Hypereport: Menggali & Memanfaatkan Potensi Jamu
27 May 2023 |
19:58 WIB
1
Like
Like
Like
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman adalah cukilan lirik dari lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu. Lagu yang dirilis pada 1970 silam bercerita tentang suburnya tanah di Indonesia. Ya, Indonesia memiliki lahan subur sehingga cocok ditanami tanaman, termasuk bahan-bahan untuk membuat jamu.
Keadaan ini membuat jamu menjadi kian potensial untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan. Inggid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), menuturkan bahwa berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki tanah subur dan cocok ditanam dengan berbagai tanaman obat membuat potensi jamur di berbagai wilayah sangat baik.
Sebagai contoh di Semarang. Salah satu wilayah di Indonesia ini cocok untuk tanaman temulawak, dan kualitas terbaik tanaman itu saat ini memang berada di daerah yang menjadi ibu kota Jawa Tengah itu.
Baca juga laporan terkait:
Di kota-kota besar di Indonesia, awareness masyarakat terhadap jamu bisa ditingkatkan dengan mengenalkan generasi muda agar kian mengetahui tentang jamu dan senang mengonsumsinya. “Apalagi tren kita sekarang ini memang kembali ke alam, termasuk menjaga kesehatan dengan bahan alam dan natural. Pengobatan juga trennya sudah dengan alam atau bahan-bahan alami,” katanya.
Potensi jamu di dalam negeri itu dapat terlihat dari perkembangannya di dalam negeri yang menunjukkan kinerja menggembirakan. Setelah sempat mengalami kemunduran pada era 1980–1990an, produk alami ini mengalami kembangkitan mulai 2000an sampai sekarang.
Pada waktu pandemi Covid-19, banyak survei membuktikan bahwa penjualannya luar biasa tinggi. beberapa bahan baku jamu juga sempat mengalami kenaikan harga dan langka. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Inggit, produsen jamu pada masa pandemi mengalami keuntungan yang tinggi lantaran permintaan di masyarakat yang mengalami kenaikan.
Pada saat pandemi usai, jamu juga tetap menjadi pilihan lantaran masyarakat kian sadar untuk menjaga kesehatan dengan bahan-bahan alami, termasuk jamu. “Ekspor jamu keluar negeri juga makin tinggi dan besar. Negara tujuan ekspor juga makin banyak. Bahkan, saya juga diundang keluar negeri untuk bicara tentang jamu,” katanya.
Perkembangan jamu di dalam negeri tidak dapat terlepaskan dari khasiat yang dimilikinya. Khasiat jamu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Namun, secara umum ada jamu yang bisa digunakan untuk memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan membantu pemulihan.
Dengan kata lain, maka jamu bisa digunakan untuk semua upaya kesehatan. Namun, tergantung pada jenis jamu dan untuk spesifikasi kondisi kesehatan tertentu.
Pada saat ini, khasiat jamu untuk memelihara kesehatan dan mencegah penyakit sudah tidak diragukan lagi di dalam negeri. Sementara untuk pengobatan pengobatan dan pemulihan memang harus lebih banyak dilakukan penelitian agar bukti khasiat jamu terbukti.
Dengan berbagai khasiat yang dimiliki dan potensi yang ada, jamu juga masih memiliki tantangan yang tidak sedikit dalam berbagai hal, baik itu sikap skeptis akan manfaatnya, birokrasi, regulasi, dan sebagainya.
Kalangan medis yang masih meragukan khasiat jamu walaupun sudah diteliti dan diuji klinis lantaran sebagian besar tidak mendapatkan pengajaran tentang herbal atau jamu ketika di bangku kuliah. “Sehingga tidak kenal jamu. Tidak kenal, maka tidak sayang,” ujar Inggit.
Menurutnya, kalangan medis atau non-medis yang masih ragu akan manfaat jamu perlu mendapatkan edukasi tentangnya. Tantangan lain yang dapat menjadi ancaman adalah produk ilegal, yakni jamu yang diproduksi dan beredar tanpa izin. Produk itu kerap mengandung zat kimia sintetik atau disebut jamu bahan kimia obat (BKO).
Jamu ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat yang mengonsumsi lantaran berbahaya bagi kesehatan. Regulator atau aparat perlu mengendalikan agar jamu BKO tidak diproduksi dan tidak beredar di masyarakat.
Tidak hanya dari dalam negeri, obat tradisional impor yang mengandung bahan kimia obat juga perlu diantisipasi oleh semua pihak dan menjadi tantangan dan ancaman di dalam negeri.
“Tantangan lain, obat tradisional impor [non BKO] masih beredar di Indonesia, sehingga itu tantangan juga buat jamu supaya bisa bersaing dengan obat tradisional impor. Artinya, disamping perlu ada pembatasan obat tradisional impor. Kualitas jamu perlu terus ditingkatkan supaya tidak kalah,” ujarnya.
Regulasi perizinan juga menjadi tantangan bagi jamu di dalam negeri. Menurutnya, aturan tentang ini perlu lebih dipermudah dan tetap mempertahankan kaidah ilmiah. Dengan begitu, maka kian banyak bukti-bukti akan keamanan dan manfaat jamu.
