Profil dan Karya Riken Yamamoto, Arsitek Jepang Peraih Pritzker Architecture Prize 2024
06 March 2024 |
19:12 WIB
Arsitek Jepang Riken Yamamoto meraih penghargaan Pritzker Architecture Prize ke-53. Penghargaan tertinggi di bidang arsitektur itu diraih Yamamoto berkat karya-karyanya yang kerap mengusung konsep bangunan sederhana dengan menekankan komunitas dan konektivitas.
Karya-karyanya dinilai relevan dengan kebutuhan arsitektur pada masa depan. Desain arsitektur Yamamoto yang kerap mengaburkan batasan antara ruang publik dan pribadi dianggap dapat diterapkan pada kota-kota masa depan.
Menciptakan kondisi melalui arsitektur yang memberikan banyak kesempatan dan ruang bagi masyarakat untuk berkumpul dan berinteraksi dinilai menjadi salah satu hal yang paling diperlukan pada masa depan perkotaan.
Baca juga: Arsitek Jepang Riken Yamamoto Raih Penghargaan Pritzker Architecture Prize 2024
Selama lima dekade kariernya, Yamamoto telah membangun banyak rumah pribadi, proyek perumahan, sekolah, kampus universitas, gedung-gedung sipil, museum dan bahkan stasiun pemadam kebakaran yang tersebar di banyak negara seperti Jepang, China, Korea, dan Swiss.
Karya-karyanya seringkali menggabungkan teras, halaman, dan ruang luar lainnya yang dapat mendorong interaksi dengan lingkungan sekitar bangunan. Beberapa karya monumentalnya mencakup Universitas Nagoya Zokei (Nagoya, Jepang, 2022), dan THE CIRCLE di Bandara Zürich (Zürich, Swiss, 2020),
Ada juga Perpustakaan Tianjin (Tianjin, China, 2012), Jian Wai SOHO (Beijing, China, 2004), Ecoms House (Tosu, Jepang, 2004), Shinonome Canal Court CODAN (Tokyo, Jepang, 2003), Future University Hakodate (Hakodate, Jepang, 2000), SMP Iwadeyama (?saki, Jepang, 1996) dan Perumahan Hotakubo (Kumamoto, Jepang, 1991).
Menukil dari situs resmi The Pritzker Architecture Prize, Riken Yamamoto lahir pada 1945 di Beijing, China, dan pindah ke Yokohama, Jepang, tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sejak kecil, Yamamoto tinggal di sebuah rumah seperti machiya tradisional Jepang, yang menyeimbangkan antara dimensi ruang privat dan publik.
Dia tinggal di sebuah rumah di mana pada bagian depannya terdapat apotek yang dikelola sang ibu, sementara ruang tamu mereka berada di belakang rumah. "Ambang batas di satu sisi adalah untuk keluarga, dan di sisi lain adalah untuk komunitas. Saya tinggal di antara keduanya," katanya.
Baca juga: Mengenal Karakteristik & Kelebihan Rumah Bergaya Arsitektur Eropa
Menginjak remaja, Yamamoto sering mengunjungi kuil-kuil di Jepang yang secara tanpa sengaja menjadi pengalaman pertamanya berkenalan dengan dunia arsitektur. Ketertarikannya pada dunia rancang bangun menuntunnya mengambil pendidikan arsitektur dan lulus di Nihon University dan College of Science and Technology pada 1968.
Dia melanjutkan studi master arsitektur di Tokyo University of the Arts dan lulus tahun 1971. Dua tahun berselang, Yamamoto mendirikan biro arsitektur sendiri bernama Riken Yamamoto & Field Shop pada 1973.
Pada tahun-tahun awal kariernya sebagai arsitek, Yamamoto banyak menghabiskan waktu berkeliling ke sejumlah negara bersama mentornya, arsitek Hiroshi Hara, untuk memahami komunitas, budaya, dan peradaban. Dia berkeliling ke negara-negara Eropa, Amerika, termasuk Asia, seperti Prancis, Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Italia, Yunani, Turki, Los Angeles, Irak, dan India.
Dari perjalanan panjangnya itu, dia menyimpulkan bahwa konsep tentang batasan antara ruang publik dan pribadi bersifat universal. "Saya menyadari bahwa sistem arsitektur di masa lalu adalah agar kita dapat menemukan budaya kita. Desa-desa tersebut memiliki tampilan yang berbeda, namun dunia mereka sangat mirip," katanya.
