Menapaki Jejak Karya & Pendekatan Arsitektural Mustafa Pamuntjak
25 June 2024 |
18:08 WIB
Siang itu, Astrid Susanti tampak terpaku melihat arsip-arsip yang dihadirkan di pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak. Arsitek berdarah Sunda itu antusias menyusuri dan melihat setiap dokumen, foto, dan catatan yang terpajang dalam eskhibisi yang dihelat di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro.
Sebagai arsitek, Astrid mengaku sangat terinspirasi dengan karya-karya arsitektural yang diciptakan oleh Mustafa Pamuntjak. Meski namanya tidak sepopuler rekan arsitek semasanya seperti Han Awal, Bianpoen, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan YB. Mangunwijaya, Pamuntjak dinilai memiliki pendekatan arsitektural menarik yang melampaui kemungkinan artistik pada zamannya.
Baca juga: Menyelami Karya Arsitektural Mustafa Pamuntjak dalam Pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian
Astrid menilai secara arsitektural, salah satu yang menonjol dari sosok Mustafa Pamuntjak ialah cara dan karakter sang arsitek mendekati klien. Menurutnya, sebagai arsitek, Pamuntjak memiliki pendekatan yang akrab sekaligus detail untuk benar-benar merancang rumah sesuai dengan preferensi dan kebutuhan klien.
"Itu yang tidak dimiliki atau terungkap dari arsitek-arsitek lain," katanya saat ditemui Hypeabis.id di sela-sela pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro, Senin (24/6/2024).
Perempuan pendiri biro desain SAIA Architecture itu juga melihat ciri khas lain yang menonjol dari sosok Pamuntjak ialah implementasi desain yang sesuai dengan iklim tropis di Indonesia, yakni ditandai dengan kehadiran tritisan, teras, dan atap yang besar. "Sehingga kualitas udara di rumah itu terjaga dengan baik," imbuhnya.
Ya, sebagai arsitek profesional, Mustafa Pamuntjak dikenal dengan ciri khas desainnya yang menerapkan konsep tropis sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Desainnya biasanya ditandai dengan menghadirkan banyak bukaan, teras luas, dan tritisan atap yang lebar. Hal itu diterapkannya ke ratusan rumah tinggal dan bangunan rancangannya dengan konteks dan konsep yang beragam.
Mustafa Pamuntjak merupakan anak bungsu dari Kasuma Sutan Pamuntjak, pendiri sekaligus pemilik Penerbit Djambatan, salah satu penerbit tertua di Indonesia. Lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, Pamuntjak kemudian melanjutkan SMA di Leiden, Belanda.
Pada 1952, dia menempuh pendidikan tinggi di bidang arsitektur di Technische Hogeschool Delft, Belanda. Namun, akibat adanya ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda, dia pindah ke Jerman dan melanjutkan studinya di Technische Universitat (TU) Berlin pada 1957. Pamuntjak akhirnya lulus dan mendapatkan gelar Dipl.-Ing pada 1960.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Jacob Gatot Surarjo: Menghidupkan Bangunan, Komunitas & Kreativitas
Sekembalinya ke Indonesia pada 1962, Pamuntjak mengabdi di beberapa posisi di kementerian seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) dan Kementerian Riset Republik Indonesia.
Di samping itu, dia juga berpraktik sebagai arsitek profesional dengan berkolaborasi bersama rekannya dalam Han Awal & Partner hingga mendirikan biro arsiteknya sendiri pada 1995, Mustafa Pamuntjak & Associates.
Dengan bironya itu, Pamuntjak menangani ragam proyek dari skala mikro seperti rumah-rumah tinggal, hingga skala makro seperti penataan kawasan urban di beberapa kota di Indonesia serta mengkoordinasi manajemen proyek-proyek negara.
Dalam merancang rumah tinggal, Pamuntjak meyakini bahwa rumah tidak hanya harus nyaman dihuni, tetapi juga perlu mengakomodasi preferensi dan kebiasaan sehari-hari sang penghuni. Dalam keseharian, penghuni berperan utama dalam mengadaptasikan arsitektur rumahnya, dan memiliki pilihan bebas dalam merespons ruang-ruang yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan, cara hidup, dan seleranya masing-masing.
Pada 2017, Pamuntjak pernah menuliskan kisahnya dalam buku persembahan untuk sahabatnya sesama arsitek, Han Awal. Dalam tulisannya, dia menceritakan pengalamannya selama menempuh pendidikan arsitektur di Jerman.