Pada kesempatan terpisah, Sofa Fajriah, Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN, mengatakan bahwa tantangan terbesar pada saat ini adalah biaya riset jamu yang memerlukan pendanaan tidak sedikit.
Penelitian untuk membuktikan manfaat jamu membutuhkan biaya tinggi, terlebih lagi jika dikembangkan sesuai dengan indikasi yang dituju mulai dari uji praklinis dan klinis. Dia menuturkan, kebutuhan biaya riset tentang jamu berbeda-beda.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh periset akan tergantung kepada terapi indikasi dari jamu yang akan dikembangkan. Sebagai contoh, penelitian obat herbal terstandarisasi (OHT) mulai dari ekstraksi, analisa, preklinis antikolesterol membutuhkan biaya kira—kira Rp800 juta.
Sementara contoh lainnya adalah biaya uji klinis (fitofarmaka) sekitar Rp3,5 miliar untuk satu tahapan uji. “Biasanya ada 2 tahapan uji sehingga dapat mencapai Rp7 miliar,” katanya.
Dia menambahkan, pada saat ini, peneliti BRIN sudah banyak melakukan riset terkait jamu baik saintifikasi jamu untuk menjadi OHT dan fitomarmaka maupun terkait etnofarmakologi dan rasionalisasi ramuan tradisional.
Salah satu produk jamu hasil riset yang sudah ada izin edar diantaranya adalah stamilic yang merupakan ekstrak Black Garlic untuk membantu mempertahankan daya tahan tubuh.
Perlu diketahui, beberapa riset tentang Black Garlic menunjukkan potensinya untuk membantu mengatasi Covid-19 dalam hal membantu mengatasi komorbid seperti diabetes, penyakit jantung koroner, dan hipertensi. Black Garlic juga dapat membantu mencegah penggumpalan darah yang merupakan salah satu efek Covid-19.
Sementara itu, beberapa riset terkait OHT dan fitofarmaka seperti, fitofarmaka penurun kolesterol; OHT penurun gula darah; OHT imunostimulan, OHT antihipertensi, OHT pegagan sebagai hepatoprotektor.
Tak hanya itu, Sofa Fajriah, mengatakan jamu berpotensi ikut meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya dukungan dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan penelitian, maka berbagai potensi dari keanekaragaman hayati yang dimiliki bisa menjadi produk herbal yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan.
“Dan juga tentunya untuk meningkatkan daya saing produk tersebut untuk menjadi produk-produk ekspor untuk menambah devisa dan pertumbuhan ekonomi,” tutupnya.
Baca juga: Wedhangan Q Angkat Jamu Jadi Minuman Kekinian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Keadaan ini membuat jamu menjadi kian potensial untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan. Inggid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), menuturkan bahwa berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki tanah subur dan cocok ditanam dengan berbagai tanaman obat membuat potensi jamur di berbagai wilayah sangat baik.
Sebagai contoh di Semarang. Salah satu wilayah di Indonesia ini cocok untuk tanaman temulawak, dan kualitas terbaik tanaman itu saat ini memang berada di daerah yang menjadi ibu kota Jawa Tengah itu.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Mbok Jamu Riwayatmu Kini
- Hypereport: Upaya Membawa Jamu Tradisional Naik Kelas & Makin Luas
- Hypereport: Racikan Tradisi & Inovasi Bikin Jamu Indonesia Makin Tokcer
Di kota-kota besar di Indonesia, awareness masyarakat terhadap jamu bisa ditingkatkan dengan mengenalkan generasi muda agar kian mengetahui tentang jamu dan senang mengonsumsinya. “Apalagi tren kita sekarang ini memang kembali ke alam, termasuk menjaga kesehatan dengan bahan alam dan natural. Pengobatan juga trennya sudah dengan alam atau bahan-bahan alami,” katanya.
Potensi jamu di dalam negeri itu dapat terlihat dari perkembangannya di dalam negeri yang menunjukkan kinerja menggembirakan. Setelah sempat mengalami kemunduran pada era 1980–1990an, produk alami ini mengalami kembangkitan mulai 2000an sampai sekarang.
Pada waktu pandemi Covid-19, banyak survei membuktikan bahwa penjualannya luar biasa tinggi. beberapa bahan baku jamu juga sempat mengalami kenaikan harga dan langka. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Inggit, produsen jamu pada masa pandemi mengalami keuntungan yang tinggi lantaran permintaan di masyarakat yang mengalami kenaikan.
Pada saat pandemi usai, jamu juga tetap menjadi pilihan lantaran masyarakat kian sadar untuk menjaga kesehatan dengan bahan-bahan alami, termasuk jamu. “Ekspor jamu keluar negeri juga makin tinggi dan besar. Negara tujuan ekspor juga makin banyak. Bahkan, saya juga diundang keluar negeri untuk bicara tentang jamu,” katanya.
Perkembangan jamu di dalam negeri tidak dapat terlepaskan dari khasiat yang dimilikinya. Khasiat jamu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Namun, secara umum ada jamu yang bisa digunakan untuk memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan membantu pemulihan.
