Nia Dinata (Sumber Foto: Instagram/@ibunia)

Eksklusif Profil Sutradara Nia Dinata, Cerita tentang Perempuan dalam Karya Filmnya

21 October 2023   |   22:30 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Nia Dinata dikenal sebagai sutradara perempuan yang telah lama berkarier di kancah perfilman Tanah Air. Pemilik nama asli Nur Kurniati Aisyah Dewi tersebut lahir pada 4 Maret 1969 dan merupakan cicit dari pahlawan nasional Otto Iskandardinata.

Kiprahnya di dunia seni peran dimulai sejak era 2000-an, lewat film-filmnya yang berjudul Ca-bau-kan, Biola Tak Berdawai, Janji Joni, Arisan 1 & 2, Berbagi Suami, Ini Kisah Tiga Dara, Perempuan Punya Cerita, dan lainnya.

Baca juga: Eksklusif Profil Alfredo & Isabel Aquilizan: Menciptakan Seni yang Dekat & Memberdayakan Masyarakat

Keunikan dari karya-karya film Nia Dinata adalah menonjolkan karakter perempuan dan bagaimana situasi yang mereka hadapi di kehidupan yang keras ini. Sepanjang kariernya, perempuan berdarah Sunda dan Minang tersebut telah banyak meraih pernghargaan.

Di antaranya Festival Film Indonesia 2004 dan MTV Indonesia Movie Awards 2004 untuk kategori Sutradara Terbaik pada film Arisan!, serta Festival Film Internasional Hawaii for Best Feature untuk film Berbagi Suami. Kepada Hypeabis, Nia Dinata bercerita mengenai perjalanan kariernya di kancah perfilman Tanah Air.

Kenapa tertarik dengan film, bagaimana awal mula ceritanya?
Dari kecil aku kutu buku dan suka banget nonton film, tapi dulu tahun 70-an enggak ada Google jadi aku enggak tahu film itu cara bikinnya gimana. Aku juga tahunya dalam film hanya ada pemainnya saja, padahal ada yang namanya sutradara. Tapi aku enggak mau jadi pemain film, aku lebih cuka cerita dari film tersebut. 

Barulah saat aku SMA di tahun 80-an, aku dekat dengan om aku seorang koreografer. Dia sering diajak sutradara Teguh Karya untuk olah tubuh aktor yang mau main dalam filmnya. Lalu akhirnya aku tahu, oh ini yang namanya sutradara.
 

Apa yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita menjadi sutradara?

Setelah tahu apa yang namanya sutradara dan apa saja pekerjaannya, aku sudah set my mind untuk sekolah film. Tapi sayangnya orang tua enggak kasih izin, mungkin karena khawatir dengan bagaimana karier ke depannya. Aku hanya diperbolehkan sekolah journalism, waktu itu tahun 1992 di Elizabethtown College, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Akhirnya aku sekolah journalism, tapi untungnya waktu itu kita boleh ambil elective class. Nah semua kelas yang aku ambil tentang perfilman, jadi bisa belajar. Setelah lulus, akhirnya aku ikut program NYU Tisch School of Art, Amerika Serikat selama setahun. Model kelasnya hanya 5 orang untuk mempersiapkan siswanya menjadi sutradara, produser, lighting, script writer, dan sound.

Apakah ada tantangan saat pertama kali terjun ke industri perfilman sebagai perempuan? 
Waktu bikin film Ca Bau Kan (2022) aku sedang hamil anak kedua. Rasanya semua orang berpikir dan meragukan, apakah aku bisa syuting film dalam keadaan hamil, padahal aku baik-baik saja. Sampai sekarang aku juga melihat banyak orang yang diskriminatif terhadap kru perempuan yang sedang hamil dan ikut syuting.

Selain itu, cat calling dan pelecehan lainnya juga sering terjadi para kru perempuan. Mirisnya ketika kita bilang tidak, itu enggak diartikan sebagai penolakan. Karena itu aku selalu menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman di mana orang-orang bisa saling menghargai satu sama lain. Aku punya kaleng denda atau bully jar, jadi siapa pun orang yang melakukan cat calling harus membayar Rp50.000.

