Hypereport: Net Zero Energy Building hingga Ugahari, Konsep Arsitektur yang Lestari
25 December 2023 |
07:30 WIB
Ancaman perubahan iklim sudah nyata terjadi di seluruh penjuru dunia, mulai dari suhu yang semakin panas, kekeringan, kerusakan lingkungan hingga krisis pangan. Perubahan iklim banyak disebabkan oleh aktivitas manusia.
Salah satu unsur yang paling berpengaruh terhadap iklim dan lingkungan sekitar ialah bangunan atau arsitektur. Proses pembangunan sebuah hunian ataupun bangunan mengonsumsi banyak sumber daya alam, seperti kayu, batu, air, dan material lainnya. Selain itu, bangunan juga menggunakan sebagian besar energi yang dihasilkan dunia, khususnya sumber energi tak terbarukan seperti energi fosil yang memicu peningkatan gas rumah kaca.
Baca juga:
Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan yang berfokus tidak hanya pada fungsi ekonomi dan sosial, namun juga lingkungan. Hal tersebut tercermin dengan adanya konsep arsitektur berkelanjutan, yang berfokus pada perancangan bangunan yang dilandasi pada konservasi untuk mengefisiensi penggunaan energi dalam bangunan.
Salah satu konsep arsitektur berkelanjutan yang populer saat ini adalah Net Zero Energy Building (NZEB). NZEB adalah rancangan arsitektur pada bangunan yang menitikberatkan keseimbangan antara energi yang dihasilkan dan energi yang dikonsumsi.
Artinya, bangunan berstrategi untuk mengurangi penggunaan energi melalui metode desain pasif, seperti optimisasi orientasi bangunan, ventilasi silang, penghawaan alami, penghijauan dalam bangunan, dan daur ulang penggunaan air.
Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, namun populer kembali di dunia arsitektur belakangan ini akibat dari perubahan iklim yang kian terasa. Tujuan utama dari konsep NZEB ini adalah mengurangi konsumsi energi secara signifikan melalui desain bangunan yang efisien dan penggunaan teknologi terbarukan, sehingga dapat meminimalisir kebutuhan energi dari sebuah bangunan.
"Caranya dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti angin, matahari, biomassa, tanaman, dan air untuk menjadi energi terbarukan di bangunan itu sendiri. Jadi kita mengeluarkan energi, tapi energi juga diproduksi oleh bangunan yang kita tinggali," kata Arsitek Nelly Lolita Daniel kepada Hypeabis.id lewat sambungan telepon.
Keunikan iklim tropis, karakteristik bangunan lokal, keterbatasan sumber daya, ketersediaan teknologi, serta kebijakan yang mendukung, menjadi dasar penyusunan metode pencapaian NZEB melalui serangkaian strategi desain pasif, aktif, dan manajemen energi bangunan.
Nelly menjelaskan dalam proses pembangunan NZEB, diperlukan perencanaan yang matang dan harus melibatkan ahli bangunan hijau alih-alih hanya menggunakan jasa arsitek. Atau, melibatkan arsitek yang telah memiliki sertifikasi greenship professional.
"Ahli tersebut [bangunan hijau] akan bekerja merancang bangunan atau gedung dengan kriteria prinsip bangunan hijau itu sendiri, sehingga ada target yang bisa dicapai yaitu peringkat atau sertifikasi untuk bangunan hijau," katanya.
Lantaran berkaitan dengan pengembalian energi yang dikonsumsi oleh bangunan, sebelum mengimplementasikan NZEB, seorang ahli bangunan hijau akan terlebih dahulu menghitung berapa besar energi yang dikonsumsi oleh bangunan tersebut. Hal tersebut nantinya yang juga akan mempengaruhi desain seperti apa yang akan dibuat oleh arsitek.
Meski tak bisa benar-benar mencapai nol energi, realisasi NZEB setidaknya harus bisa pada titik penghematan energi. Misalnya, penggunaan penghawaan dan pencahayaan alami, yang membuat ruangan dalam bangunan minim menggunakan lampu sebagai sumber penerangan, dan peniadaan air conditioner (AC) sebagai pendingin ruangan.
