Eksklusif Profil David Karto: Bahaya Kalau Orang Indonesia Tidak Mengerti Musiknya Sendiri
20 November 2023 |
07:30 WIB
Berbicara tentang industri musik di dalam negeri, rasanya tidak lengkap jika tidak berbicara tentang David Karto. Pria yang suka dengan musik sejak muda itu merupakan salah satu pendiri label demajors Independent Music Industry dan juga Synchronize Fest.
Pada 2000, David bersama dengan Sandy Maheswara dan Adhi Djimar mendirikan demajors Independent Music Industry. Pendirian label yang kini berkantor di Jl. H. Ipin Dalam No.35, RT.11/RW.1, Pd. Labu, Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta itu memiliki beragam cerita suka dan duka.
Mereka melakukan berbagai cara untuk bertahan di tengah persaingan dengan label besar yang ada pada saat itu. Dari membuka lapak di acara konser, melakukan penjualan melalui komunitas, sampai dengan masuk ke toko ritel.
Berbagai cara yang dilakukan berhasil membuat mereka bertahan hingga saat ini. Tercatat, lebih dari 100 artis lokal menjadi bagian dalam katalog demajors dan juga meliputi berbagai genre, dari rock, pop, eletronic, jaz, dan sebagainya.
Mereka juga mengalami berbagai perkembangan industri musik Indonesia dari era fisik sampai dengan digital seperti saat ini. Berdiri pada 2000, label ini sudah menjadi bagian dalam industri musik Indonesia selam 23 tahun sampai dengan kini. Terkait dengan perjalanannya, berikut cukilan wawancara eksklusif Hypeabis.id dengan David Karto, salah satu pendiri demajors.
Bagaimana awal atau ide pembentukan demajors pada saat itu?
Semua bermula dari kesukaan terhadap musik. Jadi, saya sudah menyukai musik sejak usia remaja. Lalu, dalam pertumbuhan dan perkembangan, pada akhirnya saya memahami apa yang ingin dikerjakan dan menjadi passion.
Jadi, pada akhirnya – dalam prosesnya, saya menikmati dengan semua pemahaman dan kesempatan yang dijalankan ketika menjadi seorang disc jockey atau DJ. Dari profesi itu, saya melihat dunia lain yang lebih menantang dan berpikir mencoba membuat sebuah toko piringan hitam.
Lalu, dari situ, saya berkembang dan berjalan membuat label kecil bernama demajors. Keputusan itu dibuat lantaran saya melihat banyak talenta, musisi, band, dan artis yang memiliki karya tidak terserap akibat label besar mendominasi pada era itu.
Kami tahu pangsa dan cara berpikir label besar memiliki ciri khas sendiri, sehingga membuat musik para talenta, musisi, band, dan artis – artis itu tidak terserap. Akhirnya, setelah saya mendengar dan mempelajarinya, ternyata musik yang tidak terserap menjadi musik yang saya suka.
Artinya, menarik sekali atau menjadi perjalanan yang membuat saya merasa memiliki tantangan. Saya mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga, belajar industri musik, berkenalan dengan seluruh ekosistem dan stakholder dari A sampai Z ketika mendirikan label ini.
Apa saja pengalam yang paling seru dan tantangan yang Anda hadapi dalam mendirikan demajors?
Ada banyak tantangan yang dihadapi pada saat itu. Pengalaman paling seru adalah berjumpa dengan banyak band, musisi, yang membawa karya dari bermacam-macan karakter atau genre, mulai jaz, rock, pop, elektronik, dan sebagainya.
Hal itu semua menyenangkan karena terdapat interaksi dengan mereka. Kami berdiskusi, berbincang, dan sebagainya. Sementara itu, tantangan yang dihadapi adalah ketika produk dikerjakan dan sudah menjadi album yang siap diedarkan di masyarakat.
Tahapan ini menjadi tantangan pada saat itu lantaran demajors adalah bagian dari ekosistem kecil yang pada zaman itu sangat kental dengan sebutan indie label. Kondisi ini membuat kami kadang diperhatikan dan kadang juga tidak.