Kenapa karya-karyanya selalu identik dengan cerita perempuan?
Tanpa aku sadari, ternyata karakter perempuan memang menonjol dari filmku. Umumnya bagaimana mereka dihadapkan dengan situasi yang membuat diri mereka terpojok hanya karena terlahir sebagai perempuan. Isu-isu yang diangkat pun cukup berani seperti poligami, perkawinan paksa, perselingkuhan, dan lainnya. Selama ada peradaban manusia, cerita tentang perempuan tidak akan pernah ada habisnya.

Apa yang ingin disampaikan lewat karya film Anda yang menonjolkan cerita perempuan?
Aku ingin merangkul dan bukan memojokkan kaum pria, sehingga mereka bisa tetap nyaman saat menonton film-filmku. Patriarki sudah terlalu lama menguasai dunia ini, inilah saatnya untuk menciptakan kesetaraan gender. Aku enggak bilang wanita is better, kita ini sama dan setara punya hati, punya hasrat, mimpi, kesedihan dan trauma.

Topik yang diangkat dalam film Anda terbilang cukup berani seperti poligami, perkawinan paksa, perselingkuhan, dan lainnya. Apakah pernah bermasalah dengan lembaga sensor?
Setelah filmku selesai dan masuk ke lembaga sensor, itulah yang selalu membuatku waswas. Bukan sekali dua kali filmku dinyatakan belum lulus sensor. Bahkan film berjudul Ini Kisah Tiga Dara, butuh waktu 4 minggu sampai akhirnya dinyatakan lulus sensor

Biasanya ada pemberitahuan bagian mana yang harus dipotong supaya bisa layak untuk tayang. Akhirnya aku dipanggil dan harus presentasi untuk menjelaskan makna dari adegan-adegan yang menurut mereka belum layak. Orang dari lembaga sensor pernah bilang filmku yang berjudul Arisan, kalau rilisnya zaman sekarang mungkin tidak bisa lulus sensor sama sekali.

Seperti apa anda melihat industri perfilman Indonesia saat ini setelah berkarier selama 23 tahun?
Keberagaman di industri perfilman Indonesia sebaiknya tidak hanya genrenya saja, topik-topiknya dan karakternya juga harus bervariasi. Biasanya dalam film karakternya kebanyakan orang jawa saja, kita belum ada representasi chinese Indonesia, papua, dan lainnya.

Caraku untuk mewujudkan industri film Indonesia yang makin variatif adalah dengan terus keliling nusantara untuk mencari tahu dan mengenal lebih dekat orang-orang Indonesia dan budaya mereka.

Apakah ada karya film terbaru yang sedang atau sudah selesai dikerjakan belakangan ini?
Aku baru saja menyelesaikan pembuatan film dokumenter berjudul Unearthing Muarajambi Temple atau Muarajambi Bertutur yang merekam keseharian penduduk yang tinggal di sekitar situs candi Muarajambi di Desa Muaro Jambi.

Baca juga: Eksklusif Profil CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho: 2 Dekade Mencetak Artis Multitalenta

Menariknya banyak orang-orang muslim yang tinggal disana. Mereka membersihkan candi setiap hari dan menjamu para penganut budha yang datang jauh-jauh dari Tibet dan Bhutan. Masyarakat di sana saling toleransi dan berbagi kebaikan.

Selama pembuatan film aku bolak-balik ke sana sejak 2022 untuk mengenal lebih dekat orang-orang sekitar dan budaya mereka. Film ini diputar perdana di Road to Waisak, Candi Borobudur, 3 Juni 2023.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

5 Fakta Seru di Balik Doona!, Drakor yang Dibintangi Bae Suzy & Yang Se-jong

BERIKUTNYA

Indonesia Coffee Summit 2023, Potensi Tingkatkan Produksi & Ajang Diplomasi Kopi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: