Arsitek Indonesia Yori Antar (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Eksklusif Yori Antar: Menjaga & Melestarikan Rumah Adat Demi Keberlangsungan Arsitektur Nusantara

05 February 2024   |   21:00 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Bicara soal arsitektur di dalam negeri, ada satu nama yang tidak bisa dilepaskan dengan bidang tersebut. Dialah arsitek senior Yori Antar. Pria kelahiran 14 Mei 1962 itu bahkan disebut-sebut sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara, berkat kiprahnya berkarya dengan arsitektur khas Indonesia. 

Penyematan nama sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara tidak datang begitu saja. Yori memang sudah lama fokus terhadap pelestarian warisan budaya lokal dalam lanskap arsitektur nasional. Dia tertarik dengan bangunan-bangunan  atau rumah adat yang ada di penjuru Indonesia. 

Baca juga: Eksklusif Profil Jim Supangkat: Membaca Peta Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham

Proyek-proyek yang dikerjakannya membuat rumah adat Nusantara tetap eksis dan lestari, sebuah kekayaan yang sangat tidak ternilai harganya. Selain itu, dia juga telah banyak mengerjakan proyek terkait bangunan-bangunan bersejarah, melibatkan masyarakat, pihak swasta, hingga pemerintah. 

Dalam sebuah kesempatan, tim Hypeabis.id mendapat kans untuk berbincang langsung dengan Yori Antar di kantor Han Awal & Partners Architects di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten, mengenai berbagai hal terkait kiprahnya di bidang arsitektur nasional. Berikut cukilan wawancaranya. 

 
Yori Antar (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Bagaimana awal Anda berkecimpung dalam dunia arsitektur dan apa yang membuat Anda ingin menekuni bidang ini?

Pada saat itu, saya tidak memiliki cita-cita menjadi arsitek. Namun, bapak saya adalah seorang arsitek. Jadi, lulus sekolah saya memutuskan masuk jurusan mesin di Universitas Indonesia. Selama belajar, saya merasa bahwa jiwanya tidak ada di jurusan ini.

Saya baru paham bahwa saya senang berimajinasi. Akhirnya, pada semester 3, pindah ke jurusan ke arsitek daripada drop out, dan berhasil lulus. Begitu lulus, saya telah memiliki kantor yang dimiliki oleh ayah.

Meskipun begitu, saya mencari apa yang ingin dicapai. Kalau ayah sudah memiliki banyak pencapaian, punya banyak proyek dengan beraneka ragam klien, termasuk tokoh-tokoh pelestarian bangunan-bangunan tua bersejarah. Singkat cerita, saya memiliki jalan hidup dalam melestarikan rumah adat.

Apa yang menjadi pemantik Anda untuk fokus ke arsitektur khas Indonesia?

Pada saat lulus, saya membentuk forum Arsitek Muda Indonesia (AMI). Di sini anggotanya kerap berdiskusi dengan sangat panas. Mereka juga rajin memberikan masukan tentang karya arsitektur yang dimiliki. Dengan kata lain, ada kritik dan sebagainya dalam forum ini. 

Pada saat lulus, saya membentuk forum Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dalam forum ini, para anggotanya kerap berdiskusi dengan sangat panas. Para anggotanya juga kerap memberikan masukan tentang karya arsitektur yang dimiliki. Dengan kata lain, ada kritik dan sebagainya dalam forum ini.

Pada suatu waktu, kami melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melihat karya arsitektur dari para maestro. Selama perjalanan di luar negeri, saya memiliki banyak pertanyaan tentang benang merah antara arsitektur Indonesia dan budaya yang tidak mempunyai keterkaitan.

Lalu, saya terkena “tamparan” ketika mengunjungi Tibet. Waktu itu saya ke Tibet dan sepulang dari sana membuat buku berjudul Tibet di Otak. Untuk melengkapi buku itu, kami ingin meminta sambutan dari Dalai Lama (Kepala Tibetan Buddhism)

Tidak diduga, surat itu mendapatkan jawaban kurang dari dua minggu. Dalam surat yang diajukan, kami menulis tentang perjalanan mengunjungi Tibet yang sangat menginspirasi. Kami juga menjelaskan pemandangan yang indah, biara-biara, dan juga aura spiritual yang sangat universal.