Kami akan mendapatkan perhatian ketika secara tiba-tiba memiliki karya atau album yang secara bisnis di ritel atau music store bagus karena bagi mereka terpaling penting adalah barang yang bagus. Orang datang ke toko musik sehari bisa 1000 orang, 3000 orang, dan seterusnya.
Ketika memiliki produk bagus, semua orang akan bersikap baik kepada kami. Saat itu, tantangan lainnya juga muncul. Dalam dunia bisnis, tidak tertutup kemungkinan terdapat pihak yang menjalankan strategi untuk mematikan atau tidak memberi jalan pihak lain.
Kami pernah memiliki pengalaman barang yang didistribusikan ke salah satu ritel tidak ada di display. Padahal, label telah mendistribusikannya. Kondisi itu membuat saya mencari tahu penyebabnya dengan memerikan bagian internal terlebih dahulu.
Setelah memastikan tidak ada yang salah dari internal, saya yang berhasil bicara dengan manajer ritel menemukan bahwa terdapat perusahaan yang meminta barang yang didistribusikan diturunkan dari display.
Pihak yang meminta mengancam tidak akan mengirim barang jika menolaknya. Pengalaman itu memperlihatkan bahwa kami pasti tidak akan bisa smooth lantaran akan selalu ada hal-hal yang harus dicarikan solusinya.
Apa yang Anda lakukan pada saat itu untuk mengatasinya?
Di level seperti itu kami berpikir simple. Bagaimana juga, pemilik toko bukan saya. Mereka yang meminta barang ke kami. Namun, mereka tidak mau jual atau memajangkan karena ada pihak-pihak tertentu yang memintanya.
Saya meminta toko yang berpikir tentang konsekuensi atau langkah baiknya karena kami tidak bisa memaksa untuk melarang orang lain berbuat sesuatu atau harus berpolitik dengan uang. Jadi, kalau memang mau seperti itu sikap mereka, ya sudah.
Selain distribusi ke toko ritel, seperti pemasaran yang dilakukan demajors pada saat itu?
Selain ke toko ritel, pemasan yang dilakukan adalah dengan membuka lapak di tempat band melakukan pertunjukan. Jadi, kami melakukan koordinasi dengan band tersebut, dan mereka menjual barang mereka di acara itu.
Kemudian, kami juga bekerja sama dengan komunitas atau tempat-tempat yang dianggap secara kantong baik dan pergerakan memiliki kekuatan yang bagus. Jadi, kami demajors merupakan salah satu label yang memiliki keluarga di 21 kota di Indonesia dengan nama at demajors.
Dalam level ini, kami tidak mungkin memiliki kemewahan, memiliki toko seperti layaknya ritel store pada zaman itu. Jadi, kami lapakan saja. Ada event apa, kami buka lapak bekerja sama dengan penyelenggara dan seterusnya.
Ada kegiatan kumpul-kumpul, acara-acara musik yang berhubngan dengan komunitas atau publik, kami buka lapak. Intinya, kami hadir di semua ruang publik yang masih berhubungan, berdekatan, atau beririsan dengan musik.
Demajors sudah berdiri selama 23 tahun, apa perbedaan yang dirasakan oleh label pada saat itu dan sekarang?
Sebetulnya, perbedaan itu kalau secara general adalah pendengarnya. Pada waktu 2000, 2010, 2020, dengan kurun waktu setiap 10 tahun atau 5 tahun, perubahan pendengarnya cukup signifikan.
Sebagai contoh terdapat band yang muncul pada 2000. Pada 2005, grup musik itu harus berpikir cara mempertahankan pendengarnya yang baru. Kalau pendengar lama, sudah pasti akan kekikis kecuali die hard fans.
Hanya, dari 100 persen, die hard fans paling cuma 1 persen – 2 persen dan paling tinggi adalah 5 persen. Nah, 95 peren harus terus memperbarui, mencari solusi bagaimana grup musik itu bisa tetap eksis.