Yamamoto mempertimbangkan kembali konsep batasan antara ruang publik dan privat sebagai peluang sosial, serta berkomitmen pada keyakinan bahwa semua ruang dapat memperkaya dan memberikan pertimbangan bagi seluruh komunitas, alih-alih hanya individu atau kelompok tertentu yang menempatinya.
Baca juga: Eksklusif Yori Antar: Menjaga & Melestarikan Rumah Adat Demi Keberlangsungan Arsitektur Nusantara
Berangkat dari gagasan itu, dia mulai merancang hunian keluarga yang menyatukan lingkungan hunian dan alam, sehingga ramah bagi siapapun yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Hal itu diaplikasikan pada proyek pertamanya, Yamakawa Villa (Nagano, Jepang 1977), yang tampak terbuka di semua sisi dan terletak di dalam hutan, dirancang agar terasa seperti teras terbuka.
Pengalaman tersebut secara signifikan mempengaruhi karya-karya Yamamoto di masa depan ketika dia memperluas proyek desainnya dengan membangun perumahan sosial bernama Perumahan Hotakubo (Kumamoto, Jepang 1991). Kompleks perumahan itu berupaya menjembatani budaya dan generasi melalui kehidupan relasional.
Transparansi baik dari segi bentuk, material, maupun filosofi tetap menjadi elemen penting dalam karya-karya Yamamoto. Misalnya itu tampak pada bangunan Stasiun Pemadam Kebakaran Hiroshima Nishi (Hiroshima, Jepang, 2000), yang tampak sepenuhnya transparan dengan fasad kaca dan dinding kaca interior.
Pengunjung dapat melihat ke atrium pusat bangunan itu untuk menyaksikan aktivitas sehari-hari dan pelatihan petugas pemadam kebakaran, sekaligus bertujuan untuk mengenal pegawai negeri yang melindungi mereka di banyak area umum yang ditentukan di dalam gedung.
Begitupun pada bangunan Balai Kota Fussa (Tokyo, Jepang 2008) yang dirancang sebagai dua menara bertingkat menengah alih-alih satu menara bertingkat tinggi, untuk melengkapi lingkungan sekitar bangunan bertingkat rendah.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Rancang Bangun Arsitektur dengan Nilai Kearifan Lokal & Konsep Hijau
Pangkalan yang cekung mengundang pengunjung untuk berbaring dan beristirahat, sementara atap publik yang hijau dan tingkat yang lebih rendah diperuntukkan bagi program publik yang fleksibel.
Konsep serupa juga diterapkan pada bangunan institusi pendidikan. Dalam merancang Universitas Prefektur Saitama (Koshigaya, Jepang 1999), Yamamoto membuat sembilan bangunan yang dihubungkan oleh teras yang bertransisi menjadi jalan setapak yang mengarah ke volume transparan.
Hal ini memungkinkan pandangan dari satu ruang kelas ke ruang kelas lainnya, juga dari satu gedung ke gedung berikutnya sehingga mendorong sistem pembelajaran interdisipliner.
Desain serupa juga diterapkan pada bangunan Sekolah Dasar Koyasu (Yokohama, Jepang 2018), yang memiliki teras luas dan tidak terbagi yang memperluas ruang belajar. Hal ini memungkinkan pemandangan ke dalam dan dari setiap ruang kelas, dan mendorong hubungan antar siswa lintas tingkatan kelas.
Di samping itu, Yamamoto juga mendirikan Republik Area Lokal Labo, sebuah lembaga yang didedikasikan untuk kegiatan masyarakat melalui desain arsitektur. Bangunan itu dibuatnya setelah bencana Gempa Bumi dan Tsunami Tohoku pada 2011. Termasuk, membuat Penghargaan Republik Lokal pada tahun 2018 untuk menghormati arsitek muda yang bertindak dengan keberanian dan cita-cita menuju masa depan.
Selain aktif menjadi arsitek, Yamamoto juga mengajar di sejumlah universitas di Jepang. Dia baru saja diangkat sebagai profesor tamu di Universitas Kanagawa Yokohama, Jepang. Dia juga menjadi profesor tamu di Tokyo University of the Arts pada 2022-2024.
Baca juga: Hypereport: Net Zero Energy Building hingga Ugahari, Konsep Arsitektur yang Lestari
Sebelumnya, Yamamoto pernah mengajar di Nihon University, Graduate School of Engineering di Tokyo pada 2011-2013, Sekolah Pascasarjana Arsitektur Universitas Nasional Yokohama pada 2007-2011, di Universitas Kogakuin pada 2002-2007, dan menjabat sebagai Rektor Universitas Seni dan Desain Nagoya Zokei di Nagoya pada 2018-2022. Termasuk, ditunjuk sebagai Akademisi oleh International Academy of Architecture (2013).
Sederet penghargaan juga diraih Yamamoto sepanjang kariernya, termasuk Japan Institute of Architects Award untuk Yokosuka Museum of Art (2010), Public Buildings Prize (2004 dan 2006), Good Design Gold Award (2004 dan 2005), Penghargaan Institut Arsitektur Jepang (1988 dan 2002), Penghargaan Akademi Seni Jepang (2001), dan Penghargaan Seni Mainichi (1998).
Editor: Fajar Sidik
Karya-karyanya dinilai relevan dengan kebutuhan arsitektur pada masa depan. Desain arsitektur Yamamoto yang kerap mengaburkan batasan antara ruang publik dan pribadi dianggap dapat diterapkan pada kota-kota masa depan.
Menciptakan kondisi melalui arsitektur yang memberikan banyak kesempatan dan ruang bagi masyarakat untuk berkumpul dan berinteraksi dinilai menjadi salah satu hal yang paling diperlukan pada masa depan perkotaan.
Baca juga: Arsitek Jepang Riken Yamamoto Raih Penghargaan Pritzker Architecture Prize 2024
Selama lima dekade kariernya, Yamamoto telah membangun banyak rumah pribadi, proyek perumahan, sekolah, kampus universitas, gedung-gedung sipil, museum dan bahkan stasiun pemadam kebakaran yang tersebar di banyak negara seperti Jepang, China, Korea, dan Swiss.
Karya-karyanya seringkali menggabungkan teras, halaman, dan ruang luar lainnya yang dapat mendorong interaksi dengan lingkungan sekitar bangunan. Beberapa karya monumentalnya mencakup Universitas Nagoya Zokei (Nagoya, Jepang, 2022), dan THE CIRCLE di Bandara Zürich (Zürich, Swiss, 2020),
Ada juga Perpustakaan Tianjin (Tianjin, China, 2012), Jian Wai SOHO (Beijing, China, 2004), Ecoms House (Tosu, Jepang, 2004), Shinonome Canal Court CODAN (Tokyo, Jepang, 2003), Future University Hakodate (Hakodate, Jepang, 2000), SMP Iwadeyama (?saki, Jepang, 1996) dan Perumahan Hotakubo (Kumamoto, Jepang, 1991).
Arsitek Riken Yamamoto (Sumber gambar: The Pritzker Architecture Prize)
Dia tinggal di sebuah rumah di mana pada bagian depannya terdapat apotek yang dikelola sang ibu, sementara ruang tamu mereka berada di belakang rumah. "Ambang batas di satu sisi adalah untuk keluarga, dan di sisi lain adalah untuk komunitas. Saya tinggal di antara keduanya," katanya.
Baca juga: Mengenal Karakteristik & Kelebihan Rumah Bergaya Arsitektur Eropa
Menginjak remaja, Yamamoto sering mengunjungi kuil-kuil di Jepang yang secara tanpa sengaja menjadi pengalaman pertamanya berkenalan dengan dunia arsitektur. Ketertarikannya pada dunia rancang bangun menuntunnya mengambil pendidikan arsitektur dan lulus di Nihon University dan College of Science and Technology pada 1968.
Dia melanjutkan studi master arsitektur di Tokyo University of the Arts dan lulus tahun 1971. Dua tahun berselang, Yamamoto mendirikan biro arsitektur sendiri bernama Riken Yamamoto & Field Shop pada 1973.
Yamakawa Villa (Nagano, Jepang 1977). Sumber gambar: The Pritzker Architecture Prize
Dari perjalanan panjangnya itu, dia menyimpulkan bahwa konsep tentang batasan antara ruang publik dan pribadi bersifat universal. "Saya menyadari bahwa sistem arsitektur di masa lalu adalah agar kita dapat menemukan budaya kita. Desa-desa tersebut memiliki tampilan yang berbeda, namun dunia mereka sangat mirip," katanya.
Yamamoto mempertimbangkan kembali konsep batasan antara ruang publik dan privat sebagai peluang sosial, serta berkomitmen pada keyakinan bahwa semua ruang dapat memperkaya dan memberikan pertimbangan bagi seluruh komunitas, alih-alih hanya individu atau kelompok tertentu yang menempatinya.
