Hypereport: Aliansi Musisi Pencipta Lagu Menanti Pembagian Royalti yang Lebih Baik
01 August 2023 |
17:47 WIB
Pembagian royalti atau uang jasa atas hak cipta lagu di Indonesia masih memunculkan banyak polemik dalam praktiknya. Masalah kesiapan sistem dan mekanisme perhitungan hingga pemantauan atas penggunaan karya di lapangan menjadi persoalan krusial yang harus dirumuskan solusinya.
Cholil Mahmud, salah satu pendiri Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) mengatakan bahwa keadilan dalam pembagian royalti kepada musisi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih belum sesuai harapan. “Karena mereka masih membangun sistem,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
- Hypereport: Candra Darusman Sayangkan Kebijakan Hak Cipta Belum Sepenuhnya Efektif
- Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital
Menurutnya, LMKN masih lemah dalam banyak hal. Lembaga tersebut dianggap belum memiliki taring dalam mengumpulkan royalti dari sejumlah pengguna hak cipta di lapangan. LMKN yang sejatinya berperan sebagai badan satu pintu dalam pengumpulan royalti, tidak bisa memungutnya dari platform digital lantaran tidak memiliki kuasa.
Perusahaan digital hanya melakukan pembayaran terhadap badan yang mendapatkan kuasa dari pencipta lagu, yakni Lembaga Manajemen Kolektif. Dengan begitu, fungsi satu pintu tidak dapat diberlakukan secara menyeluruh.
Selain itu, mekanisme terkait dengan perincian laporan penggunaan karya lagu oleh LMKN juga belum transparan. Kondisi ini berbeda dengan sejumlah platform digital yang dapat memberikan informasi mengenai judul lagu yang telah diputar dengan detail angka pemutarannya.
Dia menuturkan bahwa sistem yang digunakan saat ini adalah lembaga mengumpulkan seluruh royalti. Kemudian, dibagi rata kepada seluruh pencipta lagu. Kondisi tersebut memberikan ketidakadilan bagi para pencipta lagu.
AMPLI menginginkan para pencipta lagu mendapatkan royalti dari karya miliknya secara tepa guna dan tepat jumlah. “Kami ingin presisi, lebih jelas. orang pakai, bayar,” tegasnya.
Dia menilai bahwa selama ini pengumpulan royalti memang sudah berjalan. Namun, keakuratan datanya mesti ditingkatkan. Aliansi juga mendorong agar disiapkan berbagai skema terkait dengan pembayaran royalti dari para penyelenggara acara atau konser musik.
Saat ini, terdapat beberapa skema dalam pembayaran royalti oleh penyelenggara festival atau konser musik. Salah satunya ditetapkan sebesar 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket, ditambah 1 persen dari tiket gratis.
“Apakah itu sudah dijalankan dengan baik? Pasalnya, hanya sedikit pencipta lagu yang merasakan manfaatnya, sehingga terjadi protes [pelarangan membawakan lagu],” katanya.
Dia menuturkan sejumlah kasus terkait hak cipta atau royalti yang muncul di dalam negeri beberapa pekan belakangan ini bermuara dari para pencipta lagu yang tidak mendapatkan haknya. Padahal, orang yang menyanyikan lagu itu mendapatkan bayaran dalam jumlah besar.
"Pencipta lagu pasti akan senang jika pengumpulan royalti berjalan dengan baik dan dibayarkan tepat jumlah. Kenyataannya, penyanyi yang dapat bayaran yang mahal. Sedangkan pencipta lagu mengalami kesulitan keuangan," ungkapnya.
Aksi protes oleh beberapa pencipta lagu dinilai menjadi gambaran bahwa LMKN tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dalam upaya mengumpulkan royalti dari panggung pertunjukan langsung yang banyak diselenggarakan selama ini.
Agar pembagian royalti bisa adil, kelengkapan data menjadi sagat penting yang harus dikumpulkan. "Data itu mencakup banyak hal. Seperti siapa saja orang yang berkontribusi dalam penciptaan karya dan bagaimana skema pembayaran royaltinya."
Dia mencontohkan, seseorang yang berkontribusi dalam menciptakan nada dengan gitar dalam sebuah lagu, harus ditegaskan sejak awal skema pembayarannya, seperti bayar putus, flat, atau skema lainnya.
Dengan begitu, musisi memiliki pemahaman yang jelas sejak awal atas kesepakatan tersebut. "Jika data terkait dengan ciptaan sudah benar, musisi dapat memasukkannya ke pusat data lagu dan musik. Dengan begitu, jadi jelas siapa saja pihak yang akan mendapatkan royalti ketika lagu diputar atau digunakan," katanya.
Selain itu, hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah kepercayaan. Menurutnya, sistem yang sudah dibangun tidak akan maksimal jika tidak ada kepercayaan terkait dengan pemberian royalti atau hak cipta.
Terkait beleid mengenai royalti yang pernah disuarakan oleh AMPLI dan sejumlah organisasi di dalam negeri, dia mengungkapkan bahwa sejumlah tuntutan dapat dipenuhi oleh pemerintah. Namun, beberapa di antaranya tidak.
Salah satunya terkait dengan potongan royalti untuk biaya operasional yang sebelumnya sebesar 40 persen kembali menjadi 20 persen sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Selain itu, tuntutan lainnya mengenai formasi komisioner LMKN yang kini sudah diangkat dan bekerja.