Itu yang saya lihat. Pola-pola yang lain, yang berubah dari zaman ke zaman adalah peran media dalam membantu penyebaran sebuah karya atau materi yang cukup baik. Media televisi, radio, dan cetak memiliki peranan penting sehingga industrinya dahulu bisa cukup baik dan seksi, besar.
Bagaimana Anda melihat platform musik digital pada saat ini?
Platform digital tidak bisa dihindari dan bukan hanya di dalam musik. Namun,menyentuh semua kehidupan. Kebutuhan dasar rumah tangga juga dapat dipenuhi secara daring. Meskipun begitu, buat saya, daring dapat menjadi pilihan jika terdesak atau memiliki perencanaan yang pasti.
Bagaimana juga, seperti belanja luring, pergi ke pasar itu lebih hidup karena akan mencium bau pasar, melihat pemandangan, berinteraksi dengan orang, dan ada proses diskusi.
Bagi label platform digital itu saingan, pelengkap, atau seperti apa?
Platform digital yang ada pada saat ini merupakan pelengkap dan bukan sebagai saingan. Dia mungkin bisa menjadi salah satu pengganti radio meskipun media tersebut memiliki karakteristik yang tidak bisa digantikan.
Bagaimana juga, semua itu adalah hidup yang harus dipikirkan dan coba dijaga lantaran terlalu modernisasi juga bahaya mengingat kita juga belum tentu siap. Level itu menjad perimbangan-perimbangan.
Kita melihat pada saat teknologi digital berkembang, lalu di sini kita masih belum terlalu berkembang atau terlambat. Kemudian, dalam satu waktu tiba-tiba secara industri dan ekosistem atau masyarakat menyatakan atau berpikir – tidak semua, tetapi cukup besar gelombangnya – bahwa rilisan fisik sudah tidak menjadi hal yang dibutuhkan.
Pertanyaan tentang masih ada yang mendengarkan karya fisik, masih ada yang beli, dan sebagainya terlontar. Jadi, ya sudah kita tidak bisa berdebat mengenai itu. Mereka yang ingin membuat fisik, buat saja. Mereka yang tidak mau juga tidak apa-apa.
Apakah demajors menyediakan rilsan digital?
Kami menyediakan rilisan digital. Saat berbicara bisnis, kian lengkap menu yang disediakan, maka makin baik berada di dalam bisnisnya. Kemudian, secara genre, kami lebih terbuka lagi karena tidak memiliki batasan itu, sehingga itu juga yang membuat terciptanya Synchronize Fest.
Apakah ada kriterita tertentu musisi, band, atau talenta yang bisa bekerja sama dengan demajors?
Kami tidak memiliki kriteria tertentu. Kami tidak memiliki batasan genre tertentu. Kami sangat terbuka dari A sampai Z, dan timur – barat. Batasan itu mungkin lebih kepada intuisi. Kalau menerima sebuah demo atau materi musik, kami mencoba melihat dari rasanya.
Saat mendengar, kami akan merasa musik atau demo itu sangat keren atau sesuai dalam artian kami mengerti musik dan paham referensinya, turunannya, dan semua cara pengirim demo atau materi musik bekerja. Ya, itu mungkin menjadi salah satu kunci cara kami akan terus berlanjut ke proses berikutnya.
Seperti pembagian keuntungan antara label dengan musisi?
Pada saat ini, kami memiliki beberapa bisnis model, yakni titip edar, master license, dan tailor made. Model bisnis titip edar adalah band atau manajemen sudah menyiapkan produksinya atau barang akhir dalam bentuk rilisan fisik, baik kaset, CD, vinyl, atau digital.
Dalam model bisnis ini, kami siap membantu memasarkan atau mengedarkannya. Kedua adalah master license di mana band, musisi, atau manajemen tinggal menyiapkan final artwork atau masternya.
