Hypereport: Eksistensi Film Skenario Orisinal di Tengah Maraknya Sinema Adaptasi
25 March 2024 |
20:37 WIB
Industri perfilman Indonesia terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sejumlah sineas berbakat tanah air, seolah tak pernah kehabisan ide meramu kisah-kisah menarik kemudian mengemasnya jadi sebuah film yang berkesan di hati penonton.
Sayangnya beberapa tahun belakangan, negara kita tengah mengalami krisis orisinalitas. Kini banyak bermunculan film-film yang diadaptasi dari utas viral media sosial, web komik, novel, serial atau film yang sudah pernah dirterbitkan atau ditayangkan sebelumnya. Keberadaannya dikhawatirkan mulai menggeser karya-karya film dengan skenario orisinal.
Film dengan skenario orisinal merupakan tayangan yang menghadirkan ide-ide dan sudut pandang yang baru dan segar, serta genre yang jarang atau belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Eksistensinya mampu menjaga keberagaman dan kekayaan dalam industri perfilman Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dari Twitter ke Layar Lebar, Adaptasi Utas Viral Jadi Film Horor Terlaris
2. Hypereport: Ekosistem Penting Untuk Memacu Karya Film Orisinal
3. Hypereport: Upaya Mencetak Penulis Skenario Andal di Jagat Sinema Lokal
4. Hypereport: Film Adaptasi Novel & Webtoon Warnai Industri Film Indonesia
5. Hypereport: Deretan Film Lokal Pemenang Skenario Asli Terbaik Piala Citra
Seperti yang kita tahu belakangan ini, film-film horor dan romansa selalu mendominasi pasar. Pada akhirnya, sedikit banyak ini akan memengaruhi sineas dan rumah produksi untuk menggarap genre-genre serupa ketimbang mencoba hal baru yang hasilnya belum pasti.
Menurut data Cinepoint, film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini, di antaranya ada KKN di Desa Penari (2022) 10.061.033 penonton, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) 6.858.616 penonton, Pengabdi Setan 2: Communion (2022) 6.391.982 penonton.
Selanjutnya Dilan 1990 (2018) 6.315.664 penonton, Miracle in Cell No.7 (2022): 5.852.916 penonton, Dilan 1991 (2019) 5.253.411 penonton, Agak Laen (2024): 4.987.385 penonton, Sewu Dino (2023): 4.891.609 penonton, Laskar Pelangi (2008) 4.719.453 penonton, serta Habibie & Ainun (2012) 4.583.641 penonton.
Menariknya, sebagian besar film tersebut didominasi oleh karya-karya adaptasi, baik dari utas, novel, bahkan film negara lain. Misalnya KKN di Desa Penari dari utas viral Simpleman dan Dilan 1991 yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq. Sebelum diadaptasi jadi film, karya-karya tersebut sangat populer bahkan sudah memiliki audiensnya sendiri.
Menanggapi hal ini, Riri Riza, seorang sutradara, penulis skenario, dan produser film asal Indonesia membenarkan bahwa suatu film memang mungkin saja diadaptasi dari berbagai medium, terutama dari utas yang viral di media sosial. Saat menggarap film adaptasi, rumah produksi bakal membeli Intellectual Property (IP) pencipta aslinya.
"3-4 tahun terakhir unggahan-unggahan utas viral banyak diadaptasi menjadi film, ini sangat efektif karena kita sudah punya modal calon penonton dari followers-nya," kata Riri Riza kepada Hypeabis.id.
Menurutnya, merilis film yang sudah memiliki Intellectual Property kuat lebih mudah ketimbang merumuskan sesuatu yang baru dan orisinal. Kita sudah punya penonton, bahkan sebelum filmya tayang secara resmi. Bisa diprediksi keuntungannya pun bakal besar. Meski begitu, hal ini tak lantas membuat industri perfilman negara kita mengalami suatu hal yang disebut krisis orisinalitas.
"Film dengan cerita orisinal, eksistensinya masih kuat sejak era 1950-an, misalnya film-film Usmar Ismail, bisa dibilang dari 20 mungkin hanya ada 2-3 film yang diadaptasi dari novel, selebihnya orisinal," katanya.
Sementara itu, Riri Riza sendiri sepanjang berkarier di industri film tanah air, dirinya telah merilis sebanyak 19 film yang enam di antaranya diadaptasi dari medium lain. Misalnya, Gie (2005) yang kisahnya diambil dari buku catatan harian Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Seorang Demostran.
Selanjutnya ada Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata, lalu ada Sokola Rimba (2013) yang diambil dari catatan Butet Manurung. Tak ketinggalan ada juga adaptasi dari film Korea Selatan berjudul Sunny atau judul bahasa Indonesianya, Bebas yang dirilis pada 2011.