Baca juga: Eksklusif Yori Antar: Menjaga & Melestarikan Rumah Adat Demi Keberlangsungan Arsitektur Nusantara
Berangkat dari gagasan itu, dia mulai merancang hunian keluarga yang menyatukan lingkungan hunian dan alam, sehingga ramah bagi siapapun yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Hal itu diaplikasikan pada proyek pertamanya, Yamakawa Villa (Nagano, Jepang 1977), yang tampak terbuka di semua sisi dan terletak di dalam hutan, dirancang agar terasa seperti teras terbuka.
Pengalaman tersebut secara signifikan mempengaruhi karya-karya Yamamoto di masa depan ketika dia memperluas proyek desainnya dengan membangun perumahan sosial bernama Perumahan Hotakubo (Kumamoto, Jepang 1991). Kompleks perumahan itu berupaya menjembatani budaya dan generasi melalui kehidupan relasional.
Stasiun Pemadam Kebakaran Hiroshima Nishi (Hiroshima, Jepang, 2000). Sumber gambar: The Pritzker Architecture Prize
Pengunjung dapat melihat ke atrium pusat bangunan itu untuk menyaksikan aktivitas sehari-hari dan pelatihan petugas pemadam kebakaran, sekaligus bertujuan untuk mengenal pegawai negeri yang melindungi mereka di banyak area umum yang ditentukan di dalam gedung.
Begitupun pada bangunan Balai Kota Fussa (Tokyo, Jepang 2008) yang dirancang sebagai dua menara bertingkat menengah alih-alih satu menara bertingkat tinggi, untuk melengkapi lingkungan sekitar bangunan bertingkat rendah.
Baca juga: Hypereport Resolusi 2024: Rancang Bangun Arsitektur dengan Nilai Kearifan Lokal & Konsep Hijau
Pangkalan yang cekung mengundang pengunjung untuk berbaring dan beristirahat, sementara atap publik yang hijau dan tingkat yang lebih rendah diperuntukkan bagi program publik yang fleksibel.
Konsep serupa juga diterapkan pada bangunan institusi pendidikan. Dalam merancang Universitas Prefektur Saitama (Koshigaya, Jepang 1999), Yamamoto membuat sembilan bangunan yang dihubungkan oleh teras yang bertransisi menjadi jalan setapak yang mengarah ke volume transparan.
Hal ini memungkinkan pandangan dari satu ruang kelas ke ruang kelas lainnya, juga dari satu gedung ke gedung berikutnya sehingga mendorong sistem pembelajaran interdisipliner.
Perumahan Pangyo (Seongnam, Korea, 2010). Sumber gambar: The Pritzker Architecture Prize
Di samping itu, Yamamoto juga mendirikan Republik Area Lokal Labo, sebuah lembaga yang didedikasikan untuk kegiatan masyarakat melalui desain arsitektur. Bangunan itu dibuatnya setelah bencana Gempa Bumi dan Tsunami Tohoku pada 2011. Termasuk, membuat Penghargaan Republik Lokal pada tahun 2018 untuk menghormati arsitek muda yang bertindak dengan keberanian dan cita-cita menuju masa depan.
Selain aktif menjadi arsitek, Yamamoto juga mengajar di sejumlah universitas di Jepang. Dia baru saja diangkat sebagai profesor tamu di Universitas Kanagawa Yokohama, Jepang. Dia juga menjadi profesor tamu di Tokyo University of the Arts pada 2022-2024.
Baca juga: Hypereport: Net Zero Energy Building hingga Ugahari, Konsep Arsitektur yang Lestari
Sebelumnya, Yamamoto pernah mengajar di Nihon University, Graduate School of Engineering di Tokyo pada 2011-2013, Sekolah Pascasarjana Arsitektur Universitas Nasional Yokohama pada 2007-2011, di Universitas Kogakuin pada 2002-2007, dan menjabat sebagai Rektor Universitas Seni dan Desain Nagoya Zokei di Nagoya pada 2018-2022. Termasuk, ditunjuk sebagai Akademisi oleh International Academy of Architecture (2013).
Sederet penghargaan juga diraih Yamamoto sepanjang kariernya, termasuk Japan Institute of Architects Award untuk Yokosuka Museum of Art (2010), Public Buildings Prize (2004 dan 2006), Good Design Gold Award (2004 dan 2005), Penghargaan Institut Arsitektur Jepang (1988 dan 2002), Penghargaan Akademi Seni Jepang (2001), dan Penghargaan Seni Mainichi (1998).
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.