Nanti, kami yang akan menduplikasi dan memproduksi. Adapun, model bisnis tailor made adalah dari nol. Artinya, kami berjumpa dengan musisi, band, atau manajemen. Namun, mereka belum membuat apa-apa, tapi secara talenta memiliki skill, capability, dan juga materi. Jadi, mungkin, nanti kami bisa memiliki kesepakatan.
Bagaimana Anda melihat minat masyarakat terhadap musik pada saat ini di tengah gempuran K-Pop dan sebagainya dan juga genre musik Indonesia saat ini?
Minat masyarakat terhadap musik Indonesia sampai hari ini masih sama. Namun, mungkin berfluktuasi. Musik mengalami perkembangan dan kita tidak bisa menahan arus modernisasi, globalisme, atau apa saja bentuknya yang menjadi penggabungan-penggabungan dan pengembangan-pengembangan.
Pada saat ini, yang mungkin bisa dipikirkan adalah bagaimana atau kita sendiri di Indonesia memiliki dukungan terhadap pertahanan lokalnya. Kalau kita bicara dalam konteks orang mau dengar musik dari Jepang, Korea, Thailand, atau dari mana saja tidak masalah.
Namun, akan berbahaya jika orang tidak mengerti seperti apa musik Indonesia. Jika itu terjadi, sama saja seperti ada orang Indonesia yang lahir di dalam negeri, tetapi tidak bisa bicara bahasa Indonesia.
Saat ini, apa mimpi yang belum tercapai terkait dengan demajors?
Kami memiliki mimpi untuk menjadikan pergerakan musik Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan alhamdulillah itu bisa dilihat sekarang dari Synchronize Fest. Pada saat ajang ini didirikan, kami tidak berpikir sebagai promotor.
Pada saat itu, kami memiliki pikiran sebagai demajors yang memang memiliki pekerjaan atau kesukaan membuat perkembangan dan menggerakan terus ekosistem dan masyarakatnya. Pada 2017, Saya langsung menjawab bahwa mudah-mudahan Synchronize Fest bisa membuat movement musik indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Alhamdulillah kita bisa bisa lihat sekarang.
Baca juga wawancara eksklusif lainnya:
Editor: Dika Irawan
Pada 2000, David bersama dengan Sandy Maheswara dan Adhi Djimar mendirikan demajors Independent Music Industry. Pendirian label yang kini berkantor di Jl. H. Ipin Dalam No.35, RT.11/RW.1, Pd. Labu, Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta itu memiliki beragam cerita suka dan duka.
Mereka melakukan berbagai cara untuk bertahan di tengah persaingan dengan label besar yang ada pada saat itu. Dari membuka lapak di acara konser, melakukan penjualan melalui komunitas, sampai dengan masuk ke toko ritel.
Berbagai cara yang dilakukan berhasil membuat mereka bertahan hingga saat ini. Tercatat, lebih dari 100 artis lokal menjadi bagian dalam katalog demajors dan juga meliputi berbagai genre, dari rock, pop, eletronic, jaz, dan sebagainya.
Mereka juga mengalami berbagai perkembangan industri musik Indonesia dari era fisik sampai dengan digital seperti saat ini. Berdiri pada 2000, label ini sudah menjadi bagian dalam industri musik Indonesia selam 23 tahun sampai dengan kini. Terkait dengan perjalanannya, berikut cukilan wawancara eksklusif Hypeabis.id dengan David Karto, salah satu pendiri demajors.
Bagaimana awal atau ide pembentukan demajors pada saat itu?
Semua bermula dari kesukaan terhadap musik. Jadi, saya sudah menyukai musik sejak usia remaja. Lalu, dalam pertumbuhan dan perkembangan, pada akhirnya saya memahami apa yang ingin dikerjakan dan menjadi passion.
Jadi, pada akhirnya – dalam prosesnya, saya menikmati dengan semua pemahaman dan kesempatan yang dijalankan ketika menjadi seorang disc jockey atau DJ. Dari profesi itu, saya melihat dunia lain yang lebih menantang dan berpikir mencoba membuat sebuah toko piringan hitam.