Meski karya-karya filmya banyak yang diadaptasi dari medium lain, Riri Riza cukup sering membuat film orisinal sebut saja Kuldesak (1998), Eliana, Eliana (2002), Atambua 39° Celcius (2012), Paranoia (2021), dan masih banyak lagi. Sutradara kelahiran 1970 tersebut mengupas proses penggarapan film-film orisinal yang menurutnya lebih panjang dan lama ketimbang film adaptasi.
"Saya sendiri dalam menggarap film orisinal, selalu memulainya dari jauh-jauh hari karena butuh waktu lebih banyak untuk mengembangkannya jadi sebuah cerita yang matang," katanya.
Beda dengan film adaptasi yang sudah memiliki plot ceritanya sendiri, sehingga tidak banyak memakan waktu saat proses pengerjaannya. Sebaliknya, penggarapan film orisinal benar-benar dimulai dari ide mentah. Perlu dilakukan riset yang lebih mendalam mengenai ide ceritanya, dimulai dengan proses brainstorming untuk menentukan tema, membangun penokohan dan alurnya, sampai mematangkan konsep film tersebut.
Riri Riza sendiri biasanya menabung ide-ide menarik untuk tema filmnya. Inspirasinya biasanya datang dari sekitarnya. Hal-hal sederhana yang terhubung dengan kehidupan masyarakat masa kini. Selanjutnya dia bakal menentukan, mana yang lebih dulu akan dibuat film. Semuanya dipertimbangkan berdasarkan minat dan ketertarikan masyarakat modern.
Mengenalkan film orisinal, artinya menyuguhkan suatu hal baru untuk penonton. Baik sutradara maupun rumah produksi akan melakukan riset pasar mengenai genre-genre film seperti apa yang berpotensi besar untuk sukses dan digemari banyak orang.
"Menggarap film orisinal, artinya kita bisa lebih bebas dan kreatif, tetap ada pertimbangan selera pasar," katanya.
Baik film orisinal maupun adaptasi masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Menggarap film orisinal, artinya tidak ada yang bisa membatasi ruang gerak para sineas untuk berkreasi. Namun di sisi lain bisa menjadi bumerang ketika selera pasar tidak bisa diprediksi.
Pada sisi lain, film adaptasi sudah memiliki audiensnya sendiri bahkan sebelum resmi dirilis. Sayang, dalam proses penggarapannya sedikit banyak akan mengungkung kreativitas para sineas. Mereka juga melibatkan banyak pihak dalam satu waktu yang tidak menutup kemungkinan bisa memicu gesekan atau perbedaan pendapat.
"Kalau film adaptasi harus beli IP dulu, kadang setelah dibeli pun belum tentu semuanya milik kita, biasanya ada negosiasi lagi untuk mempertimbangkan siapa yang punya hak penuh atas karya tersebut," katanya.
"Sebetulnya thread dan novel, masih bisa dibilang orisinal karena itu hasil karya kreator Indonesia juga, jadi adaptasi ini lebih ke proses bagaimana mengalihkannya dari sastra jadi film," kata Nadia.
Lebih lanjut dia berujar, sebenarnya yang dikhawatirkannya adalah remake dari film luar negeri. Padahal negara kita punya sineas berbakat yang mahir menggarap ide-ide unik dan menarik menjadi sebuah film. Sayangnya, pasar perfilman Indonesia belum beragam, masih didominasi genre-genre tertentu saja.
"Kita liat di bioskop kebanyakan film horor dan romance saja, tapi film dengan genre lain yang lebih variatif masih kurang," paparnya.
Menurutnya, demografi penduduk negara kita umumnya meminati dua genre tadi. Bisa dipastikan horor dan romansa sudah pasti menarik banyak penonton dari berbagai kalangan. Inilah yang kemudian membuat rumah produksi melihat potensi, bahwa film itulah yang akan untung.
"Bisa juga orang-orang suka genre horor dan romance, karena memang dari dulu selalu dikasih dua genre itu saja," kata Nadia.
Dia menyayangkan, sebetulnya para sineas bisa menciptakan pasar film yang lebih variatif. Bioskop juga memberikan ruang putar yang sama, dalam artian tidak membatasi genre tertentu.
Terlepas dari permasalahan ini, sejumlah sineas dan pihak terkait selalu berupaya mengatasi krisis orisinalitas atas karya luar negeri, serta menciptakan pasar perfilman yang lebih beragam. Ini termasuk dukungan untuk pendidikan film, pembangunan infrastruktur industri perfilman yang lebih baik, serta pengembangan kebijakan yang mendukung produksi dan distribusi film-film orisinal Indonesia.