Di situ dituliskan juga bahwa kami ingin menceritakan Tibet dari kacamata orang Indonesia, karena tidak banyak orang Indonesia yang mengenal Tibet. Pada saat itu, kami menulis bahwa Tibet lebih dikenal sebagai negeri dongeng atau legenda.

Jawaban Dalai Lama membuat kami terkejut. Pada waktu itu, Dalai Lama menuliskan bahwa dari dahulu masyarakat Tibet selalu mengenang Indonesia melalui pendirinya, meskipun tidak banyak orang Indonesia yang mengenal Tibet. Pendiri Tibet adalah orang yang belajar kepada seorang guru di bumi Nusantara pada abad ke-11. Jadi, Setiap orang di negeri Tibet mendapatkan pengetahuan tentang hal itu. 

Baca juga: Eksklusif Profil Desainer Interior Kezia Karin: Berkarya Tanpa Batas di Dunia Tata Ruang

Dari situ saya merasa malu bahwa saya tidak mengenal sejarah negara sendiri. Saya pun memutuskan mengubah mindset untuk melihat arsitektur Indonesia. Saya membuat perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia setiap tahun bersama kantor.

Saya menemukan jawaban dari kegelisahan saat tiba di Flores pada 2008. Saat itu, saya menemukan desa yang nyaris punah. Kala itu, saya juga pension sebagai turis yang datang ke suatu daerah, mengambil ilmunya lalu pergi. Namun, masyarakat tidak dapat apa-apa.

Saya ingin menjadi bagian dari masyarakat. Saya merasa berdosa jika melihat ada desa adat yang hampir punah, tetapi tidak melakukan apa-apa. Dari saat itu, saya menemukan formula membangun bersama masyarakat secara gotong royong. Selama ini, kita orang modern hanya melihat mereka dari luar ke dalam - bukan dari dalam ke luar. Itu yang mengubah mindset saya.

Jadi, ilmu pengetahuan ini luar biasa, harta karun. Metode itu saya pakai untuk membangun rumah adat di tempat lain. Saya menemukan narasi budaya lisan itu. Budaya lisan adalah mendengarkan mereka bicara, sesederhana itu.

Kita selama ini ternyata tidak tidak mendengarkan mereka bicara, langsung dari atas ke bawah saja. Padahal, kalau mendengarkan apa yang dibicarakan oleh mereka, mereka akan terlibat.

Rumah adat apa yang pertama kali Anda bangun?

Rumah adat pertama yang saya bangun adalah Wae Rebo pada 2008. Kalau sampai saat ini, kami sudah membangun di 60 titik di seluruh pelosok Nusantara, dari Aceh sampai Papua.

Sekarang, saya merasa sebagai orang Indonesia sudah meng-Indonesia. Selama ini Indonesia, tetapi hanya KTP.  Saya mulai mengerti seperti apa Indonesia dari Sabang sampai Merauke setelah membangun rumah adat bersama dengan masyarakat setempat. 
 

Arsitek Yori Antar (Sumber gambar: Hypeabis.id)

Arsitek Yori Antar (Sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)


Bagaimana bapak melihat pasar arsitektur Nusantara pada saat ini?

Pasar Indonesia terbuka luas bagi arsitektur Indonesia. Masyarakat ingin sesuatu yang lokal pada saat ini. Mereka mengambil filosofi yang dimiliki oleh arsitektur Nusantara, dan tidak hanya sekadar fasad.

Saya rasa sulit jika hanya gayanya saja. Bagaimana pun, gaya hanya fasad dan nanti orang hanya terjebak dengan fesyen. Padahal, bagian terpentingnya adalah tata ruang yang menunjukkan kita sebagai masyarakat sosial, masyarakat yang ramah.

