Hypereport: Candra Darusman Sayangkan Kebijakan Hak Cipta Belum Sepenuhnya Efektif
31 July 2023 |
23:15 WIB
1
Like
Like
Like
Kasus mengenai hak cipta kembali menjadi sorotan di dalam negeri setelah vokalis dari salah satu grup band mendapatkan somasi. Peristiwa ini memunculkan banyak pertanyaan tentang pentingnya hak cipta musik bagi para pencipta lagu.
Permasalahan hak cipta ini bukanlah kasus tunggal yang terjadi di dalam negeri. Sebelumnya, musisi dari grup band Dewa 19 juga menghadapi masalah serupa ketika melarang mantan vokalis mereka untuk menyanyikan lagu-lagu grup tersebut karena terkait dengan hak cipta dan royalti.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
- Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
- Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital
Candra Darusman, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), mengatakan belum membaca tuntutan yang diajukan terhadap vokalis salah satu grup band yang tengah disomasi. “Tapi, jika menyangkut performing right [hak mengumumkan], yang bertanggung jawab adalah penyelenggara, bukan penyanyi atau band,” katanya kepada Hypeabis.id.
Terlepas dari kasus tersebut, dia menuturkan bahwa musisi atau pencipta lagu tidak perlu mendaftarkan karya yang dimilikinya untuk mendapatkan hak royalti atas lagu yang dibuat. Musisi harus menjadi anggota salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia untuk mendapatkannya.
Secara etis atau hak moral, izin secara otomatis diberikan kepada pengguna yang membawakan suatu karya dalam konser selama membayar royalti.
Dia menilai bahwa saat ini PP 56/ 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik belum sepenuhnya efektif, bahkan memerlukan penjelasan lanjutan resmi pemerintah. Salah satu contohnya adalah mengenai batasan ruang lingkup Lembaga Bantu Pemerintah non-APBN. Beleid tersebut tidak menjelaskan ruang lingkup lembaga tersebut, fasilitas apa yang diberikan oleh negara, dan sebagainya.
Sementara itu, terkait dengan aturan Permenkumham No. 9/2022 tentang Pelaksana PP 56/ 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, sudah memperbaiki aturan yang ada di beleid sebelumnya. Dalam peraturan itu, potongan dana operasional LMKN dari royalti berubah menjadi 20 persen dari 40 persen.
“Penerapannya LMK dan LMKN tidak memotong lebih dari 20 persen. Dari segi itu, bagus,” ujarnya.
Meskipun begitu, dia menilai masih ada yang harus diperbaiki terkait dengan pengumpulan royalti dari konser-konser yang diadakan di dalam negeri. Dia meminta pengumpulan royalti harus digiatkan kembali karena pencipta lagu akan merasa kurang puas lantaran dapat menerima dalam jumlah yang kecil jika tidak digalakkan kembali.
Penegakan hukum juga perlu diadakan jika terdapat penyelenggara konser yang tidak membayar royalti. Penyelenggara konser atau acara dapat ditindak jika melakuka pelanggaran.
Saat ini, LMKN sudah mulai bergerak secara profesional dengan membuat portal agar penyelenggara bisa membayar melalui portal tersebut. Kepolisian dapat membantu penegakan pembayaran royalti dengan tidak memberikan izin keramaian yang harus dimiliki oleh penyelenggara acara musik sebelum membayar royalti.
Penyanyi dan musikus senior Indonesia itu menilai bahwa pada saat ini pengumpulan royalti makin besar dan banyak jika dibandingkan dengan era 1980/1990an. Namun, pembagiannya belum baik dan terlalu adil.
Pembagian royalti yang belum baik itu dapat terjadi lantaran belum ada data yang belum bisa dipertanggungjawabkan, sehingga perlu terus diperbaiki. Pusat data lagu dan musik (PDLM) yang rencananya akan dibangun baru mulai dan belum selesai.
Pusat data tersebut penting karena akan menjadi “gudang” data-data tentang lagu dan musik yang ada di dalam negeri. Nantinya, LMK harus menyetor data yang dimilikinya kepada pusat data lagu dan musik tersebut. “Lagu-lagu yang harus isi LMK. 11 LMK harus isi,” katanya. Lembaga Manajemen Kolektif harus menjadi pihak yang mengisi data tersebut lantaran lembaga tersebut adalah pihak yang memiliki data.
Menurut Candra, industri musik di dalam negeri masih memiliki sejumlah tantangan terkait dengan hak royalti. Pertama, para pengguna musik harus lebih menghormati hak cipta dengan membayar royalti sesuai dengan tarif yang berlaku.
Ketika lagu atau karya musik digunakan dalam berbagai konteks seperti konser, acara, atau media lainnya, penting bagi para pengguna untuk memastikan bahwa royalti telah dibayarkan secara tepat kepada pemilik hak cipta. Dengan menghormati hak cipta, industri musik dapat terus berkembang dan menciptakan lingkungan yang adil bagi para pencipta lagu.
Kedua, anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) harus memiliki pemahaman yang baik tentang hak royalti dan bertindak sesuai dengan sistem yang berlaku. Mereka harus memahami cara kerja LMK dan tidak melakukan kegiatan atau tindakan yang keluar dari mekanisme yang telah ditetapkan.
Sebagai anggota LMK, mereka harus bekerja secara kolaboratif dan tidak menagih royalti secara mandiri. Dengan saling mendukung dan bekerja bersama, LMK dapat berfungsi secara efektif dalam melindungi hak cipta dan hak royalti para musisi.
Ketiga adalah mengenai transparansi dari LMK dan LMKN. Kedua lembaga yang mengumpulkan royalti tersebut harus memperlihatkan data-data keuangan yang ada ke publik guna membangun kepercayaan.