"Semoga industri film Indonesia bisa terus berkembang dengan memunculkan karya-karya yang lebih orisinal dan beragam," tutupnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Sayangnya beberapa tahun belakangan, negara kita tengah mengalami krisis orisinalitas. Kini banyak bermunculan film-film yang diadaptasi dari utas viral media sosial, web komik, novel, serial atau film yang sudah pernah dirterbitkan atau ditayangkan sebelumnya. Keberadaannya dikhawatirkan mulai menggeser karya-karya film dengan skenario orisinal.
Film dengan skenario orisinal merupakan tayangan yang menghadirkan ide-ide dan sudut pandang yang baru dan segar, serta genre yang jarang atau belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Eksistensinya mampu menjaga keberagaman dan kekayaan dalam industri perfilman Indonesia.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dari Twitter ke Layar Lebar, Adaptasi Utas Viral Jadi Film Horor Terlaris
2. Hypereport: Ekosistem Penting Untuk Memacu Karya Film Orisinal
3. Hypereport: Upaya Mencetak Penulis Skenario Andal di Jagat Sinema Lokal
4. Hypereport: Film Adaptasi Novel & Webtoon Warnai Industri Film Indonesia
5. Hypereport: Deretan Film Lokal Pemenang Skenario Asli Terbaik Piala Citra
Seperti yang kita tahu belakangan ini, film-film horor dan romansa selalu mendominasi pasar. Pada akhirnya, sedikit banyak ini akan memengaruhi sineas dan rumah produksi untuk menggarap genre-genre serupa ketimbang mencoba hal baru yang hasilnya belum pasti.
Menurut data Cinepoint, film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini, di antaranya ada KKN di Desa Penari (2022) 10.061.033 penonton, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) 6.858.616 penonton, Pengabdi Setan 2: Communion (2022) 6.391.982 penonton.
Selanjutnya Dilan 1990 (2018) 6.315.664 penonton, Miracle in Cell No.7 (2022): 5.852.916 penonton, Dilan 1991 (2019) 5.253.411 penonton, Agak Laen (2024): 4.987.385 penonton, Sewu Dino (2023): 4.891.609 penonton, Laskar Pelangi (2008) 4.719.453 penonton, serta Habibie & Ainun (2012) 4.583.641 penonton.
Menariknya, sebagian besar film tersebut didominasi oleh karya-karya adaptasi, baik dari utas, novel, bahkan film negara lain. Misalnya KKN di Desa Penari dari utas viral Simpleman dan Dilan 1991 yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq. Sebelum diadaptasi jadi film, karya-karya tersebut sangat populer bahkan sudah memiliki audiensnya sendiri.
Menanggapi hal ini, Riri Riza, seorang sutradara, penulis skenario, dan produser film asal Indonesia membenarkan bahwa suatu film memang mungkin saja diadaptasi dari berbagai medium, terutama dari utas yang viral di media sosial. Saat menggarap film adaptasi, rumah produksi bakal membeli Intellectual Property (IP) pencipta aslinya.
"3-4 tahun terakhir unggahan-unggahan utas viral banyak diadaptasi menjadi film, ini sangat efektif karena kita sudah punya modal calon penonton dari followers-nya," kata Riri Riza kepada Hypeabis.id.
Menurutnya, merilis film yang sudah memiliki Intellectual Property kuat lebih mudah ketimbang merumuskan sesuatu yang baru dan orisinal. Kita sudah punya penonton, bahkan sebelum filmya tayang secara resmi. Bisa diprediksi keuntungannya pun bakal besar. Meski begitu, hal ini tak lantas membuat industri perfilman negara kita mengalami suatu hal yang disebut krisis orisinalitas.
"Film dengan cerita orisinal, eksistensinya masih kuat sejak era 1950-an, misalnya film-film Usmar Ismail, bisa dibilang dari 20 mungkin hanya ada 2-3 film yang diadaptasi dari novel, selebihnya orisinal," katanya.
Sementara itu, Riri Riza sendiri sepanjang berkarier di industri film tanah air, dirinya telah merilis sebanyak 19 film yang enam di antaranya diadaptasi dari medium lain. Misalnya, Gie (2005) yang kisahnya diambil dari buku catatan harian Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Seorang Demostran.
Selanjutnya ada Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata, lalu ada Sokola Rimba (2013) yang diambil dari catatan Butet Manurung. Tak ketinggalan ada juga adaptasi dari film Korea Selatan berjudul Sunny atau judul bahasa Indonesianya, Bebas yang dirilis pada 2011.
Meski karya-karya filmya banyak yang diadaptasi dari medium lain, Riri Riza cukup sering membuat film orisinal sebut saja Kuldesak (1998), Eliana, Eliana (2002), Atambua 39° Celcius (2012), Paranoia (2021), dan masih banyak lagi. Sutradara kelahiran 1970 tersebut mengupas proses penggarapan film-film orisinal yang menurutnya lebih panjang dan lama ketimbang film adaptasi.