Contoh lain, sebuah bangunan menghadap pada arah sumber matahari namun tidak terasa panas lantaran menggunakan shading pada bagian luarnya. Hal itu diaplikasikan dengan mendesain bagian luar bangunan yang berdampingan dengan banyak vegetasi seperti pohon dan tanaman, sehingga bangunan terkena sun shading.
Sementara pada sumber daya lainnya seperti air, bisa diimplementasikan dengan menggunakan air seperlunya ataupun menampung air hujan. Adapun, dari segi material, menitikberatkan pada sumber bahan-bahan bangunan. Misalnya dengan memanfaatkan material yang bisa didaur ulang, dan tidak mendatangkan bahan-bahan yang jauh dari lokasi bangunan untuk menekan emisi karbon.
"Kalau di sebuah bangunan tinggi, bisa diaplikasikan lewat penggunaan peralatan listrik yang lebih efisien. Misalnya lampu menggunakan teknologi light dimmer, ketika ruangan tidak terlalu butuh terang, lampu akan meredup dan konsumsi energinya berkurang," kata arsitek pendiri biro LABO tersebut.
Arsitektur Ugahari
Salah satu arsitek yang menekankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam rancangan arsitekturalnya yakni Yoshi Fajar Kresno Murti, dengan konsep arsitektur Ugahari atau arsitektur sederhana. Dalam konsep ini, desain bukanlah yang utama melainkan apa yang membuat penghuni dan lingkungan sekitarnya nyaman di rumah tersebut.
Konsep arsitektur Ugahari berfokus pada nilai dan budaya. Penamaan Ugahari berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pas, tidak kurang dan tidak lebih. Dari filosofi itu, Yoshi berusaha memadukan segala unsur secara tepat dan pas, termasuk memikirkan manfaatnya bagi lingkungan sekitar.
"Ugahari merupakan praktik arsitektur yang bersifat sosial, memperhatikan lingkungan, relasional, berbasis sumber daya, dan berorientasi pada proses," terangnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ugahari memiliki arti kesederhanaan. Menurut Yoshi, dengan konsep ini tercipta sebuah karya perancangan dengan nilai kesederhanaan, di mana bentuk, material, dan fungsi dikomunikasikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemungkinan lain.
Dengan begitu, terjadi timbal-balik atau dialog antara arsitek dengan penghuni, dengan tujuan untuk menciptakan karya perancangan yang memiliki keberlanjutan dan integrasi antara penghuni dengan ruang dan bangunan serta bangunan dengan lingkungan sekitar.
Salah satu buah karya Yoshi dengan konsep arsitektur Ugahari adalah Rumah Sawo Mateng, sebuah tempat penginapan dengan konsep mendekatkan penghuninya dengan sejarah dari para pemikir kebudayaan yang berlokasi di Depok, Jawa Barat.
Jika dilihat, Rumah Sawo Mateng tampak akrab dan sejuk dengan hadirnya rerimbunan pohon dan tanaman yang mengelilingi hampir setiap sudutnya. Menariknya, rumah tiga lantai ini menggunakan material kayu-kayu bekas yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi kesatuan bangunan.
Sebagian besar material yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini berasal dari kayu-kayu sisa bekas pembangunan rumah, dan sebagiannya lagi merupakan material sisa bangunan rumah lama era 1950-an yang hancur di berbagai daerah di Jakarta.
Hal itulah yang membuat Rumah Sawo Mateng layaknya wujud kolase sejarah yang berasal dari sisa-sisa bangunan lawas. Setidaknya itu tampak pada pintu-pintu, jendela, dan susunan keramik yang kental dengan desain lawas.
Proses Merakit Bangunan
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng. Yoshi terlebih dahulu membuat konsep rancang bangunan dengan detail sebelum akhirnya 'menjahit' atau menyusun material-material bekas yang ada menjadi kesatuan rumah. Konsep yang dibuat pun tak hanya menitikberatkan pada desain, tetapi juga memikirkan terkait penataan lingkungan sekitar.