Baca juga: Begini Rancang Bangun Rumah Tumbuh yang Ideal Menurut Arsitek Cosmas Gozali
Salah satu ajaran gurunya yang menjadi prinsip kuat yang dia pegang yaitu bahwa arsitek sebelum merancang rumah tinggal harus memahami kehidupan sehari-hari dari klien atau pemberi tugasnya, bahkan bila perlu menginap bersama mereka agar bisa mengenal kepribadiannya secara mendalam.
Dengan latar belakang itu, Pamuntjak memiliki banyak pertimbangan dalam merancang bangunan, terlebih untuk rumah tinggal yang bersifat lebih personal. Dia memiliki sejumlah daftar yang dijadikannya sebagai acuan dasar untuk memahami klien sebelum memulai membuatkan desainnya, mulai dari kebiasaan, cara hidup, hingga hobi penghuni rumah.
Sebagai arsitek, Pamuntjak berprinsip bahwa ruang dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan. Akan tetapi, kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya. Oleh karena itu, ruang yang diciptakan harus dapat berkembang, bebas untuk bergerak, terbuka, sekaligus akrab.
Di samping itu, desain arsitekturalnya juga memiliki ciri khas yakni peka terhadap iklim tropis dengan teras luas dan bukaan yang lebar. Hal ini juga dia terapkan dalam merancang rumah pribadinya di Hang Jebat, Jakarta Selatan, yang ditempatinya sejak 1980-an.
Rumah tinggalnya itu menunjukkan kekhasan karakter desain yang fungsional, dengan pertimbangan iklim tropis Indonesia. Sementara ruang dalam dan beranda rumah menjadi ruang yang teduh dan nyaman untuk keluarga berkumpul. Hal ini juga yang tampak pada rumah-rumah rancangannya yang ikonik seperti yang berlokasi di Jalan Bango, Jalan Jaya Mandala, di bilangan Cibubur, serta beberapa proyek rumah tinggal di kawasan Bogor, Jawa Barat.
Peneliti dari Yayasan Museum Arsitektur Indonesia Siti Arfah Annisa mengatakan konsep desain arsitektur tropis yang diusung oleh Mustafa Pamuntjak tak sekadar menghadirkan nuansa hijau dan asri pada rumah. Lebih dari itu, sang arsitek merancang bangunannya dengan mempertimbangkan kondisi iklim tropis di Indonesia.
Misalnya, menghadirkan tritisan yang cukup lebar untuk menghindari air hujan yang masuk pada hunian. Selain itu, bukaan-bukaan yang lebar pada rumah sehingga hunian tetap sejuk dan nyaman, sekalipun tidak menggunakan pendingin ruangan. Begitupun dengan teras-teras yang luas, yang hadir untuk menopang tritisan yang panjang sekaligus menciptakan ruang transisi udara dari luar ke dalam rumah.
Baca juga: Eksklusif Yori Antar: Menjaga & Melestarikan Rumah Adat Demi Keberlangsungan Arsitektur Nusantara
Sementara untuk material, Pamuntjak menyesuaikannya dengan jenis proyek dan kebutuhan klien, sehingga tidak ada ciri khas khusus dari segi material. "Strategi-strategi desain ini yang sebenarnya banyak bisa kita lihat di rancangannya Pak Pamuntjak. Walaupun ada bukaan rumah yang tidak terlalu besar, pasti biasanya sepanjang fasad rumah itu berupa bukaan semua," katanya.
Tak hanya rumah tinggal, Pamuntjak juga pernah terlibat dalam perancangan beberapa bangunan publik di Jakarta, diantaranya Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, Depok, dan Gedung Femina di Kuningan. Proyek itu dipercayakan kepadanya ketika bertindak sebagai salah satu arsitek senior di biro Han Awal & Partners (HAP).
Pada ketiga gedung yang ada di Fakultas Sastra UI, terlihat beberapa ciri khas pendekatan desain Pamuntjak, yakni split-level, tangga dengan bidang pegangan berupa dinding miring (beberapa diberi bata tempel), atap miring, tritisan, dan beranda yang cukup luas untuk dijadikan area kegiatan informal mahasiswa. Dia juga mengatasi tinggi-rendah kontur area bangunan dengan undakan-undakan.