Dengan kata lain, maka jamu bisa digunakan untuk semua upaya kesehatan. Namun, tergantung pada jenis jamu dan untuk spesifikasi kondisi kesehatan tertentu.
Pada saat ini, khasiat jamu untuk memelihara kesehatan dan mencegah penyakit sudah tidak diragukan lagi di dalam negeri. Sementara untuk pengobatan pengobatan dan pemulihan memang harus lebih banyak dilakukan penelitian agar bukti khasiat jamu terbukti.
Dengan berbagai khasiat yang dimiliki dan potensi yang ada, jamu juga masih memiliki tantangan yang tidak sedikit dalam berbagai hal, baik itu sikap skeptis akan manfaatnya, birokrasi, regulasi, dan sebagainya.
Kalangan medis yang masih meragukan khasiat jamu walaupun sudah diteliti dan diuji klinis lantaran sebagian besar tidak mendapatkan pengajaran tentang herbal atau jamu ketika di bangku kuliah. “Sehingga tidak kenal jamu. Tidak kenal, maka tidak sayang,” ujar Inggit.
Menurutnya, kalangan medis atau non-medis yang masih ragu akan manfaat jamu perlu mendapatkan edukasi tentangnya. Tantangan lain yang dapat menjadi ancaman adalah produk ilegal, yakni jamu yang diproduksi dan beredar tanpa izin. Produk itu kerap mengandung zat kimia sintetik atau disebut jamu bahan kimia obat (BKO).
Jamu ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat yang mengonsumsi lantaran berbahaya bagi kesehatan. Regulator atau aparat perlu mengendalikan agar jamu BKO tidak diproduksi dan tidak beredar di masyarakat.
Tidak hanya dari dalam negeri, obat tradisional impor yang mengandung bahan kimia obat juga perlu diantisipasi oleh semua pihak dan menjadi tantangan dan ancaman di dalam negeri.
“Tantangan lain, obat tradisional impor [non BKO] masih beredar di Indonesia, sehingga itu tantangan juga buat jamu supaya bisa bersaing dengan obat tradisional impor. Artinya, disamping perlu ada pembatasan obat tradisional impor. Kualitas jamu perlu terus ditingkatkan supaya tidak kalah,” ujarnya.
Regulasi perizinan juga menjadi tantangan bagi jamu di dalam negeri. Menurutnya, aturan tentang ini perlu lebih dipermudah dan tetap mempertahankan kaidah ilmiah. Dengan begitu, maka kian banyak bukti-bukti akan keamanan dan manfaat jamu.
Pada kesempatan terpisah, Sofa Fajriah, Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN, mengatakan bahwa tantangan terbesar pada saat ini adalah biaya riset jamu yang memerlukan pendanaan tidak sedikit.
Penelitian untuk membuktikan manfaat jamu membutuhkan biaya tinggi, terlebih lagi jika dikembangkan sesuai dengan indikasi yang dituju mulai dari uji praklinis dan klinis. Dia menuturkan, kebutuhan biaya riset tentang jamu berbeda-beda.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh periset akan tergantung kepada terapi indikasi dari jamu yang akan dikembangkan. Sebagai contoh, penelitian obat herbal terstandarisasi (OHT) mulai dari ekstraksi, analisa, preklinis antikolesterol membutuhkan biaya kira—kira Rp800 juta.
Sementara contoh lainnya adalah biaya uji klinis (fitofarmaka) sekitar Rp3,5 miliar untuk satu tahapan uji. “Biasanya ada 2 tahapan uji sehingga dapat mencapai Rp7 miliar,” katanya.
Dia menambahkan, pada saat ini, peneliti BRIN sudah banyak melakukan riset terkait jamu baik saintifikasi jamu untuk menjadi OHT dan fitomarmaka maupun terkait etnofarmakologi dan rasionalisasi ramuan tradisional.
Salah satu produk jamu hasil riset yang sudah ada izin edar diantaranya adalah stamilic yang merupakan ekstrak Black Garlic untuk membantu mempertahankan daya tahan tubuh.
Perlu diketahui, beberapa riset tentang Black Garlic menunjukkan potensinya untuk membantu mengatasi Covid-19 dalam hal membantu mengatasi komorbid seperti diabetes, penyakit jantung koroner, dan hipertensi. Black Garlic juga dapat membantu mencegah penggumpalan darah yang merupakan salah satu efek Covid-19.
Sementara itu, beberapa riset terkait OHT dan fitofarmaka seperti, fitofarmaka penurun kolesterol; OHT penurun gula darah; OHT imunostimulan, OHT antihipertensi, OHT pegagan sebagai hepatoprotektor.
Tak hanya itu, Sofa Fajriah, mengatakan jamu berpotensi ikut meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya dukungan dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan penelitian, maka berbagai potensi dari keanekaragaman hayati yang dimiliki bisa menjadi produk herbal yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan.
“Dan juga tentunya untuk meningkatkan daya saing produk tersebut untuk menjadi produk-produk ekspor untuk menambah devisa dan pertumbuhan ekonomi,” tutupnya.
Baca juga: Wedhangan Q Angkat Jamu Jadi Minuman Kekinian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.