Baca juga: Buat Pekerja Kreatif, Begini Cara Mendaftarkan Hak Cipta Secara Online
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Permasalahan hak cipta ini bukanlah kasus tunggal yang terjadi di dalam negeri. Sebelumnya, musisi dari grup band Dewa 19 juga menghadapi masalah serupa ketika melarang mantan vokalis mereka untuk menyanyikan lagu-lagu grup tersebut karena terkait dengan hak cipta dan royalti.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
- Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
- Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital
Candra Darusman, Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi), mengatakan belum membaca tuntutan yang diajukan terhadap vokalis salah satu grup band yang tengah disomasi. “Tapi, jika menyangkut performing right [hak mengumumkan], yang bertanggung jawab adalah penyelenggara, bukan penyanyi atau band,” katanya kepada Hypeabis.id.
Terlepas dari kasus tersebut, dia menuturkan bahwa musisi atau pencipta lagu tidak perlu mendaftarkan karya yang dimilikinya untuk mendapatkan hak royalti atas lagu yang dibuat. Musisi harus menjadi anggota salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia untuk mendapatkannya.
Secara etis atau hak moral, izin secara otomatis diberikan kepada pengguna yang membawakan suatu karya dalam konser selama membayar royalti.
Dia menilai bahwa saat ini PP 56/ 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik belum sepenuhnya efektif, bahkan memerlukan penjelasan lanjutan resmi pemerintah. Salah satu contohnya adalah mengenai batasan ruang lingkup Lembaga Bantu Pemerintah non-APBN. Beleid tersebut tidak menjelaskan ruang lingkup lembaga tersebut, fasilitas apa yang diberikan oleh negara, dan sebagainya.
Sementara itu, terkait dengan aturan Permenkumham No. 9/2022 tentang Pelaksana PP 56/ 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, sudah memperbaiki aturan yang ada di beleid sebelumnya. Dalam peraturan itu, potongan dana operasional LMKN dari royalti berubah menjadi 20 persen dari 40 persen.
“Penerapannya LMK dan LMKN tidak memotong lebih dari 20 persen. Dari segi itu, bagus,” ujarnya.
Meskipun begitu, dia menilai masih ada yang harus diperbaiki terkait dengan pengumpulan royalti dari konser-konser yang diadakan di dalam negeri. Dia meminta pengumpulan royalti harus digiatkan kembali karena pencipta lagu akan merasa kurang puas lantaran dapat menerima dalam jumlah yang kecil jika tidak digalakkan kembali.
Padahal, konser banyak sekali di mana-mana. LMKN harus lebih giat menagih royalti untuk konser. Apalagi zaman sekarang banyak sekali konser.
- Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia Candra Darusman
Penegakan hukum juga perlu diadakan jika terdapat penyelenggara konser yang tidak membayar royalti. Penyelenggara konser atau acara dapat ditindak jika melakuka pelanggaran.
Saat ini, LMKN sudah mulai bergerak secara profesional dengan membuat portal agar penyelenggara bisa membayar melalui portal tersebut. Kepolisian dapat membantu penegakan pembayaran royalti dengan tidak memberikan izin keramaian yang harus dimiliki oleh penyelenggara acara musik sebelum membayar royalti.
Penyanyi dan musikus senior Indonesia itu menilai bahwa pada saat ini pengumpulan royalti makin besar dan banyak jika dibandingkan dengan era 1980/1990an. Namun, pembagiannya belum baik dan terlalu adil.
Pembagian royalti yang belum baik itu dapat terjadi lantaran belum ada data yang belum bisa dipertanggungjawabkan, sehingga perlu terus diperbaiki. Pusat data lagu dan musik (PDLM) yang rencananya akan dibangun baru mulai dan belum selesai.
Pusat data tersebut penting karena akan menjadi “gudang” data-data tentang lagu dan musik yang ada di dalam negeri. Nantinya, LMK harus menyetor data yang dimilikinya kepada pusat data lagu dan musik tersebut. “Lagu-lagu yang harus isi LMK. 11 LMK harus isi,” katanya. Lembaga Manajemen Kolektif harus menjadi pihak yang mengisi data tersebut lantaran lembaga tersebut adalah pihak yang memiliki data.
Menurut Candra, industri musik di dalam negeri masih memiliki sejumlah tantangan terkait dengan hak royalti. Pertama, para pengguna musik harus lebih menghormati hak cipta dengan membayar royalti sesuai dengan tarif yang berlaku.
Ketika lagu atau karya musik digunakan dalam berbagai konteks seperti konser, acara, atau media lainnya, penting bagi para pengguna untuk memastikan bahwa royalti telah dibayarkan secara tepat kepada pemilik hak cipta. Dengan menghormati hak cipta, industri musik dapat terus berkembang dan menciptakan lingkungan yang adil bagi para pencipta lagu.
Kedua, anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) harus memiliki pemahaman yang baik tentang hak royalti dan bertindak sesuai dengan sistem yang berlaku. Mereka harus memahami cara kerja LMK dan tidak melakukan kegiatan atau tindakan yang keluar dari mekanisme yang telah ditetapkan.
Sebagai anggota LMK, mereka harus bekerja secara kolaboratif dan tidak menagih royalti secara mandiri. Dengan saling mendukung dan bekerja bersama, LMK dapat berfungsi secara efektif dalam melindungi hak cipta dan hak royalti para musisi.
Ketiga adalah mengenai transparansi dari LMK dan LMKN. Kedua lembaga yang mengumpulkan royalti tersebut harus memperlihatkan data-data keuangan yang ada ke publik guna membangun kepercayaan.
Baca juga: Buat Pekerja Kreatif, Begini Cara Mendaftarkan Hak Cipta Secara Online
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.