Lalu, dari situ, saya berkembang dan berjalan membuat label kecil bernama demajors. Keputusan itu dibuat lantaran saya melihat banyak talenta, musisi, band, dan artis yang memiliki karya tidak terserap akibat label besar mendominasi pada era itu.
Kami tahu pangsa dan cara berpikir label besar memiliki ciri khas sendiri, sehingga membuat musik para talenta, musisi, band, dan artis – artis itu tidak terserap. Akhirnya, setelah saya mendengar dan mempelajarinya, ternyata musik yang tidak terserap menjadi musik yang saya suka.
Artinya, menarik sekali atau menjadi perjalanan yang membuat saya merasa memiliki tantangan. Saya mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga, belajar industri musik, berkenalan dengan seluruh ekosistem dan stakholder dari A sampai Z ketika mendirikan label ini.
Apa saja pengalam yang paling seru dan tantangan yang Anda hadapi dalam mendirikan demajors?
Ada banyak tantangan yang dihadapi pada saat itu. Pengalaman paling seru adalah berjumpa dengan banyak band, musisi, yang membawa karya dari bermacam-macan karakter atau genre, mulai jaz, rock, pop, elektronik, dan sebagainya.
Hal itu semua menyenangkan karena terdapat interaksi dengan mereka. Kami berdiskusi, berbincang, dan sebagainya. Sementara itu, tantangan yang dihadapi adalah ketika produk dikerjakan dan sudah menjadi album yang siap diedarkan di masyarakat.
Tahapan ini menjadi tantangan pada saat itu lantaran demajors adalah bagian dari ekosistem kecil yang pada zaman itu sangat kental dengan sebutan indie label. Kondisi ini membuat kami kadang diperhatikan dan kadang juga tidak.
Kami akan mendapatkan perhatian ketika secara tiba-tiba memiliki karya atau album yang secara bisnis di ritel atau music store bagus karena bagi mereka terpaling penting adalah barang yang bagus. Orang datang ke toko musik sehari bisa 1000 orang, 3000 orang, dan seterusnya.
Ketika memiliki produk bagus, semua orang akan bersikap baik kepada kami. Saat itu, tantangan lainnya juga muncul. Dalam dunia bisnis, tidak tertutup kemungkinan terdapat pihak yang menjalankan strategi untuk mematikan atau tidak memberi jalan pihak lain.
Kami pernah memiliki pengalaman barang yang didistribusikan ke salah satu ritel tidak ada di display. Padahal, label telah mendistribusikannya. Kondisi itu membuat saya mencari tahu penyebabnya dengan memerikan bagian internal terlebih dahulu.
Setelah memastikan tidak ada yang salah dari internal, saya yang berhasil bicara dengan manajer ritel menemukan bahwa terdapat perusahaan yang meminta barang yang didistribusikan diturunkan dari display.
Pihak yang meminta mengancam tidak akan mengirim barang jika menolaknya. Pengalaman itu memperlihatkan bahwa kami pasti tidak akan bisa smooth lantaran akan selalu ada hal-hal yang harus dicarikan solusinya.
Apa yang Anda lakukan pada saat itu untuk mengatasinya?
Di level seperti itu kami berpikir simple. Bagaimana juga, pemilik toko bukan saya. Mereka yang meminta barang ke kami. Namun, mereka tidak mau jual atau memajangkan karena ada pihak-pihak tertentu yang memintanya.
Saya meminta toko yang berpikir tentang konsekuensi atau langkah baiknya karena kami tidak bisa memaksa untuk melarang orang lain berbuat sesuatu atau harus berpolitik dengan uang. Jadi, kalau memang mau seperti itu sikap mereka, ya sudah.
Selain distribusi ke toko ritel, seperti pemasaran yang dilakukan demajors pada saat itu?
Selain ke toko ritel, pemasan yang dilakukan adalah dengan membuka lapak di tempat band melakukan pertunjukan. Jadi, kami melakukan koordinasi dengan band tersebut, dan mereka menjual barang mereka di acara itu.