Baca juga: Pusat Data Lagu dan Musik Diharapkan Permudah Pembayaran Royalti ke Musisi
Sementara itu, terkait proses penunjukan aliansi organisasi yang diberi amanah, seperti terkait pelaksana Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sampai saat ini belum mendapatkan update. Pihaknya berharap agar penunjukan itu bisa transparan dan akuntabel, serta memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Editor: Fajar Sidik
Cholil Mahmud, salah satu pendiri Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) mengatakan bahwa keadilan dalam pembagian royalti kepada musisi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih belum sesuai harapan. “Karena mereka masih membangun sistem,” katanya kepada Hypeabis.id.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Hak Cipta dan Royalti Masih Jadi Akar Polemik Para Musisi Tanah Air
- Hypereport: Candra Darusman Sayangkan Kebijakan Hak Cipta Belum Sepenuhnya Efektif
- Hypereport: Risiko Pembajakan di Tengah Maraknya Platform Streaming Musik Digital
Menurutnya, LMKN masih lemah dalam banyak hal. Lembaga tersebut dianggap belum memiliki taring dalam mengumpulkan royalti dari sejumlah pengguna hak cipta di lapangan. LMKN yang sejatinya berperan sebagai badan satu pintu dalam pengumpulan royalti, tidak bisa memungutnya dari platform digital lantaran tidak memiliki kuasa.
Perusahaan digital hanya melakukan pembayaran terhadap badan yang mendapatkan kuasa dari pencipta lagu, yakni Lembaga Manajemen Kolektif. Dengan begitu, fungsi satu pintu tidak dapat diberlakukan secara menyeluruh.
Selain itu, mekanisme terkait dengan perincian laporan penggunaan karya lagu oleh LMKN juga belum transparan. Kondisi ini berbeda dengan sejumlah platform digital yang dapat memberikan informasi mengenai judul lagu yang telah diputar dengan detail angka pemutarannya.
“Kami enggak dapat report sedetail itu. apakah memungkinkan dapat catatan selengkap itu [dari LMKN],” katanya.
Dia menuturkan bahwa sistem yang digunakan saat ini adalah lembaga mengumpulkan seluruh royalti. Kemudian, dibagi rata kepada seluruh pencipta lagu. Kondisi tersebut memberikan ketidakadilan bagi para pencipta lagu.
AMPLI menginginkan para pencipta lagu mendapatkan royalti dari karya miliknya secara tepa guna dan tepat jumlah. “Kami ingin presisi, lebih jelas. orang pakai, bayar,” tegasnya.
Dia menilai bahwa selama ini pengumpulan royalti memang sudah berjalan. Namun, keakuratan datanya mesti ditingkatkan. Aliansi juga mendorong agar disiapkan berbagai skema terkait dengan pembayaran royalti dari para penyelenggara acara atau konser musik.
Saat ini, terdapat beberapa skema dalam pembayaran royalti oleh penyelenggara festival atau konser musik. Salah satunya ditetapkan sebesar 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket, ditambah 1 persen dari tiket gratis.
“Apakah itu sudah dijalankan dengan baik? Pasalnya, hanya sedikit pencipta lagu yang merasakan manfaatnya, sehingga terjadi protes [pelarangan membawakan lagu],” katanya.
Dia menuturkan sejumlah kasus terkait hak cipta atau royalti yang muncul di dalam negeri beberapa pekan belakangan ini bermuara dari para pencipta lagu yang tidak mendapatkan haknya. Padahal, orang yang menyanyikan lagu itu mendapatkan bayaran dalam jumlah besar.
"Pencipta lagu pasti akan senang jika pengumpulan royalti berjalan dengan baik dan dibayarkan tepat jumlah. Kenyataannya, penyanyi yang dapat bayaran yang mahal. Sedangkan pencipta lagu mengalami kesulitan keuangan," ungkapnya.
Aksi protes oleh beberapa pencipta lagu dinilai menjadi gambaran bahwa LMKN tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dalam upaya mengumpulkan royalti dari panggung pertunjukan langsung yang banyak diselenggarakan selama ini.
Agar pembagian royalti bisa adil, kelengkapan data menjadi sagat penting yang harus dikumpulkan. "Data itu mencakup banyak hal. Seperti siapa saja orang yang berkontribusi dalam penciptaan karya dan bagaimana skema pembayaran royaltinya."
Dia mencontohkan, seseorang yang berkontribusi dalam menciptakan nada dengan gitar dalam sebuah lagu, harus ditegaskan sejak awal skema pembayarannya, seperti bayar putus, flat, atau skema lainnya.
Dengan begitu, musisi memiliki pemahaman yang jelas sejak awal atas kesepakatan tersebut. "Jika data terkait dengan ciptaan sudah benar, musisi dapat memasukkannya ke pusat data lagu dan musik. Dengan begitu, jadi jelas siapa saja pihak yang akan mendapatkan royalti ketika lagu diputar atau digunakan," katanya.
Selain itu, hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah kepercayaan. Menurutnya, sistem yang sudah dibangun tidak akan maksimal jika tidak ada kepercayaan terkait dengan pemberian royalti atau hak cipta.
Terkait beleid mengenai royalti yang pernah disuarakan oleh AMPLI dan sejumlah organisasi di dalam negeri, dia mengungkapkan bahwa sejumlah tuntutan dapat dipenuhi oleh pemerintah. Namun, beberapa di antaranya tidak.
Salah satunya terkait dengan potongan royalti untuk biaya operasional yang sebelumnya sebesar 40 persen kembali menjadi 20 persen sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Selain itu, tuntutan lainnya mengenai formasi komisioner LMKN yang kini sudah diangkat dan bekerja.
Baca juga: Pusat Data Lagu dan Musik Diharapkan Permudah Pembayaran Royalti ke Musisi
Sementara itu, terkait proses penunjukan aliansi organisasi yang diberi amanah, seperti terkait pelaksana Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sampai saat ini belum mendapatkan update. Pihaknya berharap agar penunjukan itu bisa transparan dan akuntabel, serta memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.