Sementara pada Gedung Femina yang mulai ditempati pada 1982, Pamuntjak mendesain bangunannya dengan eksterior yang unik menggunakan material batu bata dan bukaan yang berbentuk lingkaran pada fasad bangunannya. Dalam perkembangannya, gedung ini sempat direnovasi oleh Pamuntjak dengan penambahan lantai dan perubahan material pada fasad bangunan.
Karier arsitek Pamuntjak terus berlanjut hingga tahun 2006, dia memindahkan kantornya ke rumah pribadinya di Prapanca, Jakarta Selatan, setelah sebelumnya berkantor di Dharmawangsa sejak tahun 1995. Rumah tersebut dirancangnya dengan konsep SOHO, yang menampung fungsi hunian, kantor, dan ruang komersial dengan pengaturan program ruang yang efisien dalam satu bangunan. Rumah inilah yang menjadi saksi bagi kiprah terakhir Pamuntjak hingga akhir hayatnya.
Pamuntjak tutup usia pada 10 Desember 2020. Sepanjang karier arsitektur profesionalnya, dia tercatat telah merancang lebih dari 120 rumah tinggal dan puluhan proyek bangunan publik hingga perancangan skala kota.
Menurut Nisa, pendekatan desain arsitektur Pamuntjak semestinya bisa menjadi landasan dasar bagi para arsitek di Indonesia dalam merancang bangunannya, yakni yang sesuai dengan kondisi iklim tropis di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, tak sedikit arsitek yang justru lebih mengedepankan perkembangan tren arsitektur, dan melupakan pemahaman dasar tersebut.
"Karena percuma kalau rumah sudah bagus-bagus, tapi orang yang tinggal di dalamnya merasa kepanasan atau sering bocor, sehingga perawatan jadi mahal. Karena di Indonesia iklimnya tropis, jadi semua arsitek harusnya memikirkan itu," ucapnya.
Senada, Astrid juga berpendapat prinsip-prinsip fisika bangunan dari Pamuntjak bisa menjadi bahan rujukan bagi para arsitek di Indonesia, lantaran dinilai masih relevan dengan kebutuhan arsitektural hari ini.
Baca juga: Melihat Rumah-rumah Berlanggam Arsitektur Tropis ala Mustafa Pamuntjak
Jika kalian tertarik untuk menyimak perjalanan karier arsitektural sosok Mustafa Pamuntjak, datanglah ke pameran bertajuk Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak. Ekshibisi yang berlangsung hingga Agustus 2024 di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro ini mengajak pengunjung untuk menyelami proses perancangan rumah-rumah tinggal karya Pamuntjak, lewat sejumlah arsip seperti foto, dokumen, dan video interaktif.
Editor: Fajar Sidik
Sebagai arsitek, Astrid mengaku sangat terinspirasi dengan karya-karya arsitektural yang diciptakan oleh Mustafa Pamuntjak. Meski namanya tidak sepopuler rekan arsitek semasanya seperti Han Awal, Bianpoen, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan YB. Mangunwijaya, Pamuntjak dinilai memiliki pendekatan arsitektural menarik yang melampaui kemungkinan artistik pada zamannya.
Baca juga: Menyelami Karya Arsitektural Mustafa Pamuntjak dalam Pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian
Astrid menilai secara arsitektural, salah satu yang menonjol dari sosok Mustafa Pamuntjak ialah cara dan karakter sang arsitek mendekati klien. Menurutnya, sebagai arsitek, Pamuntjak memiliki pendekatan yang akrab sekaligus detail untuk benar-benar merancang rumah sesuai dengan preferensi dan kebutuhan klien.
"Itu yang tidak dimiliki atau terungkap dari arsitek-arsitek lain," katanya saat ditemui Hypeabis.id di sela-sela pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro, Senin (24/6/2024).
Perempuan pendiri biro desain SAIA Architecture itu juga melihat ciri khas lain yang menonjol dari sosok Pamuntjak ialah implementasi desain yang sesuai dengan iklim tropis di Indonesia, yakni ditandai dengan kehadiran tritisan, teras, dan atap yang besar. "Sehingga kualitas udara di rumah itu terjaga dengan baik," imbuhnya.
Pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak di Universitas Pembangunan Jaya Bintaro. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Mustafa Pamuntjak merupakan anak bungsu dari Kasuma Sutan Pamuntjak, pendiri sekaligus pemilik Penerbit Djambatan, salah satu penerbit tertua di Indonesia. Lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, Pamuntjak kemudian melanjutkan SMA di Leiden, Belanda.