Tata ruang dari arsitektur Nusantara penuh dengan kearifan lokal yang luar biasa seperti open space, dapat membuat komunikasi dengan tetangga, dan sebagainya. Di daerah seperti Pulau Nias terdapat fasad bangunan hingga puluhan macam karena kekayaannya.

Salah satu contoh nilai kearifan lokal yang ada dari arsitektur Nusantara adalah ketahanan bangunan terhadap gempa. Seorang profesor dari Jepang pernah datang ke Nias untuk mempelajari rumah adat di sana.

Profesor itu terkejut lantaran rumah adat Nias bisa bertahan dengan gempa berkekuatan 1-15 skala richter. Arsitektur Nusantara memiliki kelebihan strukturnya yang tidak melukai bumi, sehingga saat gempa bangunan dapat lebih tahan.

Bagaimana Anda melihat arsitek pada saat ini, terutama dari kalangan generasi muda?

Jujur, saya melihatnya mereka sedang galau. Mereka sedang mencari apa itu arsitektur Indonesia. Di seminar-seminar arsitektur Indonesia menjadi perbincangan, tetapi tidak ketemu. Mereka tidak dapat menemukannya karena menggunakan pendekatan yang berbeda.

Arsitektur Indonesia dapat ditemukan jika para arsitek muda menggunakan pendekatan dengan ikut membangun, menjadi bagian dari masyarakat, ikut gotong royong, dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Arsitektur Indonesia bukan tidak menjadi perhatian. Arsitektur ini telah menjadi perhatian para arsitek berpuluh-puluh tahun, tapi pendekatannya yang beda. 

Menurut Anda, apa yang harus dimiliki oleh seorang arsitek muda?

Bagi saya, seorang arsitek harus menjadi penemu, penjelajah. Kalau ingin menjadi penemu dan penjelajah, dunia arsitektur terbuka luas. Negara kita membutuhkan banyak arsitek. Namun, kalau arsitek hanya mau berpikir text books, mereka hanya membatasi diri.

Arsitek muda harus mencari tempat-tempat yang belum pernah disentuh oleh arsitek lainnya. Saat ini, saya bersama dengan masyarakat Baduy, sudah membangun jembatan bambu sebanyak empat kali. Saya tidak mengajari mereka membangun jembatan. Namun, saya menjadi bagian dengan ikut saweran.

Saat berada di tengah-tengah masyarakat, saya mendapatkan banyak data dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga dan kaya. Mereka bisa membangun jembatan sepanjang 40 meter dalam 8 jam dengan melibatkan 300 orang.

Pembangunan jembatan dengan bahan bambu bagi sebagian orang memang terlihat pemborosan lantaran hanya bertahan 2-3 tahun. Namun, di balik pembangunan itu terdapat proses sosial yang terjadi. Saat pembangunan, masyarakat Baduy dalam dan luar bisa saling bertemu. 

Apa mimpi yang masih belum tercapai sampai saat ini?

Saya memiliki banyak harapan yang dapat terwujud dan menjadi cita-cita, yakni menemukan formula untuk menjawab semua persoalan dalam permasalah arsitektur khas Indonesia terkait kepemilikan, masyarakat, alam, lingkungan, dan sebagainya.

Saya berharap pada masa yang akan datang, ilmu itu bisa dikerucutkan dalam sebuah formula yang bisa dibagikan kepada masyarakat dan teman-teman arsitek. Kandungan arsitektur yang saya garap sudah cukup lengkap, sifatnya sejarah, arkeologis, masa kini, dan masa depan.

Saya merasa semua orang bisa terlibat dengan arsitektur jika arsitektur bisa diterjemahkan dengan mudah. Banyak orang di Indonesia yang ingin terlibat dalam arsitektur karena orang Indonesia adalah individu yang kreatif. 

Baca juga: Hypereport: Kerja Berat Melestarikan Bangunan Cagar Budaya

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Warna Baju Imlek 2024 Menurut Shio, Buang Sial & Bisa Bawa Hoki

BERIKUTNYA

Rekomendasi 6 Wisata Pecinan yang Layak Dikunjungi saat Imlek Tiba

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: