Kantor Hak Cipta AS Tolak Hak Cipta Karya Seni dari Mesin AI
22 February 2022 |
14:40 WIB
Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) kian pintar dan bisa melakukan banyak hal yang dikerjakan manusia. Salah satunya adalah melukis seperti yang telah dilakukan oleh mesin AI dengan nama Creativity Machine. Mesin kecerdasan buatan itu telah menghasilkan sebuah lukisan ternama yang berjudul “A Recent Entrance to Paradise” pada 2016 lalu.
Tak hanya itu, Creative Machine juga menghasilkan karya berupa beberapa gambar lain yang masuk dalam seri yang disebut sebagai “simulated near-death experience”.
Steven Thaler, President & CEO Imagination Engines dan pengembang Creativity Machine menjabarkan seri itu sebagai hasil sebuah algoritma memproses ulang gambar untuk membuat gambar halusinasi dan narasi fiksi tentang kehidupan setelah kematian.
Thaler kemudian mencoba mengajukan hak cipta dari gambar tersebut atas nama algoritma Creativity Machine pada 2019. Kabar terkini, tiga orang dewan dari US Copyright Office telah meninjau permintaan tersebut.
Dilansir The Verge (22/2) hasil tinjauan yang diumumkan pada pekan ini menyatakan bahwa kantor hak cipta Amerika Serikat menolak permintaan untuk memberikan hak cipta sebuah karya seni gambar kepada mesin kecerdasan buatan.
Keputusan dewan menyebut hubungan antara pikiran manusia dan ekspresi kreatif sebagai sebuah elemen penting dari hak cipta. Hal tersebut tampaknya masih sangat terbatas untuk aktor non-manusia pada saat ini.
Bila menengok ke belakang, ada sebuah kasus hak cipta menarik yang memiliki sorotan serupa. Pada 2011 tepatnya, sebuah foto kera jambul Sulawesi viral karena mengambil foto selfie close up layaknya yang dilakukan manusia.
David Slater, seorang fotografer satwa liar yang mengunggah foto tersebut menyatakan bahwa dia telah meninggalkan peralatannya di hutan, dan kera itu berhasil mengambil swafoto dengan sudut yang sangat menarik.
Kemudian, organisasi People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) mengajukan gugatan terhadap Slater dan sebuah perusahaan buku yang menerbitkan foto tersebut pada 2015. Organisasi mengklaim bahwa mereka telah melanggar hak cipta monyet dengan merilis buku fotografi tersebut.
Akan tetapi pada 2018, pengadilan menyatakan bahwa monyet tidak dapat menuntut pelanggaran hak cipta. Dalam putusannya disebutkan bahwa pengadilan menemukan bahwa ekspresi non-manusia tidak memenuhi syarat untuk perlindungan hak cipta.
Kedua kasus ini tidak berarti bahwa seni dengan komponen kecerdasan buatan atau non-manusia lainnya tidak dapat memenuhi syarat. Thaler menekankan tujuannya mengajukan hak cipta untuk AI adalah membuktikan bahwa karya yang dibuat oleh mesin dapat memperoleh perlindungan.
Kantor hak cipta Amerika Serikat juga menyoroti pentingnya agensi manusia dalam karya yang dihasilkan oleh mesin. Disebutkan bahwa ketika AI mengambil peran yang lebih besar dari repertoar seniman, batas kesimpulan yang ada saat ini dapat diuji kembali di masa mendatang.
Editor : Gita
Tak hanya itu, Creative Machine juga menghasilkan karya berupa beberapa gambar lain yang masuk dalam seri yang disebut sebagai “simulated near-death experience”.
Steven Thaler, President & CEO Imagination Engines dan pengembang Creativity Machine menjabarkan seri itu sebagai hasil sebuah algoritma memproses ulang gambar untuk membuat gambar halusinasi dan narasi fiksi tentang kehidupan setelah kematian.
Thaler kemudian mencoba mengajukan hak cipta dari gambar tersebut atas nama algoritma Creativity Machine pada 2019. Kabar terkini, tiga orang dewan dari US Copyright Office telah meninjau permintaan tersebut.
Dilansir The Verge (22/2) hasil tinjauan yang diumumkan pada pekan ini menyatakan bahwa kantor hak cipta Amerika Serikat menolak permintaan untuk memberikan hak cipta sebuah karya seni gambar kepada mesin kecerdasan buatan.
Keputusan dewan menyebut hubungan antara pikiran manusia dan ekspresi kreatif sebagai sebuah elemen penting dari hak cipta. Hal tersebut tampaknya masih sangat terbatas untuk aktor non-manusia pada saat ini.
Swafoto kera jambul Sulawesi (dok. David Slater)
Bila menengok ke belakang, ada sebuah kasus hak cipta menarik yang memiliki sorotan serupa. Pada 2011 tepatnya, sebuah foto kera jambul Sulawesi viral karena mengambil foto selfie close up layaknya yang dilakukan manusia.
David Slater, seorang fotografer satwa liar yang mengunggah foto tersebut menyatakan bahwa dia telah meninggalkan peralatannya di hutan, dan kera itu berhasil mengambil swafoto dengan sudut yang sangat menarik.
Kemudian, organisasi People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) mengajukan gugatan terhadap Slater dan sebuah perusahaan buku yang menerbitkan foto tersebut pada 2015. Organisasi mengklaim bahwa mereka telah melanggar hak cipta monyet dengan merilis buku fotografi tersebut.
Akan tetapi pada 2018, pengadilan menyatakan bahwa monyet tidak dapat menuntut pelanggaran hak cipta. Dalam putusannya disebutkan bahwa pengadilan menemukan bahwa ekspresi non-manusia tidak memenuhi syarat untuk perlindungan hak cipta.
Kedua kasus ini tidak berarti bahwa seni dengan komponen kecerdasan buatan atau non-manusia lainnya tidak dapat memenuhi syarat. Thaler menekankan tujuannya mengajukan hak cipta untuk AI adalah membuktikan bahwa karya yang dibuat oleh mesin dapat memperoleh perlindungan.
Kantor hak cipta Amerika Serikat juga menyoroti pentingnya agensi manusia dalam karya yang dihasilkan oleh mesin. Disebutkan bahwa ketika AI mengambil peran yang lebih besar dari repertoar seniman, batas kesimpulan yang ada saat ini dapat diuji kembali di masa mendatang.
Editor : Gita
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.