Kemudian, kami juga bekerja sama dengan komunitas atau tempat-tempat yang dianggap secara kantong baik dan pergerakan memiliki kekuatan yang bagus. Jadi, kami demajors merupakan salah satu label yang memiliki keluarga di 21 kota di Indonesia dengan nama at demajors.
Dalam level ini, kami tidak mungkin memiliki kemewahan, memiliki toko seperti layaknya ritel store pada zaman itu. Jadi, kami lapakan saja. Ada event apa, kami buka lapak bekerja sama dengan penyelenggara dan seterusnya.
Ada kegiatan kumpul-kumpul, acara-acara musik yang berhubngan dengan komunitas atau publik, kami buka lapak. Intinya, kami hadir di semua ruang publik yang masih berhubungan, berdekatan, atau beririsan dengan musik.
Demajors sudah berdiri selama 23 tahun, apa perbedaan yang dirasakan oleh label pada saat itu dan sekarang?
Sebetulnya, perbedaan itu kalau secara general adalah pendengarnya. Pada waktu 2000, 2010, 2020, dengan kurun waktu setiap 10 tahun atau 5 tahun, perubahan pendengarnya cukup signifikan.
Sebagai contoh terdapat band yang muncul pada 2000. Pada 2005, grup musik itu harus berpikir cara mempertahankan pendengarnya yang baru. Kalau pendengar lama, sudah pasti akan kekikis kecuali die hard fans.
Hanya, dari 100 persen, die hard fans paling cuma 1 persen – 2 persen dan paling tinggi adalah 5 persen. Nah, 95 peren harus terus memperbarui, mencari solusi bagaimana grup musik itu bisa tetap eksis.
Itu yang saya lihat. Pola-pola yang lain, yang berubah dari zaman ke zaman adalah peran media dalam membantu penyebaran sebuah karya atau materi yang cukup baik. Media televisi, radio, dan cetak memiliki peranan penting sehingga industrinya dahulu bisa cukup baik dan seksi, besar.
Bagaimana Anda melihat platform musik digital pada saat ini?
Platform digital tidak bisa dihindari dan bukan hanya di dalam musik. Namun,menyentuh semua kehidupan. Kebutuhan dasar rumah tangga juga dapat dipenuhi secara daring. Meskipun begitu, buat saya, daring dapat menjadi pilihan jika terdesak atau memiliki perencanaan yang pasti.
Bagaimana juga, seperti belanja luring, pergi ke pasar itu lebih hidup karena akan mencium bau pasar, melihat pemandangan, berinteraksi dengan orang, dan ada proses diskusi.
Bagi label platform digital itu saingan, pelengkap, atau seperti apa?
Platform digital yang ada pada saat ini merupakan pelengkap dan bukan sebagai saingan. Dia mungkin bisa menjadi salah satu pengganti radio meskipun media tersebut memiliki karakteristik yang tidak bisa digantikan.
Bagaimana juga, semua itu adalah hidup yang harus dipikirkan dan coba dijaga lantaran terlalu modernisasi juga bahaya mengingat kita juga belum tentu siap. Level itu menjad perimbangan-perimbangan.
Kita melihat pada saat teknologi digital berkembang, lalu di sini kita masih belum terlalu berkembang atau terlambat. Kemudian, dalam satu waktu tiba-tiba secara industri dan ekosistem atau masyarakat menyatakan atau berpikir – tidak semua, tetapi cukup besar gelombangnya – bahwa rilisan fisik sudah tidak menjadi hal yang dibutuhkan.
Pertanyaan tentang masih ada yang mendengarkan karya fisik, masih ada yang beli, dan sebagainya terlontar. Jadi, ya sudah kita tidak bisa berdebat mengenai itu. Mereka yang ingin membuat fisik, buat saja. Mereka yang tidak mau juga tidak apa-apa.
Apakah demajors menyediakan rilsan digital?
Kami menyediakan rilisan digital. Saat berbicara bisnis, kian lengkap menu yang disediakan, maka makin baik berada di dalam bisnisnya. Kemudian, secara genre, kami lebih terbuka lagi karena tidak memiliki batasan itu, sehingga itu juga yang membuat terciptanya Synchronize Fest.