Selain itu, dia juga harus mengenali karakteristik tiap material bekas yang ada sebelum menggunakannya menjadi elemen bangunan atau furniture yang fungsional dan tahan lama. "Jadi sebelum menyusun arsitektur satu bangunan, penting untuk tahu ukuran, karakteristik lingkungan dan bahan, termasuk mempertimbangkan aspirasi dari pemilik," katanya.
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng, Yoshi menerapkan beberapa prinsipnya yakni memberikan 'napas' bagi lingkungan sekitar dengan tidak menghabiskan semua luas lahan yang ada. Sebaliknya, dia membangun rumah dengan optimalisasi ruang yang fleksibel yang bisa digunakan sebagai kost, tempat penginapan, bahkan kafe hingga ruang pertemuan.
Lantaran memiliki konsep rumah yang selaras dengan alam sekitar, Rumah Sawo Mateng juga mengutamakan unsur ventilasi yang didesain untuk mendapatkan sinar matahari sekaligus udara.
Pada bangunan ini, ventilasi menjadi unsur yang cukup dominan yang tampak pada jendela-jendela yang besar, juga celah-celah udara yang ada di sekeliling bangunan. "Jadi prinsip-prinsip tropis itu memang saya pelajari," imbuhnya.
Dalam proses pembangunan dengan konsep arsitektur Ugahari, Yoshi juga sebisa mungkin tidak menyisakan sampah sisa material. Sebaliknya, bahan-bahan yang ada justru dioptimalkan untuk keseluruhan bangunan. Hal itu juga yang terlihat dalam Rumah Sawo Mateng.
Sisa-sisa kayu bekas yang masih ada misalnya, dibuat menjadi berbagai macam elemen dekorasi dan perabotan rumah tangga seperti tempat lampu, meja, dan tempat tisu. "Jadi cara kerja berarsitektur dalam Ugahari itu semuanya pas, tidak lebih dan tidak kurang yang didapatkan dari proses mempelajari apa yang ingin dibuat," tegas Yoshi.
Editor: Dika Irawan
Salah satu unsur yang paling berpengaruh terhadap iklim dan lingkungan sekitar ialah bangunan atau arsitektur. Proses pembangunan sebuah hunian ataupun bangunan mengonsumsi banyak sumber daya alam, seperti kayu, batu, air, dan material lainnya. Selain itu, bangunan juga menggunakan sebagian besar energi yang dihasilkan dunia, khususnya sumber energi tak terbarukan seperti energi fosil yang memicu peningkatan gas rumah kaca.
Baca juga:
- Hypereport: Tampil Modis dan Nyaman dalam Balutan Busana Ramah Lingkungan
- Hypereport: Suara Lantang Musisi Respons Isu Perubahan Iklim
- Hypereport: Menggugah Kesadaran Lingkungan Melalui Sapuan Kuas
Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan yang berfokus tidak hanya pada fungsi ekonomi dan sosial, namun juga lingkungan. Hal tersebut tercermin dengan adanya konsep arsitektur berkelanjutan, yang berfokus pada perancangan bangunan yang dilandasi pada konservasi untuk mengefisiensi penggunaan energi dalam bangunan.
Salah satu konsep arsitektur berkelanjutan yang populer saat ini adalah Net Zero Energy Building (NZEB). NZEB adalah rancangan arsitektur pada bangunan yang menitikberatkan keseimbangan antara energi yang dihasilkan dan energi yang dikonsumsi.
Artinya, bangunan berstrategi untuk mengurangi penggunaan energi melalui metode desain pasif, seperti optimisasi orientasi bangunan, ventilasi silang, penghawaan alami, penghijauan dalam bangunan, dan daur ulang penggunaan air.
Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, namun populer kembali di dunia arsitektur belakangan ini akibat dari perubahan iklim yang kian terasa. Tujuan utama dari konsep NZEB ini adalah mengurangi konsumsi energi secara signifikan melalui desain bangunan yang efisien dan penggunaan teknologi terbarukan, sehingga dapat meminimalisir kebutuhan energi dari sebuah bangunan.
"Caranya dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti angin, matahari, biomassa, tanaman, dan air untuk menjadi energi terbarukan di bangunan itu sendiri. Jadi kita mengeluarkan energi, tapi energi juga diproduksi oleh bangunan yang kita tinggali," kata Arsitek Nelly Lolita Daniel kepada Hypeabis.id lewat sambungan telepon.
Keunikan iklim tropis, karakteristik bangunan lokal, keterbatasan sumber daya, ketersediaan teknologi, serta kebijakan yang mendukung, menjadi dasar penyusunan metode pencapaian NZEB melalui serangkaian strategi desain pasif, aktif, dan manajemen energi bangunan.
Nelly menjelaskan dalam proses pembangunan NZEB, diperlukan perencanaan yang matang dan harus melibatkan ahli bangunan hijau alih-alih hanya menggunakan jasa arsitek. Atau, melibatkan arsitek yang telah memiliki sertifikasi greenship professional.
"Ahli tersebut [bangunan hijau] akan bekerja merancang bangunan atau gedung dengan kriteria prinsip bangunan hijau itu sendiri, sehingga ada target yang bisa dicapai yaitu peringkat atau sertifikasi untuk bangunan hijau," katanya.
Lantaran berkaitan dengan pengembalian energi yang dikonsumsi oleh bangunan, sebelum mengimplementasikan NZEB, seorang ahli bangunan hijau akan terlebih dahulu menghitung berapa besar energi yang dikonsumsi oleh bangunan tersebut. Hal tersebut nantinya yang juga akan mempengaruhi desain seperti apa yang akan dibuat oleh arsitek.
Meski tak bisa benar-benar mencapai nol energi, realisasi NZEB setidaknya harus bisa pada titik penghematan energi. Misalnya, penggunaan penghawaan dan pencahayaan alami, yang membuat ruangan dalam bangunan minim menggunakan lampu sebagai sumber penerangan, dan peniadaan air conditioner (AC) sebagai pendingin ruangan.
Contoh lain, sebuah bangunan menghadap pada arah sumber matahari namun tidak terasa panas lantaran menggunakan shading pada bagian luarnya. Hal itu diaplikasikan dengan mendesain bagian luar bangunan yang berdampingan dengan banyak vegetasi seperti pohon dan tanaman, sehingga bangunan terkena sun shading.
Sementara pada sumber daya lainnya seperti air, bisa diimplementasikan dengan menggunakan air seperlunya ataupun menampung air hujan. Adapun, dari segi material, menitikberatkan pada sumber bahan-bahan bangunan. Misalnya dengan memanfaatkan material yang bisa didaur ulang, dan tidak mendatangkan bahan-bahan yang jauh dari lokasi bangunan untuk menekan emisi karbon.
"Kalau di sebuah bangunan tinggi, bisa diaplikasikan lewat penggunaan peralatan listrik yang lebih efisien. Misalnya lampu menggunakan teknologi light dimmer, ketika ruangan tidak terlalu butuh terang, lampu akan meredup dan konsumsi energinya berkurang," kata arsitek pendiri biro LABO tersebut.
Arsitektur Ugahari
Salah satu arsitek yang menekankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam rancangan arsitekturalnya yakni Yoshi Fajar Kresno Murti, dengan konsep arsitektur Ugahari atau arsitektur sederhana. Dalam konsep ini, desain bukanlah yang utama melainkan apa yang membuat penghuni dan lingkungan sekitarnya nyaman di rumah tersebut.
Konsep arsitektur Ugahari berfokus pada nilai dan budaya. Penamaan Ugahari berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pas, tidak kurang dan tidak lebih. Dari filosofi itu, Yoshi berusaha memadukan segala unsur secara tepat dan pas, termasuk memikirkan manfaatnya bagi lingkungan sekitar.
