah merupakan salah satu penulis yang buku-bukunya dilarang beredar pada masa Orde Baru. Rukiah merupakan salah satu generasi pertama perempuan yang menerbitkan karyanya pascaperang. Bukunya yang paling terkenal ialah novel pertamanya yakni Kejatuhan dan Hati yang pertama kali terbit tahun 1950. Novel ini menyajikan gambaran detail tentang apa yang terjadi seputar kehidupan pejuang gerilyawan. Bukunya mengangkat kompleksitas permasalahan generasi muda yang tidak semata-mata soal adat, serta melawan modernitas seperti yang sebelumnya banyak hadir dalam sastra masa sebelum perang.
Lebih jauh lagi, Rukiah menghadirkan pergulatan antara nilai-nilai revolusi yang diusung oleh generasi muda melawan nilai-nilai lama generasi tua dan masyarakat serta permasalahan politik yang melingkupinya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.