Pada 1952, dia menempuh pendidikan tinggi di bidang arsitektur di Technische Hogeschool Delft, Belanda. Namun, akibat adanya ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda, dia pindah ke Jerman dan melanjutkan studinya di Technische Universitat (TU) Berlin pada 1957. Pamuntjak akhirnya lulus dan mendapatkan gelar Dipl.-Ing pada 1960.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Jacob Gatot Surarjo: Menghidupkan Bangunan, Komunitas & Kreativitas
Sekembalinya ke Indonesia pada 1962, Pamuntjak mengabdi di beberapa posisi di kementerian seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) dan Kementerian Riset Republik Indonesia.
Di samping itu, dia juga berpraktik sebagai arsitek profesional dengan berkolaborasi bersama rekannya dalam Han Awal & Partner hingga mendirikan biro arsiteknya sendiri pada 1995, Mustafa Pamuntjak & Associates.
Dengan bironya itu, Pamuntjak menangani ragam proyek dari skala mikro seperti rumah-rumah tinggal, hingga skala makro seperti penataan kawasan urban di beberapa kota di Indonesia serta mengkoordinasi manajemen proyek-proyek negara.
Suasana rumah di Jalan Bango karya Mustafa Pamuntjak. (Sumber gambar: William Sutanto, 2022)
Dalam merancang rumah tinggal, Pamuntjak meyakini bahwa rumah tidak hanya harus nyaman dihuni, tetapi juga perlu mengakomodasi preferensi dan kebiasaan sehari-hari sang penghuni. Dalam keseharian, penghuni berperan utama dalam mengadaptasikan arsitektur rumahnya, dan memiliki pilihan bebas dalam merespons ruang-ruang yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan, cara hidup, dan seleranya masing-masing.
Pada 2017, Pamuntjak pernah menuliskan kisahnya dalam buku persembahan untuk sahabatnya sesama arsitek, Han Awal. Dalam tulisannya, dia menceritakan pengalamannya selama menempuh pendidikan arsitektur di Jerman.
Baca juga: Begini Rancang Bangun Rumah Tumbuh yang Ideal Menurut Arsitek Cosmas Gozali
Salah satu ajaran gurunya yang menjadi prinsip kuat yang dia pegang yaitu bahwa arsitek sebelum merancang rumah tinggal harus memahami kehidupan sehari-hari dari klien atau pemberi tugasnya, bahkan bila perlu menginap bersama mereka agar bisa mengenal kepribadiannya secara mendalam.
Dengan latar belakang itu, Pamuntjak memiliki banyak pertimbangan dalam merancang bangunan, terlebih untuk rumah tinggal yang bersifat lebih personal. Dia memiliki sejumlah daftar yang dijadikannya sebagai acuan dasar untuk memahami klien sebelum memulai membuatkan desainnya, mulai dari kebiasaan, cara hidup, hingga hobi penghuni rumah.
Sebagai arsitek, Pamuntjak berprinsip bahwa ruang dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan. Akan tetapi, kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya. Oleh karena itu, ruang yang diciptakan harus dapat berkembang, bebas untuk bergerak, terbuka, sekaligus akrab.
Suasana rumah di Jalan Jaya Mandala karya Mustafa Pamuntjak. (Sumber gambar: William Sutanto, 2022)
Di samping itu, desain arsitekturalnya juga memiliki ciri khas yakni peka terhadap iklim tropis dengan teras luas dan bukaan yang lebar. Hal ini juga dia terapkan dalam merancang rumah pribadinya di Hang Jebat, Jakarta Selatan, yang ditempatinya sejak 1980-an.
Rumah tinggalnya itu menunjukkan kekhasan karakter desain yang fungsional, dengan pertimbangan iklim tropis Indonesia. Sementara ruang dalam dan beranda rumah menjadi ruang yang teduh dan nyaman untuk keluarga berkumpul. Hal ini juga yang tampak pada rumah-rumah rancangannya yang ikonik seperti yang berlokasi di Jalan Bango, Jalan Jaya Mandala, di bilangan Cibubur, serta beberapa proyek rumah tinggal di kawasan Bogor, Jawa Barat.
Peneliti dari Yayasan Museum Arsitektur Indonesia Siti Arfah Annisa mengatakan konsep desain arsitektur tropis yang diusung oleh Mustafa Pamuntjak tak sekadar menghadirkan nuansa hijau dan asri pada rumah. Lebih dari itu, sang arsitek merancang bangunannya dengan mempertimbangkan kondisi iklim tropis di Indonesia.