Apakah ada kriterita tertentu musisi, band, atau talenta yang bisa bekerja sama dengan demajors?
Kami tidak memiliki kriteria tertentu. Kami tidak memiliki batasan genre tertentu. Kami sangat terbuka dari A sampai Z, dan timur – barat. Batasan itu mungkin lebih kepada intuisi. Kalau menerima sebuah demo atau materi musik, kami mencoba melihat dari rasanya.
Saat mendengar, kami akan merasa musik atau demo itu sangat keren atau sesuai dalam artian kami mengerti musik dan paham referensinya, turunannya, dan semua cara pengirim demo atau materi musik bekerja. Ya, itu mungkin menjadi salah satu kunci cara kami akan terus berlanjut ke proses berikutnya.
Seperti pembagian keuntungan antara label dengan musisi?
Pada saat ini, kami memiliki beberapa bisnis model, yakni titip edar, master license, dan tailor made. Model bisnis titip edar adalah band atau manajemen sudah menyiapkan produksinya atau barang akhir dalam bentuk rilisan fisik, baik kaset, CD, vinyl, atau digital.
Dalam model bisnis ini, kami siap membantu memasarkan atau mengedarkannya. Kedua adalah master license di mana band, musisi, atau manajemen tinggal menyiapkan final artwork atau masternya.
Nanti, kami yang akan menduplikasi dan memproduksi. Adapun, model bisnis tailor made adalah dari nol. Artinya, kami berjumpa dengan musisi, band, atau manajemen. Namun, mereka belum membuat apa-apa, tapi secara talenta memiliki skill, capability, dan juga materi. Jadi, mungkin, nanti kami bisa memiliki kesepakatan.
Bagaimana Anda melihat minat masyarakat terhadap musik pada saat ini di tengah gempuran K-Pop dan sebagainya dan juga genre musik Indonesia saat ini?
Minat masyarakat terhadap musik Indonesia sampai hari ini masih sama. Namun, mungkin berfluktuasi. Musik mengalami perkembangan dan kita tidak bisa menahan arus modernisasi, globalisme, atau apa saja bentuknya yang menjadi penggabungan-penggabungan dan pengembangan-pengembangan.
Pada saat ini, yang mungkin bisa dipikirkan adalah bagaimana atau kita sendiri di Indonesia memiliki dukungan terhadap pertahanan lokalnya. Kalau kita bicara dalam konteks orang mau dengar musik dari Jepang, Korea, Thailand, atau dari mana saja tidak masalah.
Namun, akan berbahaya jika orang tidak mengerti seperti apa musik Indonesia. Jika itu terjadi, sama saja seperti ada orang Indonesia yang lahir di dalam negeri, tetapi tidak bisa bicara bahasa Indonesia.
Saat ini, apa mimpi yang belum tercapai terkait dengan demajors?
Kami memiliki mimpi untuk menjadikan pergerakan musik Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan alhamdulillah itu bisa dilihat sekarang dari Synchronize Fest. Pada saat ajang ini didirikan, kami tidak berpikir sebagai promotor.
Pada saat itu, kami memiliki pikiran sebagai demajors yang memang memiliki pekerjaan atau kesukaan membuat perkembangan dan menggerakan terus ekosistem dan masyarakatnya. Pada 2017, Saya langsung menjawab bahwa mudah-mudahan Synchronize Fest bisa membuat movement musik indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Alhamdulillah kita bisa bisa lihat sekarang.
Baca juga wawancara eksklusif lainnya:
- Garin Nugroho: Dinamika di Balik Proses Penjurian Festival Film Indonesia 2023
- Avip Priatna: Tugas Konduktor Itu Enggak Cuma Mengatur Tempo Musik
- Nia Dinata, Cerita tentang Perempuan dalam Karya Filmnya
- CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho: 2 Dekade Mencetak Artis Multitalenta
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.