"Ugahari merupakan praktik arsitektur yang bersifat sosial, memperhatikan lingkungan, relasional, berbasis sumber daya, dan berorientasi pada proses," terangnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ugahari memiliki arti kesederhanaan. Menurut Yoshi, dengan konsep ini tercipta sebuah karya perancangan dengan nilai kesederhanaan, di mana bentuk, material, dan fungsi dikomunikasikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemungkinan lain.
Dengan begitu, terjadi timbal-balik atau dialog antara arsitek dengan penghuni, dengan tujuan untuk menciptakan karya perancangan yang memiliki keberlanjutan dan integrasi antara penghuni dengan ruang dan bangunan serta bangunan dengan lingkungan sekitar.
Salah satu buah karya Yoshi dengan konsep arsitektur Ugahari adalah Rumah Sawo Mateng, sebuah tempat penginapan dengan konsep mendekatkan penghuninya dengan sejarah dari para pemikir kebudayaan yang berlokasi di Depok, Jawa Barat.
(Sumber gambar: Freepik)
Sebagian besar material yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini berasal dari kayu-kayu sisa bekas pembangunan rumah, dan sebagiannya lagi merupakan material sisa bangunan rumah lama era 1950-an yang hancur di berbagai daerah di Jakarta.
Hal itulah yang membuat Rumah Sawo Mateng layaknya wujud kolase sejarah yang berasal dari sisa-sisa bangunan lawas. Setidaknya itu tampak pada pintu-pintu, jendela, dan susunan keramik yang kental dengan desain lawas.
Proses Merakit Bangunan
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng. Yoshi terlebih dahulu membuat konsep rancang bangunan dengan detail sebelum akhirnya 'menjahit' atau menyusun material-material bekas yang ada menjadi kesatuan rumah. Konsep yang dibuat pun tak hanya menitikberatkan pada desain, tetapi juga memikirkan terkait penataan lingkungan sekitar.
Selain itu, dia juga harus mengenali karakteristik tiap material bekas yang ada sebelum menggunakannya menjadi elemen bangunan atau furniture yang fungsional dan tahan lama. "Jadi sebelum menyusun arsitektur satu bangunan, penting untuk tahu ukuran, karakteristik lingkungan dan bahan, termasuk mempertimbangkan aspirasi dari pemilik," katanya.
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng, Yoshi menerapkan beberapa prinsipnya yakni memberikan 'napas' bagi lingkungan sekitar dengan tidak menghabiskan semua luas lahan yang ada. Sebaliknya, dia membangun rumah dengan optimalisasi ruang yang fleksibel yang bisa digunakan sebagai kost, tempat penginapan, bahkan kafe hingga ruang pertemuan.
Lantaran memiliki konsep rumah yang selaras dengan alam sekitar, Rumah Sawo Mateng juga mengutamakan unsur ventilasi yang didesain untuk mendapatkan sinar matahari sekaligus udara.
Pada bangunan ini, ventilasi menjadi unsur yang cukup dominan yang tampak pada jendela-jendela yang besar, juga celah-celah udara yang ada di sekeliling bangunan. "Jadi prinsip-prinsip tropis itu memang saya pelajari," imbuhnya.
Dalam proses pembangunan dengan konsep arsitektur Ugahari, Yoshi juga sebisa mungkin tidak menyisakan sampah sisa material. Sebaliknya, bahan-bahan yang ada justru dioptimalkan untuk keseluruhan bangunan. Hal itu juga yang terlihat dalam Rumah Sawo Mateng.
Sisa-sisa kayu bekas yang masih ada misalnya, dibuat menjadi berbagai macam elemen dekorasi dan perabotan rumah tangga seperti tempat lampu, meja, dan tempat tisu. "Jadi cara kerja berarsitektur dalam Ugahari itu semuanya pas, tidak lebih dan tidak kurang yang didapatkan dari proses mempelajari apa yang ingin dibuat," tegas Yoshi.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.