"Saya sendiri dalam menggarap film orisinal, selalu memulainya dari jauh-jauh hari karena butuh waktu lebih banyak untuk mengembangkannya jadi sebuah cerita yang matang," katanya.
Beda dengan film adaptasi yang sudah memiliki plot ceritanya sendiri, sehingga tidak banyak memakan waktu saat proses pengerjaannya. Sebaliknya, penggarapan film orisinal benar-benar dimulai dari ide mentah. Perlu dilakukan riset yang lebih mendalam mengenai ide ceritanya, dimulai dengan proses brainstorming untuk menentukan tema, membangun penokohan dan alurnya, sampai mematangkan konsep film tersebut.
Riri Riza sendiri biasanya menabung ide-ide menarik untuk tema filmnya. Inspirasinya biasanya datang dari sekitarnya. Hal-hal sederhana yang terhubung dengan kehidupan masyarakat masa kini. Selanjutnya dia bakal menentukan, mana yang lebih dulu akan dibuat film. Semuanya dipertimbangkan berdasarkan minat dan ketertarikan masyarakat modern.
Mengenalkan film orisinal, artinya menyuguhkan suatu hal baru untuk penonton. Baik sutradara maupun rumah produksi akan melakukan riset pasar mengenai genre-genre film seperti apa yang berpotensi besar untuk sukses dan digemari banyak orang.
"Menggarap film orisinal, artinya kita bisa lebih bebas dan kreatif, tetap ada pertimbangan selera pasar," katanya.
Baik film orisinal maupun adaptasi masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Menggarap film orisinal, artinya tidak ada yang bisa membatasi ruang gerak para sineas untuk berkreasi. Namun di sisi lain bisa menjadi bumerang ketika selera pasar tidak bisa diprediksi.
Pada sisi lain, film adaptasi sudah memiliki audiensnya sendiri bahkan sebelum resmi dirilis. Sayang, dalam proses penggarapannya sedikit banyak akan mengungkung kreativitas para sineas. Mereka juga melibatkan banyak pihak dalam satu waktu yang tidak menutup kemungkinan bisa memicu gesekan atau perbedaan pendapat.
"Kalau film adaptasi harus beli IP dulu, kadang setelah dibeli pun belum tentu semuanya milik kita, biasanya ada negosiasi lagi untuk mempertimbangkan siapa yang punya hak penuh atas karya tersebut," katanya.
Karya Film Orisinal dan Adaptasi dari Kacamata Pengamat
Sugar Nadia, Komite Film DKJ sekaligus Direktur Festival Film Madani menanggapi isu krisis orisinalitas di industri perfilman tanah air. Berdasarkan pengamatannya, apa yang selama ini kita sebut sebagai film adaptasi, menurutnya masih bisa dikategorikan orisinal asal dibuat oleh kreator kokal."Sebetulnya thread dan novel, masih bisa dibilang orisinal karena itu hasil karya kreator Indonesia juga, jadi adaptasi ini lebih ke proses bagaimana mengalihkannya dari sastra jadi film," kata Nadia.
Lebih lanjut dia berujar, sebenarnya yang dikhawatirkannya adalah remake dari film luar negeri. Padahal negara kita punya sineas berbakat yang mahir menggarap ide-ide unik dan menarik menjadi sebuah film. Sayangnya, pasar perfilman Indonesia belum beragam, masih didominasi genre-genre tertentu saja.
"Kita liat di bioskop kebanyakan film horor dan romance saja, tapi film dengan genre lain yang lebih variatif masih kurang," paparnya.
Menurutnya, demografi penduduk negara kita umumnya meminati dua genre tadi. Bisa dipastikan horor dan romansa sudah pasti menarik banyak penonton dari berbagai kalangan. Inilah yang kemudian membuat rumah produksi melihat potensi, bahwa film itulah yang akan untung.
"Bisa juga orang-orang suka genre horor dan romance, karena memang dari dulu selalu dikasih dua genre itu saja," kata Nadia.
Dia menyayangkan, sebetulnya para sineas bisa menciptakan pasar film yang lebih variatif. Bioskop juga memberikan ruang putar yang sama, dalam artian tidak membatasi genre tertentu.
Terlepas dari permasalahan ini, sejumlah sineas dan pihak terkait selalu berupaya mengatasi krisis orisinalitas atas karya luar negeri, serta menciptakan pasar perfilman yang lebih beragam. Ini termasuk dukungan untuk pendidikan film, pembangunan infrastruktur industri perfilman yang lebih baik, serta pengembangan kebijakan yang mendukung produksi dan distribusi film-film orisinal Indonesia.
"Semoga industri film Indonesia bisa terus berkembang dengan memunculkan karya-karya yang lebih orisinal dan beragam," tutupnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.