Misalnya, menghadirkan tritisan yang cukup lebar untuk menghindari air hujan yang masuk pada hunian. Selain itu, bukaan-bukaan yang lebar pada rumah sehingga hunian tetap sejuk dan nyaman, sekalipun tidak menggunakan pendingin ruangan. Begitupun dengan teras-teras yang luas, yang hadir untuk menopang tritisan yang panjang sekaligus menciptakan ruang transisi udara dari luar ke dalam rumah.
Baca juga: Eksklusif Yori Antar: Menjaga & Melestarikan Rumah Adat Demi Keberlangsungan Arsitektur Nusantara
Sementara untuk material, Pamuntjak menyesuaikannya dengan jenis proyek dan kebutuhan klien, sehingga tidak ada ciri khas khusus dari segi material. "Strategi-strategi desain ini yang sebenarnya banyak bisa kita lihat di rancangannya Pak Pamuntjak. Walaupun ada bukaan rumah yang tidak terlalu besar, pasti biasanya sepanjang fasad rumah itu berupa bukaan semua," katanya.
Tak hanya rumah tinggal, Pamuntjak juga pernah terlibat dalam perancangan beberapa bangunan publik di Jakarta, diantaranya Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, Depok, dan Gedung Femina di Kuningan. Proyek itu dipercayakan kepadanya ketika bertindak sebagai salah satu arsitek senior di biro Han Awal & Partners (HAP).
Pada ketiga gedung yang ada di Fakultas Sastra UI, terlihat beberapa ciri khas pendekatan desain Pamuntjak, yakni split-level, tangga dengan bidang pegangan berupa dinding miring (beberapa diberi bata tempel), atap miring, tritisan, dan beranda yang cukup luas untuk dijadikan area kegiatan informal mahasiswa. Dia juga mengatasi tinggi-rendah kontur area bangunan dengan undakan-undakan.
Sementara pada Gedung Femina yang mulai ditempati pada 1982, Pamuntjak mendesain bangunannya dengan eksterior yang unik menggunakan material batu bata dan bukaan yang berbentuk lingkaran pada fasad bangunannya. Dalam perkembangannya, gedung ini sempat direnovasi oleh Pamuntjak dengan penambahan lantai dan perubahan material pada fasad bangunan.
Suasana rumah sekaligus kantor Mustafa Pamuntjak & Associates di Jalan Prapanca, Jakarta Selatan. (Sumber gambar: William Sutanto, 2022)
Pamuntjak tutup usia pada 10 Desember 2020. Sepanjang karier arsitektur profesionalnya, dia tercatat telah merancang lebih dari 120 rumah tinggal dan puluhan proyek bangunan publik hingga perancangan skala kota.
Menurut Nisa, pendekatan desain arsitektur Pamuntjak semestinya bisa menjadi landasan dasar bagi para arsitek di Indonesia dalam merancang bangunannya, yakni yang sesuai dengan kondisi iklim tropis di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, tak sedikit arsitek yang justru lebih mengedepankan perkembangan tren arsitektur, dan melupakan pemahaman dasar tersebut.
"Karena percuma kalau rumah sudah bagus-bagus, tapi orang yang tinggal di dalamnya merasa kepanasan atau sering bocor, sehingga perawatan jadi mahal. Karena di Indonesia iklimnya tropis, jadi semua arsitek harusnya memikirkan itu," ucapnya.
Senada, Astrid juga berpendapat prinsip-prinsip fisika bangunan dari Pamuntjak bisa menjadi bahan rujukan bagi para arsitek di Indonesia, lantaran dinilai masih relevan dengan kebutuhan arsitektural hari ini.
Baca juga: Melihat Rumah-rumah Berlanggam Arsitektur Tropis ala Mustafa Pamuntjak
Jika kalian tertarik untuk menyimak perjalanan karier arsitektural sosok Mustafa Pamuntjak, datanglah ke pameran bertajuk Dari Rumah ke Rumah: Keseharian Dalam Karya Mustafa Pamuntjak. Ekshibisi yang berlangsung hingga Agustus 2024 di Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) Bintaro ini mengajak pengunjung untuk menyelami proses perancangan rumah-rumah tinggal karya Pamuntjak, lewat sejumlah arsip seperti foto, dokumen, dan video interaktif.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.